Minggu, 30 Mei 2010

Where the Wild Things Are (2009)


Director : Spike Jonze
Cast : Max Records, Catherine Keener, Forest Whitaker, Mark Ruffalo, James Galdolfini, Paul Dano, Catherine O'Hara, Chris Cooper
Rate : 3,5/5

Melihat filmolurgi dari seorang Spike Jonze memang agak berat untuk ditelisik. Lihat saja Being John Malkovich ataupun Adaptation yang butuh konsentrasi agar tidak ketinggalan tiap penggalan kalimat maupun adegan. Bukan apa, film-filmnya sangat tidak rapi jika tak mau dibilang ngejelimet. Jadi, skeptis saya terhadap film Where the Wild Things Are terbagi ke dua opsi. Pertama, saya semula berpikir film ini walaupun adaptasi buku anak, tetap saja pola yang digunakan adalah gaya seorang jenius Jonze. Kedua, semembingungkan apapun film itu, asal Jonze yang bikin pasti saja akan menjadi sesuatu yang wah di sisi cerita dan kombinasi visual. Dan benar saja, karya terbarunya ini sungguh di luar dugaan dan keluar dari patron biasanya. Film ini sangat mudah diikuti dan dinikmati dengan penyajian yang mengikuti dasar imajinasi anak kecil
.

Konon, cerita anak Where the Wild Things Are karangan Maurice Sendak hanyalah cerita yang berisi 9 - 10 kalimat saja. Pertanyaannya, apa mungkin bisa memvisualisasikan 10 kalimat tersebut ke medium film yang berdurasi rata-rata lebih dari 90 menit? Sukses. Sukses besar. Perwujudan karakter yang dibangun sesuai porsi dan memang ditujukan dengan sangat tajam terhadap kehidupan keluarga yang kali ini penekannya fokus ke kesendirian seorang anak kecil. Jujur saja, sebelum film ini bergema, saya tidak tau cerita tentang apa dan disadur dari mana film ini. Karena, di negara kita inipun cerita anak ini tak pernah dibahas. Oke, kembali ke filmnya.

Max, seorang bocah penyendiri yang merasa keluarganya hanya peduli terhadap dunia di luar rumah. Bermain sendiri, bahagia, senang dan susah sendiri. Saudara perempuan menganggapnya sebagai anak kecil sepanjang masa dan ibunya yang sibuk memperjuangkan pekerjaan serta kedekatannya dengan seorang pria. Dan, itulah dalang dari semua klimaks terjadi. Dengan sikap tak setuju terhadap pacar baru ibunya, lantas Max menunjukkan sikap liar dan kurang wajarnya yang menyebabkan kemarahan sang ibu tak terelakkan lagi. Karena merasa kesal atau bagaimana, akhirnya ia memutuskan untuk kabur sejenak guma menetralisir segala kelakuan yang telah ia perbuat.

Tiba Max di suatu tempat. Mulailah ia menggunakan pola pikir imajinasinya membangun sebuah dunia yang jauh dari bersifat nyata. Dengan menggunakan perahu kecil, Max tiba di sebuah tempat yang dihuni oleh kawanan The Wild Things. Banyak macam makhluk besar aneh yang menempati kawasan itu. Di antaranya Alexander, Ira, Judith, Carol, Douglas, KW dan lainnya. Dengan watak masing-masing, semula Max akan dimakan oleh populasi The Wild Things tersebut, tapi lagi-lagi dengan imajinasi liarnya Max berbohong kalau dia adalah seorang raja di negerinya sendiri. Hari-hari dilaluinya dengan penih sukacita hingga konflik besar menyadarkan dirinya bahwa dia sangat membutuhkan keluarga. Terutama sosok ibu yang sekalipun buruk tetap seorang ibu.

Sebenarnya, film ini tidak begitu cocok untuk anak-anak karena pesona yang ada di film ini cukup kelam untuk dikonsumsi. Tapi, nyatanya dengan plot yang rapi serta moral lesson yang sangat bagus membuat film ini juga sah-sah saja dinikmati oleh boca. Asal dengan bimbingan orang tua. Sangat transparan apa yang hendak disampaikan oleh Jonze di film ini tentang indahnya sebuah keluarga yang sekarang menjadi barang langka bagi umat manusia.

Superstar di film ini adalah Max Records yang menjadi anak terasingkan, Max. Transformasinya ke anak bandel nan lucu diemban dengan sangat baik. Bukan tidak mungkin, Records akan berkembang menjadi aktor jempolan jika ia pintar-pintar memilih peran dalam karirnya. Pengisi suara para The Wild Things juga sangat pas. Sokongan suara dari Paul Dano, Catherine O'Hare, Forest Whitaker, James Galdolfini dan Chris Cooper cukup membantu dalam membangun suasana seru, menegangkan, dan mengharukan. Poin plus juga harus disematkan kepada para ilustrator musiknya. Berkat mereka, alunan music scoring menjelma menjadi pengiring adegan dengan sukses. Sekali lagi, Jonze sukses menggarap dan memuaskan para fans-nya dengan sajian berkualitas berbintang lima. Sayangnya, hingga sekarang filmnya belum ada yang cukup memuaskan dari segi finansial. Semoga, kelak ia akan mendapat kesempatan itu.

