Senin, 17 Oktober 2011

The Help (2011)


Director: Tate Taylor
Cast: Viola Davis, Emma Stone, Bryce Dallas Howard, Octavia Spencer, Jessica Chastain, Mike Vogel, Sissy Spacek
Rate: 4/5


Film bertema rasisme? Sepertinya untuk periode sekarang mengangkat hal yang tabu semacam itu mungkin bukan suatu rintangan lagi. Hak-hak kaum hitam di masa sekarang berbeda saat mediasi 60-an. Para kaum kulit berwarna sudah berani berevaporasi dan menghilangkan jengkal perbedaan dengan kaum putih lainnya. Jadi, untuk mengingat kembali betapa nistanya kaum kulit hitam di mata para kulit putih pada tempo doeloe seringkali sineas Hollywood membuka topeng sendiri bagaimana nasib dan kejelasan juntrungan mereka dalam bersosialisasi. Tidak mudah bagi mereka (kaum kulit hitam-red) untuk bebas berserikat dan mengeluarkan pendapat. Jangankan begitu, untuk hanya menggunakan toilet saja seakan sudah ada ketetapan hukum tersendiri. Di sini, The Help sedikit banyak mengupas siklus butiran hidup para metropolitan Mississippi yang kali ini dipimpin oleh si keling Viola Davis dan beauty from Zombieland, Emma Stone.

Skeeter, gadis yang kembali ke kampungnya setelah menyelesaikan sekolahnya guna menjadi seorang penulis. Alih-alih begitu, ia malah mempunyai ide lain dengan mensurvei para pembantu-pembantu negro yang dengan setia 'mendedikasikan' hidup mereka mengurus anak dan keperluan rumah tangga lainnya di rumah-rumah warga kulit putih. Orang pertama yang diwawancarainya adalah Aibileen, PRT yang mengabdi di rumah Elizabeth. Sedikit waktu, akhirnya merekapun bisa mengintrogasi Minny yang kebetulan baru saja dipecat dari rumah Hilly hanya karena masalah sepele. Dan ternyata, hampir keseluruhan PRT berkulit legam ini merasakan betapa tidak adilnya hidup mereka jika hanya melihat sudut pandang warna genetikal kulit. Mengerikan memang melihat kenyataan yang ada. Untunglah, Skeeter dengan lugas membeberkan segala perihal busuk yang mempercundangi kehidupan sosial glamor mereka. Satu hal lagi, tahun itu para gadis diharuskan menikah muda dan segera memeliki keluarga. Yah, Skeeter salah satu yang membangkang pola tersebut.

Menakjubkan. Satu kata yang terlintas saat saya menyudahi film ini berikut dengan bergulirnya ending credit yang mendayu itu. Sebuah cerita yang mengandung beribu kiasan dan tombak batin bagi siapa saja yang menontonnya. Cermin hidup yang bisa kita resapi bagaimana sebuah toleransi dan tenggang rasa terhadap sesama. Ada protagonis yang mewakili kaum baik dan antagonis yang menegaskan jika orang seperti itu memang ada di belahan pelosok manapun. Ending film ini sangat jauh dari kesan klise. Patut dipuji adalah sutradara Tate Taylor yang berhasil menerjemahkan novelnya menjadi naskah apik serta pemanasan untuk penyutradaraannya yang hampir tanpa cela.

Viola Davis bermain dengan sangat gemilang. Ekspresi memesonanya sudah ditunjukkannya tepat saat ia pertama kali muncul di layar. Kesedihan, kekecewaan, serta haru saat perpisahan tergestur dengan sempurna. Stone pun demikian. Santai namun garang. Buktikan saja ketika ia beradu argumen dengan ibunya. Sehingga, Octavia Spencer, Bryce Dallas Howard, dan Jessica Chastain ikut-ikutan tertular berakting piawai. Jarang ada film rombongan wanita begini yang mencurahkan segenap hasrat mereka untuk adil berbagi layar dan menyatu menjadi simbiosis yang mutualisme. Terutama buat si film maker-nya. Bisa jadi, The Help menjadi kejutan Oscar tahun ini tatkala tahun kemarin atas kemunculan tak terduga film kurang terkenal Winter's Bone yang juga dimainkan oleh Tate Taylor.

