Jumat, 21 Januari 2011

Monster (2003)


Director : Patty Jenkins
Cast : Charlize Theron, Cristina Ricci, Bruce Dern
Rate : 3,5/5


Dulu kala, rakyat Amerika dikejutkan dengan pemberitaan seorang prostitusi yang akhirnya memilih jalan sebagai seorang serial killer karena alasan situasi dan masa lalu. Aileen Wuornos namanya. Kenyataan pahit yang mengukung hidupnya semasa kecil hingga ujug-ujug menjadi pelacur sungguhan merubah tingkah hidupnya. Walaupun sebenarnya yang ia harapkan adalah sebuah cinta. Aileen sedari bocah sudah ternodai oleh orang sekitarnya mulai dari ayah angkatnya bahkan saudara kandungnya sendiri. Berevolusi bertabiat jalang dan bertemu seorang gadis yang juga mengidap masalah internal. Aileen jatuh cinta dengan Selby dan mencurahkan segala pengorbanannya kepada Selby sekalipun taruhan nyawa.

Petty Jenkins dengan cerdik meramu film ini dengan sudut pandang yang universal. Sejatinya film bertema demikian akan mengumbar kisah perjalanan pahit sang penjagal, namun Jenkins menyorotnya lewat mata seorang pelacur. Flashback hidup yang dijelaskan lewat narator Charlize Theron sangat bersahaja. Menerangkan hal yang menyakitkan tanpa visual. Dengan narasi itu saja, kita pun bisa merasakan kesakitan verbal terhadap Aileen kecil. Dan, melalui sudut pandang inilah, kekuatan cerita dengan drama sejuta sarat makna ditebarkan. Wanita jalang, berlandaskan penyiksaan batin dan niat balas dendam. Namun mirisnya, sang 'monster' tidak serta merta mengeksekusi segala jenis pelanggan, membuktikan jika sang pendosapun masih meiliki hati.

Performa dari seorang Charlize Theron benar-benar sinting namun memukau siapa saja yang menonton film ini. Transformasinya jelas berbuah manis. Apa yang ia korbankan dengan memermak wajah beserta menaikkan berat badan, plus ditunjang dengan kekuatan akting prima, menjadikannya sorotan tajam akan Monster ini. Menyaksikan akting menyengat Theron di sini jauh lebih menakutkan dari melihat aksi Freddy Kruger sekalipun. Mungkin Theron adalah satu dari sedikit aktor yang berani dan mampu mengubah tampilan asli ke bentuk yang rusak parah. Theron rela melepas jubah kecantikan modelnya demi peran ini. Dan ini luar biasa! Pun penampilan depresi seorang Cristina Ricci. Kendati perannya semi-utama, tapi kehadirannya di samping Theron memberikan gambaran singkat nan pelik dari kehidupan seorang Aileen. Salut kepada keduanya yang dengan gesit dan eksplisit menampilkan seks sejenis yang tak murahan.

Selain berterima kasih kepada Petty yang membuat film ini dengan begitu matang, acungan jempol juga patut diberikan kepada petugas penataan rambut dan make-up. Kedua kru yang berjasa besar dalam merombak bentuk sintal Theron ke wujud tak beraturan.

Pengalaman pribadi, sepanjang menonton film ini saya tidak berkutik sedikitpun dari layar kaca. Perasaan yang teraduk saat menonton ini menyisakan sebuah penyesalan dan sempat berujar, 'Kenapa harus mempunyai sebuah pistol, Aileen?'. Boleh saja, Monster bukan pilihan yang tepat untuk beberapa penonton umum. Karena bagaimanapun juga film ini penuh kekerasan dan sukar diterima nurani. Tapi jika ingin sedikit terbuka, Aileen bukanlah pelaku tunggal, ada silsilah kotor yang membentuk karakter bengis dan kejamnya. Happy watching!

by: Aditya Saputra

Selasa, 18 Januari 2011

The Lovely Bones (2009)


Director : Peter Jackson
Cast : Saoirse Ronan, Stanley Tucci, Mark Wahlberg, Rachel Weisz, Susan Sarandon
Rate : 3,5/5


