Sabtu, 31 Juli 2010

Salt (2010)

Director : Phillip Noyce
Cast : Angelina Jolie, Liv Schreiber, Chiwetel Ejiofor
Rate : 3/5


Melihat sosok wanita tangguh di layar putih biasanya memang memiliki kepuasan tersendiri. Selain bisa menyaksikan aktris favorit kita berketat ria, sang aktris tersebut tak jarang melakukan stunt-stunt berbahaya yang sepatutnya dilakukan oleh para lawan jenisnya. Itu belum termasuk jika pelakon itu sekalian mengisi kedua tangannya dengan senjata berkaliber besar dan berpotensi melumpuhkan lawannya dalam satu letupan. Sejauh ini, ada beberapa aktris yang cukup berhasil menjadi super woman yang seperti saya jabarkan tadi, dan Angelina Jolie mungkin yang paling sering. Dengan track record seperti Tomb Raider, The Bone Collector, Mr. & Mrs. Smith serta Wanted, aktris yang merayakan ulang tahunnya setiap tanggal 4 Juni ini memang layak untuk mendapat predikat 'aktris dengan hormon testosteron'. Seperti ingin melepas kangen sejak Wanted, Jolie menerima peran serupa tak sama menjadi agen rahasia asal Rusia, Evelyn Salt.Peran yang sedianya akan diberikan kepada Tom Cruise.

Salt, tersangka tuduhan yang sebagai mata-mata KGB berusaha membersihkan namanya. Pelarian dirinya malah mengundang kecurigaan berlipat dari teman kantornya sendiri, Ted Winter dan Peabody. Ditambah dengan pencidukkan suaminya oleh komplotannya sendiri, Salt akhirnya tak berdiam diri dan merunut siapa saja yang telah mendalanginya di permainan maut ini. Salt tak segan baku hantam dengan pihak terkait agar tujuan dan kepuasan hatinya sedikit tercapai. Hingga pada klimaks film, penonton akhirnya diberi sebuah twist ringan yang mungkin saja tak akan tertebak.

Kurt Wimmer selaku scriptwriter ternyata mampu membuat naskah yang tidak sekedar murahan. Ramuannya kali ini sedikit melegakan para penonton pria yang memang mengharapkan Jolie menonjok para polisi. Naskah saja tak cukup, Phillip Noyce yang sepenuhnya bertanggungjawab atas sekuens-per-sekuens yang dibangun sepanjang film. Pengalaman mengarahkan Jolie di The Bone Collector membuat tugasnya di film ini cukup ringan. Angie memang sukses menghidupkan sosok Salt lengkap dengan aksen Rusia-nya sekalipun. Jolie menunjukkan profesionalitasnya di film ini dengan melakukan seluruh adegan yang boleh dikatakan sangat berbahaya untuk seorang wanita. Tanpa canggung dan cenderung nekat, Jolie seperti refleksi yang lebih kejam dari Fox, peran di Wanted nya terdahulu. Sokongan dari Liv Schreiber dan Chiwetel Ejiofor ternyata sedikit membantu menaikan tensi film ini sendiri.

Cerdiknya Noyce, ia tidak serta merta menopengi Jolie menjadi pure jantan karena sesekali diselipi berbagai 'barang' khusus perempuan. Berkat itu, Salt tidak akan hilang sisi kelembutannya kendati tangan kanan-kiri-nya tidak bisa dikatakan lembut. Sayangnya, cerita ini sudah berpuluh-puluh kali dibuat untuk genre yang sama, dan Noyce tidak mampu melakukan pembaharuan yang mungkin bisa menjadi pelopor action yang diperanutamai oleh seorang wanita. Banyak adegan yang terlalu dibuat mudah. Hal ini dapat dilihat di setiap adegan Salt mencoba menghindar dari kepungan para oknum yang terlibat. Jadi jatuhnya tidak realistis dan generik dari film kebanyakan. Belum lagi pengeksekusian ending, ini terletak pada ketika Salt melompat ke danau. Setau saya, seseorang apalagi wanita yang melompat dari ketinggian tanpa ancang-ancang, tekanan yang terjadi saat menghempaskan badan ke air akan sangat besar. Dan itu bisa mengakibatkan keretakan tulang, minimalnya. Tapi entahlah, jika Hukum Archimedes tidak berlaku lagi.

Di luar itu semua, saya menilai Salt sebagai tontonan standard yang tujuan utamanya memang untuk menghibur. Dan saya terhibur bahkan terpaku dengan 'keluar-biasaan' Angelina Jolie yang cukup meyakinkan sebagai agen bermental baja dan berotot besi. Tapi saya kangen dengan akting prima di film-film drama berbobot dengan Jolie di dalamnya. Itu saja.

Kamis, 29 Juli 2010

Vacancy (2007)

Director : Nimrod Antal
Cast : Kate Beckinsale, Luke Wilson
Rate : 2,5/5



Sebuah film horor akan dikatakan bagus jika film itu bisa memberikan pakem baru terhadap pengembangan cerita dan pendalaman karakter tanpa harus mlenceng dari formula horor itu sendiri. Rumus jabaran tadi banyak sekali kita temui di era 70-80an yang kian amburadul semakin memasuki orde baru. Tapi tidak perlu khawatir, karena kelang tiap tahunnya pasti ada saja film serupa yang berani keluar jalur tanpa harus mengandalkan efek berlebihan dan jeritan super-ultrasonik.


Vacancy hadir dengan suguhan suspense yang sedikit memberikan angin segar dengan keklisean ceritanya. Masih seperti pendahulunya yang sering bermain di zona motel-penginapan-yang ternyata-sarang-kriminal, Vacancy bolehlah cukup puas karena konsep tadi dibuat sedikit beda meski hasil akhirnya tetap biasa saja. Adegan dibuka dengan perjalanan darat pasutri yang mengambil jalan pintas dengan maksud cepat sampai tujuan. Naasnya, bukan tpat waktu yang mereka dapatkan tapi sebuah trik dari penduduk setempat yang akan membawa mereka ke sebuah wahana 'rumah hantu' yang tak terpikirkan sebelumnya. Akhirnya mereka menyewa sebuah kamar yang dari sana pula mereka menyadari kalau motel itu terasa berbeda dan mengerikan. Merekapun tau dan bergegas mnyelamatkan diri seberhasil mungkin dengan jaminan nyawa dan simbahan darah.

Entah kenapa penilaian saya kepada film ini terpecah menjadi dua sisi, suka dan tidak suka. Film ini memang tidak menyisakan apa-apa di benak penontonnya apalagi hingga ending-pun leraiannya tidak begitu menarik. Setali tiga uang dengan penampilan Luke Wilson dan Kate Beckinsale yang biasa-biasa saja. Si vampir Selene ini masih belum sempurna menampilkan ekspresi menakutkan untuk mengatrol tensi penontonnya yang juga serupa dengan apa yang ditampilkan oleh Wilson. Itu belum termasuk motif si pelaku melakukan gencatan meneror para pengunjung, tidak diceritakan dengan lugas dan menimbulkan banyak tanda tanya di benak penonton.

Bagian yang suka dari film ini adalah saat bagaimana kedua tokoh ini harus menyelamatkan diri dan diselipi beberapa kejutan yang cukup membuat rasa penasaran akan ending-nya. Jangan samakan dengan Identity. Kendati sama dalam segi seting, Identity masih menyuruh penontonnya untuk berfikir dalang dari semua rentetan kejadian itu. Lain halnya dengan Vacancy yang dari hanya mlihat si pemilik keluar dari ruangan pun kita bisa menerkanya kalau dia adalah si sosok antagonis.

Nimrod Antal selaku sang kreator cukup telaten menyiasati seting sempit menjadi sedikit menegangkan. Dia memang bukan sutradara letingan George A. Romero atau Alfred Hitchcock sekalipun, tapi kerja kerasnya lewat film ini patut diberi apresiasi. Ketegangan yang dibangun memang tidak di titik puncak, tapi setidaknya atmosfer menegangkan cukup terjaga hingga beberapa menit sebelum ending.

Jangan berharap banyak akan film ini, dan jangan dulu merendahkan film ini. Pesan saya saja, hindari motel/penginapan sepi jika kita kedapatan lelah di tengan perjalanan. Kalo kepepet, mungkin tidur di mobil jauh lebih aman. Berasumsi saja, tidak mau kan jika pemilik motel/penginapan itu seorang psikopat seperti di film ini?

Senin, 26 Juli 2010

The Ghost Writer (2010)

Director : Roman Polanski
Cast : Ewan McGregor, Pierce Brosnan, Timothy Hutton, Tom Wilkinson, Olivia Williams, Kim Catrall
Rate : 4/5


Menilik judulnya, penonton awam mungkin akan tertipu tentang apa film ini. Dengan embel 'ghost', kemungkinan mereka akan mengira ini sebuah film horor mencekam tentang kematian seorang penulis. Horornya salah, tapi empat kata terakhir mungkin ada benarnya. Ghostwriter sendiri adalah sebutan untuk penulis yang tidak mendapat royalti atas buah penanya. Si penulis hanya menjadi perantara sang tokoh (biasanya tulisan yang diangkat berupa memoir) dalam mengumbar kehidupannya. Di tangan seorang Roman Polanski, prosa gubahan Robert Harris diharapan dapat menyamai unsur ketegangan serta kualitas cerita yang telah tertuang di novelnya sendiri. Dan opening dibuka dengan seseorang yang terkulai di pinggiran pantai.........