The Help mungkin cerita yang diprioritaskan kepada penonton yang memiliki pikiran terbuka akan pentingnya keterbukaan. Kenaifan para sosialita serta keterperukan untuk sebuah kata keadilan memang hal-hal yang ingin diprimerkan oleh sutradaranya. Beruntung The Help didukung aktor dengan kemampuan prima serta keleluasaan ending yang tidak mengada-ngada. Lebih jamak lagi beruntungnya, kalau The Help diterima dengan tangan terbuka untuk award season akhir tahun nanti. Selamat Tate, karyamu satu ini patut dibanggakan. Happy watching!

by: Aditya Saputra

Sabtu, 15 Oktober 2011

Rise of the Planet of the Apes (2011)


Director: Rupert Wyatt
Cast: James Franco, Freida Pinto, John Lithgow, Brian Cox, Tom Felton, Andy Serkis (voice of Caesar)
Rate: 4/5


Memalukan sekali rasanya menyadari diri kalau belum pernah menonton satupun film tahun-tahun belakang tentang kera besar ini. Jangankan untuk film lawas era 60-an, yang lewat satu dekade karya Tim Burton saja belum saya jamah. Akhirnya kesempatan menyaksikan para monyet ngamuk ke homo sapiens datang juga. Beruntung, kesan pertamanya ini sungguh menyenangkan. Filmnya rapih, bagus, dan ada beberapa adegan yang sangat membekas di kepala. Walaupun tema dan ceritanya sudah uzur, namun polesan sang sutradara serta pembaharuan lainnya telah mengkilapkan tampilan Rise of the Planet of the Apes ecara keseluruhan.

Entah kenapa, ada sensasi tersendiri saat menyaksikan film ini. Pertama, mungkin karena kuatnya chemistry para bintang dan binatangnya yang saling memadu-padankansatu sama lain. Kedua, keberanian sang kreator memilih adegan-adegan yang terbilang berani dalam penyampaian pesan ke penonton. Berikutnya mungkin karena efek, musik, dan tata kamera yang makin melengkapi agar film ini bukan cuma sebagai konsumsi mata dan telinga tapi juga demo sosial secara tidak langsung. Terakhir, mungkin juga berkat kepiawaan beberapa pekerja aktingnya. Singkarkan dulu si Pinto yang sedikit cemen, masukkan kuota akting dari Franco, Lithgow, Felton (bolehlah...), dan Serkis sebagai peraga monyet Caesar. Keseluruhannya menunjukkan akting yang tidak berlebihan sehingga tersaji dengan sangat meyakinkan kalau apa yang diceritakan besar kemungkinan bisa terjadi di dunia nyata.

Film ini sebagai contoh bagaimana manusia salah dalam mengaplikasikan kelebihan kepintaran otaknya. Ternyata terlalu pintar (juga rakus) dapan merusak apa yang sudah dipilah dengan baik. Tokoh si bos yang selalu kurang dengan apa yang didapatnya bisa jadi cambuk untuk para bos-bos besar di luar sana yang berotak sejenis. Ceritanya cukup sederhana, di mana serum yang memungkin para kera besar terlihat seperti manusia dalam kesehariannya. Namun sayangnya apa yang diharapkan tidak sesuai dengan rencana. Perlahan para simpanse ini merebak keluar jalur dan meresahkan manusia.

