Minggu, 29 April 2012

A Separation (2011)



Director: Asghar Farhadi
Cast: Peyman Moadi. Leila Hatami, Sareh Bayat, Shahab Hosseini, Sarina Farhadi
Rate: 4,5/5

To be honest, saya kurang ahli dalam menilai film buatan orang non-Amerika. Di samping kurangnya khasanah film yang saya tonton di ranah mereka, terlebih juga saya kurang paham akan kultur dan adat yang melatar belakangi kehidupan mereka. A Separation tercatat sebagai film berbahasa asing terbaik di Oscar Februari 2012 kemarin, menjadikannya film Iran pertama yang mendapat gelar tersebut. Lantas tentang apa ceritanya hingga membuat juri Oscar teracuni dan tidak segan memberikan predikat terbaik untuk karya Farhadi satu ini? Patut diingat saat akan menonton film ini adalah, A Separation berisi dialog-dialog berbobot berat dan tanpa musik pengiring di dalamnya. Nikmati saja bagaimana cekatannya meraka beradu akting dan kepiawaian Farhadi dalam mengatur filmnya.

Nader dan Simin diujungkan oleh kenyatan jika mereka harus berpisah karena satu hal penyebab. Simin ingin mengajak keluar dari Iran tetapi di sisi lain Nader tidak bisa menuruti keinginan istrinya dikarenakan dedikasinya terhadap ayahnya yang mengidap alzheimer sehingga tidak bisa ditinggal begitu saja. Dan akhirnya, anak perempuan merekalah yang menjadi tumbal dan korban siksaan batin. Nader berada di posisi yang tiak menguntungkan yang akhirnya membuat ia menyewa seseorang untuk mengurus ayahnya selama dia bekerja pada pagi harinya. Datanglah pembantu yang mengurus rumah tangga serta ayahnya yang semakin hari kondisinya kian memburuk. Seiring film bergulir, intrik perlahan muncul dan menggantungkan segala permasalahan yang semula sedikit menjadi berangin-angin dan tidak ada penyelesaiannya. Mereka dipaksa untuk melepaskan jubah kesopanan dan kejujuran untuk melakukan pembenaran.

Tokoh di film ini cukup banyak, tapi dengan adilnya mereka mendapat porsi yang tidak berlebihan dan tidak juga kurang dalam pengeksplorasiannya. Sehingga keberadaan mereka membangun filmnya sendiri dan sukses memasuki kadar drama dengan kualitas yang lebih tinggi lagi. Masing-masing aktor bekerja semaksimal mungkin, mulai dari ekspresi, tone suara mereka baik dalam beremosi ria maupun adegan santai memang diperhatikan dengan sangat baik. Farhadi memanfaatkan momen ini dengan menciptakan dialog-dialog legit buah penanya sendiri. Ditambah dengan sorotan kamera dan editing yang rapih, Farhadi seakan telah mengajak kita berada di lokasi langsung dan ikut merasa geram dengan sifat masing-masing karakter. Yah, mereka semua tidak dijelaskan siapa yang protagonis maupun antagonis. Karakterisasi yang dibuat serealistis mungkin. Itulah manusia, kadang berbuat baik, tapi sukar untuk tidak berbuat jahat.

A Separation menjabarkan dengan sangat lugas pentingnya sebuah kejujuran, kesetiaan, dan rasa saling peduli. Juga memaparkan kita akan keraguan yang selalu menyelimuti manusia. A Separation seolah menampar kita dengan pesan moralnya. Sulit menjadi orang baik, dan kita berada di arena yang telah dibuat oleh Tuhan untuk kita mainkan dengan emosi dan amarah sebagai senjata. Mana lagi, hukum yang sangat menyiksa di Iran sana yang tidak enggan menjebloskan yang salah ke dalam penjara. Bahkan menyentuk yang bukan muhrimnya saja bisa menjadi hal yang memberatkan kita. Satu hal lagi, film ini hanya dipenuhi dialog tanpa iringan musik sedikitpun. Bahkan ending credit-nya diam seribu bahasa. Seakan menyuruh penonton untuk mencerna senddiri dan memilah akan ke mana ending yang telah tersaji.

