Sabtu, 12 Februari 2011

Penelope (2006)


Director : Mark Palansky
Cast : Christina Ricci, James McAvoy, Catherine O'Hara, Reese Witherspoon
Rate : 3/5


Kutukan lagi, setelah tahun 2001 Ricci got cursed di Cursed, 5 tahun berikutnya ia kembali terkena mantra sihir menjadi seorang gadis berhidung dan telinga babi. Penelope bolehlah sedikit sama dengan Beauty and the Beast, pangeran kodok ataupun Sleeping Beauty yang harus merajut cinta dengan sosok yang sungguh mencintainya. Yang membedakannya adalah, Penelope sebuah live action, dan itu sedikit sulit untuk meleburkan kisah dongeng yang ada dengan tampilan yang memungkinkan masuk akal. Kabar baiknya, Penelope tidak buruk-buruk amat untuk dikonsumsi apalagi mengingat temanya yang sangat sangat sangat fairytale. Topik yang akan disukai seluruh masyarakat.

Ricci sebagai Penelope, yang harus menerima nasib jika postur tubuhnya tidak seperti gadis pada umumnya. Penelope diterpa kutukan dahsyat dan mengubah bentuk hidung dan kupingnya menyerupai babi. Berbondong-bondong pria berdarah biru datang dengan maksud melepaskan aura kutukan itu dan mengubah Penelope dan keluarganya menjadi orang normal. James McAvoy datang dan menipiskan skeptis Penelope akan keterpurukan nasibnya. Ketika Penelope kabur dari rumah, ia bertemu wanita periang dan memperkenalkan dunia baru kepadanya. Hingga suatu kejadian membuat Penelope menjelma menjadi artis koran.

Sebenarnya film ini tidak ada spesial-spesialnya. Saya ralat, satu-satunya yang membuat film ini begitu spesial adalah lagu Hippoppola yang mengalun di ujung-ujung film. Di luar itu, film ini biasa saja. Cerita yang gampang ditebak, akting yang tidak begitu menonjol, dan ending yang pasti bahagia. Lantas, apa yang membuat saya suka film ini? Tema dan maksud penulis dalam mengungkapkan perguliran batin seorang Penelope. Penelope menemukan pengertian sebuah hidup yang sebenarnya, yang ironisnya, dia tau setelah ia merasakan seluruh kejenuhan yang dilimpahkan ke dirinya.

Bagian inilah yang saya suka, Penelope merujuk dirinya sendiri jika kutukan itu terlepas bukan semata karena cinta, namun juga kepercayaan yang harus ia rasakan sendiri. Dan sentilan akan orang tua yang sangat otoriter ditampilkan dengan baik, meskipun agak berlebihan pula.

Banyak lubang plot di Penelope dan beberapa karakter terkesan dangkal dan tidak begitu pentinga. Sekalipun peran untuk aktor James McAvoy. Awalnya saya mengira dialah kunci utama film ini, tapi malah dia yang sepi menunjukkan akting di layar. Kemunculan Reese Whiterspoon juga tidak membekas. Ricci pun tak ubah perannya di Black Snake Moan ataupun Monster, tapi tidak sekelam kedua film itu.

Kesialan semakin menjadi mengingat laba untuk film ini membuat penyuntik dana dan sutradaranya tersenyum masam. Apa boleh buat, Penelope sangat tanggung. Berupaya untuk menjelaskan betapa abadinya hidup dengan cinta, malah lepas bebas ke arah slapstick sia-sia. But, i still like this movie. Untuk sebuah tontonan di akhir pekan, saya rasa tidak rugi-rugi amat. Happy watching!

by: Aditya Saputra

Jumat, 11 Februari 2011

The Photograph ( 2007)


Director : Nan Achnas
Cast : Lim Kay Tong, Shanty, Lukman Sardi, Indi Barends
Rate : 4/5


