Sabtu, 19 Maret 2011

The Social Network (2010)


Director : David Fincher
Cast : Jeese Eisenberg, Andrew Garfield, Justin Timberlake, Rooney Mara, Max Minghella
Rate : 4/5


The Social Network adalah sajian terbaru dari pencetus karya fenomenal tahun 9o-an bertajuk Fight Club. Walaupun sebelum itu David Fincher sudah menelurkan The Game maupun Se7en yang murni keorisinalitasannya, namun Fight Club-lah yang membawa peruntungan bagi Fincher hingga dikenal luas. Bertahun kemudian setelah menyuntik bakat ke Kristen Stewart dan menggamblangkan pembunuh berantai lewat Zodiac, Fincher mengembangkan sebuah novel yang kemudian diangkat menjadi sebuah film. The Curious Case of Benjamin Button disadur dengan jiwa kontemporer dengan laga dari seorang Brad Pitt. Selang 2 tahun, Fincher kembali berkiblat ke film super jenius. Kali ini menceritakan dengan seluk beluk dan cikal bakal didirikannya jejaring sosial termahsyur di dunia, facebook.

The Social Network berangkat dari sebuah buku otobiografi berjudul The Accidental Billionaires. Memaparkan dengan lugas tentang bagaimana seorang Mark Zuckerbeg menjembatani kehidupan perkuliahannya hingga harus 'terpaksa' menjadi pemuda terkaya di dunia. Berkat keisengannya yang dimulai kala ia cekcok dengan kekasihnya. Mark yang saat itu merasa kesal akhirnya melimpahkan segala uneg lewat blog. Membuat sebuah situs FaceMash untuk konsumsi kampus menjadi arah lain yang ternyata menimbulkan progres yang lumayan.

Mark tentu tidak sendirian dalam mengolah menu barunya. Lantas ia mengajak teman satu kampusnya Eduardo Saverin sebagai penggalang dana, berkubu dengan si kembar Winklevoss, sampai akhirnya menjalin kerja sama dengan pemilik situs Napster, Sean Parker. Buruknya, keegoisan Mark yang menuntut kejeniusan otak kanan membuat ia terjerat beban hukum baik dengan si kembar maupun dengan sahabatnya sendiri. Kinerja Facebook kian menunjukkan peningkatan drastis, namun Mark mulai kehilangan jati diri dan maksud dari segala yang telah ia kerjakan.

Menyaksikan duel dialog di film ini terbilang cukup menghibur. Kendati power ngoceh-nya terhitung ngebut, namun jika ditelaah memang berbobot dan cukup logis jika diasosiasikan dengan kehidupan remaja dewasa ini. Ini tak lain berkat kelihaian sang penulis naskah, Aaron Sorkin, yang telah berhasil mengembangkan novelnya menjadi naskah yang bercita rasa tinggi. David Fincher tinggal mengimbangi apa yang telah tertuang dari skripnya. Semua karakter terwakilkan dengan sangat baik. Kita bisa mengetahui sosok Mark Zuckerberg si kutu buku namun culas dan licik, Eduardo yang sedikit naiv, hingga beberapa ekstra lain yang juga berhasil menyempurnakan bagian watak ini.

Jeese Eisenberg yang mendapat kesempatan emas ini rupanya bermain cukup gemilang. Transformasinya sebagai Zuckerberg dijalani dengan klimaks yang memukau. Jarang ada artis muda yang bisa bermain santai namun menyengat di setiap adegannya. Setali tiga uang dengan Andrew Garfield maupun Justin Timberlake yang bermain cemerlang. The next spiderman ini mencurahkan seluruh gerak aktingnya dengan sangat optimal. Timberlake yang belakangan laris sebagai bintang film juga mampu berparlente ria sebagai Sean Parker yang tengik dan ceriwis itu. Tapi bintang film ini tetaplah apa yang sedang dibicarakan, facebook itu sendiri. Bagaimana facebook bisa menjadi wadah pergaulan maya yang mempertemukan sejuta umat dalam satu wahana. Facebook merubah segala haluan nuansa abege yang sudah lebih dulu ditetuai friendster.