Ewan McGregor sebagai the ghost-nama karakternya memang tidak disebutkan, si penulis hantu yang disarankan untuk menukangi merancang manuskrip Adam Lang guna menjadi novel autobigrafi yang signifikan dan mampu berbicara banyak jika dijual kelak. Ia kemudian dialihkan ke sebuah pulau kediaman Lang, istri serta kantornya. Keadaan semakin pelik kala Adam Lang diberitakan terlibat skandal pelarian dan penyiksaan penjahat perang. Itu belum termasuk misteri kematian ghostwriter sebelumnya yang ternyata menyimpan banyak rahasia dan untungnya diketahui oleh si new ghost. The ghost tidak berdiam diri, selain ingin menyelesaikan gawe-annya, dia berkeinginan mengungkap sedikit kekeliruan yang selama ini hinggap di kepalanya. Sampai pada ending yang benar-benar mengejutkan, penonton akan dibawa menuju sebuah pembenaran yang menyesakkan dada.

Sejak detik pertama film ini terpampang di layar, reaksi yang saya rasakan memang kontradiksi dengan apa yang saya kira sebelumnya. Saya semula berfikir jika alunan film ini akan bermuara ke dasar yang lebih lembut. Tapi ternyata yang saya terima adalah intensitas rekonstruksi yang dipenuhi dengan tanda tanya. Terlihat di adegan awal saat the ghost disodori manuskrip yang akhirnya dirampok juga di tengah jalan. Nuansa multi-probabilitas tadi semakin menjadi-jadi karena bantuan musik yang luar biasa. Melihat siapa si tangan emas itu, ternyata si maestro Alexandre Desplat. Komposer kenamaan yang acap kali mendukung beberapa film besar. Dengan nominasi Oscar tiga kali, kans untuk membawa pulang patung itu sepertinya tinggal menunggu waktu. Saya sematkan juga kepada Robert Harris yang bisa membuat novelnya menjadi begitu sentral tanpa harus meleburkan kesan mewahnya. Saya setarakan Harris dengan Dennis Lehane yang mampu menyajikan prosa yang begitu psikotis.

Sedikit munafik jika saya harus membandingkan film ini dengan karya Polanski sebelumnya. Selain The Pianist yang megah itu serta menyumbang Oscar pertama untuk Polanski, belum ada hasil karyanya yang saya tonton. Jadi saya menilai The Ghost Writer mutlak sebagai produk yang berdiri sendiri. Naskah terjemahan oleh Roman Polanski sendiri rupanya bisa menghidupkan suasana yang ada. Dialog intrik, bisnis, literatur serta sentilan humor yang sering terlontar memang tidak berlebihan. Sehingga membuat para aktor memberikan penampilan terbaik mereka. Ewan McGregor, Pierce Brosnan, Olivia Williams, Tom Wilkinson, serta Timothy Hutton jelas tidak bermain buruk. Pun serupa dengan Kim Catrall, peran Bly di sini jauh lebih enak dilihat daripada ia mesti pamer harta di 'toko' Sex and the City. Jangan lupakan Eli Wallach yang kendati berperan beberapa menit tapi sanggup memberikan atmosfer tensi memuncak.

Di luar kekurangan dari segi teknis yang seringkali terlihat di beberapa bagian, setidaknya Roman Polanski masih menujukkan eksistensi dalam dunia yang telah mengharumkan namanya ini. Bahkan boleh dijadikan acuan untuk bagaimana memparafrase prosa menjadi suatu produk yang mandiri jika diangkat ke sebuah film. Sukses.

Sabtu, 24 Juli 2010

Finding Nemo (2003)

Director : Andrew Stanton
Voice-over : Albert Brooks, Ellen DeGeneres, Willem Dafoe, Alexander Gould, Geoffry Rush
Rate : 4,5/5


Seekor ikan kecil yang dihidupi oleh seorang single father, memiliki sifat yang pemberani dan serba ingin tahu. Di tengah kekalutan dan traumatik yang didera ayahnya, Nemo -nama ikan tersebut, mencoba untuk sedikit mandiri dan melupakan arti kata keselamatan. Nemo gencar untuk melihat dunia luar (baca : alam selain dunia air) hingga ia ditangkap oleh seseorang dan dijadikan ikan hiasan di sebuah klinik dokter gigi. Ayahnya yang gundah bergegas dengan usaha keras mencari sang anak. Untunglah (atau sialnya?) ia dibantu seorang ikan lokal yang mengidap schizophrenia, penyakit tak lazim yang menyebabkan si penderita sering melupakan hal kecil yang baru saja diingatnya.

Saya akan merentetkan sedemikian rupa apa yang menyebabkan Finding Nemo begitu berkesan di mata saya. Pertama adalah animasinya. Apa yang disajikan oleh para kru Pixar di sini adalah sebuah surga bari para makhluk air. Panorama indah yang terpampang sepanjang 90menitan ini sungguh memanjakan mata. Detail yang diperlihatkan begitu memesona. Tak rugi memang para animatornya menghabiskan beberapa tahun untuk merehab bagaimana kondisi sebuah wahana air berikut isi-isinya. Lihat saja gelembung air dari gerakan ikan, serta hamparan debu pasir yang bergerak mengikuti alur air. Hasil yang jauh dari kesan sederhana. Jika Pixar bisa memadu bulu Sully dengan begitu halus di Monsters, Inc., rasanya Finding Nemo membuktikan jika Pixar adalah studio spesial animasi bermutu.

Kedua, cerita dan pesan moral film ini sendiri. Pencarian seorang anak oleh ayahnya memang sungguh brilian. Di-partner-kan oleh Dori si ikan pelupa, perjalanan sang ayah tadi menjadi semakin seru. Ditambah mereka berdua harus bertemu dengan hiu vegetarian, melewati gerombolan ubur-ubur serta menyelamatkan diri dari serbuan burung kelaparan. Di sisi lain, sang Nemo yang telah terpenjara di sebuah akuarium juga harus bersusah payah untuk melarikan diri. Ditolong oleh beberapa ikan peliharaan lainnya, segala kejadian unik muncul selaras dengan kelucuan dan kesedihan sekaligus. Di sinilah kehebatan penulis naskahnya, kita bisa dibuat terbahak-bahak sejurus dengan tangisan dari adegan yang menyayat hati. Lihat saja opening film ini yang terlalu kelam untuk ukuran film animasi tapi mampu diramu dengan begitu telaten hingga bisa menyisakan sebuah pesan moral.

Ketiga, musik dan atribut lain yang juga menjadi kunci kesuksesan film ini. Thomas Newman sebagai penggubah musiknya memang bukan komposer kemarin sore. Jadi, apa yang ia karyakan lewat film ini bisa menjadi sebuah memori sendiri sekaligus pengiring adegan per adegan tanpa sela. Scoring music-nya membantu menghanyutkan penonton yang telah terbuai dengan visual luar biasa. Pengisi suara film ini juga cukup memberikan nyawa bagi tiap tokoh sehingga pemakaian aktor Oscar Geoffry Rush serta Willem Dafoe tidak terkesan sia-sia.

Finding Nemo, sejak perilisannya memang sudah dikukuhkan sebagai salah satu film yang paling berpengaruh sepanjang jaman. Bukan saja menampilakn pembaharuan untuk sebuah animasi, tetapi juga ada sisipan 'isi' yang memungkinkan penonton dewasa tidak merasa di-anakecil-kan saat menontonnya. Umumnya, itu memang sudah menjadi kiat khusus produk-produk Pixar. Suplemen yang mengisi setiap watak tokoh memang diimplementasikan dengan bijak dan langsung ditujukan untuk kita, para penonton. Hiruk-pikuk kemenangannya di ajang Oscar juga bukan hal yang kebetulan. Piala itu memang pantas dan sangat layak!!!!

Bagi saya pribadi, cerita Nemo yang menekankan akan sosok superhero seorang ayah sedikit membekas di hati. Dengan alasan pengalaman pribadi yang ada sedikit masalah dengan ayah saya. Menonton ini sedikit membukakan pintu hati saya jika seburuk apapun yang ayah saya buat, sejatinya itu hanya ditujukan untuk keselamatan dan kesejahteraan anaknya. Menjengkelkan jika mengingat hal itu, tapi Finding Nemo telah mengahpus semua rasa jengkel tersebut.

Kamis, 22 Juli 2010

The Road (2009)

Director : John Hillcoat
Cast : Viggo Mortensen, Kodi Smit-McPhee, Charlize Theron, Guy Pearce
Rate : 4/5


Cormac McCarthy, novelis kenamaan yang karyanya telah menjadi best-seller internasional dan beberapa telah diangkat ke media gambar bergerak. Tahun 2007 lalu, film besutan Coen Brothers yang berdasar dari novel Cormac berjudul sama, No Country For Old Men sukses di pagelaran paman Oscar. 2009 lalu, John Hillcoat mempunyai goal yang sama untuk bertanding di Academy Award. Kali ini sastra The Road yang coba dikembangkan oleh penulis Joe Penhall yang menggaet Viggo Mortensen sebagai tokoh utamanya. Dengan bantuan Charlize Theron dan Kodi Smit-McPhee, The Road hadir ke hadapan pemirsa dengan kalut dan penuh dengan aroma kekelabuan.