Sayang sekali, pakar-pakar sinema Indonesia telah kelewatan satu film untuk didengungkan lebih luas ke khalayak ramai. Mungkin karena temanya yang terlalu berat untuk dicerna atau tampilannya yang buram seburam kenyataan pahit sang pelakon utama. Sama halnya produk Shanty lain yang juga diacuhkan pembeli tiket, Kala. Keduanya dicibir untuk masalah laba, tapi keduanya memegang sertifikat terpuji. Kembali ke The Photograph, salah satu contoh film ber-budget minim namun bisa dimaksimalisir dengan sangat baik. Sineas gemilang Nan Achnas berhasil memberikan sajian sejuta makna untuk penonton lewat penuturan singkat dan sederhana akan betapa sulitnya membuang bayang-bayang masa lalu dan melewati masa depan.

Johan Tan, lelaki tua yang mengidap kesakitan mental akan kukungan masa silam. Dia seorang fotografer yang mengais rejeki lewat itu. Suatu ketika, rumahnya kedatangan seorang tuna wisma yang hendak menyewa sebuah kamar, Sita. Sita mempunyai tanggung jawab menghidupi anaknya yang telah lama ia tinggal serta berniat mengobati penyakit neneknya. Kedua tokoh kita memiliki persamaan, mereka depresi. Sita akhirnya mencoba membantu Pak Johan untuk bebas dari penjara masa lalu. Satu hal, Pak Johan membui kenangan pahitnya lewat serangkaian foto. Fisik yang akan mengupas kembali memori kelamnya.

Gerak gambar The Photograph memang hanya seputar Johan dan Sita dalam memperjuangakan hidup. Kendati begitu, Nan Achnas memanipulasinya lewat keindahan sinematografi. Film ini sangat terbantu lewat mobilitas kamera yang walaupun monoton tapi sangat membentuk karakter tokoh maupun situasi. Warna-warna buram baik untuk setting rumah Johan maupun terang pekat di setting luar seakan mewakili apa yang mereka alami. Acungan jempol juga saya salutkan kepada direksi seni yang membuat The Photograph semakin nyeni dan memiliki jiwa untuk setiap adegannya.

Pemeran Pak Johan adalah seorang WNA. Achnas mengambil resiko dan itu semua terbayar lunas. Tong mencurahkan seluruh metabolisme urat aktingnya dengan bermain dengan sangat menakjubkan. Perubahan karakter sebelum dan sesudah ia mengalami krisis kepercayaan diri tersorot dengan sangat baik. Mungkin sulit membayangkan jika peran emosional ini diperankan leh aktor lain, sekalipun ia seorang Deddy Mizwar. Begitu pula dengan apa yang diperlihatkan oleh Shanty. Setelah mulai eksis di Berbagi Suami dan Kala, aktingnya di sini kian matang. Semakin menunjukkan taring dan taji tajamnya. Lukman Sardi pas porsi, dan Indy Barends membuat kejutan dengan sandiwara sarkastiknya. Namun, penampilan sekian detik dari Nicholas Saputra lah yang akan membuat penonton tercengang. Good job, Nico!

Begitulah! The Photograph memang sedikit banyak menjelaskan betapa menderitanya jika kita masih meratapi masa lalu, terlebih jika masa lalu itu kelamnya luar biasa. Kaki tangan seakan dirantai dan sulit melangkah untuk menggapai era baru. Lewat sosok Tuan Johan kita belajar itu semua. Sebuah persembahan yang membanggakan dari seorang sutradara lokal yang berani keluar jalur mainstream. Highly recommended. Happy watching!

by: Aditya Saputra

Valentine's Day (2010)


Director : Garry Marshall
Cast : Ashton Kutcher, Jessica Alba, Kathy Bates, Jamie Foxx, Patrick Dempsey, Anne Hathaway, Jessica Biel, Jennifer Garner, Julia Roberts, Taylor Swift, Emma Roberts, Taylor Lautner, Bradley Cooper, Eric Dane, Topher Grace, Queen Latifah, Shirley MacLaine
Rate : 2,5/5