Rumah adalah tempat yang paling magis dalam membombardir sebuah kiasan keutuhan. Kadang, seseorang yang haus akan kebersamaan rumah tangga sering mensalahartikan situasinya. Karena, sikap sebuah cinta dan kasih sayang antar keluarga bukan hanya datang dari sogokan materi belaka, tapi juga dengan sikap nyata si bersangkutan.

Kramer vs. Kramer (1979)


Director : Robert Benton
Cast : Dustin Hoffman, Meryl Streep, Justin Henry, Jane Alexander
Rate : 4/5

I love you Billy.
Itulah kalimat awal pembuka film ultradramatik dengan penampilan super ciamik dari para aktornya, yang diutarakan oleh Joanna, ibu Bill.

Ted Kramer dan Joanna Kramer sudah berkeluarga lebih dari 5 tahun yang ternyata dirasakan kenegatifan oleh satu pihak yaitu Joanna. Tak begitu dipaparkan jelas di awal film, Joanna memutuskan pergi menjauh meninggalkan Ted dan Billy, sang anak. Padahal pada saat itu Ted sedang ada dalam masa jabatan yang sangat bagus sehingga tak mungkin bagi dia untuk mengurus anaknya seorang diri. Tapi, itulah kenyataannya. Berpindah keesokan harinya ketika Billy menanyakan sosok ibunya dan Ted harus bekerja ekstra mulai saat itu : memposisikan pekerjaannya sejajar dengan mangasuh anak semata wayangnya.

Hari-hari pertama jelas Ted merasakan kesusahan akan menjaga Billy yang selayaknya anak umur 5 tahun yang bertingkah aneh dan tak mudah ditebak apa maunya. Pada waktunya duo ayah-anak ini menemukan 'kemistri'nya dalam menjalani hari bersama, terlihat dari sang ayah yang mengawasi si anak belajar sepeda hingga ketika Ted harus menggendong anaknya berlari menuju rumah sakit akibat kecelakaan yang menimpa Billy. Adegan itu membuktikan begitu pahlawannya sosok ayah yang rela berkorban demi keselamatan sang anak.

Berganti hari, ternyata sang ibu kembali dan menghentakkan hati Ted untuk mengambil alih hak asuh anak atas dirinya. Beribu-ribu kekhawatiran menimpa Ted mengingat jikalaupun akan dibawa ke ruang sidang, dia akan kalah telak. Berdasarkan asas hukum, anak seumur Billy kans diasuh ibunya sangat besar, ditambah lagi di saat yang bersamaan dia ada masalah dengan pihak kantor yang menyebabkan dia harus out dan mencari pekerjaan baru. Proses di ruang sidang sangat mengagumkan dan menggetarkan, hingga tak sadar airmata juga ikut mengalir. Entah apa itu artinya.

Melihat sosok belakang layar yang mengatur jalannya film ini begitu manis-pahit adalah si Richard Benton. Sutradara sekaligus orang yang menulis dialog-dialog berkualitas, menyedihkan dan lucu. Terbukti ketika pada adegan di minimarket ketika sang anak meminta sereal, Ted bertanya : 'what color?'. Sebuah film dengan naskah bagus tak lengkap jika tanpa aktor-aktor mumpuni di bidangnya. Dalam hal ini 3 karakter sentralnya sangat berjasa besar. Ted Kramer yang diperankan oleh Dustin Hoffman dilakoninya dengan sangat apik.

Hal serupa juga dilakukan oleh Meryl Streep sebagai sang istri. Wajar keduanya didapuk atas piala prajurit telanjang di bursa
Oscar. Para pendukungnya pun bermain mengesankan, Justin Henry yang memerankan Billy salah satunya. Dengan 9 nominasi Oscar dengan 5 dibawa pulang, wajarlah film ini berlenggang menjadi salah satu drama terbaik sepanjang masa. Bagaimana tidak, dengan kesederhanaan tampilan cerita film ini dimonopoli oleh kelihaian sang kreator serta para watak akting dalam penyajiaannya.

Jadi, apa mau di kata. Tuhan memang mempunyai rencana lain dalam bentuk apapun. Harapan besar-besaran keharmonisan rumah tangga harus pupus di kala salah satu pihak merasa tidak puas dengan hidupnya. Bukan tak mungkin, anak sebagai korban bakal luput dari perhatian. Walau tak selalu begitu.

My Name is Khan (2010)

Director : Karan Johar
Cast : Shahrukh Khan, Kajol
Rate : 3/5


Mr. President, my name is Khan. And i am not a terrorist. Tiba-tiba saja quote itu jadi terkenal seantero dunia. Setidaknya di Indonesia quote itu bergaung keras. Tentang apa film ini hingga banyak orang sedu sedan saat menonton ini, menjadi film terlaris India di peringkat kedua sampai teman saya berani mengatakan Forrest Gump-nya India. Jelas sebelumnya saya berekspektasi besar-besaran akan apa yang tersaji di film 2,5 jam ini. Mana lagi digembar-gemborkan permainan Shah Rukh Khan sangat memukau.