Masa post-apocalyptic menggucang seluruh pelataran bumi yang diporakporandakan dengan sesuatu yang tidak diceritakan sebelumnya. Seorang ayah dan anak laki-lakinya mencoba menyelamatkan diri dan berusaha mencari tempat yang aman untuk kelangsungan hidup selanjutnya. Tapi ternyata, perjalanan mereka dihiasi dengan beberapa kendala dan ketakutan tiada tara dari keduanya. Mereka harus menyelinap di kawanan para kanibal dan mencurigai setiap tindak tanduk siapapun yang mereka temui. Flashback sang ayah dengan istrinya juga tidak dijelaskan aral melintangnya.

Mereka, seluruh orang yang ada di film ini, mesti merasakan kepahitan yang amat sangat tanpa diberikan bekal kebahagiaan sedikitpun.
Hillcoat semaksimal mungkin menerjemahkan naskah dari Penhall yang juga terjemahan dari novel Cormac. Kerja kerasnya patut dicungi jempol. Hillcoat sanggup membawa atmosfer kekelaman dari perjanana duo ayah-anak yang rentan akan kekejaman makhluk lain ini. Dengan ditunjang set dekorasi yang hampir sempurna dalam penransferan dunia paska kiamat, The Road memang dipertunjukkan melalui muka kabut sepanjang film berputar. Kita tidak diberikan secercah senyum simpul yang diharapkan penonton mayoritas. Tapi, mungkin itulah yang ingin disampaikan oleh kru film di sini. Tidak akan ada yang cepat memperoleh kebahagiaan bukan kala melihat dunia porak poranda tiada tentu rupa.

Untuk Viggo sendiri, one man show-nya bersama Kodi patut diapresiasikan. Duet mereka sepanjang film menimbulkan chemistry yang pas. Eksposisi seorang ayah yang melindungi anaknya dilakukan dengan sempurna. Presentasional keduanya sukses menggiring penonton tentang bagaimana beban psikis sekaligus psikologis yang mengguncang keduanya jika si penonton ada di posisi mereka. Sayangnya, Theron hanya kebagian sekelumit adegan yang perannya bisa diganti oleh siapa saja. Kemunculan Guy Pearce boleh saja jadi kejutan bagi yang mengenal sosoknya yang dipermak lain dari biasanya.

The Road memang bukan film bagi Anda yang tidak siap menerima kenyataan jika bencana besar akan terjadi. Dan segala yang dipaparkan lewat The Road memang menyiksa batin dan mengiris nadi siapa saja yang mengalaminya. Untunglah, hal tersebut bisa dijadikan memorandum agar kita, para penghuni bumi, hendaknya memelihara alam dengan sebijak mungkin hingga hal paling fatal tidak akan pernah terjadi. Lantas, kembali ke novel Cormac McCarthy, saya nilai Hillcoat cukup mampu memparafrasekan tulisan tangan itu menjadi film yang down-to-earth dan sarat pesan moral. Menangislah jika kita tidak siap dengan apa yang bakal ada di depan mata kita.

The Sorcerer's Apprentice (2010)

Director : Jon Turtletaub
Cast : Nicolas Cage, Jay Baruchel, Alfred Molina, Monica Belucci, Teresa Palmer
Rate : 2,5/5


Premisnya : Morgana yang masuk ke tubuh Veronica dan terkurung hingga ribuan tahun. Selama itu, Balthazar harus mencari sesosok anak manusia yang disinyalir memiliki 'talenta' khusus yang bisa mengubah segalanya dan yang paling penting bisa melepas kutukan sekaligus menyelamatkan alam dunia dari serangan si jahat Horvarth. Ternyata si anak itu adalah pria culun yang kesulitan dalam cinta, Dave, dan harus menepukkan sebelah tangan atas kegagalan meraih hati Becky. Segala hal genting sepanjang perjuangan menyelamatkan bumi akhirnya diperoleh dengan sebuah kebahagiaan.

Jerry Bruckheimer adalah dalang film ini. Dengan kredit filmografi yang sangat dahsyat dalam perolehan dolar, Jerry boleh saja merasa sebagai produser terhebat di belantika perfilman dunia. Dengan paduan dari Disney, Jerry sukses menyokong film-film yang menjurus ke sajian keluarga, atau paling tidak hiburan ketawa-ketiwi semata dan umbar efek spesial. Dari segi kualitas, sayangnya masih banyak yang di bawah nalar. Satu hal yang tidak pernah terlintas dipikiran Bruckheimer. Lantasnya, sang sutradara yang didanai tadi hanya membuat film yang ala kadarnya. Maksudnya hanya mengandalkan suasana hura-hura dan melencengkan kecerdasan otak. Jon Turtletaub yang sering kali duet dengan master ini tetap memakai tradisi yang sama seperti yang ia lakukan di dwiloji National Treasure. Uniknya lagi, ini pertemuan ketiganya dengan si maestro akting, Nicolas Cage.

Sejak National Treasure, Turtletaub memang kurang produktif dan efisien dalam menggarap sebuah film. Seperti yang terjadi di The Sorcerer's Apprentice, Jon hanya mengandalkan efek tanpa memerdulikan kepentingan cerita, naskah dan akting pemain sebagai atribut utama. Bolehlah, kita katakan komputerisasi di film ini cukup memukau dan menghibur. Sialnya, itu tidak terlalu membantu dan manalagi computer generated seperti itu telah dipakai oleh beratus-ratus film bergenre serupa. Apa mau dikata, Turtletaub hanya mau bermain aman dan tujuan utamanya adalah filmnya bisa balik modal. Lebih untung lagi jika labanya berkali-kali lipat. Tapi, merasa berdosakah ia jika harus menipu mentah-mentah logika penonton dengan segala kekonyolan film ini? Sudahlah, toh ini cuma film dengan patokan keluarga.

Jangan salah, sesekali kita diberitahu sedikit tentang ilmu pengetahuan tentang bagaimana molekul Tesla yang ber-elektromagnetik dengan kemampuan listrik. Sayangnya, itu hanya sekali lewat saja. Humor yang terlontar di film ini saya nilai agak kaku. Ada sebagian yang mengundang tawa, tapi tidak sedikit juga yang membuat kening berkerut. Entah apa yang ada di otak penulis naskahnya kala menulis guyonan yang sepertinya hanya dimengerti oleh dia sendiri. At least, buat sebagian warga Amerika. Naskah yang payah juga berakibat kepada permainan para aktornya yang melemah hingga perujungan film. Khusus untuk Nic Cage, entah apa maksudnya mengambil banyak proyek setiap tahunnya. Untuk menambah daftar panjang perfilmannya atau berniat membayar hutangnya yang melimpah? Cuma dia yang tau. Yang jelas, aktingnya di sini kendati tidak buruk amat, tetap saja kurang maksimal. Itu juga diikuti oleh performa Jay Baruchel, Teresa Palmer serta Monica Belucci. Yang boleh dikasih sedikit kredit adalah Alfred Molina yang jarang bermain jelek. Tapi untungnya, film ini diisi oleh beberapa lagu era MTV yang cukup easy-listening dan pas untuk setiap adegannya.

Sebuah film pelepasan bagian dari Disney's Fantasia, The Sorcerer's Apprentice hadir murni untuk menghibur para penonton yang sudah bebal dengan kehidupan duniawi. Apprentice cukup pantas disandang sebagai film berefek megah untuk slot edar bulan-bulan musim panas. Naasnya, kesempatan itu tidak dimanfaatkan dengan baik tanpa menjanjikan sesuatu yang lebih. Atau pesan moral yang membekas di benak penonton. By the way, i still miss Nic Cage's great acting like he did in Leaving Las Vegas, Adaptation, and or Bad Lieutenant.

Senin, 19 Juli 2010

Beauty and the Beast (1991)

Director : Gary Trousdale, Kirk Wise
Voice : Paige O'Hara, Robby Henson, Richard White, Jerry Orbach
Rate : 3,5/5

Sebelum Pixar membuka wacana baru tentang sebuah panorama animasi, Walt Disney selaku tetua genre film komputer selalu menghadirkan suguhan berkualitas lewat tampilan 2D. Dengan dibuka lembaran semacam Snow White and the Seven Dwarfs, Bambi, Dumbo serta Pinnochio waktu itu, Disney menjelma menjadi studio raksasa spesialis film animasi teratas. Bukan hanya sebagai pelopor, tetapi kru Disney juga sukses mencamur goresan tangan tadi dengan balutan cerita yang segar dan mendidik. Jadi tak heran jika berpuluh-puluh tahun kemudian, karya-karyanya akan terus menjadi pilihan untuk sajian keluarga. Dan sekali lagi, Disney menghadirkan sosok jelita Belle kepada pemirsanya lewat alunan drama romansa si cantik dan si buruk rupa.