Jangan di-skip pula gubahan musik Trent Reznor dan Atticus Ross yang telah menghipnotis saya dengan musiknya yang ciamik. Jadi, tidak salah jika juri Oscar akhirnya memberikan kepada mereka berdua pernghargaan Best Original Score.

The Social Network dan David Fincher boleh saja merana karena Oscar tidak berpihak kepada mereka, tapi setidaknya film ini memang sudah berani keluar metode sederhana dari bagaimana membuat biopik tradisional menjadi luar biasa brilian. Dengan dukungan naskah yang apik dan permainan akting yang gemilang, dibantu juga penyutradaraan yang sempurna, membuat The Social Network saya sematkan menjadi salah satu film terbaik tahun lalu. Persekongkolan, tipu daya, hingga saling menusuk satu sama lain dari belakang layar terciptanya facebook itu, memang menyisakan ending yang berlapis-lapis dalam pengintegrasiannya. Happy watching!

by: Aditya Saputra

Sabtu, 12 Maret 2011

Sideways (2004)


Director : Alexander Payne
Cast : Paul Giamatti, Thomas Haden Churh, Sandra Oh, Virginia Madsen
Rate : 4/5


Alexander Payne boleh saja dicap sebagai salah satu sutradara yang tidak produktif. Karya-karyanya tidak lebih dari jumlah jari tangan. Tapi setidaknya, dari sedikit itu hampir semua besutannya dapat memberikan dampak baik untuk penonton, maupun pandangan kritikus. Lihat saja Election yang walaupun sederhana namun tidak terjebak dalam parodi kampanye versi anak sekolahan. Dan juga bagaimana komedi About Schmidt yang sangat komikal dan mampu mengeluarkan seluruh pesona Jack Nicholson. Lagi, Payne yang juga menulis naskahnya, membuat Sideways, sebuah komedi non-slapstick untuk konsumsi para manusia dewasa. Karena apa, seluruh isi dari Sideways memang diperuntukkan untuk kondisi umur yang rentan akan krisis kasih sayang dan krisis kepercayaan-diri.

Miles, seorang penulis gagal yang mengabdikan hidupnya sebagai guru paska perceraiannya 2 tahun yang lalu. Kedepresiannya ia timbun dalam-dalam dengan mengajak temannya untuk melakukan road trip sambil menikmati berteguk-teguk anggur. Jack, yang seminggu lagi akan menikah akhirnya mengikuti kemauan Miles. Sepanjang jalan, mereka merasakan surga dunia dari pelbagai rasa anggur, bermain golf, terluntang-lantung. Klimaknya? Saat mereka berkenalan dengan dua orang wanita yang memiliki kepribadian unik. Yah, mereka jatuh cinta namun harus bertepuk sebelah tangan.

Karakterisasi, di situlah salah satu kekuatan film Sideways ini. Keempat tokoh utama kita memiliki pondasi watak yang kuat sehingga bersinkronisasi menjadi satu-kesatuan yang unik. Belum lagi saat kita harus menebak-nebak apa yang akan terjadi pada dua sekawan ini. Nasib mereka sesudah ini dan itu. Dan mereka pun juga merasakan batas tipis antara persahabatan dan prasangka buruk. Payne tahu betul kondisi penceritaan untuk setiap filmnya. Ia membuatnya untuk tidak monoton, walaupun kita dijejali dialog-dialog sarkastik dan lucu di sepanjang film. Panorama ladang anggur juga ditampilkan bukan sekadar tempelan. Maksud dari apa yang mereka tenggak dari minuman fermentasi itu, bahwa anggur sama halnya seperti wanita. Naskah yang cemerlang!!!

Paul Giamatti memang tidak memproklamirkan jika ia komedian yang handal maupun aktor yang mumpuni. Kendati begitu, kritikuspun tau jika ia bertolak belakang dari seorang komedian yang komikal. Giamatti sanggup mengemban menjadi tokoh yang konyol dan terlalu berserah diri. Thomas Haden Churh bermain hebat, tak salah jika ia dinominasikan di Oscar tempo hari bersama Virginia Madsen yang juga bermain santa nan memesona. Salut untuk casting director yang dengan sempurna merekrut mereka untuk bermain di film monumental ini.