Filmnya sendiri berkisah tentang warga Islam India bernama Rizvan Khan penderita sindrom Asperger (di mana para penderitanya memiliki kesulitan dalam berkomunikasi dengan lingkungannya, sehingga kurang begitu diterima ) yang dari kecil sudah menunjukkan bakat 'memperbaiki apa saja' sehingga bakatnya ini menjadi topang buat hidupnya di salah satu adegannya kelak. Singkat cerita, Khan hijrah ke Amerika untuk hidup sejenak bersama adiknya dan bekerja di perusahaannya.

Suatu hari, akibat ketakutannya akan warna kuning, ia dipertemukan secara sengaja oleh sutradara film ini dengan seorang janda beranak satu bernama Mandira. Pemberitahuan sebelumnya, film ini dikisahkan sebelum terjadi pemboman WTC.
Kawinlah mereka berdua hingga peristiwa 9/11 itu terjadi dan menyebabkan kuota 'Islam itu teroris' bersuara lantang. Berdampak juga ke keluarga baru Khan. Anak tirinya lantas menjadi sasaran empuk teman sekolahnya hingga ia harus bertaruh nyawa sekalipun. jelas Mandira tak terima dan mengkambinghitamkan Khan atas segala apa yang telah terjadi. Sejak saat inilah, quote awal review ini diperdengarkan. Dan menjadi sebuah janji mutlak untuk Khan agar kembali ke sisi Mandira. Saking cintanya, Khan tau harumnya parfum Mandira. Perjalanan dimulai, dan Khan bertemu dengan orang asing. Salah satunya Mama jenny yang juga mengalami keterpurukkan yang sama.

Itulah premis singkat film My Name is Khan ini, memang ceritanya masih panjang. Lebih nikmat lagi jika ditonton sendiri. Untuk sang sutradara Karan Johar, saya nilai ia sudah lulus memvisualisasikan ide orisinil ini ke pita seluloid. Sayangnya banyak hal yang terasa mengagungkan seorang Khan sehingga saya merasa Khan 'dipaksakan' menjadi pahlawan yang saya kira hal itu bisa diminimilir. Bukan apa-apa, untuk seorang Asperger bolehlah ia memiliki 'kelebihan' yang tak dimiliki orang normal. Tapi akan lebih normal lagi jika sosok Khan dibumikan berdasarkan realitas. Dan entah kenapa 40 menit pertama, film ini tak kuat menahan mulut saya untuk menguap. Untungnya humor di film ini lumayan renyah kalo tak mau dibilang biasa. Lebih dari itu semua, Johan telah berjuang keras.

Johan sendiri telah memakai sang aktor aktris utamanya sebanyak tiga kali termasuk ini. Dua lainnya adalah Kuch Kuch Hota Hai dan Kabhi Kushi Kabhi Gham (my favorit Bollywood movie ever !!!). Kajol dan Khan seakan telah cum laude atas arahan Johar sehingga film ini benar-benar mengukuhkan kebrilianan
akting keduanya. Khan apalagi, pengaspekan Asperger sangat meyakinkan dari body language hingga air muka. Ujungnya, film ini masih ada di bawah Gham, bahkan di bawah 3 Idiots jika dinilai dari segi fun factor. Mengasikkan memang jika menonton sajian berkualitas di bioskop dengan tampolan yang juga bagus. Sayangnya Khan tak sekualitas yang saya ekspektasikan sebelumnya.

Tiga Em

3 M di sini bukan tiga cara memberantas demam berdarah yang sering kita dengar di tv-tv ataupun tempat-tempat penyuluhan. 3 M yang saya maksud adalah 3 hal yang sangat saya gemari sekarang ini. Yang tiga-tiganya membuat hidup saya menjadi sedikit lebih berwarna dan bermakna. Mungkin agak aneh saya menulis tentang sesuatu yang umum, tapi nyatanya tiga hal ini berperan penting dalam membentuk jati diri hingga personality saya.

M pertama ialah Mathematic.
SD lalu saya belum begitu suka Matematika, bahkan ketika EBTANAS saya mengalami sakit hingga harus mengikuti ujian di ruang kantor guru. Alhasil, nilai saya waktu itu cuma CUKUP. Menyedihkan, tapi setelah itu saya lantas berjuang keras menancapkan janji bahwa Matematika bukan musuh, tetapi teman yang harus dikasih curahan lebih di antara pelajaran lain. Karena Matematika menantang dan 'menghibur'. Hingga ketika kelas 1 SMP caturwulan ketiga, seorang guru mengajarkan Matematika dengan telatennya. Mulai saat itu Matematika menjadi 'sahabat karib' yang tak lekang oleh waktu. Dari pelajaran ini saya sering mengalami hal yang menyenangkan, di antaranya dan yang paling utama adalah diajak mewakili sekolah untuk mengikuti lomba Matematika sekota Palembang. Walaupun belom ada kesempatan menang, setidaknya It gave me some experiences that i couldn't forget.
Banyak yang bilang Matematika adalah pelajaran yang menyeramkan dan 'membunuh otak'. Itu salah besar! Argumen itu keluar dari mulut orang-orang yang dari pertama telah menganggap Matematika sebagai momok yang menakutkan. Padahal sama sekali tidak. Saya berani bertaruh, jika fokus saja dalam belajar satu bab matematika, even kurikulum SD sekalipun, bukan tidak mungkin Matematika bisa menjadi 'wahana' yang sangat menyenangkan. Beberapa orang di sekitar saya sudah membuktikannya. Sebenarnya juga, Matematika sangat dibutuhkan sekali dalam kehidupan sehari-hari dengan adanya upaya berhitung dan lain hal sebagainya. Membuktikan, sampai kapanpun matematika akan tetap hidup sekalipun banyak musuh yang menjauhinya.

