Sabtu, 30 Oktober 2010

Almost Famous (2000)

Director : Cameron Crowe
Cast : Patrick Fugit, Billy Crudup, Jason Lee, Kate Hudson, Frances McDormand, Anna Paquin, Zooey Deschanel
Rate : 3,5/5


Cameron Crowe adalah salah satu penulis naskah ulung yang sudah memiliki fanbase tersendiri untuk karya-karyanya. Buah penanya memang tidak perlu diperdebatkan lagi. Tulisan skrip mulai dari Fast Time at Ridgemont High, Jerry Maguire, Say Anything hingga yang paling lemah semisal Elizabethown pun masih menyisakan suka cita mendalam kepada seorang Crowe. Perheletan Oscar 2001 lalu disemarakan oleh salah satu film terbaik Crowe yang mengatasnamakan musik sebagai latar belakang cerita. Adalah Almost Famous yang oleh sebagian pihak dicap sebagai film terbaik tahun 2000 memang terbukti memberikan warna baru untuk pattern drama memikat yang mengalurkan pendewasaan diri di tengah lingkungan yang keras untuk dijalani.

William Miller adalah remaja tanggung yang berkesempatan meliput tur band favoritnya, Stillwater, dan menjadi freelance editor untuk majalah musik terkenal, Rolling Stone. Namun ternyata, keterlibatannya itu tidak dipikir ulang karena dunia yang sekejab dimasukinya adalah sebuah dunia yang keras dengan beragam aneka personaliti. Bercermin pada sosok gitaris Stillwater dan seorang grupis, Penny Lane, hidup Miller semakin hiruk-pikuk. Walaupun di rumah nan jauh di sana, sang ibu dengan segala kecemasan batin merasa dilema dengan ketidakberadaan anak-anaknya di pelupuk matanya.

Crowe telah mengolah naskah buatannya sendiri menjadi sebuah karya yang sangat monumental. Crowe berhasil mengeksplorasi dunia musik khususnya rock 'n roll tahun 70-an. Dan sebenarnya, Crowe membuat dunia musik tadi hanya sebagai background cerita sedangkan masalah primernya terletak pada tokoh utama yang mencoba menemukan jati diri di luar lingkungan ibunya yang over protected. Miller yang anak baik-baik akhirnya terbawa ke suasana hippies dan mulai mentolerir apa saja yang hendak diperbuatnya. Pada sisi lain, Almost Famous juga mengutarakan tentang pendewasaan diri yang saya kemukakan sebelumnya. Bagaimana lingkungan membentuk hidup seseorang dan warna-warni lingkungan menjadi sebuah visual yang tak bisa dielak mata.

Di sinilah kelihaian Crowe dalam mengeksposisi kekayaan batil remaja yang serba canggung dan mulai memata-matai lingkungan dengan pola pikir yang lebih terbuka. Layaknya Jerry Maguire yang terketuk batinnya oleh lingkungan dan keadaan. Ditambah lagi jika menyinggung kalau inti cerita ini mengambil segelintir masa yang dialami secara langsung oleh pengalaman Crowe sewaktu muda. Jadi tak heran jika Crowe 'mendaur ulang' masa indahnya itu dengan sangat independen. Semarak lagu-lagu aroma tujuh puluhan juga tak lepas mengikutsertakan perjalanan film berdurasi 2 jam ini.

Dan yang lebih menarik adalah menyaksikan para aktornya bermain sangat natural. Crowe yang mengajak talenta-talenta muda seperti Patrick Fugit, Kate Hudson, Anna Paquin, dan Zooey Deschanel patut diacungi jempol ke atas. Pesona mereka keluar dengan sangat alami. Pun terjadi dengan generasi atas semisal Billy Crudup, Phillip Seymour-Hoffman hingga Frances McDormand yang berhasil mengasimilasikan temperamental seorang ibu dikekang dilematis.

Nah, selagi kaki masih berpijak di tanah bumi dan langit masih berhiaskan matahari, mungkin saya sarankan untuk menyempurnakan hidup Anda untuk menonton Almost Famous. Bukan saja bernyawa entertaining, namun sajian cerita dan pesan di ruang lingkup filmnya memang setara dengan perilaku manusia pada dunia nyata, setidaknya bagi kaum remaja. Ingin sekali rasanya mengumbar seluruh adegan di film ini kalau mengingat spoiler bukan sesuatu yang diharamkan. Happy watching!

by : Aditya Saputra

Notting Hill (1999)

Director : Roger Michell
Cast : Julia Roberts, Hugh Grant, Rhys Ifans, Lorelei King
Rate : 3/5


Cobaan terberat saya saat harus menonton sebuah film drama romantis adalah bagaimana saya agar tidak terbuai dengan jalan cerita yang ada. Walau kebanyakan film bernada romantis tidak memiliki alternatif penyelesaian cerita dengan kebahagian, biasanya saya menyiasatinya dengan penampilan aktornya. Dramrom lawas banyak yang menyuguhkan keberanian bercerita tapi tidak cenderung mengalami stagnansi ending. Saya ambil sampel Alice dan Hannah and Her Sisters buatan Woody Allen. Walau predikat drama berbobot dipegangnya, namun unsur prima yang menjalin ceritanya adalah karakterisasi yang pas. Jadi saya lebih bisa memaklumi jika romansa itu harus berujung pada kebahagiaan. Malam itu saya menyaksikan Notting Hill, rekomendasi dari beberapa teman saya. Saya rela membuang waktu saya untuk mengetahui bagaimana film ini bisa menjadi favorit banyak orang.

Pemuda penjaga toko buku tak sengaja didatangi oleh aktris ternama yang hendak mencari book guide. Love at the first sight. Pada suatu kejadian yang membuat mereka terlihat sangat akrab, suatu kejadian yang membuat mereka pisah dan saling mengerti keadaan, suatu kejadian yang membuat mereka dekat kembali. Seterusnya, pemuda dan aktris cantik itu melewati hari mereka dengan kesenjangan di mana-mana.

Magnet penting film ini adalah Julia Roberts dan Hugh Grant yang telah diplakat sebagai raja dan ratu drama romantis abad ini. Pertemuan mereka di Notting Hill saya nilai memang sangat bersenyawa satu sama lain. Tidak ada rasa canggung dan mereka saling mengisi slot adegan yang ada mereka di dalamnya. Roberts berhasil mengeluarkan aura kebintangannya untuk perannya ini dan Grant sukses mengimbangi Julia dengan paras polosnya itu. Sutradaranya yang kelak mengatur Peter O'Toole di Venus ini sanggup memadupadankan talenta keduanya.

Sayangnya, sang sutradara terlalu kecut dalam mengeksekusi ending. Menurut saya pribadi, jika saja ending-nya tidak (dipaksakan) mengalir ke jenjang kebahagian, pasti filmnya akan jauh lebih realistis. Memang cinta tidak mengenal strata dan profesi, tapi dalam kasus pemuda di film ini sangat timpang baginya untuk berjibaku mendapatkan cinta emasnya. Apalagi hal itu terjadi di tengah pers yang merasa 'gosh! Were there any options for the director to execute that scene?' Padahal, dari awal film ini sudah mengimun saya dengan dialog cerdas dan manisnya walaupun durasinya tidak umum untuk ukuran drama romantis.

