Sabtu, 26 Juni 2010

Coming Home (1978)

Director : Hal Ashby
Cast : Jon Voight, Jane Fonda, Bruce Dern, Penelope Milford
Rate : 3,5/5

Lagi-lagi sebuah film lawas yang menceritakan sekelumit tentang Perang Vietnam. Meski tidak digambarkan secara gamblang perang itu sendiri, tapi Coming Home menegaskan sisi lain dari esensialitas sebuah perang.

Sally Hyde adalah seorang istri yang suaminya bertugas meuju medan perang guna membela bangsa dan negaranya, Capt. Bob Hyde. Sungguh sedih memang, mengingat Sally menginginkan Bob selalu ada di sampingnya. Kepergian Bob juga dirasakan oleh teman baru Sally, Vi Munson, yang ditiggal perang oleh kekasihnya. Lagi, Vi memiliki cobaan yang lebih berat karena sang adik menjadi gila akibat peluncuran prang tersebut. Untuk mengisi kesehariannya, Sally menancapkan niat untuk menjadi sukarelawati di sebuah kamp yang merawat para korban perang.

Di situ, ia dipertemukan oleh si penulis naskah dengan seorang mantan pleton, Luke Martin yang memiliki sikap keras, sekenanya dan idealis. Luke agak kurang setuju dengan apa yang ia rasakan selama ini. Di pikirannya hanya, mengapa konflik antar bangsa harus diselesaikan dengan jalan kekerasan. Dengan itu, tak terelakkan lagi, para korban berjatuhan. Ia mengajarkan para seniornya untuk mengerti sebuah jalan perdamaian yang tidak saling merugikan. Lanjut lagi, Luke dan Sally tak butuh waktu lama untuk menjalin persahabatan dan merajut kisah cinta mengingat lagi mereka pernah satu sekolah. Tapi aneka ragam menuju sebuah cinta itu patut diikuti karena sang kretor tidak serta merta menyajikam kisah cinta yang menye-menye. Melainkan sebuah kisah cinta dengan balutan romantisme orang dewasa.

Hal Ashby bertanggung jawab atas semua karnyanya ini. Di tangannya, Coming Home bukan hanya film berlatar belakang perang, tetapi lebih kepada bagaiman perang itu membawa dampak pos-neg kepada para marinirnya. Menyedihkan memang, jika harus meilihat kenyataan jika perang bukanlah satu-satunya jalan memperoleh kedamaian. Serta lewat karakter Bob Hyde, pemirsa bisa berpikir bagaimana perasaan seseorang yang merasa bersalah atas apa yang telah ia perbuat. Sekalipun ia mendapatkan medali emas dari itu. Bruce Dern dalam hal ini dengan jenius menerjemahkan tokoh Bob. Tapi yang paling hebat adalah Jon Voight dan Jane Fonda yang sukses Fonda akhirnya merenggut piala Oscar atas perannya. Dengan emosi yang pas, mereka mentransfer perannya dengan penuh jiwa dan menggugah siapa saja yang menontonnya.

Meski background-nya perang, tapi film ini tak satupun menampilkan aegan peperangan. Itu tadi, Hal Ashby lebih menekankan pada perang batin tentaranya sebelum dan setelah perang tersebut. Tokoh Luke Martin dan yang lainnya mewakili bagian sesudah perang itu. Melihat hasil yang diperoleh, jelas mereka tidak menyetujui jika proses ini terus dilakukan berulang-ulang di masa mendatang. Sayangnya, film ini agak sedikit kedodoran saat bagian dua orang memata-matai Luke. Entah apa hubungan serta motif mereka melakukan hal tersebut, meski diberitahu juga di ujung cerita.

Tapi, percayalah. Jalur damai itu memang menyenangkan. Dengan begitu, niscaya pertumpahan darah dan korban tak akan pernah terjadi. Lebih lanjut lagi, yang muncul malah sifat persaudaraan dan toleransi bilateral.

Scent of A Woman (1992)

Director : Martin Brest
Cast : Al Pacino, Chris O'Donnell, Phillip Seymour-Hoffman, James Rebhorn, Gabrielle Anwar
Rate : 3,5/5

Inilah film yang menghantarkan Al Pacino ke panggung Oscar sepanjang masa karir perfilmannya. Ironis memang, mengingat ia sudah mendapatkan banyak nominasi dan selalu dijagokan di setiap kesempatan. Memang unsur keberuntungan belum menyertainya hingga akhirnya ia membabi buta dengan peran butanya di film ini. Jika boleh ditelisik, Rob DeNiro yang satu angkatan dengannya sudah menggenggap 2 Oscar jauh sebelum Al merenggutnya. Apa mau di kata, sekali lagi, Pacino memang kurang beruntung. Dan asal tau saja, Al hampir di-KO oleh penampilan Robert Downey Jr, sebagai Charlie Chaplin nya di tahun yang sama.

Film ini mengetengahkan seorang siswa, Charlie Simms yang mengambil jam kerja di akhir pekan Thanksgiving Day. Tak dinyana, ternyata tugas yang harus diembannya adalah merawat seorang pensiunan Angkatan Darat yang menderita tuna netra, Frank Slade. Tetua ini bukan tipikal orang penyakitan yang akan berdiam diri. Dengan latar belakang pekerjaannya, ia berdiri menjadi seorang yang kuat, slenge'an serta susah diatur. Untuk menambah premis, Simms juga dihadapi sebuah masalah batin akan tindakan temannya di sekolah tersebut.

Ternyata, Slade telah merencanakan sebuah perjalanan bagi mereka berdua tepat saat anak Slade juga liburan. Mereka ke New York. Di tempat inilah mereka akhirnya perlahan-lahan menguak sisi masing-masing. Tapi yang lebih kontras adalah perubahan sikap Frank atas kesendiriannya yang memuncak. Ada di salah satu adegan yang menyebabkan Frank berada di titik terlemah seorang manusia. Beruntunglah, Charlie dengan bijak bisa menetralisir semuanya.

Suatu penceriteraan yang manis dari sutradara Martin Brest yang kelak dikritik habis-habisan karena Gigli-nya. Martin di sini bukan hanya menegaskan sifat manusia dari 2 tokoh sentralnya, tapi juga memaparkan bagaimana hubungan pertemanan yang baik dari jangka umur yang terlampau jauh. Mutualismemu dari Charlie dan Frank sungguh nyata di depan mata. Frank yang semula bertindak sekendak hati akhirnya dengan wibawanya bisa nerima sebuah kenyataan. Begitu pula Charlie, hubungan sentralnya ini membuat ini berfikir ulang atas apa yang telah dan harus ia lakukan terhadap masalah di sekolahnya.

Lantas, arti judulnya sendiri melekat pada karakter Frank. Yang meskipun buta tetapi memiliki sebuah indera perasaan jauh lebih tinggi terhadap seorang wanita. Terbukti saat ia mengajak seorang perempuan tak dikenalnya untuk menari tango. Sungguh memorable, cantik dan apik dalam penyajian. Dan yah, raja dari film ini adalah Al Pacino. Peran orang butanya ini membuat ia menjadi salah satu aktor yang sanggup memerani karakter apapun. Sulit rasanya memikirkan aktor selain Al untuk menjadi Kolonel Frank. Rangkanya sudah menempel erat dengan jiwa Frank. Dukungan dari Chris O'Donnel juga cukup membantu. Oh ya, di sini kalian juga bisa melihat masa-masa awal filmografi seorang Phillip Seymour-Hoffman.

Satu kalimat dari mulut Al yang saya ingat di film ini : don't destroy, protect it, embrace it. It's gonna make you proud some day. I promise you. Itu ketika Al membela mati-matian Charlie yang sedang 'disidang' atas pengakuannya. Dan, moral lesson film ini bergaung keras di kala menontonnya. Hidup itu tetap suatu pilihan, tinggal kita sebagai si pemilih harus mengambil sikap yang benar agar pilihan itu tidak menjadi bumerang atau dampak negatif ke depannya. Film yang menyentuh juga memukau dalam banyak sisi.

Kamis, 24 Juni 2010

Alice (1990)

Director : Woody Allen
Cast : Mia Farrow, Alec Baldwin, Judy Davis, William Hurt
Rate : 3/5

Woody Allen gemar sekali membuat film dengan wanita sebagai metafora-nya. Dengan insting dan idealismemunya juga, wanita digambarkan sosok manusia yang memiliki banyak problem dalam hidupnya. Tapi penggarapan yang kelas satu, membuat seluruh karya 'kewanitaannya' menjadi tontonan yang menarik, menghibur sekaligus sukses menjadi cerminan seorang perempuan di kehidupan nyata. Dan satu hal yang sering kali dikupas Woody Allen lewat filmnya adalah masalah selingkuh yang kerap menjadi 'santapan' manis setiap manusia yang kurang kasih sayang.


