Jumat, 15 April 2011

The Fighter (2010)


Director : David O. Russell
Cast : Mark Wahlberg, Christian Bale, Melissa Leo, Amy Adams
Rate : 3,5/5


Mengapa dunia tinju selalu menarik perhatian para sineas untuk dipresentasikan ke pita seluloid? Latar belakang sang petinju yang 'gelap gulita'? Kedigdayaan sang petinju di singgasana ringnya? Atau masalah pelik dengan lingkungan baik keluarga maupun lingkungan? Apapun itu, dunia pertinjuan seakan membuka mata kritikus lebar-lebar jika tema seperti ini senantiasa bisa dijadikan 'sarapan' di pagi hari ataupun 'pencuci mulut' sebelum tidur. Martin Scorsese pernah memberi Oscar kepada Robert DeNiro, begitupun dengan Clint Eastwood yang menyumbang Oscar lagi untuk Hilary Swank. 2010 kemarin, David O. Russell yang pernah membuat kita sedikit terkesima lewat Three Kings-nya, sekarang ia mengajak kita ke pinggiran kota Amerika dan melihat perjalanan singkat dari petinju Mickey Ward.

Bersama sang kakak, Dicky Eklund, Mickey seakan 'mengemis' mencari sponsor untuk mengajaknya bertanding di atas ring. Eklund yang dulunya juga sempat menjadi primadona ring sekarang malah bobrok gara-gara kelakuannya mengkonsumsi barang haram dan candu akan wanita. Namun, ada ibu mereka yang sedikit otoriter yang menjadi manager bagi Mickey. Keegoisannya sempat menjadi jurang pemisah bagi kisah cinta Mickey dan seorang gadis pintar pelayan bar, Charlene Fleming. Permasalahan mulai muncul, Dicky harus mendekam di penjara, Dicky mengalami yang namanya depresi pengembangan diri. Yah, untung saja masih ada Charlene yang selalu memberi dorongan kepada Dicky di samping juga harus kembali mengatasi egosentris sang ibu. Roda berputar, Mickey berjaya.

Ya, David O. Russell yang selama ini hanya bermain di sektor aman, sekarang sudah berani menjamah bagian kiri festival. Walaupun nantinya kritikus tidak memenangkan film ini, setidaknya The Fighter punya taring cukup tajam yang pantas ditakuti pesaingnya. Apa yang membuat The Fighter menjadi begitu berkesan? Pertama adalah penuturan dramanya yang tidak menimbulkan kesan boring. Kita memang disajikan tampilan yang terkesan old-school, namun berkat David yang menjaga kestabilan emosi dari awal hingga akhir. Beliau tau kapan klimaks harus diberikan kepada penonton, kapan adegan tak begitu penting dimunculkan. David yang mengatur pula bagaimana isi naskah dari sang penulis juga sukses men-shoot posisi kamera agar indah dilihat. Contohnya adegan bertinju saja. Memang saya nilai adegan adu jotosnya tidak seglamor dan sekeras pendahulunya, Cinderella Man misal, tapi David tidak membodohi penonton dengan upper cut abal-abal. Singkat, sederhana, tapi tetap menggigit.

Mark Wahlberg memberikan penampilan terbaiknya. Bahkan lebih bagus daripada dia mengumpat habis-habisan di The Departed. Lihat raut mukanya yang memendam berbagai pertanyaan hidup. Amy Adams tak kalah hebat. Gadis beringasan dan mau menang sendiri diimplementasikan dengan cukup cantik. Doubt dan Junebug-nya beralasan. Christian Bale dan Melissa Leo menang Oscar dari film ini. Dan mereka pantas mendapatkannya. Bale yang rela beranoreksia ria sungguh bermain tanpa cacat. Pesona Eklund yang urakan dan kumel seperti sudah ditakdirkan untuk dirinya. Leo tak kalah hebat, sosok ibu yang peduli akan kasih cinta anaknya sama kuatnya saat ia juga harus memberi perhatian lebih kepada bocah-bocahnya di Frozen River. Yah, tugas casting director untuk film ini ditata sempurna!