Belle, gadis yang secantik namanya tengah dihadang bencana saat ayahnya ditawan seekor buas di sebuah istana majis. Kastil itu dihuni oleh benda-benda yang hidup bak manusia yang ceriwis. Belle barter dengan si pembuas dan mengorbankan dirinya agar sang ayah dibebaskan. Ternyata, The Beast tadi kagum akan kecantikan dan kebaikan hati si wanita dan bertekad untuk merubah image agar jampi-jampi kepada dirinya berhenti mengurung dirinya dari dunia luar. Di tengah siasat tadi, masih ada saja yang tidak terima dengan sikap The Beast sehingga rombongan warga melakukan 'demonstrasi' serta menyerang makhluk buas itu. Ending-nya? Tidak mungkin tidak ada yang tau akhir cerita cinta ini.

Itu tadi, sebuah penceritaan yang boleh dibilang biasa berhasil dimanfaatkan dengan baik. Semua tergambar dengan sangat halus melalui berbagai karakter jamak lengkap dengan watak masing-masing. Dari penokohan tersebut, penonton segala usia sudah pasti akan bisa meramu sendiri yang mana abaik dan jahat. Tidak berlebihan juka Beauty and the Beast saya katakan sebagai mata rantai di mana animasi bisa mencakup segala batasan usia. Dengan torehan dolar yang memuaskan, film ini memang sukses menyulap penonton yang menilai dari drama sendu menjadi sebuah masterpiece Disney. Tak hanya box office, Beauty and the Beast sempet menjadi film animasi pertama yang bercokol di salah satu nominasi Best Picture Oscar. Tidak berlebihan, tapi memang harus diakui jika kemenangan belum pantas diraih. Di kategori lain, film ini sukses menggongol 2 piala, untuk score music dan lagu terbaik untuk lagu senada judulnya, Beauty and the Beast sekaligus mengalahkan 2 judul lainnya Belle dan Be Our Guest. Khusus untuk lagu Beauty and the Beast, kawula muda dari dulu hingga sekarang tetap menggandrunginya. Terbukti dengan masuknya lagu tersebut di puncak-puncak tangga lagu mingguan.

Lupakan dulu produk-produk animasi jaman sekarang, Beauty and the Beast seperti sebuah pembuktian jika sebuah animasi bisa juga bertanding di kelas-kelas festival. Dengan pesan moral sejuta umat, Beauty and the Beast mengajarkan kita untuk saling menolong, tidak berprasangka buruk serta menganut paham kebersamaan dan berperikemanusiaan tinggi.

Seperti yang dijelaskan sebelumnya, film edaran 1991 ini sangat layak untuk ditonton sampai kapanpun, referensi untuk film dahsyat serta tidak kalah dengan pe-render-an animasi 3d jaman sekarang. Dan lagi, seluruh karakter unik di film ini sudah me-universal dan telah menjadi franchise untuk barang koleksi. Singkat kata, an hilarious outstanding movie that had amazed billion of people.

Amadeus (1984)

Director : Milos Forman
Cast : F. Murray Abraham, Tom Hulce, Jeffrey Jones, Chyntia Nixon
Rate : 4,5/5


Wolfgang Amadeus Mozart, seorang legenda musik yang karyanya telah melanglang buana seantero dunia. Seorang komposer musik yang berdigdaya dengan kejenakaanya. Diperankan oleh Tom Hulce, Amadeus mengulas kehidupan Mozart mulai dari seorang penggubah lagu istana hingga menjadi pelipur dunia musik kontemporer. Kehadiran Mozart ternyata dirasakan risih oleh Antonio Salieri yang sejak awal telah menancapkan bendera dendam dan iri hati kepada Mozart. Segala upaya dilakukan Salieri guna menjatuhkan martabat mozart. Nihil, yang ia dapat malah sebuah tambalan kedengkian yang semakin menebal hingga ujung hidupnya dipenuhi rasa penyesalan tiada tara. Amadeus juga menerangkan lika-liku percintaan Mozart dan juga serentetan bagaimana karyanya lahir di muka bumi ini.

Jika melihat art direction yang ada, saya sebagai penonton amatiran merasa sangat takjub. Seluruh aksen serta palet warna yang menyertai film ini sungguh seperti melihat alam dunia pada tempo itu. Semua secara detail dipoles oleh para kru semaksimal mungkin. Tak luput juga penataan gambar, desain kostum serta pengeditan suara yang semakin mengukuhkan jika Amadeus adalah warisan berharga di era 80-an. Film yang sangat indah dari segi kostum, easy listening dari segi komposing musik, anggun dari segi sinematografi serta memukau di sisi akting. Para pekerja di film ini tidak memakan gaji buta dengan mengoptimalkan keseluruhan yang membuat film ini sangat bernilai sepuluh. Tak pelak pada perhelatan Oscar 1985, Amadeus memborong 8 dari 11 nominasi yang didapat. Itu termasuk untuk Best Make-up dan Best Adapted Screenplay. Peter Shaffer telah juara dalam membina hubungan realistis Mozart akan kehidupannya menjadi mengalun lebih lembut tapi sarat akan emosi dan pendalaman karakter. Milos Forman, orang yang sebelumnya dengan sukses menggarap One Flew Over The Cuckoo's Nest dengan pintar mengolah bahan mentah naskah Shaffer menjadi lebih hidup. Banyak memoribilia yang dikandung dalam banyak adegan di film ini. Pencapaian yang luar biasa.

Tom Hulce yang bertransformasi sebagai Mozart sendiri sudah cukup pas dan hanyut dalam karakternya. Penjiwaan akan beban batin Mozart tersampaikan dengan sangat baik. Tapi, permainan akting F. Murray Abraham begitu menyengat sebagai Salieri. Murray bahkan sanggup menggiring penonton ke tingkat yang lebih relevan kepada tokoh Salieri. Suatu waktu, sifat dengkinya menyeruak tatkala membuat pemirsa seakan ingin membunuhnya kala itu juga. Tapi, di waktu lain Salieri berada di titik terlemah yang kemungkinan semua orang pasti akan merasakannya. Hingga pada puncaknya, saat masa renta Salieri yang telah hangus kejayaannya. Masa merdeka akhirnya lenyap dimakan keiriannya dan menyisakan tulang berbungkus kulit. Untuk pemain lain, saya nilai sudah cukup membantu menopang performa dua aktor utama tadi. Tapi rasanya, film ini memang milik Hulce dan Murray saja.

Jika boleh berumbar tentang betapa pentingnya Mozart bagi dunia universal pada umumnya dan dunia musik khususnya, tokoh satu ini memang telah sumbangsih seluruh isi kepalanya. Tak sedikit musisi dunia yang berkiblat kepada seorang Mozart.

Amadeus merefleksikan sosok protagonis yang berlaku pantang menyerah tapi mudah menoleh ke sana ke mari tanpa ada penyeleksian terhadap dirinya sendiri. Sedangkan Salieri yang kebagian peran jahat mengimplementasikan seseorang yang keji, biadab yang berkombinasi dengan kelembutan yang menusuk. Kejahatan yang sempurna. Akhir kata, betapapun hal negatif yang kita lakukan untuk sebuah kemenangan tak akan berbuah manis. Yang ada membuat beban moril dan psikis menjadi-jadi sampai hidup terkatung-katung menuju ajal.

Minggu, 18 Juli 2010

Death Defying Acts (2007)

Director : Gillian Armstrong
Cast : Guy Pearce, Catherine Zeta-Jones, Soirse Ronan, Timothy Spall
Rate : 3/5


Disarankan sekali untuk tidak membandingkan film ini dengan The Illusionist ataupun The Prestige. Kendati masih dalam satu lini dunia majis, tapi tetap saja pembagian genre sulapnya berbeda. Jika The Illusionist lebih kepada ilusi dan The Prestige menjurus ke magician, maka Death Defying Acts mengalir pada roda eskapolojis. Escapologist suatu seni sulap yang berupa penyalamatan diri dari sesuatu yang mengikat pada diri si pesulap. Tidak banyak memang film yang mengumbar kecerdasan dalam hal trik menipu begini. Karena selain dibutuhkan cerita yang kuat, harus diselipi berbagai teknik sulap yang menjadi basis filmnya sendiri.

Kali ini Harry Houdini, superior dalam hal escapologis coba diangkat ke pita seluloid. Tahun 1926, Houdini tur keliling yang akhirnya menetap sementara di Edinburgh untuk melakukan berbagai pertunjukkan kemampuan sulapnya. Dia membutuhkan relawan sebagai opening pertunjukannya. Mary MacGarvie serta anaknya, Benji, berusaha mengikuti audisi tersebut. Liciknya, tujuan awal dua beranak itu adalah untuk mendapatkan sejumlah uang atas sayembara yang disediakan oleh Houdini sendiri. Mudah ditebak, Houdini -yang memiliki masa lalu suram- dan Mary terlibat intrik cinta. Segala hal yang makin mempermudah Mary dan Benji dalam mewujudkan impiannya.

