Senin, 16 Mei 2011

Blue Valentine (2010)


Director : Derek Cianfrance
Cast : Ryan Gosling, Michelle Williams, Mike Vogel
Rate : 4/5


Tentang apa Blue Valentine ini? Sekilas membaca judulnya, sudah jelas bobot utama yang diutarakan adalah lagi-lagi masalah cinta. Tagline-nya dengan tagas menyiratkan 'A Love Story' yang tertuju pada hubungan cowok-cewek dengan aroma romantisme di mana-mana. Tapi, setelah film dibuka dengan alur yang maju-mundur-maju, dan detik terakhir akhirnya berhenti, kita selanjutnya tau jika Blue Valentine bukan kisah klasik parade cinta anak abege. Jelas ini sudah berada di level atas, tingkat dewasa, kasta bermutu tinggi. Menyaksikan Blue Valentine sangat jauh berbeda saat kita menonton Before Sunrise/Sunset apalagi The Last Song. Ini lebih ke Revolutionary Road. Tidak ada warna-warna terang sepanjang film ini, sebuah membaur. Gelap, pekat, menyimbolkan cerita dan karakternya sendiri. Kegelisahan.

Dean dan Cindy adalah pasangan muda yang telah memiliki seorang anak. Hubungan mereka aem ayem saja sampai akhirnya kedua pribadi saling bermasalah dengan rasa otoritas. Masing-masing mulai meunjukkan rasa 'semau gw', dan mulai menyingkirkan rasa kasih sayang serta cinta yang telah mereka bina bertahun-tahun ke belakang. Flasback yang mengikuti alur bagaimana mereka bertemu, berkenalan, megalami cinta segi tiga, bercinta, sampai ujungnya menikah diperlihatkan dengan sangat cantik tapi kesan perih juga tak bisa dilepas. Kenapa saya bilang begitu? Pecahnya aroma rumah tangga mereka memang dimulai dari percintaan di masa remaja mereka. Saya nilai mereka tidak diharuskan menikah, cukup menjalin hubungan 'pacaran' setelah itu bubar jalan. Karena dari awal, rasa cinta mereka hanya kabut sesaat.

Jika Anda jenis penonton yang mengharapkan adegan menye-menye, lebih baik urungkan menonton film ini. Blue Valentine penuh dengan intrik, rasa depresi serta dialog-dialog ekstrim yang susah sekali diartikan secara umum. Percakapan antara Dean dan Cindy cukup dalam alias sulit ditelaah begitu saja. Adegan-adegan yang menyelimuti film ini juga sangat dewasa, dalam artian sesungguhnya. Adegan nudity, seks, serta amarah remuk-redam ditampilkan sang sutradara dengan sangat jujur dan lugas. Dengan penuhnya adegan non-semua-umur tadi film ini pernah diganjar rating NR17 sampai diberi keleluasaan dengan menyandang rating R. Kekuatan utama itu juga terletak pada kelihaian editing filmnya mengatur adegan flashback dan flashforward sehingga menjadi lebih renyah untuk disantap.

Musik yang mengalun film ini juga sangat indah. Banyak lagu-lagu pemuja cinta mengalir sepanjang film berjalan. Mengiringi adegan serta dialog yang luar biasa indah juga. Terlebih lagi dengan tingkat musik yang menyulap salah satu adegan kekerasan di rumah sakit menjadi lebih kelam. Adegan tadi meracuni penonton jika hubungan cinta itu tidak selalu berasa valentine, namun bisa saja menjadi halloween. Permainan asik ditunjukkan oleh duo Michelle Williams dan Ryan Gosling. Keintiman keduanya berhasil membentuk paralel akting yang sangat dahsyat. Performa keduanya baik dalam kondisi yang sendu maupun saat mereka beradu argumen ataupun hubungan fisik, tidak ada cela. Ini juga asalan yang membuat mereka melanjutkan relasi keduanya di luar film. Great actors!

