Kamis, 27 September 2012

Premium Rush (2012)


Director: David Koepp
Cast: Joseph Gordon-Levitt, Ramirez, Michael Shannon, Jamie Chung
Rate: 4/5


JGL sepertinya kena tuah keberuntungan untuk tahun 2012 ini. Tiga filemnya rilis hamper berdekatan. The Dark Knight Rises lahir dengan segala puja-puji atas karya Nolan tersebut dan otomatis JGL kebagian getah baiknya. Karakter yang dia mainkan sangat kuat seimbang dengan sumbangan aktingnya yang juga memuaskan segala pihak. Berlanjut ke Premium Rush dan Looper yang sama-sama dicap sebagai tontonan yang berkualitas dan menghibur. Khusus Looper, filemnya bahkan belum dirilis luas tapi gembar-gembor sebagai salah satu sci-fi terbaik sudah menyeruak ke khalayak dunia. Untuk pemanasan, JGL mengajak kita menyelamatkan dokumen penting sambil bersepeda di jalan raya lewat Premium Rush. Dikomandoi oleh David Koepp, Premium Rush muncul dengan semangat tinggi dan positif.

Diceritakan adalah salah satu kurir sepeda terbaik yang kebagian ‘malapetaka’ untuk mengantarkan dokumen berbahaya dari dan ke orang Cina. Hanya saja, kerahasiaan dokumen tersebut tercium oleh oknum yang ingin menyalahgunakan barang tersebut. Adalah polisi bertabiat iblis yang kecanduan judi dan terlilit banyak hutang. Bayangan uang di depan mata membuat polisi bejat tersebut melakukan segala cara untuk mencegat si kurir di tengah jalan. Sebagai cerita sampingan, si kurir ternyata sedang ada masalah percintaan dengan kekasih yang juga seorang kurir sepeda. Sekilas, premis di atas seperti kebanyakan filem aksi kebanyakan. Dalam benak kita, premis seringan itu akan menjadi tontonan sekali lewat saja. Hanya saja, paradoks tadi akan menguap seiring dengan tempo film yang sudah dibuat keren lewat prolognya.

Premium Rush layaknya Unstoppable buatan Tony Scott. Cerita biasa-biasa saja tapi diadon dengan sangat mahir. Unstoppable memang menggiring penonton ke wahana kereta api yang memacu ketegangan dari awal hingga akhir. Begitu pula dengan filem ini, Koepp seakan tidak ingin memberikan jeda ke penonton untuk ke toilet sekalipun. Karena, tiap adegan diisi dengan emosi yang sama bahkan bertambah dari menit ke menit. Bagaimana teknik kamera dan teknik bersepeda yang dipaparkan di layar dengan begitu aduhai, cantik, dan membius. Diiringi pula dengan musik yang bersenyawa langsung, durasi singkat filem ini menjadi amat-amat singkat saking tidak terasanya waktu berlalu. Laiknya pelakon yang kebut-kebutan di jalan, film ini melaju juga dengan kecepatan penuh tapi bertanggung jawab. Tidak ada adegan kosong yang sia-sia yang akhirnya mengefek ke aktornya.

Main cast kita, JGL, seperti yang sudah-sudah selalu memamerkan akting yang maksimal. Levitt dengan cekatan mengayuh kendaraan roda dua tersebut disertai dengan permainan air muka yang pas. Sebenarnya, yang membuat film ini spesial adalah teknik kamera dari tangan Koepp, tapi disempurnakan oleh para wayangnya. Oleh sebab itu, talenta Levitt dan lainnya sebagai penyokong yang sangat klik. Selain Levitt, satu aktor lagi yang menyita perhatian adalah Michael Shannon. Selepas mengacau jiwa Winslet dan menyelamatkan Chastain dari bencana, peran polisi kotornya di sini dimainkan dengan penuh jiwa. Setali tiga uang dengan Nic Cage di Bad Lieutenant yang sama-sama tokoh yang mencoreng nama baik kepolisian, Shannon adalah cermin busuk NYPD di Amerika sana. Mulai dari ekspresi kesal, kecewa, hingga kebingungan dilampiaskan dengan amat bengis dari wajah melankolis Shannon. Chung, Ramorez, dan lainnya cukup sepadan dalam mensubtitusikan bakat akting mereka di tengah-tengah kegarangan Levitt dan Shannon.