Andaikata Peter Jackson lebih tidak egois akan karyanya yang satu ini, bisa saja The Lovely Bones menjadi salah satu drama langka yang kekuatan mutunya tidak usah dipertanggungjawabkan. Namun sayang, 2009 tinggal kenangan, dan kita mendapati jika The Lovely Bones bukan sebuah masterpiece dari seorang pereka kaum Uruk Hai versi gambar bergerak ini. Optimistis yang menyebar saat film ini mengemuka, sempat membuat saya sedikit kaget akan hasil akhirnya. Bones tidak serta merta hancur berantakan--malah masih berdiri di taraf mengagumkan. Hanya saja, Jackson seperti kewalahan mengolah kadar drama dan mengenyampingkannya guna menyempurnakan tampilan visual sebuah dunia after life. Kepiawaian Jacskon dalam hal sinematografi jelas mumpuni dan terbukti dengan tone gelap Lord of the Rings dan King Kong. Di Bones, gemerlap warna indah dan kesejukan saat menatap 'surga' itu, tidak kita rasakan juga saat mengikuti perjalanan seorang Susie Salmon.

Susie Salmon, gadis remaja 14 tahun yang ceria dan penuh semangat. Maut muncul dan akhirnya dia dibunuh setelah diperkosa oleh tetangganya. Istilahnya, Susie belum siap mati dan jasadnya seakan berada di tengah dunia dan surga. Momen itulah saat ketika Susie melihat semua lika-liku paska kematian mendadak dirinya. Dia 'memantau' kehidupan orang tuanya yang merasa depresi dan tentunya keseharian sang pembunuh. Sampai akhirnya, Susie menyadari kalau ia memang sudah tak bernyawa. Miris dan ironis.

Saya mungkin sedikit dari sekian reviewer yang masih menerima 'bagus' karya Jackson ini. Kalau boleh saya bilang, porsi tensi dan dramanya tidak melenceng jauh dari novel karya Alice Sebold itu. Yang disayangkan memang kinerja Jackson yang gagal dalam mengeksekusi ketegangan yang ada. Jackson luput menyisipi gejolak batin sang tokoh utama ke diri aktornya. Dan, kendati Saoirse Ronan sudah bermain dengan sangat bagus, tetap saja Susie Salmon terlihat kurang merasa kehilangan. Kesedihan yang ia dera kurang mengintimidasi penonton. Keterlibatan Rachel Weisz dan Mark Wahlberg pun kurang bersenyawa. Mendampingi Ronan, Stanley Tucci bolehlah sukses mengeluarkan seluruh pesona penjahatnya. Lihat mimiknya saja!

The Lovely Bones, sebuah film yang diinginkan (dan diharuskan) menyentuh malah nyemplung ke lubang segala-nanggung. Jackson nanggung dalam mengeksplor perihal batin Susie Salmon, nanggung dalam mengeksposisikan sang psikopat, serta nanggung juga menggapai klimaks. Jadi rasanya, King Kong dan The Rings terasa hambar jika ia dinilai gagap dan gagal dalam membangun karakter dan emosi dalam sebuah film drama. Nama besarnya memang penuh beban, dan The Lovely Bones seakan tukingan tajam atas Oscar-nya. Oh, alih-alih merenggut Oscar, dicap lumayan bagus saya sudah untung.

Betapapun itu, saya masih menghargai jerih payah sang sutradara, aktor serta para kru terhadap film ini. Tidak kontan buruk, meski jauh juga untuk dikatakan sempurna. Saoirse Ronan patut bangga aktingnya tidak stagnan, dan Tucci jelas penaikan kasta. Pesan moral film inipun sangat mengena jika telaah pelan-pelan. Buruknya, mood penonton tidak mau ambil pusing untuk mencerna amanat film ini. Happy watching!

by: Aditya Saputra

Minggu, 16 Januari 2011

Horton Hears A Who! (2008)


Director : Jimmy Hayward & Steve Martino
Voice-over : Jim Carrey, Steve Carell, Isla Fisher, Will Arnett, Seth Rogen
Rate : 3,5/5


Dr. Seuss, pendongeng sejati yang telah menelurkan banyak cerita klasik menarik maupun fabel yang sanggup menggugah minat baca para bocah-bocah dunia. Tidak dapat disangkal, karya tulisnya memang dapat berbicara banyak baik lewat tampilan imajinasi maupun daya tarik dalam bertutur cerita. Fairytales yang cenderung aneh malah semakin unik di mata fansnya. Setelah tahun silam muncul Cat in the Hat yang telah difilmkan dan menerima banyak kritikan dan How The Grinch Stole Christmas! yang biasa-biasa saja, akhirnya ada juga sutradara yang sadar diri jika seharusnya dongeng karya Seuss sejatinya dipoles lewat grafis komputer, bukan dimainkan oleh aktor asli. Horton Hears A Who! dengan setelan tunggal seorang gajah bernama Horton berhasil mengeruk dolar sekaligus mengikis keterpurukan book to movie yang gagal sebelumnya.