Namun, seperti yang saya uraikan di prolog review saya kalau saya masih memaafkan keklisean tadi jika karakteristik tokohnya sanggup menopang keseluruhan paket cerita. Untungnya hal itu bisa men-subsitute hal minor itu di mata saya. Setiap watak di film ini saya suka termasuk untuk wanita berkursi roda yang tak jarang mengeluarkan quote bermakna. Kerja penulis naskahnya patut dipuji untuk sesi ini.

Jika teman saya bilang sense of romance saya aneh, mungkin saya bisa menerimanya. Tapi bagi saya, menilai sebuah film tidak hanya memerlukan unsur romance tadi melainkan sepenuhnya butuh logika. Notting Hill masih saya ponten 3/5 karena saya masih merasa kemajisan di pertautan kisahnya. Lengkap lagu pengiring yang cukup merdu didengar. Notting Hill pun memberitahu kita untuk tetap terus berjuang akan cinta meski kemungkinan terpahit akan kita terima. Bisakah saya bertemu Saoirse Ronan dan langsung mendapatkan cintanya? Kenapa tidak? Happy watching!

by : Aditya Saputra

Shrek Forever After (2010)

Director : Mike Mithcell
Voice-over : Mike Meyers, Eddie Murphy, Cameron Diaz, Antonio Banderas, Walt Dohrn, John Cleese, Julie Andrews
Rate : 2,5/5


Oscar membuka tudung untuk Best Animated pertama kalinya pada tahun 2001, gegap gempita dunia animasi tiga dimensi malah sudah di-start oleh Toy Story. Walau Pixar menyumbang Monsters, Inc. namun yang juara pada waktu itu malah Shrek, perwakilan Dreamworks Animation. Memang tidak bisa ditepis jika Shrek memang menyajikan sebuah film tunggal yang lengkap dalam moral lesson, humor, dongeng, serta animasinya sendiri. Beberapa tahun kemudian Shrek menambah umbul-umbul 2 untuk hadir kembali di layar perak. Tak terduga, sekuel ini malah mensahihkan sebagai animasi perolehan laba terbesar hingga saat ini meski mutunya berada di belakang pendahulunya.

Gelap mata akan godaan dolar, ph serupa membangkitkan kembali saga ini dengan tambahan The Third di belakang tajuknya. Sial menerpa, kualitasnya terseok-seok namun labanya sangat bombastis. 3 tahun kemudian, Shrek dan kawan-kawan kembali lagi melambikan tangan untuk tayang Mei silam dengan judul kali ini: Shrek Forever After. Ceritanya singkat saja, Shrek merasa dirinya kosong di antara keramaian lingkungannya. Bertemu Rumpelstiltstin, ia meneken kontrak yang ternyata menjerumuskannya ke liang penderitaan. Sutradaranya mungkin berhasil membuat visual Shrek sedap di mata, tapi bertolak belakang dengan penceritaannya sendiri. Kendati tidak semurni Pixar, tapi Shrek masih kaya warna dan penokohan yang terbilang cukup mahfum dalam menghibur.

Sekali lagi, sayang bagi sang sutradara yang kurang membawa Shrek jauh dari kubang lumpur. Ide cerita yang klise tadi malah dibobrok dengan pengerjaan yang asal-asalan. Jadi penonton tidak lagi menemukan penuturan berdongeng seperti yang kita rasakan di prekuelnya. Tergesa-gesa untuk sampai ke ending yang riang gembira. Kekecewaan lain adalah begitu banyaknya karakter yang meliputi keseluruhan durasi. Memang ada beberapa yang mengena dan lucu, tapi tak sedikit pula yang tak sudi nongol di layar. Sekali lewat sekejap mata. Humor sarkastik yang sering dilontarkan pun terasa basi dan lembek. Terutama tokoh keledai yang seperti kita ketaui bersama adalah sumber pengocok perut penonton.

Untuk para voice-over mungkin ini sebagai mata pencaharian tambahan yang bisa menambah kocek mereka. Garis besar untuk Mike Meyers dan Eddie Murphy yang sepi job. Patut diingat, meski tidak vital, sumbang suara dari kuartet Meyers-Murphy-Diaz-Banderas masih cukup ampuh dalam menjaga kekonsistenan watak tokoh.

Biarlah Shrek Forever After menjadi tumbal bagi franchise raksasa ini. Dan anggap saja Shrek Forever After sebagai penutup yang manis untuk membiarkan oger hijau ini kembali ke kawahnya. Pemberian tongkat spin off ke Puss mungkin ada benarnya. Yah, nikmati saja Shrek Forever After sebagai hiburan pengisi waktu luang, dan diharapkan untuk tidak membandingkan hasil akhirnya dengan pendahulunya. Apalagi dengan How to Train Your Dragon yang juga peranakan Dreamworks. Happy watching!

by : Aditya Saputra

Selasa, 26 Oktober 2010

Erin Brockovich (2000)

Director : Steven Soderbergh
Cast : Julia Roberts, Albert Finney, Aaron Eckhart
Rate : 3,5/5

Kesempatan ini akhirnya datang juga, menonton Erin Brockovich dan menjadi saksi kedigdayaan Julia Roberts sampai dia dikadoi piala Oscar. Filmnya sendiri keluaran tahun 2000, milenium baru, dari seorang Steven Soderbergh yang di tahun yang sama juga menelurkan sebuah proyek yang tak kalah berkualitasnya, Traffic. Bersama Traffic, Eric Brockovich bertengger di nominasi Best Picture Oscar 2001 plus sutradara terbaik untuk Soderbergh di 2 film secara bersamaan. Erin Brockovich memang sebuah film yang mengangkat kejadian nyata tentang seorang janda beranak tiga yang mengalami banyak cobaan hidup. Brockovih, mantan pemenang ajang kontes kecantikan namun memperoleh nasib yang tak sebanding dengan kemenangannya.

Hidupnya luntang-lantung dan bergigih mencari pekerjaan untuk menghidupi anaknya. Suatu ketika ia ditabrak oleh sebuah mobil, ia mengontrak pengacara murah namun tak kunjung memperoleh hasil yang menyenangkan. Keruwetan yang dihadapinya akhirnya menghentikannya di sebuah biro hukum. Bekerja di sana ternyata mengalami perbaikan nasib. Erin yang mencoba mendalami masalah pencemaran air oleh perusahaan PG&E yang menyebabkan sumber penyakit bagi warga sekitar. Pelan tapi pasti apa yang ia korbankan--kekasih dan anak-anak, akhirnya dibalas dengan keberhasilan beliau mendapatkan tempat di hati rekan kerjanya.

Di sinilah letak kehebatan sang sutradara, menerjemahkan naskah dan kejadian nyata menjadi suatu tontonan yang sangat layak disaksikan. Seperti yang kita ketahui, Soderbergh memang piawai dalam memposisikan cerita yang sedikit berat dan penuh pendiktean diri di tengah-tengah jasa aktornya. Lihat saja film ini, walaupun bersifat dramanya terlalu pelik dan riskan akan kebosanan dengan durasinya, Soderbergh menyiasatinya dengan memaksimalkan performa aktornya, dalam hal ini Julia Roberts.

Bukan apa, bisa dibilang film ini adalah ajang Julia Roberts sebagai pembuktian jika ia memang seorang aktris berkaliber Oscar. Peran penuh masalah ia wakilkan lewat mimik, body language seorang bitchy dan ekspresi yang meyakinkan. Kerja kerasnya memang patut dihargai berbagai kemenangan di berbagai ajang perfilman dunia. Bantuan dari Albert Finney dan Aaron Eckhart juga cukup mengimbangi permainan penuh semangat dari Julia Roberts.