Film ini sangat cocok ditonton oleh pasangan yang ingin melanjutkan ke jenjang pernikahan. Mungkin, film ini bisa memberi sedikit masukan betapa suramnya dua menikah itu saat kita membuka pintu gerbangnya. Kita bisa membuat dunia itu dua: nyaman atau berantakan. Kenyamanan yang mutlak itu bukan hanya berasala dari diri pribadi, tapi juga ada campur tangan unsur luar. Berantakan? Satu-satunya penyebabnya adalah kesalah posisian diri pribadi dalam menempatkan sebagai pelakon rumah tangga. Blue Valentine is too nice to be true. Happy watching!

by: Aditya Saputra

The Kids Are All Right (2010)


Director : Lisa Cholodenko
Cast : Annette Bening, Julianne Moore, Mia Wasikowska, Mark Ruffalo, Josh Hutcherson
Rate : 4/5


Tiap tahun pasti ada saja film bagus yang berasal dari tangan sineas pinggiran. Lisa Cholodenko yang mengaku jika The Kids Are All Right terinspirasi dari kehidupan pribadinya, yang mana memang membuat film ini jauh lebih personil dalam artian tidak meluber ke mana-mana. Titik fokus yang diperlihatkan memang kiasan cinta, tapi taburan sisi-sisinya juga yang menjadikan lebih spesial. Menyingkirkan opsi cita tadi, LIsa menyisipkan pesan singkat bagaimana cara bergaul, relasi sejenis dalam satu atap, hubungan keluarga, serta kepercayaan diri masing-masing. Memang Lisa tidak sendiri menulis skripnya, tapi kebolehannya memadu-padankan intrik tadi harus kita apresiasikan. Saya tidak kenal siapa itu Stuart Blumberg, tapi yang jelas karyanya ini begitu menyentuh.

Nic dan Jules adalah pasangan sejenis yang hidup dengan dua orang anak. Nic 'menelurkan' Laser, sedangkan Jules beranak seorang Joni. Saat kedua anak tersebut menginjak umur 18 tahun, mereka mulai menguntit, dari sperma siapa mereka berasal. Semula, pertemanan mereka dengan pemberi bibit ini diduga biasa saja. Namun kehadirannya memberikan dampak lain. Kehidupan rumah tangga Jules dan Nic mulai ada sedikit singgungan. Anak-anak mulai membangkang, dan Jules serta merta butuh seks yang berbeda dan sialnya itu ada pada diri Paul (sang pendonor sperma tadi).

Ketika saya tahu ada siapa saja yang bermain dalam film ini, dan nama Annette Bening muncul, ketika itu pula saya memasukkan film ini dalam list wajib tonton. Bukan apa, Annette salah satu aktris Hollywood yang selalu stabil dalam memberikan suguhan aktingnya. Tak terkecuali di sini. Sebagai Nic, si 'pejantan' rumah tangga ini benar-benar bermain cemerlang. Tampilan depresi, cemburu, lucu, serta perasaan sayang ditumpahkannya begitu saja. Chemistry yang menawan dengan Julianne Moore semakin memperkuat cita rasa film ini. Moore bukan hanya sebagai pendukung, tapi juga poin penting bagaimana film ini menjadi sangat hidup. Ruffalo yang jarang bermain santai, kali ini cukup memberikan pesona yang berbeda. Inilah mengapa Ruffalo dilirik juri Oscar untuk slot nominasi aktor pendukung terbaik.

Film ini sendiri memang jatuhnya hanya sebagai sebuah film keluarga dengan intrik cinta perselingkuhan di dalamnya. Kerennya, naskahnya tadi tidak terjebak pada kubangan tadi. Dengan cerdik, penulis naskah kita berhasil melemparkan dialog-dialog lucu sarkastik yang sangat memorebel. Selain itu juga, penempatan karakter yang tidak hanya tempelan dalam dunia film belaka. Ini bisa saja terjadi di kehidupan kita (oke, kecuali dunia lesbi satu atap), lengkap dengan segala permasalahannya. Namun sayangnya, ada sedikit kekurangan The Kids Are All Right yang mungkin sedikit fatal. Mengapa Jules diibaratkan sebagai perempuan murahan dengan mudahnya jatuh cinta kepada Paul? Padahal hubungan Jules dan Nic sudah terhitung belasan tahun. Walaupun tidak dipaparkan dengan jelas, The Kids Are All Right tetap tidak kehilangan tajinya.

Lisa Chodolenko berhasil bermain dalam area kerasnya Hollywood dan sukses bersebelahan dengan film-film sineas besar semisal True Grit dan Inception. Dengan tema sederhana plus kandungan feminis dan sensualitas yang cukup pakem, The Kids Are All Right terpuji berkat sederetan akting pemainnya dan dipuji karena naskah apiknya. Pesan singkatnya: cinta memang bak sekeping cokelat. Bentuknya menggugah perhatian, aromanya menusuk indera pembau, rasanya menggigit lidah yang mengunyhnya, tapi sekali kena uap panas sekecil apapun suhunya, cinta pasti cepat melumer. Happy watching!

by: Aditya Saputra