Gajah konyol yang hidup di hutan Nool secara tidak sengaja mendengar suara rongrongan minta tolong. Yang membuat heran Horton adalah jika suara itu hanya berupa spektrum kecil yang berasal dari mikroorganisme di setangkai bunga. Hubungan percakapan aneh dari kampung Who dengan alam nyata Horton malah menimbulkan kesinisan di kalangan ekosistem hutan lainnya. Horton dianggap sebagai pendoktrin buruk kepada anak spesies mereka. Tidak tinggal diam, Horton dengan segala upaya dan kebaikan hatinya, bersikukuh menolong para kaum Who dari bencana massal yang tak bisa dicegah.

Kids must love this movie. Kenapa? Di samping karena berupa film kartun, Horton juga penuh warna tanpa menjejalkan cerita yang sulit dicerna. Blue Sky Studios bukan Pixar yang perfect dalam berdrama, bukan pula Dreamwork Animation yang unggul dalam penataan render animasi. Tapi Horton mampu berdikari lewat banyak hal. Animasi yang tak murahan, serta joke-joke segar yang menyertai film ini mampu mengangkat derajat Horton lebih tinggi. Pun dengan pesan moral yang terkandung di dalamnya. Lewat dua dunia yang berbeda, kita juga diberi dua pelajaran yang berlainan pula. Biota hutan mengajarkan kita untuk saling tolong-menolong, dan di wahana Who kita memperolah sentilan akan pentingnya bersosialisasi serta jangan mudah menyerah dalam mencapai cita-cita.

Warna-warni hutan lengkap dengan berbagai tokoh dan wataknya disajikan dengan lumayan baik oleh sang kreator. Begitu pula jika kita memasuki kawasan kaum Who yang unik, kreatif layaknya yang pernah disuguhkan Blue Sky lewat Robots tempo hari. Peranakan yang juga membuat kompilasi Ice Age ini menyuntik dana segar yang digunakan dengan wajar. Komputerisasi yang gemilang. Musik yang tertata rapi, serta naskah adaptasi yang baik.

Sumbangan suara dari Jim Carrey dan Steve Carell sebagai voice-over ternyata memberikan kesan lain. Keduanya berhasil menghidupkan tokoh rekaan Dr. Seuss dengan sempurna. Gajah tambun di tangan Carrey super duper konyol dibawakannya. Begitu pula Carell yang menyuntik semangat kecut dari sang Mayor kota Who. Memang, 2 aktor jempolan yang punya daya pikat kuat untuk sebuah komedi. Teruntuk konsumsi anak-anak sekalipun.

Horton Hears A Who! kendati tidak pantas disanding dengan karya-karya keluaran Pixar, tapi setidaknya membuktikan jika Blue Sky masih mampu eksis di tengah serangan Dreamworks dan Pixar. Who! merupakan film komedi tolak ukur anak-anak namun sarat makna bahkan penuh dengan filosofi. Bungkusan berwarna yang terlihat di luarnya, ternyata menyembunyikan banyak harta pelajaran yang melimpah. Yah! Ini salah satu feature ringan yang sangat bagus. Happy watching!

by: Aditya Saputra

Brokeback Mountain (2005)


Director : Ang Lee
Cast : Heath Ledger, Jake Gyllenhaal, Michelle Williams, Anne Hathaway, Randy Quaid
Rate : 3,5/5


Tahun 2005 kemarin mungkin menjadi salah satu momen paling tematis untuk ajang Oscar yang mana pada saat itu rata-rata kandidat penerima piala bernuansakan hubungan menyimpang. Queer yang diwakili oleh Transamerica maupun homoseksualitas lewat Capote dan Brokeback Mountain. Terbuti sudah, GLBT bukan menjadi barang haram lagi untuk diangkat oleh sineas unggulan. Nia Dinata pernah mencoba mengupas ini dan berhasil lewat tampilan Arisan! yang menawan. Ang Lee, maestro drama dari daratan Asia secara tangguh mengukuhkan nama di perhelatan film internasional lewat koboi gay-nya kali ini.