Film ini memiliki kans sukses dan hancur sama imbangnya. Prediksi sebelumnya yang akan menyerupai film sulap berbobot lainnya akhirnya harus dipendam dalam-dalam setelah melihat hasil akhir film ini hanya sekadarnya. Banyak lobang yang harus ditutupi oleh Gillian Armstrong guna menyempurnakan karyanya ini. Karakter yang kurang tergali menyebabkan kekuatan akting pemainnya jadi melempem. Padahal, kalau boleh menilai, Gillian sepertinya tidak perlu kesusahan. Toh hanya 4 aktor saja yang harus diarahkan dengan maksimal. Jadinya, selain Saoirse Ronan yang bermain cukup hebat, ketiga pemain pokok lainnya jadi kurang maksimal. Terbukti Ronan sempat memenangkan Best Supporting Actress di Irish Award. Selain masalah akting, eksekusi Houdini sebagai seorang eskapolojis tidak ditonjolkan. Jadi, transisi Houdini di sini seakan hanya sebagai seseorang yang melakukan pelarian akan dunia masa lalunya. Teknik sulapnya hanya disediakan beberapa saja. Itupun hanya yaaaaaa, kurang menghiburlah.

Mungkin itu semua terjadi karena sang scripwriter-nya sendiri terlalu mengesampingkan sosok Houdini sebagai pria yang berpengaruh bagi dunia. Padahal, jika saja pertengahan film sedikit diperbobot, sudah pasti edinngnya yang bagus itu jadi tidak sia-sia. Sangat disayangkan untuk duet sutradara yang telah menelurkan masing-masing Tideland dan The Interpreter ini. Di luar itu, sinematografi dan direksi seni film ini bolehlah diacungi jempol. Suasana tahun 20-an terasa sedikit nyata dan memang membangun atmosfer yang ada. Warna-warna kelam dan buram mungkin memang dimaksudkan atas pementalan seorang Houdini akan ibunya. Hal lain yang cukup patut diapresiasikan adalah soal pilihan musiknya. Soundtrack Death Defying Acts keseluruhan sangat pas dalam menetralisir adegan per adegan.

Untuk menjadi sebuah film drama menegangkan yang dibalut dengan romansa, sepertinya genre itu gagal dijangkau. Apalagi jika harus masuk kategori biopik yang penuh dengan kegelisahan Houdini. Tapi, untuk sebuah tontonan sore hari, film ini bolehlah ditoleh. Karena selain pesan agar tidak terlalu ngotot dalam mencapai sesuatu dan harus melepas diri dari masa lalu, film ini juga menyisakan sedikit angin segar berkat penampilan menarik-lucu dari aktris berbakat Saoirse Ronan.

Sabtu, 17 Juli 2010

Inception (2010)

Director : Christopher Nolan
Cast : Leonardo DiCaprio, Ellen Page, Joseph Gordon-Levitt, Ken Watanabe, Marion Cottilard, Tom Hardy, Cillian Murphy, Michael Caine
Rate : 4/5

Memasuki sebuah labirin mimpi kadang menyenangkan, tapi tidak jarang pula membuat sakit mental. Sesuatu yang tak nyata akan menyeruak menjadi sesuatu yang menghantui kemanapun kita melangkah. Sangat jarang sebuah mimpi itu akan benar-benar terjadi di dunia nyata, tapi Anda pasti tak percaya jika mimpi bisa dipermainkan dengan suatu alat yang akan membawa si pemimpi menuju stabilitas kehidupan. Atau lebih parah lagi, untuk menggagalkan suatu rencana besar. Jika Anda (dan saya sebelumnya) tidak akan percaya jika hal itu dapat dikembangkan, ternyata kita salah telak. Christopher Nolan, sang sutradara serta yang menulis seluruh rangkaian naskah, menghadirkan suguhan bermutu terbarunya. Inception menjelaskan tentang apa yang saya utarakan di awal paragraf tadi.

Nolan mengontrak DiCaprio, Ellen Page, Ken Watanabe, Tom Hardy, Joseph Gordon-Levitt, Marion Cottilard, Cillian Murphy serta Michael Caine untuk membuka suatu kedok perusahaan yang disinyalir akan dimanipulasi oleh seseorang. Mereka tidak melakukan bak mata-mata lompat genting, tetapi melalui sebuah perjalanan mimpi yang mengikutsertakan logika di dalamnya.

Sekali lagi, Nolan mengajak penonton menuju alam bawah sadar yang akan memutar dan memeras otak. Tapi, kalo diperhatikan dengan seksama, Inception ini boleh dibilang tidak begitu rumit. Mungkin tujuan Nolan demikian, berusaha bermutu tanpa harus melepaskan jubah komersil yang notabene rilisan musim panas. Tapi keadaan membingungkan tadi dibalikkan dengan visualisasi yang luar biasa menakjubkan. Saya sampai terkagum-kagum kala para 'mata-mata' melayang bebas laksana burung menari di angkasa. Lucu, adegannya jauh dari kiasan saya tadi. Nolan, berusaha mencegat otak penonton yang mulai merontokkan rambut karena terlalu keras berpikir dengan serangkaian amunisi akting yang mumpuni. Sekali lagi, sekali lagi, Nolan pantas berbangga hati karena aktor pilihannya tidak ada yang mist-casting. Semua pekerja akting mentrasformasikan karakter mereka dengan sangat pas. Bahkan, ada beberapa bagian kita dibuat bingung antara batasan tipis orang baik-orang jahat.

Christopher Nolan sepertinya memiliki otak yang mampu menampung ide-ide brilian bukan kepalang. Dari goresan tangannya, naskah yang tersaji sangat hebat. Seluruh kombinasi dialog sepanjang film memang diperuntukkan memonopoli mata penonton agar tidak lari dari layar. Sisip sedikit saja, blasss, mungkin akan kebingungan nantinya. Dan, Nolan mengansumsikan jika sebuah mimpi itu bersifat ambiguitas. Bisa saja, di satu sisi mimpi itu bisa menjadi sebuah bumerang jika kita terus meratapi mimpi itu dengan pikiran kosong dan hanya menerima dengan tangan terbuka. Sisi lain, mimpi kadang berguna untuk melarutkan memori yang tak kunjung muncul ke permukaan hingga sang pemimpi mengerti sebatas mana hal itu akan sejalan. Apapun itu, jika Anda seorang pemimpi, saya anjurkan untuk setia pada dunia nyata. Jangan melumerkan indera perasa Anda dengan sebuah mimpi yang tidak jelas kejuntrungannya.

Sayang sekali rasanya, penceritaan luar biasa ini tidak didukung dengan music score yang maksimal. Di telinga saya, musik pengiring terdengar seperti sebuah perusak tensi film. Entahlah jika itu tidak terasa bagi orang lain.

Akhir kata, ini sebuah summer movie yang paling memuaskan 2010 ini di bawah Despicable Me. Saya sangat berharap jika Nolan memunculkan sebuah metafora kehidupan lagi di luar franchise Batman-nya. This is higly recommended!

Kamis, 15 Juli 2010

A Fish Called Wanda (1988)

Director : Charles Crichton
Cast : John Cleese, Jamie Lee Curtis, Kevin Kline, Michael Palin
Rate
: 3,5/5

Selera humor Inggris memang sedikit berbeda dengan gaya melucu orang Amerika. Mereka (orang Ingrris) lebih memanfaatkan dialog dan situasi yang menghibur, bertolak belakang dengan film komedi Hollywood yang terkadang menjurus slapstick dan vulgar. Itulah kenapa, kebanyakan film komedi di ranah negeri Ratu Elizabeth bisa jauh lebih berkualitas. Kala itu, film yang sempat mencengangkan karena berita heboh gara-gara ada yang meninggal karena menontonnya ini, sukses membuat para juri Oscar tidak enggan untuk menjejalkannya ke beberapa nominasi. Hebatnya, Kevin Kline sukses merebut salah satunya di kategori Best Supporting Actor.


Si Wanda yang bersama komplotannya hendak melakukan sebuah perampokan. Ditemani oleh sang pemimpin, orang gagap, dan pacar selingkuhan, Wanda menjadi yang tergagah di antaranya. Mana lagi ketika kejadian yang tak terduga menyebabkan hasil rampokan harus dimonopolir ke tempat yang lebih aman. Guna menghakkan sendiri, Wanda meminta bantuan pengacara dengan berbagai tipu muslihat.

Sinopsis film ini memang sedikit generik dan sering dipakai untuk formula film serupa. Tapi, Anda akan semakin terperangah saat kejutan-kejutan menjumpai di adegan per adegan selanjutnya. Tidak ada yang tau persis mau apa para tokoh ini hendak lakukan. Semua dilihat secara gamblang. Semua itu dilengkapi dengan karakterisasi yang unik, jika tak mau dibilang aneh. Asosiasi dari seorang ikan yang setengah adegan terasa ironis juga sukses diparodikan. Belum lagi saat salah satu tokoh harus melakukan rencana yang tak kadung berhasil. Nah, dari keseluruhan tadi, tone terbahak-bahak tadi sungguh terasa sampai ke dalam urat geli sekalipun. Bilamana terasa ada beberapa adegan konyol, saya berani menjamin kalau hal itu tidak ada efek negatif sama sekali. A Fish Called Wanda memang dari awal sudah berdiri dengan bendera ngakak.