M kedua ialah Music.
Hal ini sebenarnya agak rancu untuk saya masukkan menjadi salah satu M yang paling favorit. Bukan apa, saya kadang agak kebosanan mendengarkan musik terus-terusan. Tapi tak saya pungkiri, bahwa musik menjadi lapisan kesekian yang membuat dunia ini lebih hidup dan indah. Melihat jagad musik sudah seperti angin yang ada di manapun, rasanya menjadi bagian penting dalam kehidupan bermusik adalah hal mutlak. At least, sebagai pendengar. Dulu sekali, saya suka mendengar musik. Tepat ketika saya masih bocah, karena pada waktu itu lagu-lagunya memang diperuntukkan anak-anak. Tak seperti sekarang, bocah diajarin menjadi cepat dewasa. Sedih rasanya, tapi saya bisa apa ? Hingga saya stagnan dan mandek mendengarkan musik untuk beberapa waktu. Hanya beberapa yang lagi in dan easy listening. Memasuki era baru ini, rasanya bodoh sekali jika tidak mau mendengar musik. Sekarang variasi jenis musik sudah banyak. Bahkan untuk domestik sendiri, musisinya sudah seperti lomba untuk menjadi yang TERLARIS bukan TERBAIK. Sebab itu, saya agak menyepelekan musik lokal yang memang keadaan kualitas tak sebanding dengan kuantitasnya. Memalukan ?? Bisa iya, bisa tidak. Tinggal pendengar yang menilai. Lanjut ke mancanegara, musiknya jauh lebih apik. Bukan maksud saya mengagungkan musik luar daripada musik dalam, tapi itulah keadaannya. Saya tak mau jelas-jelas berbohong. Musik luar negeri emang lebih berkonsep dan orisinil.
Contohnya, saya lagi tertarik dengan musik Angela Aki dari Jepang, Moby, Kasabian, Jason Mraz, James Morrison, Rihanna, Beyonce Knowles, Diana Krall hingga John Mayer. Masih ada lagi, tapi saya tak mau memaparkan lebih jauh karena adakalanya saya kurang memahami musik mereka juga. Satu hal lagi yang lagi dan yang paling penting saya suka musik karena musik adalah soulmate dari M selanjutnya, yaitu Movie. Sebuah film tak akan meriah tanpa sebuah musik, dalam hal ini scoring dan soundtrack. Sejatinya, musik adalah pelengkap yang paling sempurna untuk menjaga feel kita dalam segala situasi. Berjingkrak, menangis, tertawa bahkan walau hanya sekedar senyum.

M ketiga adalah Movie.
Saya mengartikan film adalah sebuah gambar gerak yang memotorik sebuah pesan moral hingga sampai di benak penonton. Seburuk apapun filmnya, moral lesson itu pasti ada. Dan itulah yang membuat film begitu penting dan personal dalam hidup saya. Beribu-ribu hal asing dapat saya ketahui lewat medium yang paling seru ini. Masalahnya, film harus menjaga idealisme saya agr tidak mengkonsumsi barang haram. Dan itu masih saya langgar, tak lain karena keterbatasan biaya dan ketersediaan film itu sendiri. Meyedihkan? Memang. Menyesal? Tidak juga, karena saya tau keterbatasan saya.
Balik lagi ke Movie. Momentum sebuah media yang mengharuskan saya berteriak, tertawa, menangis, terharu bahakn kesal dengan yang tersaji. Saya sangat terbahak-bahak kala menyaksikan 2 orang paling bodoh di muka bumi di film Dumb & Dumberer. Berteriak saat haru menyaksikan Jigsaw meremukredamkan korbannya di saga Saw. Menangis tersedu-sedu ketika menyaksikan miss-communication di drama paling apik dekade ini : BABEL. HIngga saya harus merasa kesal dengan para master minds yang mendukung sebuah film. O iya, lewat komuni film, sedikit banyak saya jadi tau perkembangan dunia perfilman mulai dari aktor, aktris, sutradara dan hal lainnya yang secara tak langsung membuat saya tidak begitu 'pe-a' di hadapan teman-teman saya. Lewat film juga saya bisa mendapat relasi yang sepaham, ilmu yang bermanfaat dan yang terpenting KEPUASAAN. Orang tua saya seringkali mengeluh dengan kebiasaan saya satu ini : membeli majalah tiap bulannya, vcd/dvd tiap minggunya hingga begadang hanya untuk menyaksikan 2 jam layar tivi. Untung saya punya alasan kuat untuk yang satu ini : saya lebih baik menghabiskan waktu dengan benda mati tapi bermanfaat daripada harus melakukan hobi lain yang mungkin saya tak suka dan menjadi jurang penyesalan saja. Terlalu serius sepertinya.