Alice, seorang istri yang hidup apa adanya layaknya para sosialita. Belanja, mengurus anak dan sebagainya. Tapi suatu ketika ia mengalami sakit punggung. Datanglah ia menuju tabib, yang akhirnya diketahui bahwa penyakit itu hanya hasil dari kerja otak dan batin yang kurang sepadan. Dengan bantuan sang tabib pula, Alice menjalani 'kehidupan' barunya guna mencari sebuah kebenaran.

Sialnya, di kala ia mencurigai sesuatu hal kepada suaminya, ia malah terlibat affair dengan ayah teman anaknya. Mana lagi ia dalam keadaan stagnansi ide yang harus segera ia usulkjan kepada temannya yang bekerja di dunia pertelevisian. Imajinasi-imajinasi kecil Alice timbul dengan sendirinya yang akhirnya berujung kepada sebuah penentuan yang tak terpikirkan olehnya sebelumnya.

Mia Farrow yang berperan sebagai Alice memang telah berjasa besar. Alice di tangannya menjadi sebuah gambaran kecil seorang wanita yang memiliki rasa keingintahuan yang sangat besar. Ditemani dengan cast yang juga membantu, film ini akhirnya menyisakan sebuah kemanisan cerita dengan ending yang menggugah. Sayangnya hal itu terjadi hanya dibagian open-ending saja. Pertengahan film ini sungguh mengerikan. Maksud saya, Allen keteteran memposisikan sosok Alice di tempat yang semestinya. Ditambah lagi kemunculan beberapa tokoh sekali lewat yang lumayan mengganggu. Dengan itu semua, inti permasalahan tadi kurang terasa benar.

Mengingat skrip film ini hasil tangan Woody sendiri, saya akhirnya mengacungkan jempol juga. Tak mudah membuat sebuah film dengan fokus ke karakter wanita. Dalam hal ini, Woody boleh diberi kredit khusus. Juga ketelatenannya dalam mengolah masalah perselingkuhan menjadi menarik dan lurus tanpa harus bersifak menguliahi. Lihat saja filmnya yang lain seperti Hannah and Her Sisters, Melinda and Melinda, Match Point hingga yang terakhir Vicky Cristina Barcelona. Semuanya menganut pahan 'lust'. Dengan tone warna yang kelam, Alice menjadi semakin temaram segelap ceritanya sendiri. Juga pemasukan unsur majis yang saya kira sedikit dipaksakan dan kurang mengena.

Tapi akhirnya film ini hanya jatuh ke film biasa-biasa saja dengan tingkat permasalahan yang tidak begitu rumit hingga penonton gampang mencernanya. Dan juga pesan moral yang sangat penting dalam film ini sangat ditujukan kepada wanita yang telah dan akan berkeluarga. Perselingkuhan memang manis pada awalnya saja, ujungnya tetap saja menyakitkan. Untung saja dalam hal ini, Alice bisa mendiktenya dengan penuh harmonisasi tanpa harus ada yang merasa dirugikan.

Kamis, 17 Juni 2010

My First 3D Experience

Rabu malam, saya sudah mewanti-wanti akan kehadiran film paling sensasional tahun 2010 ini, Toy Story 3. Lantas saya memohon teman saya untuk segera meng-sms saya pagi buta sekali. Saya sangat tidak sabar untuk tau jadwal film tersebut. Tidurlah saya malam itu....

Paginya, tepat ketika menghidupkan handphone, saya mendapat dua pesan yang sama dari dua orang yang berbeda. Isinya kurang lebih seperti ini :

Toy Story 3 (3D) : 12.00 14.15 16.30 18.45 20.55

Sontak saya kaget. Bukan karena sudah tayang, tapi tulisan '3D' yang tercantum di dalam sms itu. Meminta konfirmasi kepada kedua orang yang bersangkutan, dan mereka tidak main-main. Langsung saja mata saya melek-belo saat tau akan kebenaran itu. Tapi, saya tidak terlalu antusias sekali karena belum menemukan kebenarannya.

Niat berangkat ke PIM 21 pukul 11.oo akhirnya saya majukan guna menghapus segala praduga selama beberapa jam pagi itu. Sampainya di sana, kondisi gerbang 21 sudah cukup ramai dengan pintu masih tertutup. Di pintu kaca itu ditempel 2 buah kertas yang bertuliskan kurang lebih seperti ini :

Mulai tanggal 17 Juni, PIM 21 menyediakan fasilitas 3D.

Hahahaha, saya tidak bisa menahan bahagia mengharukan kala selesai baca kalimat terakhir. Apa saya mimpi? Apa saya masih di atas kasur dengan mata terpejam menikmati mimpi indah ni? Yah, terkesan norak untuk beberapa orang, tapi bagi saya ini merupakan hari yang paling menyenangkan.

Setelah menunggu teman saya datang, akhirnya pintu dan dibuka dan saya bergegas menuju loket. Memilih tempat duduk bagian teratas saya pikir akan semakin membuat efek 3D-nya semakin mencengangkan. 30 menit berputar mall, akhirnya saat yang ditunggu tiba. Selepas merobek tiket, wanita karcis memberikan sepasang kacamata berlensa berwarna kepada saya dan teman saya. Jantung saya semakin deg-deg-an kala itu. Bagaimana tidak, ini merupakan kali pertama saya duduk di bangku studio bioskop dengan adegan layar yang seakan keluar seenaknya.

Film dimulai, saya pasang kacamata itu. 90 menitan lewat juga. Dan yang saya rasakan saat itu ada dua. Pertama, kesempatan yang sangat langka dan pengalaman yang sangat sangat sangat luar biasa. Keinginan yang terkungkung dalam mimpi akhirnya bisa direalisasikan pada dekade baru ini. Memang, animasi yang ditonton terasa lebih nyata. Kedua, setelah melepas kacamata 3D tersebut, saya mulai merasakan ketidaknyamanan di sekitar mata dan kepala saya. Kepala terus merasa pusing dan mata seperti setelah memakai kaca berlenca cekung. Mungkin karena efek warna yang dibiaskan dan perefleksian gambar yang membuat mata berkontraksi dengan sangat kuat. Mungkin begitu kejadiannya. Mata saya yang terkejut dengan pantulan warnanya seakan membuat gerak otot mata bekerja super keras. Sekali lagi, itu telaah saya saja.



Menyenangkan memang jika impian yang tak mungkin tersampaikan akhirnya bisa terwujud juga. Dalam hali ini 3D dengan Toy Story 3 sebagai filmnya. Nice and bad experience....

Red Cobex (2010)

Director : Upi
Cast : Tika Panggabean, Indy Barends, Aida Nurmala, Sarah Sechan, Cut Mini, Lukman Sardi, Revalina S. Temat, Niniek L. Karim, Shanty, Irfan Hakim, Edo Kondologit
Rate : 2,5/5

Me-review sebuah film Indonesia kadang kala bikin jengkel. Di satu sisi, jika film tersebut buruk, me-review-nya menjadi sangat membosankan dan waste my time. Tapi di sisi lain, saya juga harus menghormati dan menghargai sebuah karya anak nergeri sendiri. Jika bukan orang-orang pemuja film, lantas siapa lagi yang akan memajukan idustri perfilman Indonesia? Tapi saya tidak sepicik itu. Dan beruntunglah Red Cobex muncul di kala saya siap sedia di beberapa hal. Saya meonton Red Cobex ini setelah jantung saya dibuat melemah setelah Toy Story 3. Jadi, sebelumnya saya tidak berekspektasi yang gimana-gimana. Dengan begitu, sekalipun filmnya akan jatuh gagal tetap saya akan menerimanya dengan tangan terbuka. Itu tadi, karena saya tidak berpikiran film ini akan hebat. Titik.

Dengan amunisi para wanita sadis plus satu anak muda, geng Red Cobex menjadi yang terkuat di masyarakat. Mereka adalah Mama Ana dan anaknya Yopihe yang orang Ambon, Tante Lisa domisili Manado, Yu Halimah (Tegal), Bok Bariah (Madura) dan Cik Memey (keturunan Cina). Mereka ini sebenarnya berniat mulia. Memberantas kemaksiatan dan kejahatan yang sedang merajalela di lingkunan sosialitas sekitar. Sayangnya, kerja keras mereka ini diartikan lain oleh warga sekitar yang menganggap mereka super duper menakutkan dan hakim di tempat.