Sorry to say jika review ini terlalu membanggakan Julia Roberts. Memang tidak bisa disangkal jika Julia Roberts telah mencurahkan seluruh kemampuannya untuk bermain total dan seakan berteriak jika ia pantas untuk Oscar. Roberts berhasil menyeleksi tempo emosi baik saat dalam pekerjaan maupun sebagai seorang ibu. Salah satu adegan dan emosi terbaik dari film ini adalah saat Erin mengetahui jika anaknya sudah berhasil mengucapkan kata pertamanya. Jujur, walaupun Roberts hanya berdialog minim namun aura mukanya berbicara banyak dan mengungkapkan apa yang sedang ia rasakan. Julia gave fabulous performance in her leading role.

Erin Brockovich semakin berharga dan kaya karena meluapnya emosi-emosi yang terpantul lewat dialog-dialog cerdasnya. Dan tidak bisa dipungkiri, ini menjadi salah satu kelebihan yang tidak bisa digugat. Sepanjang film kita memang disuguhi sebuah pentas drama yang berbobot yang meletup-letup dari penulis naskahnya.Kesimpulannya, Erin Brockovich sajian yang sangat pas untuk mengetahui seluk-beluk dunia kriminal pada waktu itu yang dituntaskan oleh Erin Brockovich. Hiburan lainnya adalah bagaimana kita dipuaskan oleh Julia Roberts berkat kematangannya berakting. Happy watching!

by: Aditya Saputra

Calendar Girls (2003)

Director : Nigel Cole
Cast : Helen Mirren, Julie Walters, Linda Bassette, Annette Crosbie
Rate : 3/5


Sebelum Helem Mirren memegang senjata laras api di Red maupun menjadi seorang ratu Inggris di The Queen, beliau ternyata sudah jauh malang melintang dan mencicipi berbagai peran seperti sebagai selirnya Peter O'Toole, menjadi Elizabeth III dan menjadi seorang 'model' untuk kalennder tahunan kampungnya. Peran terakhir inilah yang saya coba telisik di film Calendar Girls. Memang film ini bertajuk komedi situasi, namun banyak hal positif lain yang bisa kita ambil setelah menontonnya. Dan Helen Mirren sebagai bintang utamanya memang telah bermain dengan baik. Okelah, bukan yang terbaik darinya, bahkan jika dibandingkan dengan perannya di The Queen terasa kebanting. At least, di sini ia diberi kesempatan untuk mengeksplorasi sisi humoris yang kental dengan aksen Britania-nya.

Ceritanya begini: Segerombolan wanita berumur di sebuah kota kecil mencoba menjadi model kalender guna untuk mendalang dana. Latar belakang kematian dari seorang penting semakin mengukuhkan mereka untuk bersikeras sekuat mungkin agar proyek terlaksana dengan lancar. Walaupun awal mulanya masih ada beberapa orang yang buang muka dengan mereka dan sempat disalah-artikan, ternyata lambat laun cukup menyita perhatian masyarakat dunia, terutama Hollywood dan menjadikan mereka bintang sekejap mata.

Jujur saja, saya sungguh menikmati jalinan komedi yang ada di film ini. Bukan karena para pemainnya tampil konyol serta mengumbar adegan seks vulgar, tapi seperti yang saya katakan sebelumnya kalau humorik yang ada di film ini muncul karena situasinya yang mengharuskan lucu. Tidak ada keterpaksaan ketawa maupun kebingungan mencerna unrus joking-nya. Bahkan untuk adegan sekelibat pun ada secuil humor walau tidak menambah kadar kualitasnya. Patut dihargai adalah bagaimana kekuatan tangan yang scriptwriter-nya yang sudah berhasil membuat ceritanya jalan lebih santai namun juga berisi.

Kelengkapan akting adalah jantung untuk film ini yang memang sangat vital. Pesona memukau dari seorang Helen Mirren dan Julie Walters memang menjadi tombak bagaimana mereka bisa mendeklarasikan apa maksud sang sutradara memakai mereka. Bahkan Dame Mirren didapuk nominasi aktris terbaik genre musikal/komedi di Golden Globe Award. Jika saja, film 'renta' ini tidak dimainkan oleh aktor yang mumpuni, ya sudah, alamat bobrok mungkin saja diterima oleh Calendar Girls.

Calendar Girls selain memfokuskan pada pembuatan sebuah almanak tahunan juga menjelaskan tentang konflik internal yang mendera para tokoh wanitanya. Seperti kepedihan ditinggal suami, perselingkuhan, kesalahpahaman, gejolak terhadap lingkungan dan norma serta beberapa ada yang merasa risih dengan kondisi fisik. Celetukan yang paling saya ingat mungkin: 'saya 55 tahun, kapan lagi saya bisa menunjukkan tubuhku'. Kira-kira begitu. Tapi, di sinilah letak kelemahan film ini. Cerita yang terbilang unik bin aneh ini malah harus dirusak oleh terlalu dimudahkannya mereka menyelesaikan masalah. Kehidupan mereka seperti berat sesaat-indah selamanya, saya maksud dengan berbagai keadaan pelik yang menimpa mereka, tak satupun dari mereka yang sungguh menyesal akan terjadinya masalah itu. Yah, sutradaranya cari aman dan semuanya terasa dieksekusi secara cepat dan tidak matang.

Calendar Girls sekilas memang bukan suguhan komedi yang mengocok perut layaknya Be Kind Rewind ataupun A Fish Called Wanda, namun moral lesson yang ingin disampaikan cukup kuat. Mungkin film ini ingin memberitahu kita jika tidak terlalu memaksakan kehendak, tapi di sisi lain jika kita terus berusaha pasti ada saja jalannya. Ambiguitas yang tidak sulit untuk diikuti. Satu hal lagi, mungkin parade ibu-ibu telanjang di sini tidak seksi tapi cukup diapresiasikan keberanian mereka untuk peran menantang itu. Happy watching!

by : Aditya Saputra

Jumat, 22 Oktober 2010

Tangshan dadizhen (2010)

Director : Feng Xiaogang
Cast : Xu Fan, Zhang Jingchu, Li Chen, Chen Dao Ming, Chen Jin, Zhang Guoqiang, Zhang Zifeng, Zhang Jiajun Country : China
Rate : 4/5


Judul internasionalnya Aftershock, yang digadang-gadang masuk nominasi Best Foreign Language Film perwakilan Cina untuk Oscar tahun depan. Untuk ukuran kapasitas itu, Aftershock memang tidak mengecewakan. Sempat menjadi yang terlaris di negaranya, Aftershock dipersembahkan untuk menuangkan replika kehidupan pelik seusai bencana alam yang memporak-porandakan kota serta menghancur-leburkan kehidupan masyarakat sesudahnya. Sebagai tambahan, Aftershock adalah gambar bergerak dari sebuah kejadian nyata tahun 1976, gempa bumi di kota Tangshan.

Empat anggota keluarga yang bahagia harus menerima nasib yang tidak mereka duga sebelumnya. Gempa bumi melanda kota dan meratakan bumi dengan skala ritcher yang sangat tinggi. Anak kembar mereka, Fang Deng dan Fang Da terjepit di gundukan batu dan sang ibu diharuskan memilih salah satunya. Opsi yang tak akan sanggup dilakukan oleh ibu manapun di dunia ini. Selepas kejadian itu, ternyata yang terjepit masih bernyawa dan diadopsi. Hingga berpuluh-puluh tahun kemudian, kemelaratan perlahan berubah menjadi sebuah paket kebahagiaan.