Setelah Anda menonton ini, mungkin mengerti mengapa saya bilang film ini dikhususkan untuk manusia berumur saja. Pria tua yang rindu akan cinta, pria tua yang merasa dirinya tidak berguna, janda yang butuh pendamping, serta wanita yang tidak tau arah hidupnya. Semua terjalin indah tanpa ada kesan dipaksakan. Sebuah feature yang mengangkat tema moralitas pertemanan, keindahan makna cinta, paradoks anggur, metafora sebuah perjalanan darat. Saya masih tersenyum manis betapa menyindirnya film ini. Happy watching!!

by: Aditya Saputra

Veronica Guerin (2003)


Director : Joel Schumacher
Cast : Cate Blanchett, Gerard McSorley, Brenda Fricker
Rate : 3,5/5

Anda kenal siapa itu Veronica Guerin? Jika Anda balik bertanya kepada saya siapa dia, sayapun mempunyai jawaban yang sama dengan Anda. Saya tidak mengenal seorang Vernoica Guerin sebelumnya, hingga akhirnya saya menonton film buatan Joel Schumacher ini. Veronica Guerin adalah seorang pekerja kuli tinta sekaligus penulis artikel kriminal yang memilih lajur tidak aman untuk pekerjaannya. Guerin berani masuk ke lembah hitam guna mencari suatu fakta yang akhirnya menyeret kehidupan pribadinya lebih dalam. Suatu hari ketika ia berniat menuntaskan perihal sindikat narkoba yang sudah teramat parah, mau tak mau, Guerin harus menggaransikan nyawanya.

Frase yang mengatakan 'mulutmu harimaumu' seakan mengelupas ke akar-akarnya lewat film ini. Apa yang telah ditabur oleh Guerin lewat 'kerja keras'-nya, memang ia pula yang harus menuai nantinya. Mungkin Guerin terlalu kritis atau ia terlalu sembrono dalam mengupas persekongkolan yang ada, yang jelas kinerja Guerin tidak bisa dipandang sebelah mata. Bagaimana upaya beliau mengubah kehidupan bermasyarakat di Irlandia setelah akhirnya ia meninggal mungkin salah satu pembenahan yang paling berhasil dari seorang pekerja pencari berita. Joel telah sukses membuat penontonnya untuk sedikit prihatin tentang nasib seorang Guerin. Saya pribadi merasa antusias dengan film ini, bukan karena dramanya, namun dengan seluk-beluk dunia wartawati sang tokoh. Yah, mungkin terlalu tragis. Kendati demikian, imbalannya setimpal dengan apa yang ia telah perbuat.

Sang dalang film ini walaupun saya nilai kurang dalam penggarapan emosi, tapi sudah memaksimalkan aset penting dari seorang Cate Blanchett, aktingnya. Performa Cate dalam menciptakan Guerin yang bermartabat tinggi dan berkarisma lebih memang sangat brilian. Bahkan, aktingnya seakan menambal bantuan aktor lain yang bermain kurang bagus. Intinya, Cate seakan bermain tunggal, dan pertemuannya dengan Colin Farrell lumayan mengejutkan. Oh wait, Joel pernah mengajak Farrell di Tigerland dan Phone Booth, jadi kameonya beralasan.

Apa yang bisa kita pelajari dari film ini? Yah, untuk sebagian orang belajar sesuatu dari sebuah film terkesan konyol, namun memang ada sekelumit pesan yang ingin disampaikan dari sang sutradara. Dan, Veronica Guerin sedikit banyak telah memberikan amanat yang sangat kental akan keberanian, kebebasan bertindak dan berkarya, hingga mengusik kehidupan bejat seorang pendosa. Melindungi kaum minoritas korban sang pendosa tadi. Bagaimanapun juga, Veronica Guerin akan mengacu pada hak asasi manusia yang konon katanya lebih berpihak pada hukum, dan tentu saja uang.