Setelah si Yophie bebas dan hidup menumpang di rumah temannya yang sedang ada intrik dengan sang istri, hidup Yophie semakin semerawut. Untunglah ia segera bertemu dengan seorang wanita dan akhirnya mendapatkan pekerjaan. Sebenarnya intrik film ini sudah ada sejak filmnya mulai. Sayangnya itu ditampilkan secara bertele-tele dan seakan dipaksakan. Banyak adegan yang juga terasa hambar dan rapuh dalam segi dialog. Joke yang dilontarkan kadang kurang mengena, hanya pas bagian-bagian akhir yang cukup menggigit. Upi seakan kehilangan arah dalam menyiasati kedangkalan skrip. Hingga kedodoran di sana sini semakin tak terelakkan.

Untuk urusan pemain, para anggota Red Cobex sukses menerjemahkan dengan cukup baik. Terlebih dari seorang tika Panggabean yang benar-benar berubah 180 derajat menjadi seorang wanita perkasa. Tapi yang menjadi scene-stealer adalah Shanty. Kemunculan Shanty di setiap adegannya sangat mengocok perut dan tidak terasa berlebihan. Sepertinya Shanty menemukan lahan baru jika kelak jalur musik tidak mendukungnya lagi. Permainan aktingnya semakin terasah dari film ke film. Indonesia telah menemukan permata terpendamnya di jagad perfilman dalam negeri. Lukman Sardi, Revalina S. Temat, Irfan Hakim dan Edo Kondologit bermain sangat sederhana.

Satu hal yang bisa dipetik dari film ini adalah ditekankannya semboyan Indonesia : Bhinneka Tunggal Ika. Seperti yang kita tahu, personil Red Cobex berasal dari berbagai suku tapi mereka saling mengerti bahasa satu sama lain. Sehingga mencerminkan bahwa perbedaan itu unik dan tidak ada apa-apanya jika kita tetap menjaga keharmonisan satu sama lain. Untunglah pesan itu sangat mengental di film hampir gagal ini. Selamat menonton!

Toy Story 3 (2010)

Director : Lee Unkrich
Voice : Tom Hanks, Tim Allen, Joan Cussack, Ned Beatty, Michael Keaton, Don Rickles
Rate : 4,5/5

Jika berbicara soal Pixar, tak mungkin jika tidak harus memuji setinggi langit karyanya. Perjalanan karir studio animasi ini bisa dikatakan selalu meningkat setiap Pixar menelurkan film baru. Dan tak dapat disangkal, palet animasi keluaran Pixar selalu menjadi yang terdepan. Dan tak heran pula jika film-film Pixar selalu menorehkan pendapatan yang selalu sangat memuaskan. Satu hal yang penting, Pixar dengan wibawa memoles animasi tersebut dengan cerita yang menyentuh, mendidik dan menghibur sekaligus. Oleh sebab itu, seluruh film dan karakter Pixar di dalamnya selalu digandrungi orang banyak. Muda dan tua. Bocah, remaja dan dewasa. Kali ini Pixar meneruskan 'barang lama' yang telah bersemayam selama bertahun-tahun. Dengan hanya menambah angka 3 di belakangnya, film ini melebihi kapasitas dari sebuah triloji. Sangat memukau mata dan bersahaja dalam moral tanpa terkesan menggurui.


Ceritanya hanya seputar Woody dan kawan-kawan yang hendak ditinggal Andy karena akan kuliah. Dengan kesalahtingkahan orang rumah, dengan tidak sengaja para mainan itu harus menempuh hidup baru di suatu pemukiman anak-anak kecil bermain. Saat itu, kelompok menjadi 2 kubu. Dan kesalahpahaman memecahkan mereka sehingga mereka harus mengetahui keadaan sebenarnya lewat gulirnya waktu.

Sekelumit ceritera anak-anak biasa yang mungkin tak akan percaya jika menjadi sebuah franchise yang sangat megah. Sejak kemunculan Toy Story pada tahun 1995, dunia diperkenalkan medium animasi yang membahana. Saat itu mereka terperangah dengan tingkah pola para mainan hidup. Tertawa lihat kelucuan mereka. Dan menangis terharu saat mereka mengalami sesuatu. Sungguh pengalaman yang luar biasa. Empat tahun berikutnya muncul kembali Toy Story 2 yang tak kalah bermutunya. Toy Story 2 seakan hanya menyambungkan tali keberhasilan yang didapat oleh Pixar sejak Toy Story bagian pertama. Dan sejak itu pula, mulai bermunculan film-film jagoan Pixar lainnya. Kumpulan serangga di A Bug's Life, monster unik-mempesona lewat Monsters, Inc., serta pencarian seorang ayah kepada anaknya di laut Atlantik nan indah dalam Finding Nemo. Sejak Finding Nemo, Pixar selalu mengoleksi Oscar lewat animasinya. Mulai dari Finding Nemo sendiri, The Incredibles, Ratatouille, Wall-E, hingga Up. Hanya Cars yang gagal diraih. Nyatanya, pesona Cars juga tak menurun. Lagi, Pixar selalu membubuhi sebuah animasi pendek pengiring setiap feature panjangnya. Yang hebatnya, berkualitas. Di Toy Story 3 ini, mini filmnya berjudul Day & Night yang lucu dan menggugah.

Kembali ke Toy Story 3, lewat film ini Lee Unkrich sebagai pemimpinnya sangat berhasil memanjakan penontonnya dalam banyak sisi. Dari soal animasi tidah usah diragukan lagi. Pe-render-annya sudah sangat halus. Pengimplementasian sangat nyata dan memukau. Walau tidak se-detail Wall-E yang benar-benar menakjubkan, tapi Toy Story 3 lebih kuat dalam karakterisasi. Semua tokoh mainan di sini memiliki 'tugas' yang cukup dan terkesan rapi. Tidak dipaksakan untuk tampil, tetapi setiap muncul selalu menggelitik. Kemunculan tokoh antagonis juga tepat sasaran. Tidak serta merta menampilkan sosok bengis, tetapi dengan sebuah boneka yang sempat diterlantarkan bolehlah sang boneka menjadi seorang (atau sebuah?) jahat. Dalam hal ini, penyuaraan sang aktor sangat membantu sekali. Tom Hanks dan Tim Allen masih sebagai juru kunci menghidupkan sosok Woody dan Buzz. Sama halnya dengan para pengisi suara lainnya. Satu hal lagi, mereka semua dengan sukses melontarkan joke-joke lucu buah pena John Lasseter, Lee Unkrich, dan Andrew Stanton. Para dedengkot Pixar sendiri.

Seperti yang saya katakan, Pixar selalu menyelipkan pesan moral yang mendidik sehingga penonton tidak hanya menerima animasi tok. Kepongahan seorang manusia dalam bentuk mainan ini sangat ditekankan sekali. Bagaimana jika situasi yang mengatur jiwa kita. Apa yang akan kita lakukan? Belum lagi, penuturan sebuah persahabatan yang tersampaikan dengan sangat baik. Menyokong ketegasan hati, hal yang sekecil apapun yang bersifat positif pasti akan menjadi modal penting. Satu lagi, sifat licik dan pendendam sangat tidak dianjurkan dalam hal apapun.

Saya sudah kehabisan kata pujian untuk film ini. Ditambah dengan bantuan 3D, efeknya semakin jitu. Terlepas dari 3D pun, Toy Story 3 adalah sebuah film yang sanggup menyertakan pelajaran penting di dalamnya tanpa harus membaurkan sisi komersialitas dan hiburan. Salah satu film terbaik sepanjang masa. Salah satu film yang akan dikenang setengah abad ke depan. Salah satu film yang akan menjadi bahan diskusi setiap membahas film berkualitas mumpini. Great!

Selasa, 15 Juni 2010

10 aktor dengan peran biopik terbaik periode 2000-2009

Niat awal menulis artikel ini sebenarnya sudah ada sejak awal tahun 2010. Dikarenakan terlalu banyak film biopik yang belum saya tonton, jadi artikel ini saya rekap dari semua film yang telah saya konsumsi. Maka, artikel ini hanya bersifat objektif, dan tidak bermaksud untuk menjadi acuan.

Film biopik sendiri bagi saya adalah sebuah medium film yang menceritakan secara singkat dan detail tentang seorang tokoh dunia. Mulai dari industri musik, perfilman, serta dunia entertainment yang lain. Rata-rata film biopik berisi agak kelam dan lama. Itu digunakan agar terlihat lebih mendetail dan bisa merangkum sepak terjang si tokoh dalam waktu singkat. Kadang, film biopik dirajakan di festival-festival dunia. Tapi ada juga yang gagal. Gagal di sini disebabkan oleh banyak hal. Mulai dari keaslian cerita si tokoh dengan kehidupannya, serta sisi akting yang dirasa sangat memagang peran kunci. Oleh sebab itu, perjuangan sang sutradara sangat harus dikeluarkan untuk mencapai hasil yang maksimal.

