Minggu, 20 November 2011

Cars 2 (2011)


Director: John Lasseter, Brad Lewis
Cast: Owen Wilson, Larry the Cable Guy, Michael Caine, Emily Mortimer, John Turturro
Rate: 4/5


Mengapa saya masih menyukai Cars sedangkan para penonton yang lain merasa tidak puas dengan film bertemakan racing itu? Bagi saya, Cars bukan cuma memberikan kesederhaan cita-cita dan tujuan hidup tapi juga mengajarkan sedikit filosofi akna pentingnya sosialisasi serta pengaruh persahabatan dan orang sekitar bagi hidup kita. Mengingat ini sebuah animasi, ditambah lagi keluar dari perut Pixar, memang tidak menyalahkan jika banyak orang yang kurang puas dengan sodoran cerita yang amat klise dan jauh dari kesan orisinalitas yang biasa Pixar ciptakan. Tapi itu tadi, bagi saya Cars adalah sebuah cermin untuk melihat gambaran hidup betapa menyenangkan berobsesi yang bertanggung jawab. Melewati Ratatouille, Wall-E, Up, serta Toy Story 3, Pixar membuka lagi perlombaan sakral itu untuk tahun ini. Cars 2 dilepas dengan harapan mampu menjadi lebih baik dari Cars pertama, atau jika perlu sanggup melebihi superioritas para mainan bernyawa.


Seri ini mengambil garis besar di tokoh Matter, sahabat Lightning McQueen yang diajak ke Jepang untuk menemani McQueen menerima tawaran lomba dari juragan minyak terkemuka. Di samping itu, ada hubungannya pula dengan pergolakkan ini, mata-mata ala James Bond hadir di layar. Entah bagiamana caranya Matter nimbrung di aksi kejar-kejaran ini. Menyenangkan semua pihak memang sulit, apalagi harus mengesampingkan hal-hal yang jelas menjadi tombak penting. Seperti Cars ini.

Cars
jelas sebuah film keluarga yang diharapkan mampu memberi pelajaran dan hiburan kepada anak-anak sekaligus menyenangkan untuk orang dewasa. Benar saja, anak-anak mungkin suka dengan penuturan dan gaya mobil-mobil mentereng ini di layar besar. Desiran suara mobil melecit, serta dentuman ledakan-ledakan yang memborbardir sepanjang film seperti amunisi yang tak terbendung dalam menyemangati anak-anak tersebut. Namun, orang dewasa kurang suka dengan ceritanya. Malah dianggap terlalu mengada-ngada. Saya membenarkan. Dan mereka juga merasa lesu dengan adegan spionase seperti pengulangan film-film live action lainnya. Tidak bisa dipungkiri memang, saya pun sesekali merasa de javu.
Ambil sisi positifnya, seluruh jajaran aksinya tadi tidak serta merta sebagai pelengkap film, tapi sudah menjadi bagian dari otak awak Pixar. Mereka seperti ingin menyelipkan sebuah selingan menghibur. Layaknya kisah superhero yang merusak kotanya, ataupun dunia angkasa Wall-E, manalagi ke-absurd-an mainan yang bisa menyetir mobil. Jelas sekali bukan, seluruh parodi di Cars kedua ini hanya sebuah luapan betapa kreatifnya mereka.

Mengesampingkan sisi cerita, polesan CGI untuk film ini semakin mengkilap. Pixar bukan sembarang studio animasi kemarin sore. Cars yang terbit tahun 2006 dulu saja sempat membuat saya menganga betapa indahnya para mobil berlenggak-lenggok di layar. Di sini, saya jadi berpikir jika Pixar menemukan program komputer terbaru untuk merender animasi mereka.
Satu hal yang menarik adalah, dengan pindahnya ruang lingkup film ini ke Jepang yang otomatis membuat kerja tambahan bagi para sineasnya. Dan mereka berhasil menunjukkan sekilas adat dan tata krama kehidupan di sana. Seperti sumo saja misalnya. Pernah terpikir olahraga ini dilakukan oleh mobil? Kebayang lucunya?