My verdict: The Fighter mempunyai point of view yang kaya dalam memberikan amanatnya. Kesimpulan sebuah film memang jatuh di tangan penonton masing-masing. Bagi saya, film ini memaparkan kisah kasih keluarga dengan sangat murni lewat tampilan buram kerasnya. Tidak menjelaskan secara frontal tentang hubungan sedarah tapi tak kandung ini. Dilengkapi dengan performa nomor wahid dari sang aktornya, mari kita masukkan The Fighter di list film-film bertema tinju berkualitas yang pernah ada. Happy watching!

by: Aditya Saputra

Minggu, 10 April 2011

127 Hours (2010)


Director : Danny Boyle
Cast : James Franco, Kate Mara, Amber Tamblyn
Rate : 4/5


Sekarang baik Danny Boyle maupun James Franco sudah memiliki gengsi tinggi di mata kritikus dunia. Bagi Danny, ini nominasi keduanya setelah 2 tahun silam pernah menang di karegori sutradara untuk film fundamentalnya, Slumdog Millionaire di Oscar waktu itu. Khusus untuk James Franco, ini mungkin tahap transisi dari aktor nuansa pop ke aliran yang lebih serius. Setelah menuntaskan tiga episode Spider-Man, urakan di Pineapple Express dan mencoba serius di Milk, kali ini bersama si kawakan Boyle, Franco hadir di lembah tinggi penuh bebatuan dan berdiam diri terjepit selama 5 hari 7 jam. Danny Boyle 'menghukum' James Franco di salah satu canyon di Utah lewat persembahan singkat, 127 Hours.

James Franco meminjam nama Aron Ralston, sang petualang hebat yang berkelana ke tempat-tempat yang niscaya akan membuat penonton kagum. Di tengah perjalanan, ia bertemu dua gadis sehobi yang tersesat di daerah gersang tersebut. Tak lama, Aron terjerembab ke dalam bebatuan tersebut dan sialnya lagi salah satu tangannya terperangkap di sebuah gundukan batu. Terjebak dalam tempat kecil dan kurangnya akomodasi baik pangan maupun peralatan petualangan lainnya, Aron harus menerima kesendirian yang harus dia jalani sepanjang 127 jam ke depan. Sepanjang itu pula, Aron merasa melihat kembali kehidupannya yang ia rasa terlalu egois dan tidak memikirkan orang di sekitarnya. Ia juga melihat gambaran singkat dari masa ke masa dirinya sendiri. Sampai akhirnya, ia bertekad untuk tetap hidup dan memilih opsi yang terbilang ekstrim.

Saya pribadi menonton 127 Hours ikut-ikutan sesak napas. Tidak kuat melihat sang tokoh utama kita tidak mampu bergerak barang satu meterpun. Harus merasakan kelaparan, kekurangan air, hujan, delusi dan halusinasi yang berkecamuk. Boyle menempatkan setting kecil ini menjadi suatu penceritaan yang mengalir dengan sangat apik. Sinematografi brilian yang berhasil menangkap angle-angle yang semula tak akan pernah kita pikirkan. Sudut kamera dari dalam sedotan, besetan pisau yang masuk ke kulit, sampai untuk penggunaan soft-lense pun ditata dengan sungguh menarik. Satu lagi yang menyihir dari film ini adalah musiknya. Boyle lagi-lagi mengontrak A.R. Rahman untuk menggubah musik bagi film ini, dan hasilnya sangat cemerlang. Jai-Ho-nya jadi punya alasan untuk menang mengingat If I Rise-nya juga sangat easy listening dan sarat makna.