Mengambil point of view dari Caesar, evolusinya dari mula ia bayi hingga super cerdas untuk ukuran kera di usia dewasa cukup membantu jalur filmnya. Kesan mendalam yang dirasakan Caesar terbukti sukses dalam membangun emosi. Klimaks muncul saat ia mulai merasakan betapa leganya di dunianya sendiri. Caesar ingin bebas. Seolah penonton jadi sedikit terenyuh jika para binatang liar ini (dan juga para pet lainnya) butuh sebuah keleluasaan hidup, bukan untuk kelinci percobaan. Suatu pesan klasik yang masih ampuh hingga sekarang.

Kesimpulannya, memang tidak terduga jika summer movie tahun ini diisi oleh setidaknya satu film bermutu tinggi. Bukan merendahkan film summer lainnya, tapi laksana Inception, Rise of the Planet of the Apes seakan seperti suntikan darah segar di mana sekelilingnya masih menghantui film dengan tema serupa namun rendah kualitas. Selamat menikmati sajian menarik dari sutradara yang kurang pengalaman membuat film ini. Kans sekuelnya semakin membumbung tinggi. Can't wait for the next episode. Happy watching!

by : Aditya Saputra

Rabu, 12 Oktober 2011

Insidious (2010)


Director: James Wan
Cast: Patrick Wilson, Rose Byrne, Ty Simpkins, Barbara Hershey
Rate: 3/5


Mencekam? Tidak juga saya rasa. Film ini hanya berjalan berliku-liku. Kadang menggoncang adrenalin dan rasa takut, tapi seterusnya membuat saya lelah dan berharap untuk segera selesai. Film ini tidak begitu buruk, malah untuk awal hingga 3/4 film, Insidious bermain dengan jiwa yang jauh dari kesan menina-bobokan penonton. Dentuman sound sekaligus dengan adegan penggedor jantung cukup dibuat dengan penuh kejutan. Penampakan-penampakannya tidak sekonyong-konyong film hantu porno buatan dalam negeri. Kendati begitu, eksekusi untuk penuturan ending-nyalah yang meragukan saya jika film ini tidak berdiri di tarif normal film hantu khas Hollywood.

Apa yang tersaji dari awal tadi seakan jungkir balik jika melihat penyelesaian yang bagi saya, agak lucu. Simfoni rasa takut yang tiba-tiba sumbang jadi ingin nyengir.
Masalahnnya, kenapa sang sutradara seakan merasa takut untuk membuka opsi lain untuk ending-nya. Bagi saya, keikut-sertaannya sang ayah dalam ritual menakutkan ini seperti olok-olok akan filmnya sendiri. Dibuat creepy memang, tapi bekas kewajarannya jadi terbang entah ke mana. Cerita bermula dari sebuah keluarga yang baru pindah ke rumah baru tiba-tiba diganggu makhluk dari alam lain yang ternyata mengingingkan sosok sang anak. Hantu yang senang merecoki rumah tangga ini ternyata mempunyai ambisi lain yang ternyata sudah melekat di silsilah keluarga ini. Jreng!! Hantu mulai pamer bodi sana-sini. Saya merasa ikut dihantui dengan adanya perihal penampakan-penampakan yang cukup menyeramkan ini.

Patrick Wilson yang meski sudah bermain maksimal, begitu juga dengan aktor lainnya mungkin jadi jembatan penolong akan suramnya ending yang diberikan oleh sang sutradara. Tidak usah buru-buru semestinya. Pelan saja dalam memvisualisasikan sosok dalangnya, namun tetap dalam pakem yang sewajarnya. Kehadiran ghostbuster di sini juga sedikit memberi tahu tentang keberadaan cenayang di negeri Paman Sam tersebut.

Sulit meletakkan Indisious di deretan film kurang suntikkan pemicu kecemasan penonton, soalnya pada dasarnya film ini penuh adegan yang membuat buku kuduk merinding. Tapi, berkat ending-nya yang terlihat memudahkan beberapa cara, Insidious juga bisa ditafsirkan sebagai film horor yang ingin cepat selesai. Kalau boleh memilih, salah satu adegan favorit saya adalah ketika sang istri diganggu setan anak kecil yang awalnya sedang menari lalu lanjut hide and seek di dalam rumah. Ekspresi rasa takut dan kecemasan pun tidak berlebihan ditonjolkan artisnya.