Terlebih itu semua, di sini saya ingin berpendapat dan mengancungkan jempol kepada 10 aktor terbaik pilihan saya. Melihat perubahan total yang mereka lakukan demi sebuah peran, sudah pasti saya akan mengapresiasikannya lewat sebuah tulisan. Antusiasme mereka dalam menghidupkan para tokoh dunia layak dijunjung setinggi langit. Sangat sulit memilah dan memilih kesepuluh aktor berikut. Sehingga dengan berat hati saya harus mencoret aktor-aktor berkualitas dari daftar tulisan saya. Seperti misalnya Bob Dylan versi Cate Blanchett, Kinsey versi Liam Neeson, Will Smith dengan Ali nya, hingga Meryl Streep di Julie & Julia. Dan, inilah mereka.

1. Sean Penn sebagai Harvey Milk di Milk (2008)



Seperti yang kita ketahui, Harvey Milk adalah tokoh perjuangan kaum gay yang mencoba mengubah nasib dengan cara masuk parlemen. Di film ini juga diceritakan secara singkat kehidupan cinta seorang Milk. Tanpa bergema secara kuat, Sean Penn yang memang aktor kelas A sanggup merubah image begadulannya menjadi sosok yang imut, lemah gemulai serta kuat dalam satu sisi. Gestur tubuh hingga air muka ia tunjukkan dalam penghidupan karakter Harvey Milk. Bahkan sah-sah saja jika patung paman Oscar kembali direbutnya.

2. Jamie Foxx sebagai Ray Charles di Ray (2004)



Dengan figur seorang musisi tuna netra, Ray Charles boleh saja menjadi agung di mata pemujanya. Tapi, dengan tampilan yang sangat meyakinkan dari seorang Jamie Foxx, seorang tenar semacam Ray bisa hidup kembali. Dengan tampolan make-up serta gerak akting yang apik, Ray Charles memang seperti re-inkarnasi lewat raga Foxx. Musikalitas yang memang sudah mengental di darah Jamie, semakin menyempurnakan tugas mengemban raga si pianis ini. Lagi-lagi, peran di film biopik kembali menoreh Oscar.

3. Marion Cotillard sebagai Edith Piaf di La môme (2007)



Penyanyi kawakan Perancis yang hidup di jaman Perang Dunia I, Edith Piaf kembali hidup pada tahun 2007 kemarin lewat pesona Marion Cotillard, aktris yang kelak menjadi pasangan Johnny Depp di Public Enemies. Marion bermain pada masa Piaf remaja hingga mendekati kematian. Lewat ini, Cotillard menyalurkan semua kemampuannya untuk menjadi seorang Edith. LIhat penampilannya berjalan di panggung, bernyanyi hingga ekspresi kesal, bahagia dan genit ia tampilkan. Membius semua mata yang menontonnya, dan menghipnotis agar tak tahu jika Piaf di sana adalah Marion. Sukses besar, hingga piala Oscar dibawa pulang.

4. Forest Whitaker sebagai Idi Amin di The Last King of Scotland (2006)



Seorang presiden otoriter pada jamannya, Idi Amin berlaku baik pada mulanya. Bahkan rakyat Uganda percaya penuh jika Idi Amin sosok pemimpin yang mulia. Naasnya, dengan berjalannya waktu Amin menjadi berang, bengis dan biadab. Aktor yang mampu menggerakkan si Idi dengan sangat meyakinkan ialah Forest Whitaker. Aktor yang dulunya jarang mendapat perhatian dan peran utama, tiba-tiba menggelegar dengan 'kekejaman' akting lewat film ini. Tensi yang menaik sepanjang film, disokong juga oleh pesona Forest yang hebat. Sangat riskan jika peran ini jatuh ke tangan kulit hitam lainnya, sekalipun Morgan Freeman atau samuel L. Jackson. Whitaker, you got an Oscar!

5. Phillip Seymour-Hoffman sebagai Truman Capote di Capote (2005)



Seorang penegak keadilan semisal Truman Capote memang agak aneh sebelumnya jika seorang slenge'an yang memerankannya. Tapi, Hoffman membuktikan jika ia mampu memainkan segala peran. Peran gay sekalipun. Dia tidak main-main dalam menerjemahkan figur Truman Capote dengan hampir sempurna. Layaknya Sean Penn, body language Phillip memang dipertaruhkan lewat peran emosional ini. Lantas saja, dengan keberhasilannya, Hoffman diangkat menajadi aktor serba-bisa di kalangan Hollywood. Sekali lagi, peran biopik menganugerahi sebuah Oscar.

6. Russell Crowe sebagai John Nash di A Beautiful Mind (2001)



Ron Howard membuat film ini dengan begitu indah tanpa harus melenceng dari kehidupan sang tokoh. Esensialitas dari sepak terjang John Nash berhasil ditangkap dengan sangat baik oleh Howard. Terlebih lagi Russell Crowe yang memainkannya, mulai dari kehidupan remaja hingga harus menderita schizophrenia, Crowe sukses membawakannya dengan sangat gemulai. Meski Oscar harus memberi pialanya kepada Denzel Washington, setidaknya paila Globe Emas masih bisa dibawa pulang.

7. Joaquin Phoenix sebagai John Cash di Walk the Line (2005)



Penyanyi musik country kondang, Johnny Cash, mengadu nasib lewat film keluaran 2005 oleh si Commodus di Gladiator. Joaquin Phoenix dengan antusiasme tinggi menjalani sosok Cash dengan sangat berjiwa. Terlebih lagi saat ia harus berakting bernyanti. Saya yang tak kenal Cash sebelumnya, mau tak mau harus enjoy menikmati lantunan musik khas Cash. Dibarengi akting Reese Whiterspoon yang ciamik, Walk the Line menjadi ajang pembuktian bagi Phoenix sebagai aktor serba-bisa. Globe di tangan, walaupun Oscar disabet oleh Phillip Seymour-Hoffman.

8. Leonardo DiCaprio sebagai Howard Hughes di The Aviator (2004)



Siapa yang bisa memerankan pesohor tengil, playboy, tampan sekaligus kaya raya lewat sebuah film? Mungkin hanya DiCaprio yang sanggup. Pertumbuhan akting yang mumpuni sejak Gangs of New York, memudahkan Leo dengan luwes memasuki alam Howard Hughes. Apalagi pada masa Howard mengalami suatu penyakit sosialisasi. Sekuens itu, banyak yang memuja perjuangan Leo di film besutan Martin Scorsese tresebut. Cate Blanchett yang menawan semakin membantu pergolakan batin Howard lewat DiCaprio. Ringkasnya, ini salah satu penampilan terbaik Leonardo di mata saya. Cukup Golden Globe, tanpa Oscar.

9. Cate Blanchett sebagai Queen Elizabeth I di Elizabeth : The Golden Age (2007)



Aktris mega-talenta ini memang telah terbukti sukses memerankan karakter apapun. Namun, lewat film ini ia mengukuhkan bahwa wanita Australia sanggup menjadi seorang ratu berkebangsaan Inggris. Aura british-nya sangat kental ditambah geak aktingnya yang menawan. Megalomia Aussie-British performance. Di tangan Cate, Queen Elizabeth terlihat lebih agung dan megah plus tampolan bedak yang pas menutupi wajah kecutnya. Sayanya, dua kali dinominasikan Oscar, 2 kali pula harus gagal. Satu direbut oleh Gwyneth Paltrow yang tak diunggulkan, satu lagi memang harus mengakui kehebatan Marion Cotillard.

10. Johnny Depp sebagai J.M. Barrie di Finding Neverland (2004)



Anda pasti mengenal Peter Pan bukan? Nah, pengarang Peter Pan ini dibuat biopiknya oleh Marc Forster dengan Johnny Depp dan Kate Winslet sebagai wayangnya. Permainan akting Depp di sini bisa dibilang yang terbaik sepanjang karirnya. Ia tidak serta merta didandan sedemikian unik. Tetapi, di film ini Depp benar-benar mengeluarkan aura seorang tokoh termahsyur. Bukti dan pencapaian yang sangat gemilang. Ekspresionis dari peran Jack Sparrow-nya. Dengan sumbangsihnya, Finding Neverland bolehlah menjadi film termanis dan terindah keluaran tahun 2004.