Lampung, 12 Februari 2011. Dua hari sebelum hari yang bersamaan dengan judul film yang akan saya review ini. Berpengaruh buat saya? Sama sekali tidak. Amerika terlalu mengistimewakan tanggal tersebut di setiap bulan kedua. Entah ada resesi apa, atau makna yang sangat khasiat bagi mereka, yang jelas 14 Februari menjadi ajang pemaklumatan kasih sayang tiada tara. Baik berupa untaian kata-kata mesra, hubungan fisik, hingga kiriman karangan bunga yang tidak ada habis-habisnya. Film garapan Garry Marshall ini juga berkutat seputar percintaan dua sejoli yang disisipi intrik lain, berupa perselingkuhan. Ah, tema klasik dan sedikit kuno kendati selalu akan digemari penonton kebanyakan.

Valentine's Day mengitari beberapa makhluk Tuhan pria wanita baik yang remaja, dewasa, manula, hingga bocah ingusan sekalipun yang baru mengenal yang namanya cinta. Pasangan tua renta yang semakin memaknai cinta mereka, sepasang sahabat yang saling mengingatkan jika cinta mereka palsu, anak kecil yang rindu akan belaian seorang ibu, remaja tanggung yang ingin merasakan surga duniawi, hingga gejolak nafsu yang menggebu-gebu sekalipun sampai pasangan gay yang masih simpang siur mencari orientasi seksnya. Semua dikemas sedemikian rupa oleh pembesut Pretty Woman itu dalam paket yang sangat cantik dari luar, namun setelah dibuka lebih dalam, kita kurang dipuaskan oleh hasil akhirnya.

Sejatinya, dan layaknya film dengan banyak cerita seperti Paris, je t'aime, Valentine's Day juga berpotensi besar-besaran untuk meraih sukses di segi kualitas. Bedanya, Paris dipegang oleh banyak sutradara di setiap cerita sedangkan Marshall hanya termenung sendirian di kursi director. Faktor umur juga, Garry jadi kurang maksimal membagi layar untuk beberapa plot penting agar lebih intens untuk diolah. Seperti misal hubungan aneh antara Topher Grace - Anne Hathaway yang harusnya bisa lebih manis lagi. Bagian Ashton Kutcer - Jes Alba, Kutcher - Jen Garner terkesan saling tindih. Dan pemasokan unsur selingkuh terlalu berlebihan. Penulis naskahnya juga sudah terlalu lelah meramu skripnya agar lebih renyah untuk dinikmati. Jadi, penulis mungkin menggunakan sebab musabab yang lebih ringan tanpa apa klimaks yang membekas di hati penonton.

Satu hal yang tidak bisa dipungkiri adalah, betapa serunya melihat aktor-aktor kesayangan kita beradu peran satu sama lain. Lebih dari selusin. Dan itu menyenangkan. Melihat bagaimana akting lebay perdana seorang Taylor Swift, dan melihat Taylor Lautner lepas dari bayang-bayang werewolf doyan shirtless. Melihat tingkah kocak Jes Biel dan melihat betapa anggun nan seksinya Jes Alba, Jen Garner, serta Anne di atas ranjang. Atawa mau sedikit nyengir dengan lelucon (semi) garing dari Latifah, atau juga iba kepada sosok Julia Roberts.