Untaian drama yang Lee sajikan bukan saja mengena kepada kaum minoritas, tapi juga cukup berhasil membuka mata para kaum mayor tentang betapa keluh kesah para pengidap kelainan seks sesama jenis. Lee memaparkan dengan lugas naskah adaptasi dari Larry McMurtry yang menuturkan secara sejuk namun terperinci bagaimana dua orang koboi yang ternyata memendam rasa suka satu sama lain. Lewat lenskep dinginnya hawa pegunungan, Mountain juga dibawa dengan nyawa sendu dari sisi lain laki-laki. Tentang bagaimana kaum mereka flirting, berkenalan, saling memancing obrolan yang berujung pelampiasan seks hingga efek samping yang harus mereka dera baik menohok ke diri pribadi ataupun kepada orang sekitar.

Ennis Del Mar dan Jack Twist, dua koboi upahan yang harus menggembala domba di Pegunungan Brokeback. Ennis yang datang dengan membawa masa lalu kelam serta Twist yang telah tumbuh benih maho semakin dekat karena benturan keadaan dan insting yang tidak bisa ditepis. Keduanya seakan menemukan kehidupan baru. Mereka jatuh hati dan tunas cinta terlarang itu akhirnya tumbuh juga. Lama setelah itu, lama setelah mereka tak lagi bertemu, 4 tahun untuk pertama kalinya, Ennis telah beristri beranak 2 dan Jack mengawini seorang rodeo jelita anak juragan pebisnis kaya. Keduanya hidup layak bak lelaki normal biasa. Namuh telaga cinta sejenis yang terpendam akhirnya membuncah sampai akhirnya hubungan ini terklimaks saat seseorang membaui kisah cinta mereka.

Dua tokoh utama kita mungkin akan terlambat menerawang hasil tuah yang mereka lakukan. Twist yang merasa terbebani dan terpenjara akan orientasinya serta Ennis yang paranoid berkepanjangan terhadap anaknya. Keterpurukan ganda yang mereka dapatkan adalah satu, mereka tidak bahagia. Lika-liku perjalanan romantis inilah yang mengalur lambat namun sangat menyiksa batin penonton. Lee seakan tau betul dalam menempatkan adegan-adegan yang berpotensi mengoyak kelenjar air mata penonton agar juga merasakan kepedihan sang pelakon. Ending film ini adalah senjata pamungkas lengkap dengan dialog penyayat nadinya. Adegan favorit saya tentu saja bukan adegan tenda itu, melainkan saat Ennis menanyakan kepada sang anak apakan kekasihnya sangat mencintanya. Emosi. Merasa bersalah. Berdosa.

Aktor serba bisa Heath Ledger mendapat kesempatan langka yang menghasikan sebuah pencapaian luar biasa di sini. Perannya sebagai koboi gay yang penuh beban hidup dibawakan dengan mumpuni. Mulai dari culrutal spoken, hingga air muka yang lepas dari bayang-bayang aktor melankolis. Ditemani dengan penampilan tak kalah apik dari Jake Gyllenhaal dalam mengimbangi permainan memukau Ledger. Jake boleh saja seorang Donnie Darko, tapi Jack Twist bukan Jack Twist tanpa roh Gyllenhaal di dalamnya. Sedangkan scene stealer kita, Anne Hathaway serta Michelle Williams secara mengejutkan mampu memberikan akting yang diharapkan semua pihak.

Jangan jengah dulu dengan film model Brokeback Mountain ini. Yang diutamakan bukan adegan seks menggebu seorang tuna susila, melainkan rantai kehidupan yang mengambil sudut pandang dari pembohongan publik. Berat rasanya menerima jika pengkotakkan orientasi seks menyebabkan Brokeback susah dilirik orang. Tapi sejatinya, katakanlah Brokeback Mountain saya sama posisikan dengan American Beauty dalam menyajikan kelembutan yang menopengi kebejatan moral dan perilaku. Happy watching!

by: Aditya Saputra