Tidak melulu menyuguhkan kandungan lelucon, film ini juga menyentil apriori manusia dalam dunia perselingkuhan. Segala yang berbau lust, akan menjelma menjadi sosok yang menakutkan dan susah sekali untuk ditutup kebohongannya. Tapi, melihat endingnya yang mengarus pada cinta sejati, sepertinya perselingkuhan itu tidak begitu menyakitkan, meski tidak dibenarkan juga. Satu hal lagi, A Fish Called Wanda tidak membagi porsi untuk antagonis dan protagonis. Ke-heterogen-an sifat seluruh tokohnya membuat anta dan prota tadi menjadi sedikit baur. Memang itulah manusia. Tidak ada satu orangpun yang memiliki sifat malaikat tok. Ada saja hal tercela yang mengalir di darah mereka.

Saya dengan senang hati harus mengapresiasikan kedua jempol tangan saya untuk John Cleese. Cerita cerdas ini berasal dari kepalanya yang naskahnya juga ditulis olehnya berbarengan Charles Crichton. Crichton juga yang mengatur jalannya film menjadi lebih asik. Didukung dengan editing yang sempurna, adegan-adegan mengalir lancar tanpa ada kebosanan sedikitpun. Masuk ke sektor pemainnya, hal itu tidak ada kendala yang berarti. Mulai dari Jamie Lee Curtis, Kevin Kline, John Cleese hingga si gagap Michael Palin berhasi melebur satu sama lain. Kekocakkan mereka menyempurnakan naskah dan pengejewantahan si pembesutnya. Sayangnya, terdapat satu-dua part yang membuat penonton agak kurang nyaman. Untuk ukuran film komedi ini, pesona Wanda 'menjual diri'nya terkesan murahan. Okelah, hal itu masih dimaafkan jika saja tidak terus-terusan mengumbar nafsu si penggoda. Di luar itu semua, A Fish Called Wanda sangat direkomendasikan. Paket lengkap untuk melepas lelah, kantuk dan berbagai keluhan lainnya. Jangan salahkan saya jika Anda tidak berhenti menahan ketawa hanya karena menonton ini!

Selasa, 13 Juli 2010

Thirst (2009)

Director : Chan-wook Park
Cast : Kang-ho Song, Ok-bin Kim, Hae-sook Kim, Ha-kyun Shin
Rate : 4/5

Mungkin para twi-hards akan tersipu malu dan nangis di pojokan saat menonton film ini. Mengapa? Karena ini versi tolak-belakang dari kisah menye-menye karangan Stephanie Meyer tersebut. Thirst menjungkirbalikan skeptis yang berlebihan kepada vampir manis-sensitif. Dan, memang beginilah sosok penghisap darah sebagaimana mestinya. Rakus darah, takut sinar matahari, serta berbagai kewajaran lainnya. Tahun 2009 kemarin, Thirst 'bermain' di festival perfilman dunia hingga mendapatkan predikat Sutradara Terbaik untuk Cahn-wook Park di Cannes tahun lalu. Suatu hal yang tak mungkin diraih Twilight saga jika tampilannya yang begitu-begitu saja. Ah, di sini saya mau berbicara tentang film Asia ini. Biarlah Twilight saga menjadi debu yang pernah menempel di kulit saya, dan saya mengelapnya hingga kulit saya kembali bersih dari debu tersebut melalui film ini.

Seorang pendeta yang merelakan dirinya untuk ikut di suatu percobaan berbahaya. Dengan faktor sebagai satu-satunya yang masih hidup, pendeta tersebut menjadi 'tuan agung' di kotanya sendiri. Seluruh orang seakan bersembah kepadanya. Hingga suatu hari ia diharuskan menolong sahabatnya yang memiliki seorang istri (atau pelampiasan seksnya belaka?) yang cantik. Intens yang tak seharusnya membuat hubungan itu harus berjalan di bawah bendera rahasia. Mereka mengendap-ngendap bertemu dan bercinta. Sampai suatu hari sang wanita mengetahui rahasia terbesar sang pendeta yang membuatnya dilema akan nasibnya ke depannya.

Film ini pas untuk menjelaskan hubungan terlarang vampir-manusia di era milenium sekarang ini. Mereka tidak terang-terangan terbuka, mereka mengemban kesengsaraan pemendaman rahasia, dan mereka juga harus bersikap semestinya kala di depan umum. Thirst juga setia dengan novelnya yang katanya vulgar dalam urusan adegan seks. Sang pendeta juga tidak terlihat seperti sosok hero yang harus melindungi dunia. Malah dilematis yang menderanya seakan kontras dengan tujuan awalnya menjadi sukarelawan. Memang, apa yang terangkum di film ini seperti melihat film semi-porno tetapi dengan kualitas cerita yang mumpuni. Adegan menyeruput darah oleh si pendeta juga telihat keren. Tidak kacangan. Bahkan kalo boleh dibilang, unik dan menyedihkan bagi korbannya. Pertempuran yang mendarah merah juga sangat menyejukkan mata. Tidak sesuai dengan warna latarnya. Bair gregetnya tidak hilang, cobalah buktikan sendiri.

Semua itu bergulir dengan sangat nikmat atas bantuan tangan para penulis naskah. Chan-wook Park dan Seo Gyeong-Jeong sukses membalut cerita yang kokoh. Keseluruhan terasa terlengkapi atas performa luar biasa dari para aktronya serta visualisi yang menawan dari gerakan karema si penangkap gambar. Penyutradaraan Park juga tidak sia-sia. Iya telah cum laude memadupadankan nuansa keheningan yang menyiksa via Old Boy. Tapi juga sudah pengalaman membuat cerita yang sedikit futuristik lewat I'm a Cyborg, But That's OK. Thirst seakan semakin memantapkan perjalanan karir filmnya di belahan dunia barat sana.

Sayang sekali, film ini tak luput dari kelemahan. Andai saja musik pengiring film ini dipoles sedikti lagi menjadi lebih bagus, tak pelak hal itu akan semakin menggemilangkan Thirst. Suasana mencekam kurang terasa karena bantuan scoring music yang kurang bekerja dengan baik. Sudahlah, toh filmnya sendiri sudah menggelegar dan mampu meremuk-redamkan para Bella Swan cs. hingga ke inti bumi paling dalam.

Untuk sebuah film bergaya klasik seperti ini, Thirst sudah mampu berada di posisi itu. Tapi untuk menjadi sebuah yang luar biasa semacam Nosferatu atau classic masterpiece lainnya, Thirst kurang sedikit ditampol dalam berbagai segi. Tapi, apapun itu, Thirst sudah sedikit melegakan akan kehausan sebuah kisah vampir modern yang telah dibutakan oleh romansa-tidak-selesai-selesai trisome Bella-Jacob-Edward. Sangat direkomendasikan bagi siapa saja yang menyukai film berjenis thriller, horror, drama berkualitas atau apapun genre yang pas untuk Thirst ini. Menyegarkan, mengangkat pamor manusia penghisap darah ke lajur sebenarnya, serta bisa jadi menjadi acuan untuk karya sejenis ke depannya. Dan tolong, Hollywood jangan me-remake-nya!

Senin, 12 Juli 2010

Little Miss Sunshine (2006)

Director : Valerie Faris & Jonathan Dayton
Cast : Greg Kinnear, Toni Collette, Paul Dano, Steve Carrell, Alan Arkin, Abigail Breslin
Rate : 4,5/5

Dengan dominasi warna kuning, saya artikan jika posternya sendiri menunjukkan sebuah kehangatan yang universal. Tetapi penekanan pada Little Miss Sunshine terletak pada keselarasan dan keseimbangan sebuah keluarga. Topik yang sering sekali diangkat oleh sineas dunia, dan rata-rata tema begini termasuk sukses memburu hati penonton hingga tertawa dan menangis. Untuk dikatakan sebuah karakter dan sempurna, tokoh-tokoh di Little Miss Sunshine jauh dari pandangan itu. Bahkan kalo boleh dinilai, disfungsional character lah yang menyertai film berdurasi 90menitan ini. Tapi, jangan pesimis dulu. Dengan naskah yang kuat, film murah ini menyeruak ke permukaan festival-festival dunia sebagai salah satu yang terbaik. Mengesankan jika melihat parodi kehidupan dengan tingkat ironis yang begitu tinggi tapi juga menghibur secara bersamaan.

Bayangkan, di satu rumah terdiri dari seorang ayah, ibu, 2 orang anak yang salah satunya aneh, paman dan kakek. Semuanya memiliki sikap yang berlawanan. Kesenjangan satu sama lain ditampilkan dengan begitu luwes. Perhatikan saja adegan di meja makan. Bukan bermaksud spoiler, tapi adegan tadi berjalan sangat lentur dan menyisakan sebuah pemikiran betapa kerukunan itu dimulai dari saling mengerti. Mereka ditakdirkan untuk melakukan perjalanan jauh. Di sepanjang jalan inilah, sang penulis naskah dengan cerdas memberikan part-part yang tidak berlebihan kepada setiap tokohnya. Dengan masing-masing masalah dan beban hidup, kesemuanya ditunjukan dengan wajar tanpa ada kesan menguliahi.