Kesimpulannya, Insidious masuk dalam jajaran film horor yang bermutu dengan tampilan beberapa adegan yang sukses 'mengganggu' penonton dengan sosok hantu di film ini. Semoga beberapa di antara kalian cukup puas dengan episode penyelesaiannya. Mungkin ada beberapa yang memang setuju dengan ide exorcism tersebut, tapi tidak menggigit kalau bagi saya. Happy watching!

by: Aditya Saputra

Rabbit Hole (2010)


Director: John Cameron Mitchell
Cast: Nicole Kidman, Aaron Eckhart, Dianne West, Sandra Oh
Rate: 3,5/5


Melihat poster film ini saja sudah terasa terombang-ambing. Potongan-potongan frame yang disatukan menyiratkan sedikit pesan bagaimana filmnya akan berbicara. Menegaskan sedikit dramatisasi yang akan terjalur sepanjang filmnya. Tunggu, kita masih menilai posternya. Sekeping gambar yang memiliki multi makna. Apa yang Nicole dan Aaron rasakan di dalam gambar tersebut? Tentang apa film ini akan bergulir? Lubang Kelinci akan menyudut ke arah mana? Penuh teka-teki. Laiknya poster, ternyata filmnya juga akan bercabang ke mana-mana. Gejolak emosi yang akan mempermainkan perasaan penonton. Lantas, apa pula yang membuat Kidman begitu terlihat depresi dalam mengembangkan karakternya kali ini?

Rabbit Hole sungguh di luar dugaan. Berangkat dari saduran cerita pentas, film ini ditulis kembali skripnya untuk dijadikan feature panjang. Untung saja, perjuangan sang penulis berakibat tidak pahit. Film ini sangat berkelas. Cerita tentang keretakan rumah tangga akibat kehilangan orang terkasih memang sudah sering diumbar oleh sutradara Hollywood. Namun, ada bumbu lain yang membuat Rabbit Hole tidak terlihat sama persis dengan yang lain. Kidman serta Eckhart berperan sebagai sepasang suami istri yang ditinggal meninggal kecelakaan sang anak lepas 8 bulan yang lalu. Ternyata, mereka belum menemukan jalan terbaik agar bayangan sang anak tidak selalu membuntuti kehidupan mereka yang alhasil kadang mereka lupa untuk meniti kembali apa arti sebuah keluarga. Perasaan cinta meleleh dan melebur entah ke mana. Masing-masing sibuk dengan dunianya. Terlebih lagi dengan sang istri yang mungkin seumur hidupnya tidak akan pernah bebas dari penjara masa lalu. Mereka salah kaprah, salah tujuan, serta salah solusi dalam menggapai semuanya. Parade percek-cok-an yang terjadi malah menambah api permasalahan yang sukar dipadamkan.

Menonton film ini seakan dibawa depresi juga. Semua gerak gambar terjalin indah dan terangkai cantik menghias gambar meski ceritanya agak buram untuk dinikmati. Perih. Melihat bagimana proses rumah tangga yang tersendat akibat keegoisan dan kukungan memori. Sinematografinya terbilang apik. Menyorot semua gerak-gerik karakterisasi si pelaku utama sehingga emosi yang terpancar ikut terasakan oleh penonton. Lihat betapa bernafsunya Kidman saat beradegan di mini market. Lihat juga 'festival' adu mulut Eckhart versus Kidman saat di rumah. Tanpa bantuan pergerakan kamera yang dinamis, mungkin saja terasa kurang efektif buat mencapai klimaksnya. Tone musiknya cukup mampu menyemangati penonton untuk tetap stay di tempat.