Simon Beufoy yang bertugas memaklumatkan naskahnya juga sepertinya tidak susah payah dalam menyadur memoar Between A Rock And A Hard Place. Polesan tinta penanya menghasilkan karya yang hebat. Dan itu semua dilengkapi dengan performa nomor satu dari James Franco. Kendati tidak jor-joran dalam berakting, namun tampilan tunggalnya di film ini seakan membuktikan jika ia mampu one-man-show. Predikat aktor terpuji wajar didapuk kepadanya.

Menyaksikan 127 Hours seperti ikutan merasakan kedepresian yang dialami Aron, bukan hanya 127 jam paling stres itu yang jadi pokoknya, tapi juga perjalanan flashback yang sedikit banyak memberikan pelajaran akan pentingnya komunikasi, aksi sosial, dan agar selalu siap sedia untuk segala hal. Boyle yang sempat 'gagal' menyentil saya dengan Slumdog-nya, kali ini saya harus mengakui kehandalannya untuk feature ini. 127 Hours sejajar dengan film bagus lain semisal Into the Wild ataupun Castaway yang juga sama-sama menyodorkan kesendirian di ladang luas sunyi senyap. Happy watching!

by: Aditya Saputra

Black Swan (2010)


Director : Darren Aronofsky
Cast : Natalie Portman, Vincent Cassel, Mila Kunis, Barbara Hershey, Winona Rider
Rate : 4,5/5


Obsesi, satu kata yang menjadi sorotan utama dalam karya teranyar seorang Darren Aronofsky. Setelah sebelumnya secara mengejutkan menampilkan secara visual kumpulan junkies, dunia linear di The Fountain, serta mengangkat kembali nama Mickey Rourke ke belantika film dunia lewat The Wrestler, Darren kembali 'semena-mena' memanfaatkan bakat aktornya untuk bermain maksimal. Back Swan menjadi kendaraan baru yang Darren stir dan membawanya keliling ke festival-festival film terkemuka di bumi ini. Bahkan, sebelum menjadi isu hangat di bursa Oscar pun, Black Swan telah disemangati besar-besaran saat pertama kali tes layar. Semua tak lain dan tak bukan karena keberhasilan kru dan pekerja akting di dalamnya.

Nina adalah seorang balerina yang memiliki bakat mumpuni dan bersikeras untuk memperoleh predikat Swan Queen di drama pementasan nanti yang dikarang oleh Thomas. Nina berlatih mati-matian karena untuk merenggut tugas itu sang pelaku mau tak mau harus memegang jabatan sebagai White Swan dan Black Swan sekaligus. Namun, suatu ketika Thomas sempat berpikir untuk menempatkan balerina baru berbakat bernama Lily untuk peran Angsa Hitam itu. Nina tidak tinggal diam, segala upaya ia lakukan untuk merebut kembali singgasana yang diinginkannya. Tapi ternyata, jalan yang ia tembuh berbelok ke arah kegelapan. Nina menjadi paranoid berlebihan, terusik hidupnya oleh aura gelap dan jahat bak setan pencabut nyawa. Ditambah lagi, dorongan dan kukungan dari sang ibu yang over protected.

Black Swan kokoh dari segala teknis yang ada. Film ini punya sutradara yang berhasil meracik spesial drama menjadi sebuah thriller psikologis. Darren menarik penonton dengan mudah merasuki alam liar dari seorang Nina dan seakan mengajak untuk menjadi saksi perubahan gejolak batin Nina tersebut. Banyak adegan absurd yang kemudian berkembang menjadi adegan kunci. Seperti Nina yang seakan 'berubah' menjadi angsa hitam ataupun saat Nina kebingungan sendiri dengan wujud lainnya. Sinematografi yang men-shoot scene-per-scene juga menghasilkan klimaks yang sangat menggigit. Tampilan kamera yang menarik gambar para balerina menari ataupun untuk adegan 'hitam' pun ditampilkan dengan sangat apik. Begitupun musik yang melatarinya. Sepanjang film, lengkingan piano mengudara mengikuti gerak lincah para balerina dan juga Nina yang berubah sifat. Jangan lupakan ending-nya yang jauh dari kesan amatiran. Thrilling enough.