Seperti judulnya, film ini menjelaskan tentang paska gempa yang terjadi. Penonton dibawa oleh 3 karakter utama (yang masih hidup) dalam menyelami lebih dalam kegundahan dan dampak dari peristiwa mengenaskan tersebut. Bisa dibilang, gempa bumi itu adalah latar belakang sebagai jembatan untuk menelusuri kisah drama selanjutnya. Untuk sebagian orang, part ini terasa membosankan, namun bagi saya inilah klimaksnya. Kita tidak hanya diberikan drama berkesedihan sepanjang film, namun juga sesekali mengenal tata rumah tangga mereka yang kadang berada di bawah dan juga di atas. Para tokoh mengalami yang namanya siklus hidup. Menandakan jika tidak ada yang tidak beruntung atau sebaliknya di dunia ini.

Melodramatik yang ada di film ini mungkin dinilai terasa berlebihan, karena walau dalam keadaan bahagia sekalipun, air mata tetap saja menetes. Aktornya yang bermain terlalu bagus atau sang sutradara menginginkannya begitu saya juga tidak tau. Yang jelas, para aktor di film ini sangat memesona. Terlebih adalah pemeran Fang Deng cilik yang berhasil menampilkan performa kakap meski umurnya tidak lebih dari 15 tahun. Ia bisa meluapkan kesedihan tiada tara hanya lewat ekspresi mukanya. Tidak bisa membayangkan yang lebih dari apa yang telah ia berikan.

Bisa jadi, kelemahan film ini adalah keterburu-buruan sang kreator dalam mengeksekusi ending-nya. Durasi yang sudah berjalan 100 menitan bahkan dibuat pelan dan terkesan klise. Hingga menit ke 120-an, film ini semakin keteteran dan terlalu diperlambat. Khas film beginian memang begitu, menyodorkan drama tanpa henti walaupun akan menjadi cambuk sendiri karena penonton akan keburu bosan.

Penggunaan efek komputer di film ini juga cukup mengesankan. Penonton bisa melihat secara langsung bagaimana gempa bumi 'berhasil' menyamaratakan semua rumah dan lancur lebur dibumi-hanguskan. Yah, jangan samakan pula dengan gempa yang ada di 2012. Di Aftershock lebih menekankan emosi.

Untuk sebagian orang pasti mencari alternatif lain jika mengetahui jika tampilan Aftershock dipenuhi adegan cengeng-cengengan. Tapi untuk sebuah film bernada mutu tinggi, Aftershock saya berani garansikan. Aftershock merupakan memorandum untuk penonton jika cinta ibu tidak akan mati, dan menentukan pilihan di atas 2 hal yang sangat disayangi adalah sulit. Sifat memaafkan bisa jadi satu-satunya jalan keluar termurah yang bisa kita lakukan. Aftershock memaparkan dengan sangat emosionil. Happy watching!!

by : Aditya Saputra

Kamis, 21 Oktober 2010

Red (2010)

Director : Robert Schwentke
Cast : Bruce Willis, May-Louise Parker, Morgan Freeman, Helen Mirren, John Malkovich, Richard Dreyfuss
Rate : 3,5/5


Melihat review luaran sana yang tidak begitu menilai positif untuk film ini, sempat membuat saya ragu untuk meneruskan niat saya menonton Red. Tapi, saya tidak bisa melewatkan begitu saja jika film ini berisi aktor yang sangat saya kagumi. Uang 20000 saya mungkin tidak ada artinya untuk sang produser, tapi setidaknya dengan uang sedikit itu saya bisa melihat Morgan Freeman, Helen Mirren, dan John Malkovich dalam satu frame. Memang membingungkan jika harus menelaah aktor sekaliber mereka mau menerima naskah lemah yang cenderung akan dicaci ini. Tapi pemakaian mereka sungguh tidak sia-sia bahkan sangat menunjang film ini sendiri. Jadi jangan hujat saya jika saya menikmati film ini.

Pensiunan mata-mata yang diteror oleh sebuah agen. Bersama-sama menuntaskan pekerjaan yang tertunda: Frank Moses, Joe Matheson, Marvin Boggs, dan Victoria. Ditemani Sarah Ross mereka menggunakan berbagai cara dan senjata untuk menjadi yang pemenang. Dari kreator pembesut The Time Traveler's Wife yang membosankan itu, Red hadir dengan nyawa yang lebih kokoh dan hal menghibur.

Hoeber bersaudara telah bekerja keras mengadaptasi naskah dari buku komiknya, kelihaian mengolah cerita abal-abal menjadi enak dinikmati. Banyak celetukan renyah yang dilontarkan dari para pemainnya. Ketelatenan yang juga dilakukan oleh sang sutradara, Robert Schwentke juga berbuah manis. Ia berhasil mengarahkan bintang tenar usia senja menjadi sedikit lebih 'perkasa', sangar, dan mematikan. Morgan Freeman seperti biasa, bermain sendu dan bersahaja walau pistol tetap ditangan. John Malkovich juara untuk film ini memerankan sosok tengil dan sosok penghibur tunggal, Bruce Willis yang mempunyai jampian agar selalu selamat dari mara bahaya, Mary-Louise Parker yang komikal, serta Helen Mirren -nenek bersepatu boot. Jika Salt mempunyai Evelyn Salt dan Kick-*** diwakili Hit Girl, maka Red menyuguhkan permainan gila dari seorang Helen Mirren. Dia lupa kalau dia 'pernah' jadi seorang ratu Inggris.

Ini filmnya Bruce Willis, berarti sangat jarang suatu proyek film yang melibatkan dirinya tanpa adegan aksi pemicu adrenalin dan ledakan dahsyat. Di film inipun Willis kebagian adegan berada di tengah keadaan genting sambil 'bermain' api. Sungguh, lebih banyak konyolnya daripada masuk akalnya. Kadang (atau kebanyakan) film model beginian selalu melenceng dari intelegensia. Mobilitas yang berlebihan. Tidak meminimalisir tempo, berkebut ria sampai menuju ending yang klise.

Pengagum komiknya boleh berbangga hati, Red berada di atas The Expendables dan The A-Team yang mengusung tema yang sama di tahun 2010 ini. Red lebih mempesona lewat suguhan aksinya, dan lebih 'makmur' karena sekumpulan pemainnya. Mungkin Red lebih ke arah Wanted yang kadar fun, mempercundangi logika, serta diisi pemain yang bagus (Morgan Freeman ada di film ini!!) dalam taraf seimbang.