Nicole Kidman akhir-akhir ini memang jarang mendapat skrip yang bagus. Nine cuma ala kadarnya, Australia kendati bagus cuma kurang darah, ada lagi The Invasion yang dangkal dalam menarik minat tonton. Namun kali ini, kelihaiannya berakting semakin terasah. Lekuk rahang dan ekspresi mukanya memperlihatkan sekali bagaimana kondisi seorang ibu yang merasa kehilangan sang anak. Emosi yang terluapkan juga tidak main-main. Butuh aktor yang kompeten yang sanggup mencurahkan segala ekstra power akting seperti akting Kidman di film ini. Jadi, Eckhart merasa tertolong hingga mampu memberi bantalan peran yang hampir sama bagusnya dengan Kidman.

Inilah salah satu produk terbaik yang sangat sayang untuk dilewatkan begitu saja. Kekuatan cerita yang diiringi dengan hembusan nafas akting yang memukau dari pemeran utamanya beberapa penyebab mengapa Rabbit Hole terhitung film dengan mutu di atas rata-rata. Koreksi untuk beberapa poin yang kurang sempurna juga tidak menyurutkan pesona Rabbit Hole sendiri. Happy watching!

by: Aditya Saputra

Senin, 10 Oktober 2011

Coviction (2010)


Director: Tony Goldwyn
Cast: Hilary Swank, Sam Rockwell, Minnie Driver, Melissa Leo, Juliette Lewis
Rate: 3,5/5


Hilary Swank, salah satu permata Hollywood yang jarang mendapat film ber-budget bombastis dan juga hampir tidak pernah filmnya laris manis di pasaran. Dia tidak begitu cantik, memang, dan body-nya juga kurang masuk spesifikasi model dan artis terkemuka layaknya Angelina Jolie ataupun Natalie Portman yang sama-sama pernah menggondol Oscar. Tapi, Swank mempunyai bakat akting yang stabil yang kerap diperlihatkan dengan sangat prima di setiap filmnya. Dua piala Oscar lewat Boys Don't Cry dan Million Dollar Baby seakan membuktikan jika tidak harus super cantik untuk menjadi juara. Talenta cantik yang diutamakannya juga terpatri untuk film ringan semacam Freedom Writers, Amelia, ataupun P.S. I Love You itu. Lewat Conviction, sekali lagi dia menunjukkan batas maksimal seorang aktris, walaupun semangatnya kali ini kurang terekspos.

Conviction muncul dari kisah nyata tentang tuduhan kepada seorang pria akan pembunuhan keji yang tidak pernah dilakukannya. Namun, fakta berbicara lain. Dia dipojokkan dan diserbu dari sana-sini sehingga satu persatu bukti palsu menghakiminya bahwa ia harus mendekam di jeruji besi seumur hidupnya. Adiknya, yang sangat dekat dengan sang kakak merasa keadilan harus ditegakkan bagaimanapun caranya. Dia rela mengorbankan pernikahannya demi menemukan jalan terbaik agar sang kakak terbebaskan dari kukungan polisi tersebut. Walaupun ada oknum yang kurang setuju dengan tindakannya, namun lambat laun perjuangan keras sang adik membuahkan hasil yang manis.

Kronologis film ini memang mengalir dengan sangat rapi. Mulai dari lengangnya kehidupan mereka sampai akhirnya perkara puncak mulai menyeruak ke permukaan. Skripnya bagus, mengarah ke titik yang diinginkan. Perlahan penonton diajak mengenal karakter masing-masing perannya hingga menuju klimaks yang sayangnya tidak begitu menggelegar untuk ukuran film berbasiskan ruang sidang. Jika boleh usul, seharusnya ada sequence adegan di court room yang membimbing penonton ke puncak fantasi emosi yang lebih dari yang sudah ada. Adu mulut antar jaksa maupun hakim memang ada di pertengahan film, tapi penyelesaian yang seadanya itu yang kurang diposisikan dengan maksimal oleh sutradaranya.