Sayang sekali jika film ini kurang mendapat sambutan hangat dari perentas media luaran sana. Sejatinya, film ini menekankan banyak hal yang bisa kita peroleh saripatinya. Lupakan minus-minus yang tidak mengganggu jalinan ceritanya, nikmati saja bagaimana Blanchett menjelma sepenuhnya ke batin seorang Veronica dan berpikirlah apa yang akan kita lakukan jika kita berada di posisinya. Satu hal lagi, ending film ini di mana sang 'pahlawan' kita mendekam di mobilnya dengan alunan lagu dari vokal anak kecil sungguh membuat hati siapa saja yang menontonnya menjadi perih. Terlebih saat sang anaknya muncul di layar sambil dirangkul oleh sang ayah. Great! Happy watching!

by: Aditya Saputra

Sabtu, 05 Maret 2011

The Hurricane (1999)


Director : Norman Jewison
Cast : Denzel Washington, Liev Schreiber, Deborah Unger, Dan Hedaya, Vicellous Reon Shannon
Rate : 3,5/5


Lagi-lagi. Drama memikat tentang dunia adu jotos yang seakan menjadi tema favorit para kritikus. Norman Jewison, pencetus drama komedi romantis memikat, Moonstruck, mengolah naskah pilihan yang tersadur dari sebuah buku otobiografi seorang petinju Rubin Carter. Mengambil periode tahun 1966, olahragawan ring ini terpaksa harus gantung sarung tinju usai vonis penjara atas sesuatu yang tidak pernah dibuatnya. Beberapa tahun kemudian, di saat ia mendekam di penjara, sosok bocah keling menelaah buku singkat karya The Hurricane yang menegaskan secara tidak langsung jika Carter bukanlah tersangka seperti yang polisi duga selama ini.

Untuk ukuran sebuah film biopik yang otomatis ending-nya sebagian besar gampang diterka, namun keluwesan yang dipadu-padankan Jewison untuk The Hurricane terlalu kuat untuk ditinggalkan di tengah jalan. Jewison berhasil membentuk karakter seorang 'pahlawan' di mata seorang 'fans' dengan sangat hati-hati tanpa terbebani panjangnya durasi film. Betul sekali, dengan total lebih dari 2 jam film ini bergulir, The Hurricane masih bisa dinikmati dengan santai namun membuai kita dengan dramanya. The Hurricane bukanlah Million Dollar Baby yang sedu sedan itu ataupun Rocky yang ekstra hiburan. Dan Jewison bukan pula perenggut Oscar layaknya si tua Clint Eastwood. Namun, Jewison meramu The Hurricane tanpa ba-bi-bu. Titik mula masa sukses dari petinju ini hingga harus merasakan kegetiran bui dituturkan dengan rapih dan lugas.

Yang lebih menarik dan menyeimbangkan panjangnya alur, penggagas naskah menyisipkan humor yang berselera sedang namun menggelitik. Mungkin itu salah satu faktor pula yang membuat saya mencap film ini rapih dan lugas tadi. Tata kamera yang cantik dari sinematografernya juga menambah cita rasa The Hurricane. Lupakan jika formatnya seperti Raging Bull yang juga menampilkan warna pekat hitam-putih! Film ini mempunyai unsur lain untuk menekankan sisi pendramatisiran adegan di atas ring.

Dan yang paling mendukung feature ini adalah penampilan gemilang dari Denzel Washington. Dia mencuri semua adegan di film ini. Kelincahan bertinju, air muka depresi selama 'bersemedi' di tembok besi hingga muram durja di persinggahan ruang sidang diterjemahkan dengan sangat baik lewat body language-nya. Kendati demikian, akting primanya di sini harus 'diacuhkan' Oscar atas sosok ayah cabul dari raga Kevin Spacey waktu itu. Tak terkecuali untuk Shannon yang memerankan sang bocah hitam pembuka gerbang kebahagian untuk Carter. Shannon (walaupun saya tidak begitu mengenal akting dia sebelumnya) sukses menghidupkan tokoh yang antusias dan penolong.

The boxers: Robert DeNiro, Hilary Swank, Sly Stallone, Mark Wahlberg, dan Russell Crowe boleh dikatakan aktor yang mumpuni dalam gerak tinju di depan kamera. Kecuali Bob, yang lain mungkin saja pula bengong menonton kemampuan Denzel Washington yang jelas-jelas lebih menjiwai perannya ketimbang yang lainnya. The Hurricane bukan tontonan segala umat yang bisa disaksikan dengan semangkok popcorn di tangan, melainkan film yang multi sarat dan menerangkan secara singkat perjuangan orang yang tak bersalah yang harus mengais hak asasinya demi sebongkah kebebasan. Happy watching!

by: Aditya Saputra