Sekali lagi, tak salah bagi juri di manapun untuk mengganjar A Separation sebagai film terbaik di festival-festival manapun. Kepahitan dan kegetiran yang terjalin sepanjang film sungguh menguras emosi dan keinginan penonton untuk terlibat langsung di dalamnya. Dan secara tak langsung, film inipun menunjukkan jika seburuk apapun pertengkaran orang tua, anaklah yang menjadi korban pesakitannya. Asghar Farhadi (bahkan saya tidak tau orangnya yang mana!) telah memberikan kita sebuah produk abadi yang tidak akan lekang di makan jaman. Komposisi akting yang memukau menjadi salah satu alasan kenapa A Separation sangat pantas untuk ditonton. Happy watching!

by: Aditya Saputra

Mirror Mirror (2012)


Director: Tarsem Singh
Cast: Julia Roberts, Lilly Collins, Armie Hammer
Rate: 3/5

Saya belum satupun menonton buah karya Tarsem Singh. Tapi dari yang sudah-sudah, kebanyakan reviewer memuji sinematografi filmnya sendiri ketimbang hasil keseluruhan karyanya. Maka tak heran pula saat saya akan menonton Mirror Mirror, satu hal yang akan saya buktikan adalah visualisasi yang telah mendarah daging di dirinya. Dan setelah lagu India yang mengalun di ending credit film Mirror Mirror, saya mengakui kehebatan Singh dalam memola gambar layar agar enak untuk dinikmati. Lukisan-lukisan bergerak sepanjang film seakan menutupi kekurangan cerita film ini yang sedikit menggelikan jika tak mau dibilang konyol.

Siapa yang tidak mengenal Snow White aka. Putri Salju? Dongeng yang telah melanglang buana ddan seringkali dibuatkan proyek filmnya. Tahun ini saja ada dua film yang mengambil tema tentang gadis cantik baik hati ini. Menunggu versi Kristen Stewart dan Charlize Theron, adalah Mirror Mirror yang mencuri start dengan bantuan Lily Collins dan Julia Roberts sebagai putri salju dan ratu jahat. Anehnya, film maker melakukan pendekatan yang sangat komedik sehingga sedikit melunturkan kesan klasik akan cerita Snow White sendiri. Tidak seratus persen jelek, tapi terasa aneh dengan segala macam pembaharuan yang terpampang sepanjang durasi kurang dari 2 jam ini.

Untungnya kejelian Tarsem Singh dalam mengandalkan bakat visualisasinya. Dari opening saja sudah terlihat animasi serta penggunaan CGI sesuai porsi ddan terlihat menakjubkan. Pemakainan warna-warni untuk kostum serta tata kamera yang berjalan mulus dan dinamis menjadi poin positif untuk Mirror Mirror. Urusan make-up pun film ini terbilang jempolan. Bisa terlihat dari paras cantik dan buruknya si ratu jahat serta pancaran aura berkat riasan tak berlebihan di muka Lily Collins. Hanya saja, menilai film tidak cukup di sisi teknis. Banyak hal lain yang lebih penting untuk menjadi tolak ukur penilaian seseorang akan sebuah film. Kita pinggirkan cerita yang dari awal sudah terkesan 'maksa', eksekusi film ini juga terbilang dangkal. Untung saja tidak dibuat terlalu bertele-tele, kalau tidak dukungan humorisasi tadi bisa saja tak akan terlalu membantu.

Porsi Julia Roberts di sini saya rasa melebihi kapasitas dari Lily Collins sendiri. Benar saja, di tangan Roberts peran ratu sinting yang terobsesi akan kecantikan dan harta duniawi menjadi terlihat lebih culas. Darah komedipun berhasil mengalirkan gerak akting yang menghibur. Berbanding terbalik dengan Lily Collins yang saya nilai cukup merusak nilai kecantikan seorang putri salju. Saya rasa masih banyak aktris muda lainnya yang jauh lebih cantik ketimbang Collins. Para pemeran pembantu di film ini hebatnya mampu memberi semangat kelucuan mulai dari tingkah mereka serta petikan-petikan dialog yang menyenggol urat geli kita.

Mirror Mirror akhirnya harus cukup puas dicap sebagai film hiburan saja. Tidak jelek, tapi selain visualnya yang sangat anggun dan menyejukkan mata, sektor lain sungguh sulit untuk dimasukkan ke taraf istimewa. Setidaknya kita melihat come back-nya Julia Roberts dan melihat modernisasi Putri Salju yang dulu tertolong oleh seorang pangeran, bukan sebaliknya. Dan sambil menunggu Charlize Theron meneror Kristen Stewart Mei nanti. Happy watching!

by: Aditya Saputra