Lebih dari itu, kita bisa sedikit menyaksikan sedikit refleksi hidup dua bersaudara yang saling mendukung satu sama lain. Mulai dari hidup kecil mereka yang dibadai masalah, rumah tangga berantakan, hingga terakhir harus berujung dengan hukum. Menjelaskan sedikit, ternyata tuntutan uang bisa lebih berjaya dari hukum itu sendiri. Di manapun negara itu berdiri. Mengerikan memang, melihat ketidakadilan harus merasa tersakiti oleh beberapa lembar rupiah (atau dollar). Kembali ke filmnya, hubungan kakak-adik yang direka oleh sutradaranya cukup mendiskreditkan jika persaudaraan itu memang diharuskan saling menopang, bukan menelantarkan.

Dari sektor akting, apa yang diberikan pemainnya lebih dari cukup. Swank seperti biasa membuat filmnya menjadi sangat hidup, lengkap dengan permainan mimik dan gesture aktingnya. Rockwell kali ini sanggup mensejajarkan kapasitasnya saat bersanding dengan Swank hingga mampu memberikan penampilan yang sama memukaunya. Para pendukung yang sekelebat muncul juga mampu memberi angin tersendiri. Minnie Driver, Leo, dan Lewis menunjukkan jika supporting role itu bukan hanya sekedar in frame lalu kabur, tapi juga berani memberi yang terbaik. And, they did it.

Dukungan lain semacam musik dan sebagainya memang kurang dioptimalkan oleh si empunya film. Sang sutradara, Tony Goldwyn mungkin kurang berpengalaman meng-handle film besar dengan banyaknya aktor mumpuni di dalamnya. Seringnya ia berkelana di dunia tv semestinya cukup membantu, namun sayangnya hal itu malah menjadi beban baik untuk dirinya maupun untuk hasil keseluruhan filmnya sendiri. My verdict, jika saja film ini tidak diisi para pemain hebat dengan dukungan kinerja yang hebat pula, bisa jadi Conviction hanya film based on true story biasa saja. Goldwyn harus bersyukur dan menjahit sulaman bolongnya untuk proyek berikutnya. Semoga, lebih bagus lagi. Happy watching!

by: Aditya Saputra

Minggu, 02 Oktober 2011

Transformers: Dark of the Moon (2011)


Director: Michael Bay
Cast: Shia LaBeouf, Rosie Huntington-Whiteley, Josh Duhamel, Frances McDormand, John Malkovich, John Turturro, Patrick Dempsey, Tyrese Gibson
Rate: 2,5/5


Michael Bay mempersembahkan tontonan yang jauh dari kesan bergizi dengan tampilan dan polesan yang sangat menarik perhatian siapa saja yang melihatnya. Kali ini datang dengan plot cerita yang diharapkan berbobot dan kedatangan artis pendatang baru dengan penampilan bohay namun nilai minus untuk aktingnya. Tunggu, nilai minus bukan untuk dia saja, tapi untuk keseluruhan filmnya. Kasar, hah? Biarlah, memang sudah terbukti dengan nyata jika kualitas franchise ini bak kacang goreng yang sekali makan tapi sulit buat mengenyangkan hasrat perut. Robotnya makin banyak, aksinya makin cihuy, gerakan gambarnya makin memesona, efek suaranya semakin mendentum, embel-embel 3D di ujung judulnya, Shia nya udah kerja di kantor, banyak bunyi transformasi yang bikin ngilu buat didenger. Tapi tetep, nilainya gak mampu lebih dari 5. Angka merah, Bay!

Seperti yang disinggung sebelumnya, film ini sangat brutal untuk adegan perkelahian antar robotnya. Jadi, keterlibatan para serdadu manusia di film ini jauh dari kata menarik dibanding robot war-nya sendiri. Memang, ada beberapa sequence yang memompa adrenalin saat mereka--para manusia tadi, menyelamatkan diri. Sebagai penghibur belaka. Nilai sempurna jelas ditujukan buat sumbangsih para kreator CGI-nya yang dengan sukses membuat film ini tidak menjadi lebih sebagai obat tidur. Terus terang, drama panjangnya sungguh membosankan.