Itulah kesepuluh aktor dengan peran biopik terbaik di mata saya. Memang agak membingungkan mengapa sosok Helen Mirren di The Queen bisa terlewat. Nyatanya, Helen di situ tidak membuat saya berpikir jika seorang ratu begitulah kehidupannya. Manalagi saya harus menyingkirkan Morgan Freeman sebagai Nelson Mandela di list saya. Aktingnya bagus, tapi sayangnya penampilan kesepuluh bintang di atas memang di atas segalanya.


Sekali lagi, artikel ini hanya keluar dari sudut pandang saya sendiri. Tanpa ada maksud rasialis atau unsur fans, tulisan ini pure bentuk kepusaan atas performa kesepuluh aktor tersebut.

Film adalah satu-satunya media penyampaian pesan dan penokohan yang paling terperinci hingga keabsahan sebuah cerita sering kali mudah ditransfer. Lanjut ke sisi akting, tak jaang aktor yang memerankannya berhasi menggaet perhargaan dari ajang-ajang film dunia. Great!

Senin, 14 Juni 2010

Babel (2006)

Director : Alejandro Gonzales Innaritu
Cast : Brad Pitt, Cate Blanchett, Adriana Barazza, Rinko Kikuchi, Gael Garcia Bernal
Rate : 5/5

Mengamati film dengan isu global yang sangat gamblang memang dibutuhkan sedikit konsentrasi dan renungan. Renungan di sini dimaksudkan agak si penikmat tidak sekedar menonton tapi juga meresapi apa sari pati yang terserap dari sebuah film. Babel, adalah contoh mutlak bagaimana sebuah film yang sukses memproklamirkan pesan dan tujuan sang sutradara melalui petikan singkat kurang dari 3 jam. Babel muncul di tahun 2006 yang semula diisi dengan gegap gempita The Departed, visual perang berkualitas dari Clint Eastwood, serta disfunctional familiy di Little Miss Sunshine. Lebih hebat lagi, dari seluruh nominator Best Picture sepanjang karir Oscar, hanya Babel yang saya berani menorehkan nilai sempurna. 5 bintang dari 5, atau ponten 10 dari 10.

Brad Pitt adalah seorang suami dari Cate Blanchett, yang melakukan tur ke daerah Timur Tengah. Tak disangka, kejadian yang dilakukan oleh penduduk lokal merubah hidup mereka berdua. Penduduk lokal itu adalah seorang bocah penggembala yang memperoleh senjata mematikan dari ayahnya. Ia dan kakaknya semula tak berpikir jika hal iseng itu berakibat fatal. Bahkan dengan segala kecemasan, mereka malah sanggup berbohong guna menyelamatkan hidup mereka sendiri. Benang merah film ini mengaitkan empat cerita yang berdiri sendiri menjadi sebuah rangkaian paralel secara utuh.

Ayah si penggembala mendapatkan senapan dari seorang pemburu berkebangsaan Jepang. Pemburu ini mempunyai anak perempuan. Sedihnya, anak perempuan ini mengidap penyakit tuli yang menyebabkan ia susah berkomunikasi di kota tersebut. Ditambah kematian ibunya, lantas kehidupannya di kota metropolis itu dianggap sebagai hantaman yang paling berat.Bagian lainnya, seorang pengasuh terpaksa membawa anak asuhannya ke negaranya untuk menghadiri pernikahan anak tercintanya. Kedua bocah ini tak lain adalah anak Pitt-Blanchett. Di tengah perjalan pulang, lagi-lagi masalah komunikasi mengakibatkan tokoh film ini menerima ganjaran hebat.

Melihat klimaks film ini, saya berani bilang : tanpa efek dan baku hantam yang mebabi buta, film ini sanggup menuangkan klimaks high-tense. Pergolakkan bati dari seluruh karakter inti di film ini menjadi kunci mati bagaimana film ini sangat menawan. Melihat setiap permasalahan yang rasanya lebih baik bunuh diri itu, sang sutradara dengan jeli membelokkan pemikiran itu. Bunuh diri adalah bukan jalan terbaik! Sutradara Innaritu sekali lagi membuktikan bahwa film antologi bisa menjadi alternatif dalam menyampaikan pesan moral. Sejak sukses dengan Amores Perros dan 21 Grams nya, melalui Babel, Alejandro Gonzales Innaritu semakin memantapakan eksistensi di dunia perfilman Hollywood, bahkan dunia. Kepiawaiannya mampu membuat aktor-aktornya bermain dengan sangat gemilang. Ditambah lagi buah pena Arriaga yang sangat brilian, menghidupkan konjugasi komunikasi dengan latar manusia sebagai korbannya. Super salute, saya sematkan kepada Santaolalla. Berkat iringan musiknya, film ini jelas lebih berjiwa dan dalam.

Menyaksikan Brad Pitt sebagai suami yang melihat istrinya menderita, saya jadi berpikir. Inilah peran yang paling mulia yang pernah ia lakukan selain di Seven Yeras in Tibet. Performa aktingnya sangat memperngaruhi bagian cerita yang ada dia di dalamnya. Cate Blanchett tak kalah hebat. Hanya dengan meraung kesakitan, kita seolah diajak merasakan kepedihan Babel ini. Acungan jempol lagi buat Adriana Barazza dan Rinko Kikuchi yang dengan apiknya merubah image tokoh menjadi sangat di-iba-kan. Tak salah, jika karena kerja keras itu, mereka diberi penghormatan berupa nominasi Best Supporting Actress oleh juri Oscar. Sangat jarang melihat film dengan ensemble cast begini. Sangat sukar mencari kesalahan film ini. Saat hendak merasakan miss apa yang saya cari, tiba-tiba saja adegan iris nadi muncul. Makanya, saya tidak takut menyatakan film ini sebagai film terbaik sepanjang masa versi saya.

Film ini telah merubah pola pikir saya akan sebuah pentingnya komunikasi. Mengupas ke bagian paling dalam bagaiman tutur kata bijak sangat diperlukan bagi kelangsungan hidup manusia. Serta kesinambungan antar manusia itu sendiri. Rasialisme yang masih menjadi PR penting sekarang ini, perlahan tapi pasti menjadi sebuah propaganda penting dalam menghancurkan kerukunan. Oleh sebab itu, film ini menyetir penontonnya bagaimana jika komunikasi yang tak benar, bisa saja menjadi peluru buat kita yang tak paham.

The A-Team (2010)


Director : Joe Carnahan
Cast : Liam Neeson, Bradley Cooper, Jessica Biel, Quinton Jackson, Sharlto Copley, Patrick Wilson
Rate : 3/5

Sebuah film yang beranjak dari sebuah serial tv kadang sering dipertanyakan kualitasnya sebelum film tersebut beredar. Kasus Charlie's Angels dan Miami Vice tak ada bedanya. Meski menggondol banyak pemain bagus, toh orisinalitas filmnya sulit menyamai pesona serial aslinya. Meski saya tidak menonton langsung seri tersebut, bukti lapangan telah mutlak mengatakan bahwa film re-inkarnasi dari serial tak kunjung mendapat review positif. Tahun 2010 ini, dengan sutradara penghasil Narc dan Smockin' Aces mencoba membangun karakter tivi ke sebuah feture panjang. The A-Team namanya. Banyak orang yang mewanti-wanti apakah film ini akan sejajar dengan seri tv-nya. Anda bisa buktikan dengan menontonnya.

Rombongan ahli penyamaran yang dipimpin oleh Hannibal Smith harus menyelamatkan sebuah plat dari tangan oknum tak bertanggung jawab. Dibantu oleh kolega seide yang antara lain Face, Baracus, serta Murdock, mereka berempat harus ekstra power guna mencapai tujuan yang diinginkan. Proses melarikan diri keempatnya patut ditunggu dan dinikmati. Karena sesi ini, ditunjukkan sekali jika ini adalah sebuah film aksi yang bisa saja menggunjang adrenalin si penonton. Jurus hantaman, serta teknik dar-der-dor boleh dibilang cukup enak didengar, meski dentumannya kadang membuat capek telinga.

Lanjut ke film, keempat orang ini tentu saja harus bersaing dengan kanan-kiri pengacau. Yang itu tadi, se penjahat hanya mengincar plat berharga yang menjadi tawanan itu. Di samping itu, para The A-Team dibantu oleh wanita jagoan Charisa Sosa yang semula sempat tidak percaya atas kinerja The A-Team. Dengan komposisi yang hampir sempurna untuk sebuah regu, The A-Team dengan segala cara dan kesempatan menyingsingkan lengan baju demi plat yang jadi rebutan. Begitu kurang lebih inti plot film The A-Team ini.