Mungkin rada jengah lagi-lagi melihat Bruce Willis menjadi sosok yang diincar nyawanya. Walaupun Red tidak ada bedanya dengan beberapa film spy yang lain, Red masih bisa lebih congkak sedikit karena patut dinilai berhasil. Ada benarnya juga saya tidak terlalu berekspektasi tinggi untuk film ini. Jadi saya tidak terlalu dibatasi dengan keraguan saya. Satu lagi, bagi Anda yang sangat rindu akan sosok Richard Dreyfuss, mungkin bisa terobati sedikit lewat film ini. Happy watching!

by : Aditya Saputra

Elephant (2003)

Director : Gus Vant Sant
Cast : Alex Frost, Eric Deulen, John Robinson, Elias McConnell, Jordan Taylor
Rate : 4,5/5



Elephant telah memberikan saya arti tabir kehidupan seorang (atau beberapa) remaja. Berhubung saya sendiri seorang remaja, jadi saya pun bisa memahami kondisi dan makna dari film ini. Bagaimana sang remaja akan terbentuk dari 'bantuan' lingkungan sekitar baik yang bersifat positif maupun negatif. Dalam karya Gus Van Sant kali ini, diperlihatkan dengan sangat menohok sekali, akibat 'bantuan' itu, seseorang remaja bahkan bisa sangat meledak-ledak dan meluapkan segala keluh kesah yang mungkin saja, membuat hidupnya terasa lebih puas.

Di awal dan akhir film kita sudah dilihatkan sebuah personifikasi awan yang berubah-ubah setiap detik. Kenampakan alam yang begitu cantik bahkan bisa merasa gundah dan kelam dalam waktu yang hampir berdekatan. Prosa menarik inilah yang akan menggiring kita untuk melihat drama mengesankan yang akan mempengaruhi pola pikir akan sesuatu yang sangat kecil namun jiwa berontaknya yang luar biasa. Di sini, Van Sant mengambil seting sekolahan 90-an yang memungkinkan isu film ini menjadi lebih realistis.

Dari persepsi saya, gaya penyutradaran film ini sangat memukau. Tata kamera dan sinematografi yang sangat fokus membuat saya semakin memahami pantauan Van Sant yang mengikutsertakan penonton untuk menjaga cerita sampai klimaks yang sangat mngejutkan itu. Tokohnya sangat beragam, dan mewakili masing-masing satu perihal berbeda walaupun penyelesaian masalahnya tetap sama. Nah, dari banyak tokoh itu pula, Van Sant menarik kesimpulan dengan mengambil sudut pandang dari tiap karakter. Saya sampai kaget saat mengetahui jika para tokoh itu berada dalam satu frame ketika adegan berikutnya melompat.

Ada pelajar yang hobi fotografi, pelajar tampan, trio gadis hobi merumpi, duo sahabat yang 'mengikuti' program bullying, pelajar dan ayahnya yang pemabuk. Semua dimainkan oleh aktor yang sangat sangat asing di telinga saya. Namun hebatnya, keterlibatan mereka sama sekali tidak mengganggu dan malah berhasil serta sanggup mengemban tugasnya dengan sangat baik.

Harap digarisbawahi, film ini 'hanya' berdurasi 80 menitan saja. Saking briliannya, dengan waktu sesingkat itu sang sutradara dengan handal memutarbalikan situasi sempit menjadi penuh makna dan membekas di hati, sangat memorable istilahnya. Dipenuhi dengan segala kerahasiaan dan ketajaman karakterisasi diliputi watak yang sangat pas.

My verdict: Walaupun Van Sant menggamblangkan semuanya, tapi Elephant berhasil mengilustrasikan kehidupan para remaja dengan sangat halus namun kejam dan memberontak. Tak diragukan kualitas film ini hingga mampu maju cepat di kontes Cannes Film Festival dan memberikan Palme d'Or kepada Gus Vant Sant sebagai sutradara terbaik. Cicipi hidangan ini di muka film, jika semakin tertarik, santap lebih lanjut. Dan akhiri dengan berpikir keras. Jika Anda merasa kekenyangan (baca: ngantuk) di tengah film, kunyah pelan-pelan dan Anda akan merasakan kelegaan saat menelannya. Happy watching!

by : Aditya Saputra

Rabu, 20 Oktober 2010

Kick-Ass (2010)

Director : Matthew Vaughn
Cast : Aaron Johnson, Nicolas Cage, Chloe Moretz, Christopher Mintz-Plasse, Mark Strong
Rate : 3,5/5


Sebuah cerita superhero yang terinspirasi dari pahlawan super pula. Dave, remaja nerd yang merasa everybody can be a (super) hero. Terilhami akan kehebatan Bruce Wayne yang perkasa tanpa insemnasi rekayasa genetikal, Dave mencoba peruntungan menjadi seorang Kick-Ass, pahlawan kesiangan bermodal suit hijau. Keberadaannya terjadi tidak diamini oleh Red Mist dan ayahnya namun mendapat bantuan dari Big Daddy dan Hit Girl. Bersama, mereka bertaruh nyawa untuk membasmi kejahatan.

Bersiaplah disajikan sebuah tontonan yang akan mengubah pandangan Anda tentang sosok pahlawan super. Kick-Ass dan Dave adalah contoh cermin keliaran remaja yang penasaran akan segala sesuatu. Menarik, idenya keren, dan komikusnya memang luar biasa cerdas. Menempatkan syndrome Batman dan Spiderman di belakang euforia Kick-Ass.


Saya ingin mencermati tokoh Big Daddy dan Hit Girl di film ini. Adegan penggemblengan Hit Girl oleh ayahnya saya rasa berlebihan. Andragogi yang over trained. Melihat flashback Big Daddy, terlihat jelas Hit Girl terbentuk hanya karena peluapan emosi dan rasa balas dendam sang ayah. Tidak patut dicontoh. Sangat tidak patut. Tapi di sisi lain, seluruh adegan kekerasan di film ini bisa saya nikmati. Mengesankan dan keras untuk ukuran film bertema superhero tadi.


Tidak luput juga Matthew Vaughn menyelipkan kegundahan sang tokoh utama hingga lebih personal. Mengikuti perjalanan mereka sungguh mengasikkan. Apalagi Vaughn sesekali menggunakan teknik berkomik ria untuk memperkaya filmnya.


Ah, saya ingin memuji Chloe Moretz habis-habisan. Tunggu, penampilan Aaron Johnson, Nic Cage, Chris Mintz-Plasse, dan Mark Strong tidak mengecewakan, tapi Chloe pantas mendapat sanjungan tertinggi. Apa yang di praktekkan seperti versi mini dari Salt-nya Angelina Jolie. Berjiwa preman di tubuh feminis. Seksi bukan?


Yah, nikmatilah film ini sebagai murni paket hiburan. Jangan lupa untuk berpikir kembali atas apa yang sudah tersaji. Walau tampilannya sungguh berbeda, tapi isunya tidak sepenuhnya wajib disanjung. Peluang sequel di depan mata, saya berharap Matt Vaughn bisa menjaga mutunya. Happy watching!

by : Aditya Saputra

Unruly - Nessuna Regola (1998)

Director : Philippe Bérenger
Cast : Vincent Cassel, Monica Bellucci, Enrico Lo Verso
Rate : 3/5


Plot: Residivis yang bekerja sebagai bartender harus menerima nasib kalau ia terlibat perseteruan antar preman yang mengakibatkan hidupnya simpang siur, nomaden bak kucing beranak. Konflik lain datang secara internal, kekasihnya menikah dan sedang mengandung anak dari kakaknya. Belum cukup menyiksa? Dalang kehancuran hidupnya adalah orang yang dia kenal dekat.

Jangan main api jika tak mau terbakar. Mungkin kalimat itu pas untuk menggambarkan sang tokoh utama. Ketidakwaspadaannya menyebabkan ia dengan mudahnya mengambil keputusan yang bisa saja merugikan dirinya sendiri. Klimaks film ini melimpah. Bukan satu atau dua, tapi banyak. Tapi uniknya, ending film ini terasa anti klimaks. Genjotan adrenalin lewat untaian dramanya malah ejakulasi saat mendekati ending. Jangan salah, hal itu bukan berarti buruk. Keseluruhan filmnya pas porsi.