Sektor akting kita menemukan seperangkat aktor yang bermain dengan sangat baik. Dimulai dengan sang juara kita, Natalie Portman, yang mampu menerjemahkan sosok Nina yang pendiam awalnya namun perlahan menjadi sosok yang tidak bisa dikontrol. Gerak tari balet yang ia kuasai juga tidak sia-sia, termasuk dengan keberaniannya untuk melakukan adegan intim dengan Mila Kunis maupun Vincet Cassel. Portman pantas dijerat Best Actress untuk perannya ini. Sangat jarang menonton aktor yang mengejutkan bermain sangat menghipnotis seperti ini. Sama halnya dengan Kunis sebagai pendukung yang juga bermain brilian. Lily menjadi terbelah dua berkat Kunis.

Sampai sekarang, adegan-adegan yang ada di Back Swan masih terngiang di kepala saya, terbukti betapa memorable-nya film ini bagi saya. Dan saya hampir lupa jika tahun lalu, Hollywood juga menetaskan Inception yang superior itu. Ternyata, Black Swan tidak butuh inovasi yang melencengkan logika tersebut untuk menjadi yang terdepan bagi saya. Hanya dengan tampilan yang tambal sulam mulai dari cerita hingga ke akting, Black Swan saya labeli sebagai film terbaik sepanjang tahun 2010. Tidak berlebihan, dengan dukungan 100% dari Natalie Portman, seaakan membuat Black Swan seperti kado istimewa dari seorang Darren Aronofsky kepada para penggemar barunya. Happy watching!

by: Aditya Saputra

Sabtu, 09 April 2011

Easy A (2010)


Director : Will Gluck
Cast : Emma Stone, Penn Badgley, Amanda Bynes, Thomas Haden Chruch
Rate : 3,5/5


Easy A, jelas bukan jenis film komedi remaja kacangan yang hanya menitikberatkan masalah seks belaka. Bukan juga sebuah pendiktean yang sengaja terang-terangan menunjukkan perilaku benar dan salah di sekolah-sekolahan. Namun Easy A adalah salah satu dari sedikit contoh film bertema remaja liar yang sanggup lepas dari sorotan kevulgaran tok, tapi lebih mengandalkan kecerdasan dalam bertutur cerita. Mean Girls adalah contoh lain bagaimana pendekatan remaja tidak melulu harus konyol dan mengumbar ketelanjangan dada dan paha. Lama setelah itu, barulah muncul Easy A.

Tokoh utama kita adalah Olive, yang berbohong kepada temannya jika dia sudah 'menghilangkan' keperawanannya. Naasnya, hal yang diduga tidak akan tambah ruwet itu malah didengar oleh seorang gadis beriman dan berdampak ke seluruh penjuru sekolah. Olive terkenal, dan dia menikmatinya. Namun lambat laun, ia merasa jika stempel murahan tadi terlalu berisiko untuk kehidupan ke depannya. Dengan segala keterlanjuran yang terjadi, Olive berkesempatan berbenah diri untuk tidak terjerumus lebih dalam.

Menyaksikan tingkah pola Olive di sini sungguh menyenangkan. Sikap slenge-an dan egoisnya cukup mengundang senyum sekaligus merasakan apa yang ia alami. Dialog-dialog yang begitu satir dari sang penulis naskah melengkapi pedoman baik bagi film ini. Tahap penyelesaiannya pun tidak terkesan murahan. Tidak klise, sekaligus kuat. Penggarapan karakter yang dipompa Will Gluck selaku sutradara cukup kompeten. Olive tidak dipusatkan sebagai tokoh yang disenangi penonton, sekaligus membuat para pemirsa wanita sebal dengan ulah konyol dan bitchy-nya.