My verdict: Pembubuhan amanat akan betapa ganasnya dampak dari sebuah perselingkuhan memang akan mengena. Tapi, pengorbanan waktu yang penonton dera mungkin tak sebanding dengan amanat yang mereka peroleh. Penonton ingin lebih. Lebih dari sebuah fairy tale yang pasti akan berujung bahagia. Waktu yang lelet dan agak dipanjang-panjangkan menjadi salah satu poin betapa jenuhnya menyaksikan film berposter hitam pekat ini. Jangan khawatir! Valentine's Day juga dilengkapi dengan alunan musik yang segar berikut dengan sorotan kamera untuk view-view sederhana tapi indah. Happy watching!

by : Aditya Saputra

Sabtu, 05 Februari 2011

The Savages (2007)


Director : Tamara Jenkins
Cast : Phillip Seymour-Hoffman, Laura Linney, Philip Bosco
Rate : 3,5/5


Di saat orang tua kita tua renta dan hanya memiliki kita--sang anak--sebagai tempat peraduan terakhir, ikhlaskah kita mengulurkan tangan? Sekalipun orang yang kita sanjungi itu bukan sosok yang baik di kala dulu. Krisis batin ini melanda dua kakak beradik yang harus mengurusi ayah mereka yang luntang-lantung mencari persinggahan yang pas untuk 'menamatkan' hidupnya. Wendy dan Jon Savage menerima telpon jika ayah mereka berbuat ulah lagi dengan menulis serangkaian huruf dengan kotorannya. Mengambil jalan aman dan pintas, dua besaudara ini berupaya mencarikan panti werda yang cocok dengan ayah mereka yang pikunnya sudah termakan usia itu. Keduanya, dengan rasa enggan dan terbebani oleh tanggung jawab pekerjaan, dengan berat hati menuntaskan tanggung jawab atas nama seorang ayah.

Sulit diungkapkan, The Savages merupakan lembaran tersendiri bagi siapa saja yang masih meragukan keharmonisan sebuah keluarga. Dari dua tokoh utama kita, diperlihatkan dengan sangat frontal bagaimana mereka masih memiliki gumpalan amarah terhadap ayah mereka. Begitu pula dengan ketidaksukaan sang ayah terhadap dua anaknya tersebut. Pertengkaran-pertengan kecil hingga adu mulut ketiganya mengantarkan penonton sesegera mungkin menyeka air mata. Dialog-dialog ironis yang terlontar menyisakan sebuah kesedihan. Joke-joke yang tersebar sepanjang film bukan untuk ditertawakan dengan kencang, melainkan menyuruh penonton sedikit iba terhadap mereka. Asa yang membumbung tinggi, harus berakhir hanya dengan kalimat 'well...that's it'. Terlalu suram untuk sebuah 'penghargaan' kepada orang tua.

Naskah orisinil yang ditulis oleh sutradaranya berhasi mengaduk emosi penonton. Kekuatan film ini memang terletak di naskahnya selain juga bertopang pada akting para aktornya. Tamara Jenkins memaksimalkan kesederhaan dan keminiman budget melalui pesan tersirat filmnya sendiri. Dan tidak dapat dipungkiri, Laura Linney dan Phillip Seymour-Hoffman telah mencurahkan seluruh keprimaan adu aktingnya di sini. Cek-cok yang menguras kadar darah.

The Savages menjadi ringkasan sebongkah keegoisan anak yang tidak memperdulikan khasanah sebuah keluarga. Sekalipun yang membutuhkan pertolongan itu adalah ayah mereka sendiri. Di samping juga memaparkan hubungan ayah-anak, The Savages juga menekankan keintiman batin antar saudara. Bagaimana mereka harus memposisikan diri dalam bertindak. Sakit hati masa lalu yang juga harus dibuang jauh-jauh.