Film ini memang mengambil sudut kota negara Italia lengkap dengan segala custom dan tetek bengek lainnya. Kita memang tidak bisa belajar banyak dari film ini. Tapi masih cukup menarik akibat kekontrasan tone warna dan per-adegannya sendiri. Berdarah-darah, jantan, namun masih mempunyai hati. Teknik yang cukup ampuh untuk tetap menjaga kenyamanan menonton. Yang perlu dikritik adalah ketidak luwesan sutradara dalam membangun adegan aksi. Brutal sih, tapi tetap terasa kurang total.

Vincent Cassel sebagai bujangan itu, bermain cukup menjiwai peran. Walaupun menurut saya ini bukan penampilan terbaiknya, tapi tetap saja bisa mewakili kebrutalan pria dewasa tanggung. Sedangkan Monica Bellucci yang kebagian peran sedikit malah seperti mubasir saja. Kemunculan singkatnya tidak berarti banyak. Malah yang sempat mencuri perhatian adalah tokoh anak kecil di film ini.

Lupakan sejenak film Hollywood yang kendati macho namun masih menempel sifat feminis. Coba cicipi perfilman Eropa yang berani mengupas tingkah manusia setempat yang kadang jauh lebih realistis. Bahkan, Unruly - Nessuna Regola juga menyentil masalah provokasi yang berdampak masalah besar. Happy watching!

by : Aditya Saputra

The Stepford Wives (2004)

Director : Frank Oz
Cast : Nicole Kidman, Matthew Broderick, Bette Midler, Glenn Close, Christopher Walken
Rate : 2,5/5


Suka film robot? Tapi tidak mau yang super serius dan pamer efek? Mau yang ada Nicole Kidman lagi stres? Dan, judul yang tepat adalah The Stepford Wives. Film berplotkan robot ini dibuat oleh Frank Oz dan Nicole Kidman sebagai antitesis naskahnya. Yang beda, The Stepford Wives bergaya humoris tidak seperti Robocop, Terminator, ataupun I, Robot yang adu CGI itu.

Matthew Broderick dan Nicole Kidman adalah pasutri yang mengalami job depression. Sang suami mencanangkan untuk pindah ke sebuah kompleks pemukiman. Dari luar, wahana itu layaknya surga: tenteram, damai, asri, sejuk, friendly, dan sosialis. Namun nyatanya, ada hal lain yang mencengangkan sang istri. Ketidakberdayaannya malah menjadi obat mujarab untuk mengembalikan keadaan seperti semula.


Penggunaan nama Nicole Kidman mungkin menjadi satu-satunya daya tarik untuk film ini. Jujur saja, keseluruhan film ini sama sekali tidak menarik. Para kritikuspun bilang jika versi anyar ini kebanting mutu film orisinilnya. Banyak slot lemah yang kurang diperhatikan oleh si penulis naskah sekaligus sutradaranya sendiri. Maksimalitas drama fantasi a la kehidupan berukun tetangga juga minim. Apalagi jika menyinggung joke-nya. Garing, datar, kurang darah, dan lempem.


Nicole sudah kerja ekstra. Dia pun memberikan yang terbaik, apalagi gelar best actress sudah disandangnya. Lagi-lagi, mungkin pengarahan yang kurang atau apa, gesture-nya saya rasa sedikit berlebihan. Diperparah dengan akting ala kadarnya oleh Matthew Broderick. Postur tubuhnya saja kalah jenjang, apalagi pesonanya didampingkan dengan Kidman. Pemasukan unsur homoseksualitas juga patut dipertanyakan. Alih-alih menopang film, yang ada The Stepford Wives seperti gudang sampah yang isinya para tokoh kurang imunisasi.


Yang cukup melemahkan juga masalah pendoktrinan para suami ke istri mereka. Tidak dijelaskan secara spesifik. Tapi untunglah film ini memiliki akar tujuan yang kuat. The Stepford Wives menggambarkan gulana hati para lelaki yang merasa hidupnya selalu berada dalam bayang-bayang sang istri. Jabatan, pangkat, karir, dan gaji yang lebih kecil membuat para pria seakan ditampar di bidang ekonomi tersebut. Berbasis itulah film ini mengalir.


Penataan kostum untuk film ini saya nilai dengan cukup bijak. Apa yang para ibu-ibu pakai cukup nyaman dilihat plus dengan motif dan style-nya. Sayangnya, penonton tidak hanya mengangungkan fashion untuk sebuah film. Oke, kecuali Sex and the City.


My verdict: masih banyak alternatif film ketawa-ketiwi yang lain. Menonton ini serasa pengelupasan kulit otak. Tapi tak ada salahnya jika Anda memang merasa jika Nicole Kidman itu adalah yang terhebat. Komedi fantasi gagal oleh Frank Oz. Happy watching!

by : Aditya Saputra

The Killing Fields (1984)

Director : Rolan Joffe
Cast : Sam Waterston, Haing S. Ngor, John Malkovich, Craig T. Nelson
Rate : 4/5


Sinema lawas Hollywood cenderung diisi dengan kemonotonan tema. Pada masa pertengahan 80an, bioskop hanya diamunisi berbagai film bertopikan perang yang bisa berasal dari World War, otoriter Nazi, serta kawasan Asia. Namun, hal itu ternyata tidak menyurutkan kualitas film perang pada waktu itu di hati kritikus. Sebut saja Platoon yang menjadi primadona di ajang Oscar, paket perang dalam seting Vietnam.

Ada lagi film The Killing Fields, feature di daratan Asia Tenggara yang bercerita tentang persahabatan dua pria beda ras yang harus terpisah karena kondisi pada saat itu yang tidak memungkinkan untuk bersama. Adalah sang reporter yang dibantu oleh pria setempat dalam mendokumentasikan perang atas dasar pekerjaan. Hingga suatu ketika saat sang reporter memperoleh Pulitzer, beliau bersikeras mencari sahabatnya yang sekarang hidup terkatung-katung di tanah Kamboja.


Beberapa hal primer yang saya akan ringkas meliputi sinematografi, akting dan pengeksekusian kreator. Anda boleh saja mengeluh dengan durasi film ini, tapi patut diingat jika hal itu masih bersifat wajar untuk ukuran war movie. Dan yang paling menunjang adalah tampilan sinematografi yang cantik dari kamera DoP yang sanggup mengatur emosi lewat gambar bergerak. Saya jamin, penonton tidak akan cepat gusar sekalipun tangan dan kaki sudah mulai kesemutan. Dari segi akting, penampilan luar biasa juga diperlihatkan oleh Sam Waterson dan Haing S. Ngor. Olah aksi mereka berdua, suasana drama dan aroma kepedihan menjadi lebih hidup dan enak ditonton. Tak salah jika keduanya dijagokan di Akademi kendati hanya Ngor yang menang.