Itulah 3 M yang tak mungkin bisa lepas dari jiwa dan batin saya hingga berdekade-dekade ke depan. Susahnya adalah jika haru menjadi juri untuk memilah tiga hal tersebut dalam satu keadaan. Siapa yang saya pilih ? Lebih baik saya tidur.

Rain Man (1988)

Director : Barry Levinson
Cast : Dustin Hoffman, Tom Cruise, Valeria Golino, Boniie Hunt
Rate : 4/5

Tahun 1989 lalu di ajang Academy Award, ada sebuah film yang mengundang decak kagum para penonton dan kritikus hingga akhirnya diganjar piala untuk 4 kategori : Best Picture, Best Director, Best Actor dan Best Original Screenplay. Film itu adalah Rain Man.


Apa itu autisme? Austis adalah ketidakmampuan seseorang untuk beradapatasi secara sosial maupun komunikasi secara normal yang membuat seseorang tersebut terisolasi engan keadaan luar pada umumnya dan keluarganya pada khususnya. Mengapa saya membahas salah satu disorder ini, ya karena Rain Man berkutat tak jauh dari sifat autistis ini.

Film ini dimulai dengan tokoh Charlie Babbitt, seorang pengusaha sorum mobil yang sedang dilanda masalah keuangan dengan pihak sponsor yang bekerja sama dengan perusahaannya. Sosok Charlie Babbitt hidup dengan ketidak teraturan yang bahkan kekasihnya pun merasa kalau Charlie sosok yang menyebalkan. Suatu waktu, Charlie dihubungi oleh pengacara keluarganya bahwa ayahnya telah meninggal dunia dan menyuruh Charlie untuk datang. Selain untuk menghadiri pemakaman ayahnya juga ingin menjelaskan tentang harta gono-gini sang ayah.

Singkat cerita, Charlie mendapatkan sebuah mobil yang diidam-idamkannya semenjak kecil. Dan, satu hal yang membuat ia kaget adalah harta lain ayahnya sebesar 3 Milyar dolar jatuh kepada orang yang semula tak dikenalnya : Raymond Babbitt. Merasa sepeti dikadalin, akhirnya Charlie mencari tau sosok Raymond itu yang ternyata membuatnya semakin terkejut. Raymond adalah kakak dari Charlie. Karena memiliki pikirian licik akhirnya Charlie mengajak Raymond keluar dari Wall Brook dengan tujuan agar seluruh warisan yang dilimpahakan kepada Raymond bisa jatuh ke tangan Charlie. Satu hal yang penting, sekalipun Raymond adalah seorang pengidap autisme, tetapi Raymond ini sosok yang sangat pintar dalam berhitung dan lucu secara bersamaan.

Begitulah kira-kira premis yang dituturkan lewat film berjuta makna ini.
Dalam film ini, kita dapat mengetahui betapa pentingnya sebuah keluarga tanpa harus ditimbang melalui harta dan egoisme semata. Seorang Charlie yang awalnya pemberontak dan nyeleneh bahkan sukar menerima kakanya yang 'aneh' akhirnya terenyuh juga dari seluruh rangkaian perjalannya menuju Los Angeles. Oh ya, mereka akhirnya mengambil jalur darat setelah Raymond menjerit ketakutan ketika diajak naik pesawat. Banyak hal lucu dan mengharukan lagi yang dipaparkan film berurasi 2 jam lebih ini. Di antaranya ketika si Charlie bertanya kepada Raymond 'am i using u Raymond?' Dijawab Raymond 'yeah!' padahal sebelumnya Raymond tak pernah menyahut apa yang Charlie katakan. Raymond ini karena memiliki sikap yang impulsif sehingga membuatnya mempunya kegiatan rutin yang harus dikerjakannya tepat waktu. Seperti makan stik ikan 8 buah setiap hari Kamis, tidur selalu jam 11, dan lain-lain.

Sekarang kita lihat seluruh orang yang bertanggung jawab atas keberhasilan film ini. Dustin Hoffman yang berperan sebagai Raymond jelas menunjukkan akting kelas puncak sebagain seorang yang memeiliki keterbelakangan mental. Seluruh gesture dan mimik yang dia peragakan hampir atau bahkan sudah menyerupai seorang 'idiot'. Wajar saja jikalau kerja kerasnya ini dianugrahi patung Oscar serta beberapa piala dari ajang award lainnya. Siapa yang berperan sebagain Charlie? Tom Cruise, ya Tom Cruise. Saya yakin selain bermain di Magnolia dan Born on the Fourth of July Tom pasti bangga karena telah menjadi keluarga besar keluarga Rain Man. Permainannya di sini sangat adorable sekaligus memorable di setiap kesempatan. Mengukuhkan bahwa selain bermuka cakep ia juga piawai dalam urusan akting.