Emma Stone mencurahkan segala kemampuan beraktingnya dengan sangat baik. Sebagai Olive, ia berhasil mengimplementasikan maksud penulis naskah terhadap karakternya. Dengan santai namun pasti, Olive di tangannya jadi sangat klop. Begitu juga yang disuguhkan Amanda Bynes dan para aktor senior seperti Thomas Haden Churh, Patricia Clarkson, dan Stanley Tucci. Kehadiran mereka sekalipun tidak begitu frontal tapi tetap bisa membantu memberi nafas filmnya sendiri.

Sekali lagi, Easy A berhasil menyemarakkan perfilman dunia dengan tema yang terbilang biasa-biasa saja menjadi sedikit lebih berarti berkat sutradaranya yang mengolah naskah cerdasnya dengan begitu baik. Easy A memang bukan film berstandar Oscar, meskipun demikian Easy A tidak juga kalah dalam memberikan pesan moral akan pentingnya persahabatan dan keperawanan seorang wanita. Menghibur, manis, menggelitik, dan loveable! Happy watching!

by: Aditya Saputra

The Chronicles of Narnia: The Voyage of the Dawn Treader (2010)


Director : Michael Apted
Cast : Georgie Henley, Skandar Keynes, Ben Barnes, Will Poulter, Tilda Swinton, Liam Neeson (v.o.), Simon Pegg (v.o.)
Rate : 3/5


The Lord of the Rings sudah lama tutup buku, Harry Potter tinggal menunggu waktu pula untuk menamatkan serinya. Eragon, The Golden Compass, dan The Spiderwick Chronicles duduk di pojokan karena saga mereka stop tengah jalan. Sekarang kita masih punya Narnia, franchise yang diharapkan dapat tetap menyemarakkan kehidupan dunia fantasi bagi pelahap film sedunia. Dari tahun 2005 kemarin hingga 2010 Narnia baru menelurkan 3 film. Interval yang cukup panjang, karena memang Narnia pun masih tersendat-sendat dalam mencari pemasok dana produksi. Bagaimana tidak, dari jilid pertama menuju ketiga ini kualitas filmnya masih penuh tanda tanya bagi penonton dewasa. Hal yang labil juga menimpa perolehan uang yang diterima Narnia.

Kali ini para yang berkelana hanya Lucy dan Edmund Pevensie melanjutkan petualangan di dunia antah berantah Narnia. Mereka 'terpaksa' mengajak Eustace, sepupu mereka yang bengalnya minta ampun. Di sana mereka 'dipaksa' menemukan tujuh pedang raja yang di mana nantinya dapat mempertemukan mereka dengan sang agung Aslan dan tentu saja mendamaikan sejenak wisata alam bernama Narnia tersebut.

Lantas, bagaimana Narnia bab ketiga ini? Keterlibatan naskah cerita yang terbilang biasa juga punya andil mengapa seri ini dicap biasa-biasa saja. Karena emang iya, tidak ada yang spesial. Semua adegan seperti dimaksudkan untuk memuaskan hasrat penonton anak-anak yang butuh dongeng di dalam bioskop. Mengesampingkan jika penonton berumurpun ingin bersenang-senang tanpa harus dinina-bobokan. Di luar itu, tampilan CGI, vissual effect, musik, dan dekorasi kostumnya cukup membuat decak kagum. Tidak seheboh Harry Potter, apalagi The Lord of the Rings memang, kendati begitu itu bisa menjadi senjata utama Narnia dalam menjaring jamahan mata dan duit penonton.

Yang cukup mencuri perhatian adalah penampilan bandel, nakal, culas, dan egois dari si pemeran Eustace, Will Poulter. Setelah menuntaskan kebengalannya di Son of Rambow, ia kembali menjadi bocah serupa yang dibenci banyak orang. Trio Henley, Keynes, maupun Barnes tidak cukup metang berakting untuk kali ini. Keluwesan mereka turun setingkat dibanding seri terdahulu. Tilda Swinton yang tampil sekilas cukup menyegarkan suasana, pun suara ceriwis dari si Simon Pegg dalam diri Reepichep dan Liam Neeson dengan Aslannya.