Bagi Joe Carnahan, film ini bisa menjadi pembuktian kepada khalayak ramai bahwa ia juga bisa sukses mengubah pola serial tivi menjadi tontonan yang menyenangkan lewat pita seluloid. Setelah matang baku hantam di Smockin' Aces, kerjanya di sini seolah hanya meneruskan saja. Penampilan Liam Neeson dan Bradley Cooper sebagai Smith dan Face juga enak dilihat. Mereka merepresentasikan karakter mereka dengan sangat baik. Saya menilai, ini adegan di film aksi terbaiknya setelah di Stealth. Begitupun dengan Sharlto Copley. Setelah angkat nama lewat sci-fi mencekam District 9, penampilannya di The A-Team boleh dibilang sebagai pembaharuan. Konyol, unik dan 'gila' dalam satu paket. Sayangnya, performa Quinton sebagai Baracus agak terpeleset sedikit. Walaupun sudah didukung dengan celetukan lucu, tetap saja tidak bisa menopengi keparahan aktingnya. Memang susah untuk berakting serius di film action dengan layar hijau sebagai latarnya. Naskah yang ditulis oleh seperempat lusin penulis ini juga cukup apik, cukup berisi dan cukup mengena.

Sayangnya, The A-Team tidak menghadiahi penontonnya dengan serbuan pesan moral yang mendalam. Hanya memfokuskan pelarian, penyelamatan serta tempuran yang tak henti-henti. Hingga porsi untuk membuat penonton berfikir sedikit terabaikan. Oh, ya. Saya baru ingat. Ini summer movie kan? Kalau begitu, hal ini dimaafkan. Saya juga harus berterima kasih kepada komposer musik film ini. Berkat beliau, film ini menjadi lebih memiliki adrenalin. Serta tata kamera yang menyorot adegan per adegan menjadi lebih terperinci. Liat saja adegan siasat melarikan diri mereka. Keren dan tak kacangan.

Melihat tanggal 14 Juni yang masuk kategori film 'berefek spesial tinggi', sepertinya The A-Team berhasil masuk golongan menghibur. Meski tak dibarengi dengan sisi drama yang baik, setidaknya film ini tetap berdiri sendiri dari 'petua'-nya. Satu poin penting, Patrick Wilson sangat mampu mencuri perhatian.

Sabtu, 12 Juni 2010

Good Morning, Vietnam (1987)

Director : Barry Levinson
Cast : Robin Williams, Forest Whitaker, Tung Thanh Tran, Bruno Kirby, J.T. Walsh
Rate : 3,5/5

Latar belakang perang Vietnam rasanya menjadi bumbu paling sedap untuk perfilman Hollywood periode 80-an. Bagaimana tidak, dengan film berisi seperti Platoon, The Thin Red Line hingga Apocalypse Now rata-rata berkutat seputar Perang Vietnam. Hebatnya, rata-rata film perang seperti itu memiliki kualitas yang mumpuni. Kali ini, Barry Levinson, sosok yang pernah mengharu-biru lewat Rain Man, membuat komedi-drama mengenari perang di salah satu negara Asia Tenggara ini. Dengan CV-nya yang selalu memuaskan semua pihak, Good Morning, Vietnam memberikan penyegaran lain di klasifikasi film perang.

Seorang disc jockey yang lucu, semangat 45 serta tabah, Adrian Cronauer ditugaskan di Saigon guna menghibur para serdadu perang. Kehadiran beliau memang memberikan penceriaan lain, sehingga gelak tawa yang sebelumnya asing di pangkalan, menjadi menu wajib tiap pagi di sana. Jargon Good Morning, Vietnam! menjadi salah satu yang populer di sana. Adrian berteman dengan seorang tentara legam Garlick yang juga humoris dan mendukung seratus persen apa yang Adrian lontarkan lewat joke-nya. Sayangnya, sang tetua tidak memiliki pemikiran yang sama. Karena menurutnya, lelucon konyol dari Cronauer agak melenceng dengan apa yang ia pahami.

Adrian menghiasi hidupnya dengan berteman dengan pemuda lokal yang adiknya tak lain menjadi incaran Adrian. Pertemanan beda ras ini semakin meluber oleh keseharian masyarakat Vietnam yang diajarkan oleh si pemuda. Hingga pada saatnya timbul suatu propaganda yang menyebabkan keduanya harus merenggang sejenak. Sampai pada suatu saat, Adrian dibebastugaskan dan dimandataris oleh sang tetua. Kegigihan dari seorang Adrian serta sokongan dari para tentara akhirnya kembali membakar semangat menggebunya untuk tetap menjadi penghibur di latar perang tersebut.

Ada hal unik, saya harus tiga kali mengulang film ini karena dua kali mengalami kejenuhan hingga harus dilanjutkan di hari esok. Ternyata, kejenuhan yang hinggap di awal, terobati kala menit-menit selanjutnya menampilkan salah satu performa terbaik Willliams. Tak salah jika penampilan kelas beratnya ini dihargai nominasi Oscar pertamanya bahkan memperoleh piala Golden Globe kategori Best Actor in Musical/Comedy. Robin juga menambah koleksi nominasi Oscar-nya lewat Dead Poets Society, The Fisher King dan akhirnya menggondol piala juga lewat Good Will Hunting.

Isu rasialisme yang melekat di film ini juga ditunjang dengan kehebatan sang penulis naskah dan sang sutradara sendiri. Barry Levinson berhasil mengarahkan dan memanfaatkan talenta Robin Williams dengan maksimal. Hingga, pengejewantahannya diisi oleh akting megalomia dari Robin. Forest Whitaker juga begitu. Aktor yang kelak menjadi Idi Amin ini sedikit banyak menelurkan akting bagus pula. Satu hal lagi, sinematografi yang menggugah rasa sukses ditangkap oleh Peter Sova. Panorama kota Saigon di-close dengan pewarnaan yang indah. Lagu-lagu penghantar film inipun bekerja dengan baik dalam menyambung benang adegan-adegannya.

Tidak bisa berkata banyak, film ini telah memberikan semuanya untuk masuk golongan tontonan baik dari segi moral serta secara filmnya sendiri. Jika Anda memang sorang penonton yang lapar akan mutu serta permainan apik aktornya, film ini bisa segera dilahap.

Minggu Pagi di Victoria Park (2010)

Director : Lola Amaria
Cast : Titi Sjuman, Lola Amaria, Donni Damara, Donny Alamsyah
Rate : 3,5/5

Konon, Tenaga Kerja Indonesia atau bekennya disebut TKI adalah sumber devisa terbesar nomor 2 bagi Indonesia. Fakta itu benar adanya. Mengingat TKI sudah menjadi pekerjaan alternmatif bagi warga Indonesia khusunya wanita yang merasa 'kurang' dengan apa yang ada di Indonesia. Pekerjaan yang tidak mudah, karena harus melewati rentetan persyaratan jika memang harus 'melancong' secara ilegal. Frase inilah yang membuat Lola Amaria untuk berusaha keras menyalurkan idealisme nya dalam membuat film mengenai TKI di Hong Kong, khususnya.

Mayang, gadis desa yang menyeberang lautan guna mencari adiknya yang mengadu nasib sebagai TKW di Hong Kong, Sekar. Awalnya, kehidupan kakak beradik ini sempat berselisih akibar kecemburuan sosial yang dilakukan oleh ayah mereka. Berat sebelah istilanya. Sang ayah menyanjung setinggi langit si Sekar karena telah menjadi 'sesuatu' bagi keluarga. Kontras dengan sang kakak yang masih bekerja buruh di desa. Sampai di Hong Kong, Mayang lantas juga menjadi pembantu di salah satu keluarga nyambi tetap fokus kepada trujuan utamanya, mencari sanga adik. Di sana, Mayang dibimbing oleh 'mentor' Gandhi dan dibantu (juga dicintai) oleh Vincent. Melihat keteguhan Mayang, berbondong-bondong para TKI yang lain ikut membantu.

Peti akhirnya terbuka. Mayang sangat terpukul dengan apa yang ia lihat dengan mata kepalanya sendiri. Adik yang di matanya gadis lugu perlahan menjadi binal akibat paksaan ekonomi yang terus menghimpit. Film ini tak melulu menonjolkan konflik persaudaraan itu. Di sisi lain, para TKI yang juga merupaka teman Mayang juga memiliki penderitaan yang tidak ringan. Mulai dari telilit hutang, dimanfaatkan oleh turis hingga penyiksaan sang TKI oleh majikannya. Dengan penutupan konser dari band paling fenomenal di Indoneisa, hubungan darah Mayang dan Sekar kembali mengalir dengan riaknya.