Parade kejar-kejaran yang dikerjakan sepanjang filem memang menyenangkan untuk disaksikan. Saling salip-menyalip di tengah keramaian, forbidden way, baku hantam, keringat yang mengucur, adalah bukti betapa hebatnya film ini. Seharusnya film ini dilempar saat musim panas yang siapa tau bisa mengeruk laba lebih banyak. Tapi dengan hadirnya di bulan September di mana film berbudget megalomia kurang menggema, perilisan Premium di bulan ini sangat beralasan. Sebagai penutup, setelah menjadi Robin dan bersikukuh menyelamatkan arsip berharga atas nama pedal sepeda, saya semakin penasaran dengan darah akting segar dari Levitt di Looper. Dan semoga aksi Willis bisa menyeimbangi bahkan melebihi apa yang Shannon sumbangsihkan untuk Premium Rush. Happy watching!

By: Aditya Saputra

Magic Mike (2012)


Director: Steven Soderbergh
Cast: Channing Tatum, Alex Pettyfer, Matthew McCanaughey, Matt Bomer, Adam Rodriguez, Olivia Munn
Rate: 3,5/5


Soderbergh lagi kejar setoran. Beberapa tahun terakhir, Soderbergh terhitung sangat produktif. Setelah membuat Contagion dan Haywire, tahun ini proyeknya sangat diwanti-wanti, salah satunya Magic Mike. Jika melihat premisnya, mungkin sebagian kaum pria akan menjauhi filem ini. Namun, jika lebih bijaksana lagi, film ini murni sebagai hiburan yang memotivasi dan isu tentang akan banyaknya pria berotot yang semi-naked akan terelimanasi. Dan jujur saja, film ini akan membuat penonton wanita melompat kegirangan, tapi sebaliknya timbul perasaan tak enak hati untuk penonton testosteron. Cerdasnya lagi, Soderbergh menyiasatinya dengan tidak membubuhi senyawa-senyawa gay di tengah-tengah ketelanjangan ini. Menyeleksi aktor tampan lagi bulky memang mudah di Amerika sana, tapi yang pandai meliukan badan layaknya professional dancer, mungkin memiliki kerumitan tersendiri. Dan inilah, salah satu karya Soderbergh yang paling membumi.

Diajaknya Tatum di Magic Mike pasti dengan banyak alasan. Selain good looking dan berotot, Tatum memiliki poin plus lainnya selain sudah bermain banyak proyek filem, yaitu pintar menari. Dengan basic sebagai stripper dan pernah menjadi juru kunci di filem Step Up, yang membuat Soderbergh tidak segan membawa Tatum ke hot stage-nya. Bergabunglah Pettyfer, Bomer, dan McCanaughey yang dengan bitchy-nya semakin memanaskan arena stripping mereka. Para aktor ini melakukan tugasnya dengan amat baik, terutama McC yang juga dengan piciknya memanfaatkan talenta anak buahnya menjadi sumber mata pencaharian. Tapi sebagai tokoh utama, Tatum juga tidak kalah dalam mengeluarkan bakatnya, apalagi ada sisi cerita yang lebih drama di luar mempertontonkan aurat di atas panggung panas Magic Mike. Emosi yang terpancar cukup mewakili kehendak karakternya. Pettyfer pun kebagian getah manis film ini. Stripper yang tidak kemayu diperlihatkan dengan cukup bagus.

Magic Mike bermula saat Mike membantu Adam di tengah jalan. Adam yang sedang patah arang akibat kehidupannya yang berantakan, mau-mau saja saat diajak Mike untuk join di ‘bisnis’ yang sedang dikelolanya. Setelah tau jika jalan pintas itu yang dipilih dan juga tuntutan financial yang lumayan yang membuat Adam tergiur dengan dunia barunya tersebut. Ternyata, Mike cenderung berubah menjadi sosok yang lebih berwibawa dan mulai berpikir untuk berhenti dari kehidupan instannya itu, sedangkan Adam semakin liar dan menggelutinya sebagai sumber uang bagi dirinya. Apalagi Adam condong ke abege yang masih bimbang dalam memilih jalan hidupnya. Love-life Mike juga bergelombang, setelah dicampakkan dengan gadis pujaannya, dan sejak itu pula ia menyadari akan makna kehidupan sebenarnya. Kearifan melangkah itulah ujung ending filem ini.

