Jumat, 30 Maret 2012

The Raid (2012)




Director: Gareth Evans

Cast: Iko Uwais, Joe Taslim, Ray Sahetapy, Yayan Ruhian, Donny Alamsyah, Pierre Bruno

Rate: 3,5/5




Rindu dengan film Indonesia nan berkualitas dan bergema ke seantero dunia, dan The Raid adalah jawaban sakralnya. Tapi diingatkan dari sekarang untuk tidak terlalu mengharapkan cerita yang punya twist berlapis-lapis ataupun kadar drama yang berlebih, karena The Raid condong ke film aksi menggebu-gebu dan lebih menekankan tensi penonton agar tidak kendor. Dan memang betul, The Raid seakan tidak memberikan sedikitpun ruang jeda untuk penonton agar mengatur nafasnya. Karena, sepanjang film kita akan dengan frontalnya disuguhi adegan-adegan pemicu adrenalin yang lepas landas dan seakan tak mau turun lagi. Jika saja film ini disempali dengan sedikit cerita yang bisa mempertegas plotnya, bukan tidak mungkin jika The Raid nanti menjadi salah satu bahan agungan bagi siapa saja yang berdiskusi tentang film aksi.


Kekuatan utama dari The Raid adalah begitu Indonesia sekali dengan memperagakan kekhasan budaya kita melalui pencak silat ke seluruh dunia. Iko Uwais yang juga pernah bekerja sama dengan Evans di Merantau yang mana juga menonjolkan aksi beladiri silat ini, mau tak mau menjadi tenar seketika. Bahkan sekarang ia akan menjadi koreografer untuk film Hollywood yang desas-desusnya adalah remake The Raid. Menyebalkan memang mendengar berita tersebut, tapi ya sudahlah. Singkatnya, The Raid menceritakan tentang pemusnahan dan penyergapan para gegana untuk memberantas gembong narkoba di salah satu apartemen bobrok. Setelah pintu lantai bawah dibuka, mulailah berondongan peluru melesat dari lantai ke lantai lengkap dengan martial art membabi buta yang dipraktekkan oleh para pemainnya.


Satu-satunya akting yang berhasil membius saya adalah penampilan Ray Sahetapy sebagai bos keparat. Dia tidak bertampang sangar, tapi lebih memperlihatkan lewat keverbalan berbicara yang seakan apa yang keluar dari mulutnya sama saja membunuh secara perlahan. Selebihnya, tidak ada akting yang patut diperbincangkan. Di luar sektor akting tadi, teritori koreografi silatnya lah yang patut diacungi jempol. Bukan saja pertempuran polisi versus penghuni apartemen yang dibuat senyata mungkin, tapi juga adegan perkelahian tangan kosongnya yang membuat tegang penonton. Penjahat yang super kuat juga menjadi alasan kenapa penonton dibuat begitu gregetan. Sang pahlawan kita yang diserbu bertubi-tubi dan berpeluh ria seperti merasakan kepedihan dan kekalahan fisik saat itu juga. Walaupun juga, penonton Indonesia masih membutuhkan happy ending, dan dibuatlah ujuang cerita yang sedikit terbuka dan sedikit berkesan.


Berjaya di benua orang lain dan disanjung juga di negeri sendiri jelas menandakan jika film ini adalah bukan produk abal-abal. Kendati dibuat oleh WNA, bukan berarti tampilannya pun akan terasa hamburger. The Raid jelas-jelas ketupat yang dibungkus sedemikian anggunnya hingga menarik bagi siapa saja yang mencobanya. Ditambah dengan gubahan musik dari Mike Shinoda, penggedor jantung satu ini bertambah pula kualitasnya. Evans jelas tau porsi ke-Indonesia-an yang harus ditekankan agar diterima di negeri kita, dan juga peka sisi komersil jagad raya agar berkenan di hati dunia luar. And he completed it.



Angin segar yang dibawa Evans serta rombongannya di negara kita jelas membangkitkan semangat perfilman Nasional kita yang seakan membeku dan stagnan oleh komedi dan horor kotor sekarang-sekarang ini. Apalagi ini film aksi yang sangat jarang ditemui di bioskop-bioskop kita. Walaupun ceritanya yang super dangkal dan tidak ada kejelasan yang pasti, toh ditutupi dengan gambar gerak yang sepadan untuk harga tiket yang kita bayar. Memperkenalkan silat ke area yang lebih luas sekaligus mengharumkan nama Indonesia di kancah dunia, otomatis menjadi kepuasan dan kelegaan tersendiri bagi kru-kru yang berada di lingkup The Raid ini. Sekarang, tinggal bagaimana mempertahankan posisi ini atau jika perlu menambah stamina, otot, dan otak agar mampu menciptakan karya seni yang jauh lebih bagus. Happy watching!@


by: Aditya Saputra

Young Adult (2011)