Lola Amaria melakukan observasi yang tidak sebentar demi merampungkan film ini. Seluk beluk dunia per-TKI-an dijelajahnya dengan sangat baik sehingga apa yang tersaji di film berdurasi 90menitan ini terasa nyata. Bukan bermaksud menguliahi, Lola saya anggap berhasi menuangkan ide-idenya lewat film ini guna memprovokasi kehidupan para pekerja ini. Mulai dari bunga pinjaman yang mahal yang harus para peminjam memilih jalan lain untuk melunasinya. Belum lagi, ternyata para majikan TKi sering main kasar. Meski tidak seluruh majikan, tapi tetap saja hal itu menjadi sedikit rancu dan gamblang bagi mereka yang ingin mendapatkan kesejahteraan hidup. Lola did it! Tak lantas film ini sempurna, karena satu dua kesalahan yang terjadi. Bagusnya, hal itu seakan tertutupi dengan kehebatan ceritanya.

Pakem film Minggu Pagi di Victoria Park terletak di rangka permainan gemilang dari seorang Titi Sjuman. Di sini ia membuktikan bahwa permainan apiknya tempo lalu di Mereka Bilang, Saya Monyet! bukan serba kebetulan. Gerak badan, hingga ekspresi paling menyakitkan sekalipun dijabaninya dengan penuh jiwa. Pesona seorang drummer yang melekat di dirinya, seakan sirna jika saya melihat serangan akting yang baik. Meski belum sempurna, setidaknya ia memeperbaiki aktingnya yang sebelumnya masih agak kaku. Pun untuk para para ekstra termasuk Lola Amaria sendiri. Akting mereka tidak bisa dikatakan buruk walau tak sudi juga dibilang gemilang.

Film ini menceritakan bagaimana hubungan persaudaraan yang baik harus kandas hanya karena perbedaan nasib. Dengan latar belakang isu global TKI, film ini dengan lugas memaparkan jika kebaikan keluarga itu akan tetap abadi sekalipun harus melalui proses yang tak mudah.

Mereka Bilang, Saya Monyet! (2008)


Director : Djenar Maesa Ayu
Cast : Titi Sjuman, Henidar Amroe, Ray Sahetapi, August Melasz, Bucek, Jajang C. Noer, Dewi Ayu
Rate : 2,5/5

Film ini yang membuat seorang presenter gosip Indra Herlambang bersama Djenar Maesa Ayu berhasil meraih Citra kategori penulisan naskah terbaik. Film ini berkibar tanpa gaung yang keras di tahun 2008 dengan membawa bendera kesederhanaan dengan tema yang benar-benar tidak sederhana. Mengapa Djenar berani memertaruhkan karir untuk film yang jelas bukan konsumsi generik bagi pemirsa Indonesia? Mungkin Djenar ingin menyampaikan sesuatu yang sangat penting bagi kaum perkotaan dan pinggiran kalau apa yang ada di film ini sangat nyata di kehidupan sehari-hari.

Mereka Bilang, Saya Monyet! bercerita mengenai seorang perempuan bernama Adjeng, seorang penulis cerita anak-anak yang mencoba mencari jalan terang akibat trauma masa kecilnya. Bersama ibunya, Adjeng bak kerbau dicolok hidungnya, menuruti apa yang ibunya mau sekalipun itu bertolak belakang dengan batinnya. Lain halnya jika sudah lepas dari rantai ibunya, ia bak hewan liar kelaparan yang mencoba mengansumsikan hidupnya dengan keliberalisasiannya. Flashback masa kecil yang sering menghantui Adjeng jelas sangat menyiksa lahiriah dan batiniah secara langsung bagi Adjeng di masa kini. Sang ibu yang culas dan kejam tempo lalu akibat lelaki, perlahan tapi pasti menjadi sosok panutan yang sebenarnya juga tak sempurna-sempurna amat.

Lantas, untuk mencukupi hidupnya Adjeng berusaha ekstra bekerja hingga jalan harampun dilahapnya. Temannya yang 'seide' pun bahkan makin memperparah pergaulan ketiganya. Konflik mulai terjadi ketika apa yang diinginkan Adjeng akhirnya berbuah manis. Bagi dirinya sendiri, tidak untuk ibunya. Perselisihan kembali timbul di antara keduanya yang juga diprovkasi pertengkaran dengan kehidupan pertemanannya. Lengkap sudah kehidupan seorang Adjeng. Seakan tidak pernah merasakan kebahagiaan sepanjang hidupnya, hingga ia harus kuat dan tegar dalam memilih. Tentunya untuk yang terbaik bagi dirinya.

Titi Sjuman adalah dewa penyelamat film ini, disertai dengan Henidar Amroe sebagai ibunya. Tanpa mereka berdua, film ini sangat membosankan meski durasi terbilang pendek. Dengan kecermelangan akting Sjuman dan Amroe, film ini ditopang hingga tetap dapat dinikmati sisa-sisa akhirnya. Kontraposisi kehidupan keduanya di dunia nyata, kehebatan semakin pantas disematkan bagi keduanya. Walaupun Sjuman masih agak kurang luwes, tapi penjiwaannya melalui karakter Adjeng ini bisa tersampaikan dengan sangat baik. Bertolak belakang yaitu penampilan pemeran pembantunya, Ray Sahetapi, Ayu Dewi, Bucek, Fairuz Faisal serta August Melasz agak sedikit kedodoran. Penampilan sekali lewat dari Indra Herlambang, Joko Anwar, Jajang C. Noer, serta Arswendo pun tak bisa memberi semangat keberhasilan bagi film ini.

Seperti yang saya bilang, tema film ini sangat-sangat pintar. Memposisikan seorang wanita di kehidupan pahit getir Indonesia jelas sangat memberikan pengaruh besar bagi siapa saja yang menontonnya. Iringan music scoring semakin mempertebal itu. Sehingga, naskah yang sedikit kurang menyentuh dari Herlambang dan Ayu sedikit tereliminasi dan disubstitusi dengan baik. Berkat kerja keras dari sang kretor, Djenar Maesa Ayu. Bersama Titi Sjuman, ini merupakan film pertama yang mereka persembahkan yang hebatnya tidak mengecewakan. Hal-hal detail sangat diperhatikan sekali oleh Ayu yang semakin membuat film ini realistis. Tidak perlu berumbar kata lagi, buktikan sendiri!

Lagi-lagi, keluarga adalah tempat di mana anak memerluka kasih sayang penuh dari orang tua, terutama ibu. Jika saja semangan cinta kasih itu direalisasikan tanpa harus ada persengketaan, sang anak akan tumbuh dari bibit kebaikan yang telah dituai ibunya. Sebaliknya demikian. Oleh sebab itu, mawas diri dari lingkaran kemaksiatan acap kali memberikan indera positif tanpa harus terjebak di dalamnya.

Kamis, 10 Juni 2010

The Karate Kid (2010)

Director : Harald Zwart
Cast : Jaden Smith, Jackie Chan, Taraji P. Henson
Rate : 3/5

Tahun 1984 lalu, bioskop dunia kedatangan sebuah film tentang perjalan seorang bocah dalam menuntut bela diri karate. Kala itu, film ini sangat menarik perhatian sejagad raya hingga dibuat sekuelnya serta menyulap Ralph Macchio sang pemeran utama menjadi bintang tenar. Film itu bertajuk The Karate Kid. 26 tahun kemudian, sutradara Harald Zwart mencoba memperbaharui film klasik itu dengan memasang Jaden Smith dan maestro kung fu Jackie Chan mengganti posisi Ralph Macchio serta Pat Morita di kursi leading actor. Bak berjudi besar, sutradara yang baru sedikit membuat film ini harus ekstra kerja keras mengolah dana 35 juta dollar menjadi sebuah film utuh yang tidak merusak film yang di-remake. Bahkan, jika Tuhan berkehendak lain, bisa jadi film ini akan menyamaratakan kualitasnya dengan film 26 tahun lalu tersebut.


Dre Parker adalah bocah pindahan Detroit yang harus mengadu nasib di negara tinggal barunya Republik Rakyat Cina. Itu dikarenakan sang ibu, Sherry Parker harus pindah tugas ke negeri Panda tersebut. Keinginan bersosialisai yang besar ternyata harus berbuah pahit kala seorang bocah jagoan merasa risih dengan kehadiran Dre. Naas bertubi-tubi harus didera Dre sejak saat itu. Sampai akhirnya ia masuk di sekolah barunya pun masalah dengan Cheng tak kunjung selesai. Di samping itu, Dre menyimpan rasa suka kepada gadis lokal bernama Meiying, teman satu sekolah yang lihai dalam menggesek biola.