Walaupun agak cliché, bagaimanapun juga Magic Mike adalah senjata terbaru Soderbergh untuk menjerit pada dunia bahwa ia masih eksis di siklus perfileman ini. Kalau boleh saja usul, jika saja peran Tatum diberi ruang sedikit untuk dieksplorasi bakat aktingnya, dan menebalkan kualitas dramanya, bukan tidak mungkin Soderbergh akan mengulang lagi kedigdayaan Erin Brockovich beberapa tahun lalu. Sayangnya, jeda panjang Traffic dan sekarang membuat karisma dan keajian Soderbergh kian menumpul, dan lantas menghasilkan produk semacam Contagion yang gemuk aktor bagus tapi tetap kurang greget. Soderbergh lebih menekankan sepak terjang bisnis ekstrim di film ini daripada kesusahan menambahkan bobot filmnya ke ranah yang lebih festival. Tapi tak apalah, toh mungkin tujuan Soderbergh juga tidak sampai ke sana.

Setelah ini, Channing Tatum tetap kebanjiran job, dan Soderbergh masih harus melunasi hutang filmnya dengan beberapa produser besar. Meninggalkan Magic Mike sebagai sejarah bagi mereka berdua dalam menajamkan ambisi di dunia showbiz ini. Magic Mike hadir dengan totalitas tinggi dari aktor dan sineasnya, dan juga berujung pada kualitas di atas rata-rata. Tinggal penonton bagaimana menilai film ini bagi khasanah hidup mereka. Dan bisa jadi, penonton awam akan sedikit kebingungan dengan filem yang menampilkan banyak lekuk tubuh dan perut enam kotak ini. At least, Magic Mike mengajarkan banyak petuah dalam memilih jalan hidup serta mempertanggung jawabkannya. Happy watching!

By: Aditya Saputra

Ted (2012)


Director: Seth MacFarlane
Cast: Mark Wahlberg, Mila Kunis, Set MacFarlane
Rate: 3,5/5


Sedikit untuk yang akan menonton film ini: Ted diselipi dengan banyak trivia dari filem-filem terkenal jaman dahulu dan sekarang baik yang bagus maupun yang buruk sekalipun. Jadi mudah diprediksi jika nanti sering terjadi momen ‘kurang paham’ akan lelucon di filem ini, karena sayapun merasakan demikian. Di luar itu, kita akan disuguhi sebuah filem pendewasaan diri yang kental akan pesan moral walaupun tampilan luarnya sangat amat tidak patut dicontoh. Kendati pemeran utama kita adalah boneka beruang, bukan berarti film ini sangat kekanak-kanakan, malah sangat kontradiktif. Maka dari itu, jauhi filem ini dari jangkauan anak-anak yang belum cukup umur. Ditemani dengan aktor macho Mark Wahlberg dan ‘balerina’ dari Black Swan, Mila Kunis, Ted akan mengajak kita menyelami sikap dan perilaku seorang dewasa yang masih dihantui oleh kehidupan ciliknya.

Di pinggiran kota Boston, hidupnya seorang anak laki-laki yang tidak ada seorangpun yang mau berteman dengan dirinya. Merasa kosong dari tahun ke tahun, akhirnya pada satu perayaan Natal ia dihadiahi sebuah boneka Teddy Bear oleh kedua orang tuanya. Berharap bonekanya bisa hidup layaknya manusia pada umumnya, pagi itu dunia akhirnya dibuat gempar oleh si boneka yang benar-benar hidup. Hidup dalam artian bisa berbicara dan mengerjakan kegiatan manusia kebanyakan. Anak kecil tadi sudah beranjak dewasa. Usia pertemanan mereka bahkan sudah menyentuh angka 27 tahun. Mereka hidup bertiga dengan gadis pujaan si pria. Namun nahasnya, habit buruk keduanya semakin jadi. Ternyata boneka tadi berdampak negatif bagi hubungan si pria. Hidup semakin salah dan urak-urakan, Dan wajarlah akhirnya problema pelik timbul dan berakhir akan penyesalanan di kedua belah pihak.