Dari sini saja detail-detail menarik tidak pernah lepas dari pengelolaan ceritanya. Belum lagi penambahan-penambahan karakter yang berarti penambahan jenis kendaraan. Interesting. Sedangkan untuk para pengisi suaranya tidak ada yang perlu ditambal. Semuanya melakukan tugas dengan baik, terutama Michael Caine yang masih pantas saja untuk mengisi proyek anak kecil seperti ini.
Jelas sudah, yang salah bukan di filmnya, tapi di pola pikir penonton yang sudah kepalang terpatri di benak untuk mengharapkan sesuatu yang wah dari Pixar. Bagi saya, seperti ini sudah lebih dari cukup.

Kombinasi yang hampir sempurna dari segi tampilan animasi hingga humor serta adegan pengikut aksinya. Minus cerita miringnya itu. Niscaya, anak-anak pasti akan menggandrungi seri kedua ini. Belum termasuk jika produk pengiringnya juga laris manis di pasaran. Bukankah salah satu tujuan utamanya tercipta Cars ini untuk memenuhi hasrat para anak kecil bermain mobil-mobilan? Selama hot wheels masih laku tentunya. Happy watching!


by: Aditya Saputra

Crazy, Stupid, Love. (2011)


Director: Glenn Ficcara, John Requa
Cast: Steve Carell, Ryan Gosling, Julianne Moore, Emma Stone, Analeigh Tipton, Jonah Bobo, Marisa Tomei, Kevin Bacon
Rate: 3,5/5


Lagi-lagi cinta. Poin yang tak akan lekang dimakan waktu untuk diangkat ke layar lebar. Baik percintaan remaja, anak-anak, hingga menyangkut rumah tangga seperti contoh satu ini. Crazy, Stupid, Love., seperti judulnya sendiri memang menyiratkan ketiga hal tersebut. Betapa gilanya, betapa bodohnya manusia jika sudah bersinggungan dengan cinta. Bahkan, manusia akan kehilangan pola pikir yang logic. Tema film ini sederhana, menyikut persoalan keluarga kebanyakan, menyentil aroma cinta yang baru mekar, menyorot cinta tak wajar, mengupas tata cara seorang playboy dalam menggaet mangsanya. Lengkap, belum lagi kita akan diberikan kejutan super pintar yang sudah jarang ditemui untuk genre seperti ini. Sutradaranya masih pemula, mereka baru membuat I Love You, Phillip Morris dua tahun lalu dengan Jim Carey sebagai wayangnya. Sekarang lagi-lagi duo director ini merekrut komedian untuk menuntaskan skrip ubahan Dan Fogelman, si pencetus ide banyak film animasi.

Mungkin karena itulah pula, Fogelman terasa santai dalam meramu naskahnya mencari komedi yang cerdas. Kendati Cars, Bolt, Tangled, dan Cars 2 beberapa proyeknya, tapi untuk film ini jauh dari kesan kekanak-kanakan. Sungguh dewasa malah. Hebatnya lagi, kejutan di seperempat filmnya malah menjurus menjadi salah satu naskah tercerdas untuk tahun 2011 ini. Tidak berlebihan mengingat saya dan beberapa orang yang sudah menontonnya juga terkesima akan suprise tak terduganya itu. Oke, tak akan lengkap jika scriptwriter-nya saja yang dipuji. Ficcara dan Requa jelas memberikan suntikan yang bagus kali ini. Mengambil pendekatan akan sosok pria yang terjebak cinta, filmnya menjadi sedikit berbelok untuk lebih mengubah pandangan jika pria bukan perusak cinta sebenarnya. Beberapa sorot dan musik yang mengalun renyah melengkapi betapa memorable-nya film ini untuk dikenang beberapa tahun ke depan.

Ceritanya ringan, pria berkeluarga ternyata dipercundangi istrinya sendiri yang berselingkuh dengan teman kantornya. Berasa gundah dan memustuskan untuk bercerai, secara tidak sengaja pria ini tadi bertemu dengan playboy di sebuah bar yang nantinya sedikit banyak mengubah attittude-nya menjadi seorang yang culas akan wanita. Si pria berkeluarga tadi belum menemukan betapa sebuah cinta itu bukan hanya sebuah cerita semu tapi juga topik yang harus dipelajari benar-benar. Di samping itu, sang playboy yang gonta-ganti pasangan hanya dengan rayuan gombalnya saja, bertemu dengan seorang gadis yang kisah cintanya juga seakan jalan di tempat bersama teman kantornya. Jauh di sana, si istri tadi juga tidak merasakan kesinambungan dengan pasangan selingkuhnya. Ditambah bibit cinta yang mulai tumbuh di darah anak mereka semakin menambah kompleks cerita.