Shia dengan joke-nya yang semakin garing, lupa bagaimana menjadi sosok penting saat di film pertama. Kekonyolan yang tak bisa dibendung lagi tentu saja kehadiran orang tuanya yang maunya mengocok perut tapi jatuhnya krenyes tanpa isi. Bombastisnya, kita diberi hadiah pembuka oleh Bay, tepat sebuah anugerah indah dari kemolekan Rosie. But hey, bahkan bibir Megan Fox jauh lebih menggoda dari itu. No offense.


Untung saja, Bay seakan bisa membaca lahan kosong yang harus ditempatkan oleh orang penting agar filmnya tidak terkesan murahan. Sorry, filmnya jelas mahal, maksud saya agar tidak terkesan sangat buruk. Diberikannya slot akting untuk tetua seperti John Malkovich dan Frances McDormand jelas cukup membantu membuat neraca mutunya tidak jatuh bebas ke arah yang lebih buruk. Hitung kata buruk di postingan ini!

Bay, seperti umumnya yang kita tau, salah satu sutradara yang lebih menekankan kuantitas aksi daripada pusing memikirkan dampak kualitas ke depannya. Seolah sudah tau jika patung buah raspberry akan kembali dipegangnya. Sudahlah, semakin dikecam toh film ini semakin berjalan mulus di tol box office. Ditambah lagi dengan bantuan uang sewa kacamata tiga dimensi. Tapi, saat Bay mencoba membuat cerita sekalem The Island malah bisa dikatakan rugi. Padahal film itu saya nilai cukup menarik baik dari segi cerita maupun casting. Terbukti, label lebay sudah terpatri kuat di kening Bay. Pearl Harbor dan Armageddon contoh kecilnya.

Trannsformers tidak serta merta menjadi produk sampah, bahkan jauh dari kesan sampah itu. Sampah mana yang bisa menghasilkan uang ratusan juta dolar, coba? Dilengkapi dengan audio visual yang mencengangkan mata dan telinga dan juga soundtrack khasnya, Transformers: Dark of the Moon sangat cocok sebagai plural hiburan. Menyenangkan memang jika pertempuran dahsyat yang terpampang di film ini (dan di kebanyakan film aksi Hollywood) tidak terjadi di Indonesia. Biarlah mereka saja yang cemas bagaimana situasi itu terjadi. Simpan logika saat menonton film ini, tipiskan selera humor, niscaya, film ini sangat amat layak ditonton. Happy watching!

by: Aditya Saputra

Water for Elephants (2011)


Director: Francis Lawrence
Cast: Reese Whiterspoon, Robert Pattinson, Christoph Waltz, Hal Holbrook
Rate: 3/5


Beberapa bulan yang lalu, saya membaca sebuah novel yang berisikan seluk beluk dunia sirkus. Salah satu tema dan dunia yang jarang disentuh oleh penulis. Kehidupan keras yang menyelimuti aneka ragam dari layar belakang panggung sirkus tersebut, ditelaah dengan sangat lugas di novel karang Sara Gruen tersebut. Water for Elephants, judul buku tersebut yang akhirnya diterjemahkan lewat untaian pita seluloid tahun ini dengan menghadirkan pesona vampir masa kini, Robert Pattinson. Agak riskan memang saat saya mendengar kabar jika si vampir ini akan bermain drama, apalagi akan didampingi oleh aktor sekaliber OScar semacam Resse Whiterspoon dan Christoph Waltz. Yah, nasi sudah menjadi bubur, dan Rob akhirnya menjadi tokoh utama yang diharapkan mampu mengimbangi filmnya ke jalur yang lebih baik.