Narnia kalah dari berbagai aspek jika dibandingkan dengan kakaknya, Harry Potter. Tapi Narnia punya satu kelebihan, seri ini dibungkus dengan pesan moral yang lebih universal. Anak-anak akan lebih mudah mengerti apa yang dikehendaki si pelakon. Andai saja, sutradara lebih berani menonjolkan adegan pertempuran yang lebih brutal atau daya kreasi yang lebih membahana, bisa jadi seri Narnia berikutnya akan jadi lebih super. Happy watching!

by: Aditya Saputra

Chloe (2009)


Director : Atom Egoyan
Cast : Amanda Seyfried, Julianne Moore, Liam Neeson
Rate : 4/5


Power utama yang menyelubungi Chloe menjadi satu karya yang menarik adalah kesinambungan cerita dari titik nol ke puncak yang tertata rapih. Bagaimana Atom memparadigma suatu hubungan terlarang dengan begitu telaten, manis dan sendu namun juga menyakitkan. Chloe yang menjadi dalang dari semua indikasi hancurnya sebuah keluarga, memang ditempatkan di poin antagonis. Tapi, penonton akan merasakan sedikit iba akan diri Chloe. Yah, mungkin latar belakang seorang tuna susila ini cuma lewat narasi, tapi dengan itu sedikit banyak memberikan gambaran akan terbentuknya karakter seorang Chloe.

Bercerita tentang seorang istri yang menyelediki tingkah ganjil suaminya yang mulai genit, terutama dengan para murid wanitanya. Suatu hari ia bertemu seorang pelacur muda dan berinteraksi untuk melancarkan serangan pribadi ke suaminya. Ia menggunakan jasa sang pelacur untuk membenarkan kecurugaannya. Namun, kesan yang dibawa pelacur menjadi beda saat mulai tumbuh perasaan aneh yang menggerayangi pelacur dan sang istri tadi. Keduanya mengalami polemik dan dilema yang berkecamuk. Ditambah lagi dengan masuknya tokoh sang anak yang menambah runyam masalah percintaan ini.

Chloe mengimplikasikan jika hubungan suami-istri itu akan kekal dengan rasa kepercayaan. Namun kadang, jebakan dari luar yang mengubah lumpur menjadi jurang. Di Chloe sendiri, kita bisa membayangkan bagaimana ketegasan kedua belah pihak sangat dibutuhkan. Chloe patut disalahkan? Tidak mutlak. Melacur adalah pekerjaannya, jadi yang salah adalah yang menjadi korban. Chloe ibarat boneka kecil rebutan 2 orang yang masih kurang pendewasaan diri.

Penampilan gemilang dari Amanda Seyfried dan Julianne Moore adalah kerangka kuat supernya film ini. Kolaborasi yang semula diprediksi akan gagal, namun menghasilkan insting akting yang klop. Chemistry keduanya layak diacungi jempol. Mengingatkan bagaimana perasaan gundah sejenis Moore di The Hours. Liam Neeson dengan bijaksananya memadupadankan sisa plot yang kosong.

Atom memang memproduksi ini dengan sajian lumayan vulgar. Kendati demikian, dengan seks tak murahan itu menelurkan penuturan tragis dari sebuah hubungan terlarang. Music scoring yang mendayu dan kental ritme piano menyuntik darah ketidaksabaran penonton untuk bertemu endingnya.

Chloe tak lepas sebagai sebutan drama keluarga berbalur seks yang domain. Fantasi yang dibuat sedemikian menyakitkan hingga karakter-karakternya yang begitu kuat cukup menyimpulkan jika Chloe memang berlabel drama psikologi bermutu. Dengan ending yang sekalipun mudah dalam tahap penyelesaian tetap saja masih menyisakan sedikit keironisan. Happy watching!

by: Aditya Saputra