Inilah yang melegakan, menonton drama cinta komedi tapi tidak hanya sekadar tertawa riang tapi juga meresapi sari pati isi filmnya sendiri. Banyak pelajaran penting akan cinta dan kebersamaan yang bisa diserap lewat gumpalan cerita tadi. Betapa bahayanya perselingkuhan, betapa bahayanya memainkan perasaan pasangan kita, dan betapa bahayanya egoisme di dalam diri. Sindiran tadi hebatnya berhasil dipadu hanya dengan waktu kurang dari dua jam. Sebut saya berlebihan, tapi benar, menonton film ini terasa bergulirnya waktu menjadi sangat cepat. Simple namun mengena ke hati. Jadi saya sedikit melupakan beberapa adegan konyol khas komedi bodor yang mugkin tidak disengaja oleh penyutradaraannya.

Steve Carell berakting dengan sangat mulus. Menyeimbangi kapasitas Oscar dari Gosling dan Moore, Carell tidak merasa minder bahkan sesekali malah menunjukkan sisi aktor dramanya. Memang Carell tidak pernah bermain buruk di tiap filmnya, sekalipun film ini buruknya setengah mati. Gosling, ah sudahlah, film seperti ini bisa disebut sebagai istirahat sejenak dari tabiat dan kebiasaannya bermain di film serius. Mengemban menjadi sosok playboy dijalani dengan penuh kharisma. Tidak ada canggung. Moore kendati cuma tampil sedikit juga bisa memberikan makna lebih untuk filmnya. Adegan guyuran hujannya bersama Carell sangat believeable. Stone, apa yang kurang dari dia? Setelah melejit pamornya sejak Zombieland, bintangnya tidak turun-turun mulai dari Easy-A hingga The Help yang keduanya dipuji habis-habisan. Untuk film selevel Crazy, Stupid, Love. ini dia cukup menunjukkan muka manisnya di depan kamera. Dan, scene stealer kita jatuh kepada Analeigh Tipton yang berberan sebagai pengasuh anak tapi malah jatuh cinta dengan bapak si anak. Lucu dan tidak terduga. Scene stealer lainnya jelas ada pada Marisa Tomei. Mungkin jika ada nominasi untuk special appearance, keduanya bisa masuk.

Tidak berkesudahan jika terus membahas film ini. Crazy, Stupid, Love. dengan wibawanya akhirnya membawa angin segar akan tampilan sebuah komedi drama. Tidak harus menurunkan logika untuk setiap adegannya, malah sangat realistis dan kemungkinan terjadi kepada siapa saja. Dengan dukungan maksimal dari para pekerja aktingnya serta pengejewantahan yang tidak asalan dari duo sutradaranya, menjadikan film ini masuk di dalam list saya sebagai salah satu film terbaik keluaran tahun 2011 ini. Hingga kini, baru film ini dan Cars 2 yang bisa melepaskan dahaga keringnya nafsu saya dalam menonton. Kerennya, kedua cerita film tersebut berasal dari satu otak. Happy watching!

by: Aditya Saputra

Twilight Saga: Breaking Dawn part. 1 (2011)


Director: Bill Condon
Cast: Kristen Stewart, Robbert Pattinson, Taylor Lutner, Ashley Greene, Kellan Lutz, Anna Kendrick
Rate: 2,5/5

Melihat ke belakang, mulai dari Twilight, New Moon hingga Eclipse, semua menyisakan nol memori yang menjadi tolak ukur betapa membosankannya menonton sepak terjang antara si vampir penuh glitter di wajah dengan manusia serigala doyan shirtless hanya dalam merebutkan wanita menye-menye. Entah kenapa, parodi menggelikan itu malah menjadi isu global yang menyeruak di kalangan remaja dan ibu-ibu beberapa tahun ini. Tidak bisa menyalahkan mereka juga. Stephenie Meyer selaku penulis novelnya memang seakan mengobral kisah klasik tapi sedap untuk disantap para twihards. Lucunya, dari film pertama hingga keempat ini, sineas yang menyutradarainya selalu berbeda. Kali ini, bangku director diduduki Bill Condon. Condon, dialah yang membuat naskah film musikal bertutur klasik yang berhasil menganugrahi Oscar untuk Catherine Zeta-Jones, Chicago. Ia juga orang yang bertanggung jawab hingga Jennifer Hudson menang Oscar lewat Dreamgirls. Spesialis musikal?