Cerita singkat dari Tamara Jenkins dalam hal pembaktian anak terhadap ayahnya. Ditampilkan dengan sangat lembut namun menusuk, pun sokongan akting yang apik, The Savages contoh drama dalam balutan komedi yang bertujuan untuk kembali ke sebuah film drama lagi. Happy watching!

by: Aditya Saputra

Moon (2009)


Director : Duncan Jones
Cast : Sam Rockwell, Sam Rockwell, Sam Rockwell, GERTY (Kevin Spacey)
Rate : 3,5/5


Apa yang akan Anda kerjakan dalam kesendirian? Kesendirian yang sangat pekat, dan hanya ditemani oleh serangkaian mesin tak bernyawa dan jauh dari hingar-bingar rutinitas bumi? Saya tidak sedang membicarakan Tom Hanks di Castaway apalagi Ryan Reynolds yang 'terkubur' di Buried, karena kedua film itu tidak berkutat dengan mesin. Saya juga tidak sedang mengoceh soal robot penolong nan karismatik bernama Wall-E. Benar, saya sedang menelusuri jalan hidup yang penuh kegersangan kasih sayang dan sosialisasi dari seorang astronot bernama Sam Bell. Sam terikat kontrak tiga tahun sebagai penambang yang mengolah batu-batuan bulan untuk menyerap energi matahari. Keterasingan dengan dunia luar angkasa membuat dirinya merasa terpenjara dan monoton dengan schedule yang itu-itu saja. Perlahan, Sam menemukan sesuatu yang membuka matanya lebar-lebar akan kesintingan 'orang bumi'.

Duncan Jones, dengan budget minim dari para penyuntik dana, telah mengoptimalkan apa yang telah tertuang di naskahnya. Mulai dari tata artistik lingkup kehidupan di bulan, wahana tempat tinggal Sam Bell lengkap dengan segala gadget mutakhirnya, hingga efek sederhana namun menunjang sebagian besar film. Lebih dari itu, saya salut akan upaya Duncan yang sukses menyorot kesendirian sang tokoh utama lebih dalam. Siksaan batin melalui perbincangan samsung dengan keluarga di bumi sampai akhirnya harus mengenyam pil pahit. Dan juga tekanan batin Sam Bell setelah tau jika ada kloningan dirinya di muka galaksi itu.

Jones mungkin awalnya mengartikan semua kehalusinasian Bell sebagai kamuflase jalan cerita. Namun seiring plot mengalir, terbongkarlah sudah maksud scriptwriter-nya. Bell adalah korban. Sedikit twist yang sukses menghancur-leburkan pemikiran awal penonton. Dimasukannya sosok robot GERTY untungnya memang pas. Gambaran masa depan juga terlihat mapan. Jangan samakan Wall-E dengan GERTY. Walaupun sama-sama pintar, namun GERTY lebih amoral. Maksudnya, tidak sepenuhnya berada di pihak yang disegani penonton. Kendati banyak hal genius dan cerdik di film ini, namun sayangnya, dengan atmosfer sedikit dialog ataupun hal-hal klimaks yang diharapkan penonton awam, bisa jadi menjadi tumbal bagi filmnya sendiri.

Sam Rockwell duduk di singgasana yang sama dengan Tom Hanks akan one-man-show-nya. Hampir 100% durasi Moon dijejali oleh akting primanya. Mimik Rockwell mampu menginterpretasikan sebuah kesedihan dan keterlenaan seorang diri yang rindu akan dunia luar. Penontonpun bisa merasakan dua karakter di dalam satu orang saat clone Sam Bell muncul di layar. Bagi Kevin Spacey sendiri, sulih suaranya dalam mesin robotik GERTY berhasil menimbulkan kesan robot yang cerdas bin lucu.

Moon boleh saja lepas dari tangan kritikus untuk ikut serta dalam ajang-ajang film dunia, namun Moon bisa jadi sebuah asosiasi bagaimana film berbiaya minim bisa membuahkan feature yang tak kalah 'garang' layaknya Star Trek ataupun Star Wars dalam genre sci-fi. At least, Moon tidak serumit kedua film tersebut.

Sebagai penutup, inilah apa yang dimaksud pengkaratan daya pikir. Sam Bell dari awal melakukan kesalahan walaupun mengemban misi sosial untuk menyeberang dari bumi ke bulan. Tapi, ia terperangkap oleh apa yang ia tabur sendiri. Happy watching!

by: Aditya Saputra