Pengejewantahan Barry Levinson sebagai sutradara di film ini juga patut diacungi banyak jempol. Karena berkat dia, cerita yang semula akan membosankan ini tak disangka akan menjadi salah satu tearjerker terbaik yang pernah dibuat. Bahkan kabarnya, film ini menjadi salah satu yang difavoritkan oleh Lady Di semasa hidupnya. Luar biasa!!!


Lantas, darimana datang judul film ini Rain Man? Rain Man adalah panggilan Charlie kepada Raymond ketika masih balita. Jadi, orang yang tak dikenal Charlie selama ini pernah hidup dengannya sampai ketika kecelakaan tak disengaja terjadi di antara keduanya. Sekali lagi : LUAR BIASA!

Misery (1990)

Director : Rob Reiner
Cast : James Caan, Kathy Bates, Richard Farnsworth, Layren Bacall
Rate : 3,5/5

Misery
adalah sebuah novel karangan Stephen King yang notabene telah menelurkan banyak novel sukses dan juga telah diubah mediumnya menjadi sebuah film. Pencapaian yang luar biasa untuk seorang penulis. Dan saya berharap kehidupan menulisnya tidak seperti yang terjadi di novel ini.


Seorang penulis kenamaan Paul Shedon pulang dari sebuah penginapan kecil guna menuntaskan novel lanjutannya, Misery. Ya, Misery adalah seri novel gubahan Paul yang sangat terkenal, sukses hingga memiliki penggemar yang melimpah. Tak diduga, perjalanannya tepat ketika badai salju sedang melanda daerah sekitar. Naas baginya, mungkin bannya terpeleset hingga mobil yang dikendarainya terjatuh hingga menimbulkan akibat yang tak diperkirakan sebelumnya. Untung (atau sial?), ia ditemukan oleh warga sekitar. Seorang wanita paruh baya yang ditinggal pergi suaminya. Sampai sini, kita belum diberi tahu siapa wanita ini sebenarnya. Setelah Paul siluman dari koma singkatnya, barulah diketaui bahwa wanita yang dikenal dengan nama Annie Wilkes ini adalah seorang penggemar fanatik dari Shedon. Karena yang tergeletak di ranjang adalah idolanya, dengan senang hati Annie 'mengadopsi' serta melayani Shedon dengan tanpa sungkan.

Sial kembali dialami oleh Shedon yang sadar jika Annie tak se-malaikat yang ia kira sebelumnya. Penolong yang semula sangat tangan terbuka, akhirnya membuka kedoknya sendiri bahwa dia adalah seorang psikopat nomor wahid di kota kecil tersebut. Barulah setelah itu, Shedon disiksa habis-habisan. Pertama, Shedon diberi obat yang sudah pasti obat yang memiliki efek negatif bagi tubuh si peminum. Lalu melontarkan kebohongan demi kebohongan yang akhirnya merubah muka sendu Annie menjadi wajah bertabiat bengis yang pernah ada. Serangan-serangan fisik dan psikis bertubi-tubi dilakukan Annie. Ditambah lagi Annie tidak menyukai karangan terakhir yang dibuat oleh Paul dan berniat untuk merombak semua isinya.

Dari premisnya saja sudah bisa ditebak kalau film ini akan menyisakan 'sesuatu' dibenak penontonnya. Setidaknya, setiap adegan mengerikan di sini pasti akan tertambat lama di kepala penonton. Bukan apa, selain ceritanya yang mampu berdiri sendiri, penampilan kelas kakap yang disodorkan oleh para aktornya benar-benar menghidupkan cerita yang atmosfir thrill-nya sudah terasa dari awal hingga akhir sekalipun ini. Duet Kathy Bates dan James Caan di seting mini benar-benar menyisakan sebuah kengerian yang tiada tara. Oke, terlalu berlebihan. Kengerian yang membuat The Eye seperti Scary Movie. Saya tidak sedang bercanda! Saksikan apa yang dilakukan Annie dengan palu raksasanya dan kepada sherif setempat kala menemukan Paul sedang membutuhkan pertolongan.

Semua itu berkat kerja keras dari Rob Reiner yang sebelumnya pernah sukses menggarap Stand By Me dan When Harry Met Sally serta kelak yang membuat A Few Good Men dan mengkolaborasikan Morgan Freeman danJack Nicholson di The Bucket List. Antusiasmenya menunaikan beban mentransfer lembaran kertas novel Misery menjadi sebuah film panjang patut dicungi beberapa jempol. Sangat thrilling dan psikotistik.


Miss film ini tak dapat dilepas begitu saja. Banyak hal bisa dikatakan menjadi kesalahan untuk film ini. Hal-hal teknis yang sepertinya tidak berpengaruh besar-besaran kepada film ini.