Untuk Breaking Dawn sendiri sebenarnya tidak ada pembaharuan mutlak yang mampu membuat twi-haters banting stir untuk lantas mencintai waralaba ini. Dialog-dialog tidak kalah annoying-nya dari seri sebelumnya, akting juga masih segitu-segitu saja, konsep si baik melawan si jahat juga sekelebat muncul. Tapi ada pembeda di Breaking Dawn, situasi semakin kompleks. Klimaks semakin mengemuka. Klan werewolves dengan vampire kendati sudah melakukan perjanjian tapi tetap masih memukul gong perang. Awal mulanya, Edward dan Bella akhirnya menikah. Entahlah, Edward yang disebut pedofil atau Bella yang odipus kompleks. Yang jelas pernikahan mereka berjalan mulus hingga ke arena ranjang dalam suasana honey moon. Tak lama, bahkan terlalu singkat, Bella akhirnya mengandung anak yang tidak diharapkan untuk hidup. Bahkan Cullen menyebutnya 'makhluk'. Benar saja, jabang bayi ini menggerogoti tubuh Bella sampai pada akhirnya suatu keputusan mengubah garis besar kehidupan Bella.

Kita kesampingkan dulu minus film ini. Saya menemukan hal baru yang bisa jadi menjadi tolak ukur baru bagi saya untuk mengubah skeptis atas franchise ini. Condon yang semula saya ragukan kapasitasnya di projeknya kali ini ternyata bermain cukup menarik. Kendati awalnya sangat pelan bahkan terasa tidak habis-habis, tapi sesaat menuju ending film ini berubah total, mengasikkan. Unsur thriller-nya mengena, editing-nya juga bagus, membuat penonton ikut berkecamuk dan merasa iba terhadap tontonan di layar. Saya yakin, jika ritme kinerja sutradaranya stabil, mungkin saja seri kedua jauh lebih menyenangkan dan penuh kejutan. At least, jiwa musikalitas Condon masih berfungsi baik dengan sigapnya ia memilih lagu-lagu bagus pengiring film ini. Serupa tak sama, permainan akting para bintangnya juga lempem-lempem saja. Minus Kristen Stewart, hampir semuanya berdialog seakan membaca skrip. Flat, tanpa jiwa. Stewart sendiri yang bermain optimal, kerja kerasnya menguruskan badan sukses mengubah image cantiknya selama ini. Kencatikan seorang ibu hamil memudar begitu saja.

Jujur saja, saya lebih nyaman menonton Breaking Dawn jika dibandingkan dengan Transformers ketiga beberapa bulan lalu. Efek megah ternyata bukan segalanya, melainkan naskah yang tertata rapih. Untunglah Rosenberg kali ini bukan sekadar dapat honor tapi benar-benar bekerja. Rupanya, Condon berhasil mengatur posisi masing-masing krunya untuk memaksimalkan seri pamungkas ini. Terlebih untuk pergerakkan kamera dan sinematografi yang terlalu signifikan dan indah untuk dipandang. Nilai plus lain untuk film ini.

My verdict, euforia kebimbangan anak manusia dalam memilih cinta antara menjadi vampir atau manusia serigala memang masih membuncah dan akan terus begitu hingga filmnya usai sekalipun. Setali tiga uang dengan Harry Potter, Twilight memiliki selling point di atas rata-rata dan akhirnya memiliki dampak terkait juga terhadap perfilman masa depan nantinya. Terlihat bagaimana larisnya sebuah romansa sekalipun dibalut dengan unsur horor dan dialog super berlebihannya. Seburuk-buruknya kelima film Twilight, kelima-limanya tetap akan ditonton untuk melihat betapa fenomenalnya cinta terlarang ini. Happy watching!


by: Aditya Saputra