Uniknya lagi dan pintarnya sutradara, mampu merangkai kesenjangan tadi menjadi suatu paket yang menarik. Tidak ada bagian yang membosankan, sebaliknya sepanjang film adalah kegembiraan yang menyakitkan. Kenapa saya bilang menyakitkan? Karena tadi, melalui sebuah road trip, semua yang semula tak terpikirkan benar-benar terjadi. Dan itu menyakitkan! Penonton akan kaget dengan semau kejutan yang semakin menyempurnakan film ini. Belum lagi jika menuju ending, di situlah puncak sebuah keharmonisan sebuah keluarga ditampilkan. Merasa salah seorang di antara mereka akan merasa dirugikan, mereka bergegas mengambil sikap yang menguntungkan. Yah, walaupun ujung-ujungnya tidak beruntung juga.

Jonathan Dayton dan Valerie Faris termasuk beruntung karena mendapatkan aktor yang bermain solid dan saling mendukung satu sama lain. Ensemble cast kalo boleh saya bilang. Greg Kinnear, Toni Collette, Alan Arkin, Steve Carrell, Paul Dano, dan Abigail Breslin bermain tanpa cela. Semuanya melebur menjadi satu kesatuan yang berimbang. Tidak saling menonjolkan diri, itulah saya sebut sebuah kesederhanaan dengan kekayaan makna. Dengan naskah yang kuat, tak pelak bagian skrip mendapatkan kemenangan di ajang Oscar dengan Michael Arndt yang bertanggung jawab. Setali tiga uang dengan Alan Arkin yang menakjubkan dengan peran sintingnya. Sulit sekali rasanya saya harus mencari-cari sebuah kesalahan, karena di mata saya film ini hampir mendekati sempurna. Tidak ada cerita yang berbelit-belit, yang dibutuhkan hanya sebuah keterikatan karakter satu sama lain. Sekali lagi, itulah yang membuat Little Miss Sunshine megitu megah.

Film ini sedikit banyak mengajarkan kita bagaimana bersikap antar penghuni rumah yang kita singgah. Kemajemukan jiwa dan heterogen sikap memang agak rumit untuk disatukan. Tapi percayalah, lambat laun hal itu akan terjadi jika kesemuanya memiliki sikap terbuka. Satu hal lagi yang saya liat melalui film ini adalah sebuah pengharapan. Kita hanya butuh doa dan kerja keras untuk membuat sebuah perharapan menjadi kenyataan. Jika hal itu tidak terjadi, dunia belum kiamat. Tentukan sikap bagaimana pengharapan tadi bisa muncul dari ubun-ubun kepala dan terlaksana dengan tangan dan kaki yang bediri sendiri. Maaf saja jika saya seperti berpidato yang bukan-bukan, tapi itulah esensialitas Little Miss Sunshine di mata saya.

Sabtu, 10 Juli 2010

Doubt (2008)

Director : John Patrick Shanley
Cast : Meryl Streep, Phillip Seymour-Hoffman, Amy Adams, Viola Davis
Rate : 4/5

Masa keemasan seorang Meryl Streep sepertinya tidak akan pernah pudar sampai kapanpun. Setiap tahunnya, ada saja film yang membuat dia masuk ke jajaran nominasi seluruh ajang perfilman dunia. Terlebih lagi, pesona kecantikan alami yang melekat pada tubuhnya, tak pelak menjadi sebuah acuan aktris muda yang mengidolakannya. Setelah menggendong 2 Oscar, di tahun 2008 lalu, nenek berusia 61 tahun ini mengulang kedigdayaan lewat film berpakem sendu ini.

Seseorang tidak akan mendapat sebuah jawaban jika hanya menerka dan menuduh belaka. Itulah inti dari film gubahan John Patrick Shanley ini. Seorang suster muda, Sister James melihat suatu kejanggalan di sekolah Katolik tempat ia mengajar. Salah satu muridnya, dirasakannya mendapatkan perlakuan yang begitu spesial dari guru laki-laki, Father Brendan Flynn. Kejadian semakin memburuk ketika James mengadu kepada tetua sekolah tersebut. Sister Aloysius semakin berprasangka jika Father Flynn memang ada suatu hubungan khusus dengan muridnya. Mendapatkan sebuah kenyataan kalau anak itu 'beda', Aloysius mengundang ibu sang anak guna mencari kebenaran.

Putih kelabu menyelimuti guliran gambar bergerak ini, dengan bantuan score-music yang sendu tetapi dalam. Shanley yang mengadaptasi film ini dari pertunjukkan broadway-nya sendiri, cukup sukses menjejalkan beberapa aktor berkualitas untuk bermain di film yang juga bermutu ini. Sebuah kamuflase hidup ia terapkan lewat seorang guru. Seluruh majas perbandingan ia gunakan lewat film ini, hingga pada puncaknya sebuah keironisan menyapu sebuah kebenaran yang semestinya tidak akan pernah terjadi. Tapi, patut disayangkan adalah adegan akhir yang mungkin menyisakan pelbagai pertanyaan mengenai sebuah keraguan. Aloysius bukan seorang yang sempurna, tapi penonjolan karakter ini kurang terfokuskan di adegan tadi. Tapi, secara keseluruhan apa yang disajikan Shanley lewat Doubt, sebuah pencapaian yang luar biasa.

Wilayah akting sepertinya tidak usah diperdebatkan lagi mengingat keempat aktor utamanya mendapatkan tempat di Oscar 2009. Streep -yang memang tidak pernah mengecewakan- bisa membius penonton hanya dengan gerak muka dan mainan matanya saja. Hoffman begitu pula, sosok yang mesti dimengerti bisa dia emban tanpa rasa kaku dan bimbang. Semua diperlihatkan dengan sebuah kewajaran dan tidak berlebihan. Amy Adams yang sempat sukses lewat Junebug, memerankan sosok yang pas untuk metafora sebuah keraguan. Satu waktu, ia seperti tidak enak hati tapi bisa juga menjadi sosok yang mengesalkan dengan ketidakpedeannya. Di menit-menit akhir, Viola Davis menggunakan waktu singkatnya maksimalitas yang tinggi. Mungkin ia muncul 15 menitan saja, tapi performanya bisa dikenang sepanjang jaman sebagai salah satu kemunculan singkat aktor yang paling mengesankan.

Mengingat sebuah keraguan adalah hal yang paling membingungkan bagi manusia, pantasnya yang menderita keraguan tersebut meluapkan segalanya secara terbuka. Hal itu diharuskan agar gosip yang kita pendam tidak menjadi bom yang kapanpun bisa meledak. Kalu sudah begitu, sudah jelas dampak negatifnya akan terkena oleh siapa saja di sampingnya. Kekontrasan seting tempat dan tema semakin memperumit kemelut yang sedang dihadapi. Para tokohnya seakan ditantang terbuka di rumah Tuhan untuk berkata yang sejujurnya. Dan dari karakter itu juga, pemirsa bisa mengambil sari murni akan sebuah kehidupan. Sebagai makhluk sosial, manusia dibebankan atas sebuah kejujuran satu sama lain. Sepahit apapun hasilnya, kejujuran dapat menenggelamkan keraguan yang bisa bersifat mutlak jika saja yang bersangkutan tak mengerti sebuah kejujuran tadi.

Doubt, sebagai film yang dibuat oleh sutradara debutan, berhasil mengajak penontonnya untuk mengulik lebih dalam sebuah hati kemanusiaan. Mengajarkan yang benar dan membuang yang salah, Doubt seperti sebuah cermin sikap manusia di orde kapanpun. Mengkilap dari segi akting, memesona dari segi arti. Highly recommended!

Jumat, 09 Juli 2010

Despicable Me (2010)


Director : Pierre Coffin & Chris Renaud
Cast : Steve Carrell, Russell Brand, Jason Segel, Julie Andrews, Will Arnett, Kristen Wigg
Rate : 3,5/5

Tau Kungfu Panda bukan? Pengalaman menonton film itu lah saat saya menyaksikan Despicable Me. Porsi yang komplit untuk sebuah animasi. Lucu, check. Menyentuh, check. Animasi keren, check. Plus, tampilan 3D yang mencengangkan. Sebuah inovasi untuk sebuah film CGI yang tidak selalu menyertakan kekonyolan belaka. Despicable Me, meski hal konyol itu masih ada, tetapi tidak dalam tingkat annoying, malah menambah kesannya menjadi sedikit 'gurih'. Sangat di luar ekspektasi saya jika hasil akhir film ini begitu mengesankan.

Seorang profesor, Dr. Gru, yang sedang diambang kehancuran karena kucuran dana atas sebuah gebrakan barunya sulit di dapat. Pada suatu waktu, ia diberikan opsi akan dibantu jika saja dia bisa mendapatkan sebuah alat rekaan Vector, saingan beratnya. Dengan bantuan Dr. Nefario dan para minion (makhluk mini berwarna kuning hasil rekayasa genetik dari jagung), Gru harus meyakinkan sang penggalang dana. Di saat genting, Gru memilih ide untuk mengadopsi 3 anak dari panti asuhan yang gemar jualan kue. Margo, Edith, Agnes akhirnya menjadi bagian kehidupan Dr. Gru yang masa kecilnya kurang membahagiakan ini.