Layaknya seorang penggemar kepada idolanya, film ini memberikan pelajaran kepada dua pihak tersebut. Sebagai penulis, memang susah untuk menuruti semua kehendak fans tanpa harus mengorbankan idealisme dan kreatifitas yang ia punya. Dan untuk fans, ada baiknya peng-implementasian sikap kagum kepada idola bukan dengan cara yang kejam dan keji. Tapi, untuk kasus Misery ini sepertinya Annie Wilkes tidak mengindahkan atitude sebuah moral dan etisme dalam menjalani kehidupan.

Sabtu, 29 Mei 2010

Last Chance Harvey (2008)

Director : Joel Hopkins
Cast : Dustin Hoffman, Emma Thompson, Kathy Baker, Eileen Atkins

Rate : 3/5

Saya pikir film ini sangat under-rated dengan tidak adanya pemberitaan yang wah serta review yang tidak begitu bagus dari para kritikus. Padahal, jika ditelaah lebih lanjut film ini sangat manis dan berpotensi menjadi dwilogy Before Sunrise/Sunset versi usia tua. Last Chance Harvey menyajikan sudut pandang lain sebuah arti cinta dari penuturan kuat antar tokohnya.


Bermula dari Harvey Shine seorang penulis lagu iklan yang lagi bermasalah dengan kemonotonan pekerjaan yang dijalaninya serta berada di ujung pemberhentian kerja. Sedih memang, ditambah lagi di hidup sendirian di kota kecil. Pada saat sang bos berniat memberikan kesempatan (yang mungkin) terakhir baginya, ia ditakdirkan harus datang ke pesta pernikahan putrinya yang berada di London. Tibalah ia di ibukota Inggris itu. Lagi-lagi sedih dan kekecewaan menerpa Harvey ketika melihat bahwa sang putri telah mendapat pendamping di altarnya, ayah tirinya sekaligus suami dari ex-istrinya. Mengubur kekesalan yang tak dilampiaskan akhirnya dia memutuskan untuk kembali pulang ke kotanya. Oh, Harvey! Kedapatan sial lagi karena tiket ke kota yang dituju sold-out akhirnya Harvey menghabiskan waktu di sebuah bar di airport. Di situlah ia bertemu seorang wanita yang sebelumnya pernah berpapasan di boarding pesawat, Kate Walker.

Kate Walker adalah wanita karir yang sudah cukup berumur tetapi kesulitan dalam hal mencari pasangan hidup. Nah, semenjak pertemuannya dengan Hrvey yang ternyata klop, hingga akhirnya mereka berbincang-bincang. Uniknya, mereka masih di meja masing-masing tanpa berhadapan satu sama lain. Kedua anak Tuhan ini melanjutkan obrolan mereka ke tempat-tempat yang memang indah. Salut buat kreator yang memilih lokasi yang membuat film ini jadi semakin indah dan manis.

Joel Hopkins, dialah yang bertanggung jawab atas film ini. Walaupun masih terbilang amatir, tapi ia sukses membuat aktor sekaliber Oscar bermain bagus walaupun tidak bisa dibilang megah. Yang menulis naskah film ini juga Hopkins dan ia sukses mengatur kata-kata yang terlontar dari mulut tokohnya menjadi sebuah kalimat yang enak didengar dan penuh makna jika diartikan. Banyak adegan yang memorable di film ini. Seperti ketika Kate menemani Harvey bermain piano. Dustin Hoffman, peraih 2 patung Oscar dari Kramer vs. Kramer dan Rain Man menunjukkan kualitas nomor satunya. Sekalipun ia bermain ringan, namun hawa raksasa akting terlihat sangat jelas di raut menuanya. Pun yang ditampilkan oleh Emma Thompson sebagai Kate. Rombakan batin dan emosi memang ia transfer dengan penuh kejiwaan. Memang enak melihat film ringan tapi dipenuhi dengan akting yang megalomia. Laiknya The Bucket List yang cupu tapi tetap enak ditonton akibat sokongan hebat dari Morgan Freeman dan Jack Nicholson.

Akhirnya, saya memang harus bilang. Cinta itu nyatanya tidak mengenal usia dan tempat. Meskipun beda kota bahkan negara jika Tuhan telah menarik lurus di antara keduanya, bukan hal mustahil beda jarak dan usia itu tetap saja harus ditemukan. Jadi, jangan takut dengan cinta. Umur tua bukan kartu mati untuk berhenti mencari pencerahan untuk mencari pendamping hidup.

Cin(T)a (2009)

Director : Sammaria Simanjuntak
Cast : Saira Jihan, Sunny Soon
Rate : 3/5

Perhatikan poster film ini baik-baik, minimalis tapi terkesan cantik dan penuh arti. Sebuah film yang tak diduga-duga menggelegar di tahun lalu berkat penceriteraan yang aduhai serta sinematografi yang boleh dibilang tak-amatiran. Sebuah film yang memang layak diberi kredibilitas tersendiri di perfilman Indonesia di tengah serbuan setan-setan yang tak habis ide untuk dibuat film.