Penguasaan Rollan Joffe sebagai sutradara berjalan dengan lancar. Joffe layaknya Oliver Stone yang berani mengeksekusi setiap adegannya menjadi lebih realistis dan menawan. Adegan tembak, ranjau meledak, kaki buntung, tengkorak hingga ceceran darah yang diramu dengan sangat frontal. Ada beberapa memorable scene di sini. Salah satunya dan yang paling saya suka adalah ketika perang pada pertengahan film, di situ terdapat anak kecil menangis kencang sambil menutup telinga. Hanya manusia berhati batu yang tidak tersentuh dengan scene itu.


Mengejutkan memang jika pertemanan anak Adam harus dijembatani lewat sebuah metamorfora yang menyengsarakan. The Killing Fields memang berhasil diterjemahkan dengan sangat baik dan cocok disematkan sebagai salah satu war movie terbaik yang pernah ada. Yah, generalisasinya memang rumit tapi cukup ampuh membuat penonton puas dan terkagum-kagum berkat yang disajikan sutradaranya. Happy watching!

by : Aditya Saputra

Jumat, 15 Oktober 2010

Sanguepazzo (2008)

Director : Marco Tullio Giordana
Cast : Monica Bellucci, Alessio Boni, Luca Zingaretti, Maurizio Donadoni
Rate : 3,5/5



Wah, saya sendiri bingung mengomentari film ini seperti apa. Keputusan saya menonton film tengah malah mungkin ada untung dan ruginya. Pukul 23.30 saya putar film ini, ternyata menjadi faktor utama yang membuat mata saya kelelahan namun tidak sampai mata terpejam. Untungnya adalah melihat Monica Bellucci yang sungguh sensasional lewat balutan gaun mempesona dan muka seksinya. Lalu, mengenai apa film ini berkutat?

Sanguepazzo atau internasionalnya berjudul Will Blood adalah sebuah film yang sedikit berbiopik ria lewat background World War II antara Germany-Italy. Bercerita tentang seorang gadis (diperankan dengan sangat emosional oleh Bellucci) yang ingin menjadi seorang aktris di Roma. Di tengah jalan hidupnya, ia bertemu dengan seorang aktor yang dalam waktu dekat akan membuat sebuah film berjudul Will Blood. Suasana negara yang mencekam memang tak bisa dielak yang menyebabkan keduannya harus terperangkap dalam kehancuran publik dan menderita dalam kukungan waktu.

Sanguepazzo mengambil dua sudut pandang yang berbeda. Untuk masa tahun 45, menyorot point of view dari sang tokoh utama sedangkan yang kedua dari penuturan kisah era perang yang membumihanguskan negara Italia beserta mengubah kedigdayaan Jerman era 40-an awal. Nah, untuk momen kedua, geya penyutradaraannya bersifat monokrom hitam-putih yang memang semakin menambah realistisnya jaman tersebut. Ada satu adegan yang sangat saya kagum. Tepat saat dua bocah menemukan sebuah rol film di antara reruntuhan batu dan mengikuti arah rol tersebut memanjang.

Giordana membawa penontonnya ke sebuah alam yang mengorek betapa kerasnya kehidupan pada saat itu. Menyinggung gelombang seks membara yang diwakili oleh sang tokoh wanita, peran serta obat terlarang, kedramatisan momentum yang mengikuti sepak terjang seorang sutradara, aktor dan para krunya. Sisi lain yang memuncak adalah saat rombongan harus 'disepikan' ke daerah terpencil dan ternyata para sekutu mengetahui keberadaan mereka. Adegan penyamaran yang cukup menarik, karena berhasil mengelabuhi penjajah dengan bekal akting mereka.

Di sini, semua aktor bermain sangat bagus, terutama Luca Zingaretti dan Monica Bellucci sebagai Luica Ferida. Penampilan mereka yang paling menonjol dan kekuatan mimik muka mereka sangat prima. Terlebih dari si Bellucci yang menyegarkan dengan body language-nya. Dengan tubuh sesempurna itu, kita bahkan lupa jika ia habis melahirkan saat melakukan syuting film ini.

Hmm, mungkin film ini bukan pilihan untuk penggemar mainstream Hollywood, ditambah lagi dengan durasinya yang saat panjang dan beberapa adegan monoton tanpa adegan penyegar mata. Namun, bagi pengagum film festival, film ini jelas harus dimasukkan dalam daftar tonton mengingat Lavazza Italian Film Festival (Oscar-nya Italia) serta Cannes sempat mengkritisi positif untuk film ini. Apalagi Monica sangat menyejukkan mata para pria. Happy watching!

by : Aditya Saputra

Kamis, 14 Oktober 2010

Madame X (2010)

Director : Lucky Kuswandi
Cast : Aming, Joko Anwar, Shanty, Marcell, Ria Irawan, Robby Tumewu, Sarah Sechan, Vincent Rompies, Fitri Tropica, Titi DJ
Rate : 3/5


Madame X terealisasi akibat celetukan Aming kepada Nia Dinata yang menginginkan ada sesosok superhero yang keluar dari pattern-nya namun juga segar dalam karakteristik. Aming menginginkan adanya super-transgender, dan diiyakan oleh Nia. Jadilah, Madame X hadir dengan tampilan konyol namun juga menyentil kehidupan sosial bangsa kita. Sayangnya, nama Madame X sendiri tidak terlalu orisinil karena ada nama serupa yang beredar di luaran sana.

Ah, ceritanya klise, bahkan kita bisa tau arus plot film ini akan ke mana. Adam, bencong salon, yang ditakdirkan membela kaum lemah atas suatu perkara dengan komplotan ormas yang merasa risih dengan keberadaan para waria. See, format superhero melawan villain yang tentu saja akan dimenangkan oleh pihak yang benar.


Mengambil gaya Hollywood, pahlawan di sini juga mengalami tekanan batin, perombakan watak, pertemuan dengan kaki kanan, bersinggungan dengan kisah cinta yang rumit. Yang menarik adalah, Aming yang saya nilai berhasil menghibur namun juga berhasil menimbulkan kesan annoyance yang berlebih. Sukses karena dia mewakili sosok pria gemulai dengan perkasa, hancur karena kekonyolannya dalam berbusana yang sangat mengganggu. Tapi begitu, peran ini memang untuk Aming seorang.
Melainkan untuk para pendukung juga bermain cukup. Mungkin hanya Vincent Rompies yang terbilang lumayan, dan Joko Anwar yang sangat berani bermain slenge'an.

Humor di film ini kebanyakan bersifat garing tidak renyah, kendati ada juga yang berhasil mengundang ketawa. Mungkin penulis naskahnya kurang merevisi skripnya dan sutradaranya menyuruh aktornya terlalu berimprovisasi.
Walaupun banyak kedodorannya, sang sutradara mampu memberikan ruang khusus untuk menampilkan flashback sang tokoh utama dengan emosionil. Pun penggunaan efek komputer yang bisa dikatakan bagus untuk ukuran film Indonesia. Kemudian adalah penerapan layaknya buku komik yang menimbulkan efek bunyi dalam adegan action untuk klimaks film ini. Lagi-lagi disayangkan jika mengingat teknik tersebut akan lebih bagus jika dipakai dari awal film.

Yah, ini handmade movie yang patut kita apresiasikan karena keberanian sineasnya untuk keluar jalur perfilman lokal sekaligus menampilkan tema unik. Jangan pula disamakan dengan produk luar, akan seperti hamburger dan roti isi kacang tanah. Karena saya memiliki standar tersendiri untu menilai produk dagri. Sekalipun film ini bergumpal hal minum dalam segi cerita maupun teknis, yang maksi adalah kepuasan tersendiri jika masuk bioskop tidak hanya menemui setan narsis di sana-sini. Happy watching!