Director: Jason Reitman

Cast: Charlize Theron, Patton Oswalt, Patrick Wilson

Rate: 4,5/5



Pernah mencoba Juno? Atau Up in the Air? Jika sudah, pertanyaan selanjutnya apa persamaan paling mendasar di kedua film tersebut selain pembesutnya yang merupakan orang yang sama? Jika Anda menjawab garis besar tentang pendewasaan diri karakter utamanya, berarti Anda sepaham sama saya. Untuk kali ketiganya, Reitman mengajak kita untuk mendalamai dan sedikit berintrospeksi lewat tokoh rekaannya di karya terbarunya, Young Adult. Meskipun banyak massa yang bilang karyanya yang ini tidak begitu spesial, namun bagi saya pribadi film ini sungguh mengesankan. Mengambil perspektif dari seorang wanita gaul yang urakan, kita seakan diajarkan (namun tidak sedang digurui) menyelami sikap dan kehidupan parlente masyarakat tuna kesopanan.


Penulis yang kini tinggal di kota metropolitan, menjalani hidup dengan penuh kesimpangan norma. Keglamorannya mengendapkan dia di sebuah apartemen dengan gaya hidup penuh alkohol dan amburadul. Suatu hari ia kembali ke kota masa kecilnya dan bersua dengan teman-teman lamanya, dan salah satunya adalah cinta monyetnya, bernama Buddy. Mendapat wejangan slang dari Matt, hingga merasa dirinya pecundang tepat setelah dia kehilangan kesabaran akan ulahnya sendiri. Kekonyolan motif hingga kebodorannya dalam bersikap lambat laun malah membuat lubang nista sendiri bagi dirinya. Walaupun akhirnya perlahan dia merasa apa yang sepatutnya disalahkan dan dibenarkan pada dirinya.


Nilai hampir sempurna yang saya torehkan ke film ini jelas bukan tanpa alasan. Dari segi cerita saja sudah begitu membumi. Oke, sulit untuk dikatakan sempurna, bahkan cenderung biasa. Hanya saja, kekuatan plot yang disemayamkan oleh Diablo Cody selaku scriptwriter-nya terlampau bagus. Melihat rantai kehidupan yang diwakilkan oleh Mavis Gary seakan menohok kita ke tenggorokan paling dalam. Apa yang terpampang di layar bisa terjadi ke siapa saja, tanpa bekal alasan apapun karena manusia memang tercipta dengan obsesi yang berlebih dan dangkal dalam pembenahannya. Kita tidak akan dibimbing untuk membenci Mavis, melainkan iba dengan apa yang diperbuatnya. Akibat tabiat perkotaannyalah yang memaksakan dia untuk merasa 'besar' saat tinggal di kota kecilnya. Dan Reitman benar-benar memperhatikan detail ini. Layaknya Ryan Bingham yang merasa bersalah akan sifat flamboyan nakalnya, di sinipun Gary dituntut untuk menyesal akibat kebusukan pola pikir cerdasnya.


Selain seting yang mendukung serta sound mixing yang bersenyawa dengan filmnya, penampilan akting dari para pemain wataknyalah yang memberi ketegasan mengapa Young Adult menjadi salah satu film yang wajib ditonton. Jujur, baru di sini saya tau ada aktor bernama Oswalt. Dan gesture-nya sudah dalam posisi yang bagus, dengan akting santai namun berkelas. Wilson yang selalu mendapat film bagus tapi jarang dilirik kritikus, bertolak belakang dengan Charlize Theron yang di sini sebagai dewinya. Luapan emosinya di adegan puncak, tanpa bermaksud apapun, merupakan salah satu performance paling memukau sepanjang tahun 2011 ini. Bitchy style-nya hingga ke lirikan nakal matanya pun seolah mencerminkan secara lugas sosok Mavis Gary yang diinginkan Cody dan Reitman. Seakan kita disuruh membenci Gary lewat omongan kasarnya namun juga kasian dengan tabiat kotornya.


Penilaian publik akan terpecah dua ke film Young Adult. Dan saya akan masuk ke komunitas yang mengagumi film ini karena tampilannya yang segar, down-to-earth namun berkelas dan penuh dengan sindiran. Ditambah dengan Theron yang akting gila-gilaan, lengkaplah sudah jika Young Adult menjadi persembahan yang istimewa dari Reitman selang 2 tahun setelah diajak keliling kota oleh Ryan Bingham. Cody pun mungkin tidak dilirik Oscar kali ini, meskipun tetap saja dia lebih bagus duduk manis di ranah drama satir seperti ini daripada memaksakan membuat naskah horor yang jatuhnya komedi seperti Jennifer's Body tempo hari. Happy watching.


by: Aditya Saputra