Cin(T)a, film yang secantik font judulnya. Annisa, mahasisiwa arsitek yang juga seorang artis penuh masalah. Merasa bimbang dengan apa yang ia lalui sehingga membuat apa yang ia lakukan selalu dianggap salah di mata orang-orang sekelilingnya. Ada lagi tokoh Cina (ya, namanya memang Cina karena keturunan Cina dan ada hal unik dibalik pemberian namanya) mahasiswa arsitektur juga, tapi beda tingkat dengan Annisa. Awal pertemuan yang menjengkelkan bagi keduanya perlahan menjadi pertemananyang dilalui dengan intrik sosial. Lucu, unik, bersahaja hingga pakem dalam berkata. Cina akhirnya menjadi mentor Annisa dalam mengerjakan TA-nya. Dari perguliran adegan inilah, keduanya menemukan sesuatu yang sangat berharga hingga konflik besar-besaran menerpa perjalanan persahabatan keduanya.

Patut diingat, seting film ini adalah saat pemboman gerja di Indonesia bahkan dunia sedang marak-maraknya. Jadi, dengan latar belakang kejadian tersebut propaganda yang dialami dunia juga dialami oleh pergolakan batin kedua karakter utama ini. Jauh sebelum itu, kisah persahabatan antar keduanya sudah seperti seorang kekasih yang masih dalam tahap wajar dan sopan. Lucunya, walaupun sering saling berargumentasi, dialognya hampir selalu dimenangkan oleh Annisa entah dalam hal apapun. Kembali setelah adegan klimaks (yang juga anti-klimaks), Annisa dan Cina mengalami kesenjangan sosial yang mengakibatkan kerenggangan di antara keduanya tak bisa dielak lagi. Menyedihkan memang, kekontrasan sebuah hidup bahkan timbul dari diri kita sendiri jika kita tak mampu mengontrol segala sesutu yang masuk dalam hidup kita.

Saya ingin memberi salut atas 3 hal di film ini sekaligus ingin sedikit kritik atas 2 hal. Pujian pertama dan yang paling inti ialah naskah. Sebuah naskah yang sangat brilian, memorable dan berjuta-juta asumsi yang bisa diambil dari tiap penggalan kalimat yang terlontar dari mulut si pemeran. Benar-benar luar biasa dalam. Sangat jarang menemukan film yang di dalamnya kita diberikan pelajaran berharga dari kata-kata biasa yang dirangkai menjadi kesatuan kalimat yang indah untuk ditelisik. Pencapain puncak dari seorang amatiran, katakanlah begitu. Lagi soal musik (yang juga menjadi salah satu kelemahan di mata saya), lagu-lagu hingga score yang mengalun sepanjang film ini sangat easy-listening sekaligus pas memadumadankan dengan setiap adegan. Terima kasih buat Homogenic yang berperan besar dalam hal ini. Satu lagi talenta besar Indonesia yang tak terlihat oleh pengamat musik lokal. Sayang sekali. Hal ketiga adalah sinematografi, DoP film ini sukses besar merangkai setiap potongan gambar menjadi cerita yang utuh. Uniknya,di film ini yang in-frame adalah Annisa dan Cina. Jadi seluruh ektrasnya out-frame. Lucu dan jarang terjadi.

Sisi minus dari film ini saya lihat dari sound editing dan akting yang sebenarnya bisa dimaafkan mengingat film ini berangkat dari 'gelar' independenitas dengan segala budget yang minim. Pemeran Annisa dan Cina sudah bermain dengan poin cukup kalau tak mau dibilang jelek. Bisa dimaklumi karena keduanya masih memiliki secuil talenta di bidang ini dan sutradaranya jelas memiliki alasan yang pasti mengapa keduanya dipilih. Namun saya berpikir, sekalipun dipasang pemain kaliber piala Citra pun film ini tak akan menjadi lebih baik malah akan jatuh over-rated. Terakhir masalah edit suara, benar-benar kacau. Tempuran dialog Annisa dan Cina dengan score maupun lagu tema sangat tumpang tindih yang menyebabkan sura yang didengar agak sedikit mengganggu dan kurang jelas. Sekali lagi, hal itu bisa ditolerir meskipun hal tersebut juga tidak bisa dijadikan alasan mutlak atas kelemahan yang timbul dalam membuat film.

Why would God create us differently if God wants to be worshipped in one way? Yah, masalah cinta beda agama yang sangat sensitif di bumi pertiwi tercinta ini. Yang dengan lugas dituturkan dengan bahasa lembut dan penuh arti. O ya, di film ini juga dijejali potongan komentar pasangan yang menjalin hubungan beda agama. Kreatif!
Kembali lagi ke soal cinta dan beda agama. Kedua hal tersebut tidak bisa dianggap harga mati tetapi juga tak bisa diacuh begitu saja. Dari satu sisi, dengan pondasi agama masing-masing menyebabkan dua anak manusia terpaksa menahan cinta bergelora tiada tara. Di sisi lain, dengan cinta yang berapi-api kadangkala lupa jika kita masih memiliki agama masing-masing sebagai pondasi tersebut.