Selasa, 12 Oktober 2010

Pulp Fiction (1994)

Director : Quentin Tarantino
Cast : John Travolta, Samuel L. Jackson, Uma Thurman, Bruce Willis, Harvey Keitel, Tim Roth
Rate : 4,5/5


Tepatnya tahun lalu, untuk pertama kalinya saya mengenal Quentin Tarantino dari 2 episode film tentang balas dendam seorang wanita di medan Jepang. Kill Bill menggambarkan sebuah layar realitas yang berdarah-darah serta kejam dari sosok seorang ibu. Saya pun kagum akan keberanian QT yang melenceng dari predikat mainstream-nya Hollywood. Idealismenya yang independen berhasil lepas dari bayang-bayang medioker. Keunggulannya kembali terulang lewat pembantaian kaum Nazi oleh Brad Pitt dkk. dalam drama cerdas Inglourious Basterds.

Kali ini saya akan berbicara tentang Pulp Fiction. Pencapaian puncak dari karya QT yang selain berhasil merangkul fans fanatik namun juga sukses menggondol banyak piala, termasuk Palme d'Or di Cannes tahun 1994 lalu. Sekaligus masuk kandidat Best Picture, director, actor untuk John Travolta, supporting actor and actress untuk Samuel L. Jackson dan Uma Thurman di ajang Oscar. Walaupun sialnya, 'hanya' piala untuk Best Screenplay lah yang sukses direnggut. Lalu, sehebat apakah Pulp Fiction ini? Dan bersiaplah terkejut akan film ini, dan jika perlu siapkan kantong muntah.


QT merangkai Pulp Fiction dengan menggunakan plot maju-mundur. Bukan salah satunya. Oleh sebab itu, penonton diperlukan kelapangan otak untuk berkonsentrasi sejenak dalam menerjemahkan kehendak film ini. Formula yang berbelit-belit ini juga memang sudah didukung naskah yang kuat dari tangan QT. Jadi, serentetan scene yang terjadi memang sudah diplot sedemikian rupa agar ceritanya tetap terjalin sekalipun jalannya berbelok-belok.

QT juga seringkali menyorot adegan dengan point of view yang berlebihan. Maksudnya, QT dengan berani men-shoot adegan sadis secara close-up agar mendekati sisi realistisnya. Jadi, siapkan jantung Anda jika tiba-tiba terdapat satu dua adegan yang bisa menaikan tensi darah Anda. Lagi, QT juga senang bermain dengan darah untuk menekankan kesan nyata. Saking asiknya, dia kadang lupa untuk seharusnya meloncat ke adegan yang lebih 'aman'.


Penyampaian pesan film ini memang tidak lumrah. Jika film lain disajikan lewat keterpujian, Pulp Fiction malah penggamblangan dari kata terpuji itu. Humor sarkastik, dialog panjang yang kadang meaningless, budaya pop Amerika seperti tari dan hamburger, serta penyalahgunaan narkotika, maupun kekerasan seks yang walau rada 'absurd' tapi masih bisa diterima dengan baik.


Bercerita mengenai 2 preman yang berhubungan erat dengan kepala gangster dan istrinya juga tersangkut paut dengan sepasang robber amatiran. Kemampuan olah akting aktornya dikemas dengan sangat baik. Termasuk Bruce Willis dan Tim Roth di dalamnya. Menyenangkan menonton film yang aktornya bekerja dengan sungguh-sungguh.


My verdict : Walaupun banyak yang bilang Reservoir Dogs tetap the best dari QT, Pulp Fiction setidaknya menjadi jembatan bagi QT agar dikenal dunia karena kebriliannya dalam menyatukan ideologi dan penerapan ilmu film secara pas nan kreatif. Terpujilah QT akan Pulp Fiction, sekalipun paman Oscar lebih memilih budak idiot. Happy watching!

Road to Sangam (2009)

Director : Amit Rai
Cast : Paresh Rawal, Pavan Malhotra, Om Puri
Rate : 3/5


Saya memang belum menonton format visual dari penerjemahan kehidupan Mohandes Gandhi di film bertajuk Gandhi. Namun saya baru saja melihat drama India yang dilatarbelakangi atas kehidupan sang penerima nobel tersebut. Road to Sangam memang bukan biopik yang menjelaskan sepak terjang sang tokoh, namun tetap diplot sebagai film bagus oleh saya karena sudah berani mengangkat sosok pahlawan negara ke medium 35mm.

Sangam juga hadir karena pengaruh perpecahan bilateral antara India dan Pakistan yang menimbulkan anarkisme. Pemberontakan ini mengubah sudut pandang kaum mayoritas negara India yang 'menghukumkan' hal mudah menjadi ke otoritas tinggi. Seorang montir sekaligus pejabat negara bersitegang agar keinginannya memperbaiki mesin mobil Gandhi cepat terlaksana.

Kebetulan, pada film Gandhi ada adegan proses pemakaman yang mengikutsertakan figuran hampir 300 ribu jiwa. Seperti tak mau kalah, film ini juga diperlihatkan sumbangsih masyarakat Delhi dalam 'penguburan-ulang' jasad sang pahlawan. Poin plus yang sangat pas karena realitasnya semakin terlihat. Di mula film kita juga diberi gambaran singkat tentang kehidupan warga India yang sibuk siang malam serta kepadatan penduduknya di pinggiran-pinggiran kota. Juga prosesi meeting antar warga dan sistem musyawarah berat sebelah juga diperlihatkan secara gamblang.


Naskah prematur yang sukses dieksekusi dengan sangat baik oleh sang kreator. Kendati berlebih dalam hal durasi (sekaligus bumerang untuk filmnya sendiri), namun dialog-dialog yang muncul sungguh segar, provokatif dan menggelitik secara bersamaan. Kesulitannya mungkin bagaimana menuntun para aktornya agar bermain serius. Karena saya lihat, selain beberapa tokoh penting yang bermain cemerlang, para ekstranya hanya bernilai 'pas-pasan'.


Mungkin beberapa penonton akan merasa heran tentang tujuan sang tokoh yang bersikeras membenahi mesin mobil di tengah kehancuran negara. Tapi, ternyata dia memiliki insting yang kuat. Karena dengan kerja kerasnya, dia malah berhasil menyatukan rakyat dalam satu momen yang tak akan pernah dilupakan. Kepekaan Gandhi terhadap perdamaian dunia akhirnya tersampaikan kepada pengikutnya yang perlahan mengerti akan arti kebersamaan. Sesekali kita juga diberikan video tape singkat tentang masa Gandhi dalam memperjuangkan 'bukan kaumnya', yang ironinya harus mati di tangan kaumnya sendiri. Lumayan dalam menambah khasanah ilmu kita.


Ini film India tapi jangan berharap ada adegan nari dan nyanyi di bawah hujan ataupun berdendang di bawah pohon rindang ataupun senyum manis di tengah ilalang. Predikat Bollywood kini ada satu judul yang berisi pure drama society yang unik dalam bercerita.


Kesimpulannya, banyak pelajaran berharga yang bisa diserap dari film ini. Paradigma saja tidak cukup untuk memenuhi hasrat kepentingan berkelompok. Dan menjadi kaum minor dirasa tidak berlebihan selagi masih dalam tujuan yang positif. Bollywood boleh bangga atas film ini. Happy watching!