Premis yang lucu dan khas sebuah animasi : hal yang tak mungkin terjadi, dipaksakan bisa dilakukan. Cerita yang menarik dengan bantuan animasi yang segar, tatkala membuat film ini menjadi sebuah oase kala film-film jebolan bulan Juni sedikit melelahkan. Sekumpulan makhluk minion semakin mempertebal kekonyolan yang pas lengkap dengan bahasa asing yang hanya dimengerti oleh Gru. Kalo mau dibandingkan, para minion ini seperti scrat di saga Ice Age. Bedanya, scrat terkesan sial sedangkan para minion lebih atraktif dan beruntung. Belum lagi jika melihat benda-benda kinetik yang diperlihatkan di film ini, saya yakin bagian itu akan membuat Anda terbahak-bahak. Lihat saja di sektor rumah Vector. Berbagai alat ajaib dirunut dengan begitu mengena. Di markas Dr. Gru pun begitu, ditambah adegan di atas langit yang membuat sakit perut saking lucunya. Pintarnya, untuk sequence di luar angkasa, para kreatornya sangat teliti. Jika film sci-fi lain tetap mebiarkan api membara di medium tanpa oksigen itu, di Despicable Me pola itu dpercerdas. Sehingga logika penonton tidak sakit memikirkannya.

Seperti yang tadi saya bilang, film ini menuntut sesuatu yang tidak mungkin terjadi. Mencuri bulan. Lupakan hal tadi, toh sajian lengkap film ini seakan menutupi bagian pengernyit dahi tadi. Implikasi jika-maka film ini sering kali terjadi. Seperti, jika seorang anak yang dibesarkan dengan sedikit perhatian, kans anak tersebut untuk bertindak sekenanya juga semakin besar. Jika sebuah harapan yang tak mungkin akan terlaksana, maka berpikirlah dan coba untuk melakukan yang lebih berguna. Seluruh pengalaman yang dilalui Dr. Gru telah mengubah pandangannya akan sebuah kehidupan yang sesungguhnya. Di tengah antusiasme terhadap cipataannya, dia dibuat dilema dengan kerinduan kasih sayang dari 3 bocah yatim piatu tadi. Sungguh menyiksa batin, apalagi dengan pengalaman pahit yang dirasakannya selagi kecil.

Film-film produk Pixar memang sangat membekas dengan kesederhaan cerita tapi kaya akan moral. Sisi humoris mereka belakangkan tanpa harus meninggalkan porsi cerita tadi. Nah, untuk debutan kali ini, hal itu juga diperhatikan. Illumination Entertainment selaku dedengkotnya, sukses meramu debutnya. Duet sutradara Pierre Coffin dan Chris Renaud telah menciptakan franchise baru di masa yang akan datang.

Untuk paduan suara, seluruh cast-nya memberikan sumbangsih yang besar, terlebih lagi dari seorang Steve Carrell. Logatnya sangat menghidupi sosok perkasa-sendu Dr. Gru. Tidak ada yang mengecewakan dari sisi olah vokal ini. Musik? Hans Zimmer dan Pharrell Williams melakukannya dengan baik. Tidak ada musik yang terdengar campur aduk, bahkan untuk segi orisinalitas, hal itu masih terjaga. Satu lagi, diversiasi 3d ke film ini sangat halus dan memukau mata. Lucu rasanya melihat gambar bergerak menuju mata kita. Serasa mau ditangkap dan lenyap... Good job for debut creature!

Fungsional sebuah kehidupan memang berdasar atas banyak hal. Tidak selalu dalam bentuk kepuasan materi serta pangkat dan jabatan. Di lain itu, ada secercah kebahagian yang tidak bisa dipungut dari sembarang tempat. Itulah kebahagian sebuah keluarga. Cinta kasih yang merekah bagi setiap individu pasti bibitnya dari sebuah keluarga. Seburuk apapun mereka, keluarga adalah sandaran hidup yang di setiap saat akan menerangi jalan gelap kita. Despicable Me memaparkan dengan begitu halus dan mengena di hati. Happy watching! by: Aditya Saputra

Rabu, 07 Juli 2010

Predators (2010)

Director : Nimrod Antal
Cast : Adrien Brody, Alice Braga, Topher Grace, Danny Trejo, Laurence Fishburne
Rate : 2,5/5

Sekelompok manusia tak saling kenal satu persatu dipertemukan di sebuah hutan belantara tak bertuan. Royce, lelaki bersosok pemimpin, ada wanita tentara perang, pria muda seorang ilmuan, seorang narapidana, komplotan Yakuza, serta serdadu Rusia. Mereka harus segera memecahkan seluruh pertanyaan di benak mereka kenapa bisa ada di 'wahana' menakutkan itu. Perlahan, mereka akhirnya menemukan jawaban yang serta merta menyiksa fisik. Sekumpulan Predator yang tak diharapkan muncul akhirnya menampakkan diri. Dengan sekuat tenaga 'para tamu' ini mesti menyelamatkan diri dari neraka tersebut.

Sebelumnya, ini menjadi sebuah taruhan bagi saya saat akan menonton film terbaru Nimrod Antal ini. Kenapa? Saya tidak dijejali review serta belum pernah menonton satupun franchise film ini. Menariknya, dengan begitu saya bisa dengan fokus hendak ke mana film ini akan mengacu. Sulit sekali jika harus bilang film ini bagus, tapi tak pantas juga mencercanya menjadi film hancur. Intinya, film ini adalah sebuah jumlah untuk memperbanyak film yang diangkat ulang dari tahun 80-an dengan hasil yang biasa-biasa saja. Predator dulu sempat membuat seorang Arnold-yang-nama-belakangnya-susah-sekali-ditulis menjadi sebuah aktor legenda dan terkenal di seluruh dunia. Pada waktu itu, ide film ini termasuk original. Karena memamparkan jika yang menjadi musuh adalah manusia. Melihat kesuksesannya, sekuel tak bisa ditahan hingga muncul Alien vs. Predator. Whoever wins, we lose- tagline yang sangat mengena sekali.

Lewat rilisan terbaru ini, bersama A Nightmare on Elm Street dan The Karate Kid, Predators seakan pengulangan dari kisah aslinya. Tapi untunglah si pembesut bisa sedikit bijaksana dalam mengarahkannya. Banyak aspek yang lumayan membuat diam terpaku saat menontonnya. Pemunculan 'pemangsa' pun terbilang tidak kacangan. Setelah menit 20-an, Predator menunjukkan tajinya yang memang menyeramkan. Tapi setelah itu, adegan pengenjot adrenalin semakin berkurang, berkurang, dan hilang. Bahkan untuk ending sekalipun film ini sulit sekali merangkak lebih baik. Sebenarnya, hal itu bisa dimaafkan jika penulis san sutradaranya mau sedikit bereksplorasi akan adegan-adegan tersebut. Setidaknya ada satu adegan yang mebuat saya tersenyum karena kesan klasiknya. Pertarungan one on one antara Yakuza dengan samurainya melawan seekor Predator. Di ladang ilalang yang hijau dengan cahaya bulan temaram, polesan warna darah keduanya begitu kontras. Atmosfer pertandingannya sangat terjaga. Dan lucunya, sang Predator seperti tau dan mau ngeladeninya. Kalo mau dipikir, kenapa ia tidak langsung menembak saja dengan peluru lasernya? Timbul pertanyaan lagi bukan.

Nimrod Antal sebenarnya cukup sukses membuat rekonstruksi sebuah kebimbangan seperti yang ia lakukan di Vacancy tempo lalu. Sayangnya lagi, meski score music sudah cukup membantu, Antal malah mengeksekusinya dengan seadanya. Untunglah, performa seluruh pemain walaupun tidak hebat masih tetap mampu mengendalikan tempo. Adrien Brody sekali lagi tersesat di sebuah tempat asing yang seperti ia perbuat di King Kong. Setelah akhirnya merenggut Oscar, Brody seakan kehilangan jimat hingga harus main di film ala kadarnya. Ada lagi penampilan yang cukup kuat dari Alice Braga serta kemunculan Laurence Fishburne yang mengejutkan. Satu hal lagi, munculnya Fishburne menjadi salah satu pertanyaan besar berikutnya. Tidak dijelaskan sama sekali apa niatnya mengambil alih perjalanan dan hendak mengurung Royce cs. Okelah kalo dia ingin kabur dengan menaiki pesawat. Tapi alangkah cerdasnya jika dalam keadaan mencekam itu segala sesyatu dikerjakan bersama-sama. Topher Grace ikut serta sebagai seorang ilmuwan muda. Perubahan sikap pada ending sedikit membingungkan. Masih banyak lagi kebingungan-kebingungan lainnya.

Singkatnya, untuk menjadi summer movie, film ini berhasil. Paduan thriller monster dengan beban psikologis itu mampu membuat feature ini sedikit terkatrol ke permukaan. Kenapa saya sebut psikologis? Karena ada beberapa bagian yang menunjukkan kesan itu oleh tokohnya. Lanjut lagi, namun untuk menjadi sebuah film bagus sayang sekali pemikiran itu harus dibuang jauh-jauh. Dengan segala kehilangan arah filmnya yang berupaya menunjukkan kejutan-kejutan, film ini malah bobrok karena itu semua. Oleh sebab itu, buang skeptis sebelum menontonnya kalau ini film akan sanggup menopang kebobrokan Aliens vs. Predator : Requiem. Dan satu hal lagi, jika Anda berada di posisi mereka, ingat satu hal : jangan terlalu percaya, sebab orang baik belum tentu baik dan sebaliknya.