Sialnya, tidak. Apa yang terkisah di filmnya sangat jauh dari harapan dan dugaan saya ketika saya membaca novelnya. STOP!! Dari casting-nya saja saya sudah punya bayangan jika Rob adalah miscast. Ternyata benar. Sosok karismatik, pintar, dan pendiam seperti Jacob di lembaran kertas novelnya seakan melenceng jauh dengan panorama akting yang dibawakan oleh Pattinson. Saya tidak bilang buruk, tapi sangat disayangkan--jauh dari kesan memorable. Jadi, apa yang telaph ditopang oleh Whiterspoon dan Waltz hilang tanpa bekas. Belum lagi, sang scriptwriter dan sutradaranya membuat kesalahan dengan tidak menyertakan adegan-adegan penting di novelnya untuk dilibatkan di filmnya. Tujuannya mungkin dibenarkan, yaitu agar terlihat mampu berdiri sendiri tanpa anekdot dari cerita aslinya. Tapi kalau sudah begini, tujuannya jadi tidak dibenarkan sama sekali. Soalnya, cerita yang terpampang dengan sangat cantik dan membumi itu sudah lebih dari cukup untuk diolah kembali sedemikian rupa demi kepentingan uang dan keegoisan ide pikir.

Jacob, seorang pelajar yang tidak selesai sekolahnya mencoba peruntungan dengan mengikuti perjalanan sebuah parade sirkus. Singkatnya ia bertemu dengan banyak manusia 'aneh' dalam bertingkah dan tentu saja Marlena dan August, sepasang cinta yang sebenarnya berlabel tidak saling mencintai. Kedatangan Jacob yang semula kurang berguna perlahan menjadi sosok penting karena selanjutnya diketahui jika ia cukup mahir dalam mengobati binatang. Tak lama, grup sirkus ini kedatangan si bintang utamanya, Rosie--seekor gajah yang berperilaku unik karena mampu berkomunikasi dengan manusia dalam bahasa Polandia. Dalam hal ini, Jacob lagi-lagi cumlaude berbahasa negara itu. Permasalahan muncul tepat saat August mulai menampakkan sifat asilnya dan beringas terhadap para binatang-binatang sirkus ini.

Inilah yang kata saya sangat disayangkan. Beberapa hal utama dalam novelnya kurang tergali dengan sangat intim. Keterlibatan para animalia ini seharusnya berpotensi menyegarkan mata penonton yang sudah kelewat lelah menyaksikan drama klisenya belaka. Keikut-sertaan Rosie sang gajah serta amuk massal saat pagelaran juga kurang dieksplor lebih. Kalau boleh memuji, art direction dan tata busana film ini terbilang kolosal dan cukup mewakili apa yang didongengkan penulis novelnya. Cuma itu saja kesalahan, kurang dieksplorasi apa yang terkandung di jiwa bukunya.

Terlalu memaksa memang jika memaksakan kehendak sendiri agar apa yang tersaji di filmnya harus 100% real dari novelnya. Tidak begitu juga, saya sebagai penonton yang sudah membaca bukunya, memang mengahrapkan suatu gejolak emosi dan mungkin perasaan gundah yang sama. Okelah, sebut saja sutradaranya memang belum ahli dalam menggodok emosi penonton, dan sebut saja Robber Pattinson salah satu tumbal yang membuat film ini semakin enggan ditonton, namun jangan lupakan penampilan menarik dari sosok Reese dan Waltz yang sudah bermain cukup bagus. Mampu menghalau penampilan seadanya dari Pattinson dan ekstra lainnya. Satu poin penting film ini adalah, film ini membagi dua babak dimana pertama saat Jacob mengalami masa keemasan dan kepudarannya, dan kedua saat ia mulai renta di panti jompo menunggu sekelompok sirkus siap menerimanya kembali.

How pity, this movie is not as big as the elephant. It's not as strong as the horse, neither. The plus is, setidaknya kita sedikit mendapatkan ilmu tentang bagaimana dunia sirkus itu sendiri. Happy watching!

by: Aditya Saputra