Setelah suatu kejadian yang menyebabkan Dre terdesak tak terhindarkan. Tepat saat rombongan Cheng menyiksa Dre, sang pahlawan tak terduga hadir menolong bocah berkulit hitam itu. Mr. Han, yang sebelumnya dikenal Dre sebagai seorang pekerja di apartemen barunya, ternyata seorang jagoan kung fu. Kejadian tersebut menandakan bunyi gong besar bagi Dre dan Cheng and the Gank berselisih. Mereka harus bertemu di turnamen kung fu! Tak dinyana dan mau tak mau, Mr, Han harus rela menghabiskan waktu untuk melatih Dre dari yang hampa soal kung fu menjadi si handal salto. Dari sinilah kedeketan satu sama lain muncul hingga Dre harus mengetahui masa kelam Mr. Han yang haru kehilangan orang dicintainya. Belum lagi, Dre harus tegar saat cintanya pergi.......untuk sejenak.

Perhatikan judul film ini dan cerita yang terjalin. Sangat tidak berkesinambungan. Jelas-jelas judul film ini adalah The Karate Kid, tapi dengan keegoisan (atau mungkin alasan lain) sutradara, alur yang dikembang ialah tentang kung fu. Sayang sekali memang, mengingat filmnya sendiri di mata saya sudah bagus dan berdikari dari si pendahulunya. Takut film ini tidak laris? Pemikiran bodoh saya rasa. Padahal film ini boleh dikatakan bagus meski tak mampu berdiri di belakang kedigdayaan film Pat Moritta tersebut. Pesan moral yang dikelola dengan sedemikian sehingga sangat pas dalam memborbardir pikiran penonton. Yang paling jelas adalah SAVE THE EARTH!!!!! Dan betapa seorang lemah yang tertindas tak selalu tetap menjadi yang tertindas.

Memasang Jaden Smith mungkin karena ayahnya, Will Smith menyokong dana dan sebagai produser. Nyatanya, permainan Jaden di film ini saya akui sangat memesona. Dari segi air muka hingga kerja kerasnya dalam belajar kung fu patut diberikan apresiasi yang tinggi. Saya tidak memuji Jaden hanya karena saya nge-fans dengan ayahnya, tapi memang Jaden selalu mencuri perhatian di setiap scene-nya. Kehadiran Jackie Chan sebagai Mr. Han sendiri boleh dibilang sangat pas. Meskipun tidak berlaga liar, setidaknya performanya di sini mengobati sedikit kangen membara dengan gerak kung fu terbaiknya. Pun dengan Taraji P. Henson sebagai ibu Dre. Pemberi ketawa di saat yang pas. Sedikit mengenang, Taraji sempat mencicipi bangku nominasi Oscar kategori Best Supporting Actress lewat peran ibu tiri Benjamin Button di The Curious Case of Benjamin Button. Lagi, pemilihan aktor-aktris Beijing yang walaupun agak lebay, terasa pas berdampingan dengan para senior.

Begini, sosok jahat adalah sebuah pertumbuhan yang sudah diberi bibit jahat sedari kecil, begitupun sebaliknya. Dan film ini sangat jelas memaparkannya. Terlepas dari keserba-betulannya, film ini saya nobatkan sebagai film keluarga yang paling banyak memberi pelajaran penting sejauh ini di tahun 2010. Saya bahkan tak memperdulikan situ-situs beken yang menilai buruk film ini. Walau benar, judul adalah poin utama seseorang menerka arah filmnya sendiri. Kasus The Karate Kid, telak sangat disayangkan. Dan sekarang, penilaian selanjutnya ada di tangan Anda sekalian yang sudah menontonnya.

The Imaginarium of Doctor Parnassus (2009)


Director : Terry Gilliam
Cast : Christopher Plummer, Heath Ledger, Johnny Depp, Colin Farrell, Jude Law, Lily Cole, Andrew Garfield
Rate : 3/5

Voila! Terry Gilliam kembali dengan karya teranyarnya setelah 5 tahun berhenti sejenak sejak Tideland. Jika boleh jujur, hampir semua film besutan Terry agak susah dicerna. Walaupun penuh dengan imajinasi tanpa batas, tapi kegelapan yang ditampilkan di setiap filmnya agak membuat kening berkerut. Berkonsentrasi dengan tinggi, apa yang mau diutarakan oleh si sutradara. LIat saja Brothers Grimm, yang meskipun film tentang seorang pendongeng dan visual yang boleh dikatakan mengagumkan, tapi akhirnya terpuruk masuk ke lobang hitam seperti filmnya sendiri. Kali ini, lewat The Imaginarium of Doctor Parnassus, Terry berusaha sekuat tenaga berdedikasi di jalurnya. Tetap bernuansa gelap, tapi fokus di pengkarakteran.

Adalah seorang tua yang telah berusia 1000 tahun lamanya, Doctor Parnassus, memiliki sebuah sirkus keliling yang mengitari kota London. Ia tak sendirian tentu saja, karena ia ditemani oleh anaknya Valentina, sahabat anaknya Anton serta kaki tangan mini Percy. Mereka berempat berkelana tanpa ada yang terlalu memperhatikan pekerjaan mereka. Sebenarnya cukup unik, karena sirkus ini memiliki sebuah kaca ajaib-katakanlah begitu, yang bisa membuat seseorang yang masuk ke dalamnya mendapatkan keindahan luar biasa. Itu berkat Doctor Parnassus! Di tengah perjalanan, mereka bertemu dengan seorang muda yang kelak bernama Tony.

Tony ini ditemukan ketika ia sedang menggantung di bawah sebuah jembatan.
Pendek cerita, kehadiran Tony menimbulkan keuntungan yang lumayan bagi memperpanjang umur usia sirkus keliling itu. Dengan ide yang muncul dari kepala Tony, perlahan tapi pasti sirkus pimpinan Doctor Parnassus digilai banyak orang, khususnya wanita. Sayangnya, intrik terjadi saat ketauan jika Tony adalah orang yang tidak seperti mereka kira sebelumnya. Belum lagi, pada jaman bahuelak Doctor Parnassus pernah mengadukan sebuah perjanjian dengan Mr. Nick yang bisa dikatakan sebuah setan dengan tampilan unik. Apa itu? Lebih enak jika Anda menyaksikan sendiri seperti apa kelanjutan kisah film ini.

Jika saya boleh berumbar, sebenarnya tokoh yang dimainkan oleh Heath Ledger (Tony) di film inilah yang sangat vital. Karena ialah penggerak semua kejadian yang menjadi serba-serbi perjalanan sirkus Parnassus. Tapi, yang patut diacungi jempol adalah permainan menawan dari seorang Christopher Plummer. Dengan dia, tokoh Parnassus yang renta eksentrik diterjemah dengan sangat baik. Dengan pengalaman akting yang tidak bisa dihitung jari, barang tentu tokoh Parnassus bisa dilahap dengan muda. Terbukti baru-baru ini, performanya di film The Last Station dihargai dengan sebuah nominasi Oscar 2010. Tunggu! Heath Ledger? Bukannya ia sudah meninggal tahun 2008 kemarin?

Yap. Ini adalah film terakhir Heath Ledger yang tidak sempat ia selesaikan. Hebatnya, sebelum melepas roh-nya, Ledger berhasi mengukuhkan namanya di Hollywood dengan satu Oscar di tangan berkat kerja kerasnya sebagai Joker via The Dark Knight. Lalu? Yak, perannya sebagai Tony diganti oleh tiga sahabatnya sendari yang notabene juga piawai di bidang akting. Mereka muncul ketika Tony masuk ke dalam cermin ajaib dan hidup di alam imajinasi yang berbeda. Johnny Depp, Jude Law, dan Colin Farrell, mereka bentuk lain dari Heath Ledger. Sangat menarik dan ide yang cukup berhasil. Mengingat dengan kematian Ledger, Imaginarium of Doctor Parnassus akan terbengkalai. Untunglah, Terry Gilliam berpikiran demikian.

Balik lagi ke filmnya dan seperti yang sudah dikatakan, bahwa film ini sangat memukau dalam hal visualisasi. Panorama imajiner dari otak Gilliam berhasil mewujudkan keindahan luar biasa dari orang-orang yang masuk ke cermin ajaib. Sayangnya, cerita di film ini agak absurd sehingga agak sulit diterima oleh beberapa kalangan yang belun terbiasa dengan hasil kerja Gilliam. Di luar itu, film ini bergaya dengan jiwanya sendiri, berdiri dengan kaki Gilliam sendiri, dan maju dengan langkah cepat untuk menjadi salah satu favorit bagi fans Terry Gilliam.

Menutup review saya, ingin menegaskan sedikit sebuah pepatah. Sejauh buntang dibuang, baunya akan tercium juga. Mungkin itu pelajaran yang sangat berharga yang bisa dipetik dari film yang mendapat nominasi Oscar kategori Art Direction dan Coustume Design ini.