Sesungguhnya film ini jelas sekali ke-absurd-annya. Boneka hidup layaknya Chucky saja sudah membuat kening berkerut. Bedanya Chucky kemasukan setan keji lagi mungkar, Ted? Hanya untuk joke dan sentilan akan sifat childish anak manusia. Di luar keanehan tadi, Ted sebenarnya memberikan banyak pelajaran hidup. Tentang kesetiaan, persahabatan, serta keseriusan berkomitmen. Ted sejatinya menjadi pelipur lara pula bagi kaum dewasa dalam menyikapi hidup. Kita tidak serta-merta langsung beranak pinak tanpa mengalami berbagai gejolak dan terjalnya hidup. Sayangnya, filem ini terlalu ekstrim dalam mengambil sudut pandang. Boneka beruang bernyawa tadi difokuskan sebagai pemicu masalah dan eksekutor filemnya sendiri. Banyak adegan yang menjurus kurang ajar dan vulgar. Uniknya, bagian-bagian itu justru adalah kunci mengapa filem ini sungguh digandrungi penonton. Jujur, blak-blakan, dan apa adanya. Untuk menyindir beberapa filem yang burukpun bagi saya terlalu frontal. Si empunya cerita yang juga menulis skrip, menyutradarainya, sampai mengisi suara Ted sendiri mengerjakan multi tugasnya dengan sangat apik.

McFarlane adalah conton sineas yang menyetir filemnya dengan peran ganda. Cerdiknya, semua disorot dengan tajam. Sebagai penulis, ia berhasil memanfaatkan prosa dengan membalut ceritanya lebih masuk di akal, kendati pada bererapa sekuens guyonannya sangat terasa sekali ke-Amerika-annya yang membuat terasa garing bagi yang tidak paham. Sebagai pengisi suara sang boneka, Farlane lebih luar biasa lagi. Ted di tangannya benar-benar hidup. Ditambah dengan kemistrinya yang kuat bersama Wahlberg dan Kunis, walaupun awalnya saya sempat beranggapan jika Mark terlalu tua untuk disandingkan bersama Mila. Beruntungnya Farlane menggunakan jasa Mark dan Mila, sebab keduanya juga bermain sangat lucu. Mengisi satu sama lain. Dan Farlane sebagai sutradara, menyulap part-part bodoh menjadi lebih masuk akal. Saat kemunculan Sam Jones dibuat dengan sangat otentik dan menggelikan. Adu mulut Ted dengan seluruh lawan mainnya, Ted sebagai pegawai mini market dan kencan dengan gadis cantik, Ted si biang onar, adalah buah akal Farlane yang jadi tolak ukur penilaian film ini. Dan yang paling gila adalah kemunculan kameo yang menurut saya paling WTF setelah Nicholas Saputra yang hadir mengagetkan di The Photograph dan Bill Murray yang spontan hadir di Zombieland.

Sekali lagi, berhubung asupan dan unsur ketidaksenonohan film ini begitu tinggi, semoga anak-anak tidak diberikan kesempatan nonton film bad Teddy Bear ini. Pembelajaran yang universal tapi bukan berarti anak-anak sanggup mencernanya. Ted boleh saja dimasukkan ke kategori adult movie yang cukup berpengaruh dan salah satu yang terbaik tahun ini. Farlane sebagai dalang dan perekrutan Wahlberg dan Kunis yang efektif, serta letupan luar biasa berkat kameonya, membuat Ted sangat saying sekali untuk dilewati begitu saja. Sesudah ini, semoga Ted tidak berlanjut ke seri-seri berikutnya. Amin. Happy watching!

By: Aditya Saputra

Senin, 24 September 2012

Resident Evil: Retribution (2012)



Director: Paul W.S. Anderson
Cast: Milla Jovovich, Michelle Rodriguez, Li Bingbing, Sienna Guillory
Rate: 2/5


Banyak sebab musabab mengapa akhirnya Resident Evil seri kelima ini dilempar ke pasaran. Pertama, mungkin cerita di game-nya sendiri masih bisa dieksplorasi dan dibentuk dengan cerita utuh, kedua dan yang paling pokok ialah karena uang. Sejujurnya, seri keempat film ini jauh dari kata bagus jika saja tidak diimbangi dengan visual tridi yang memukau. Oleh karena gimmick 3D-nya yang lumayan mencengangkan, lanjutlah seri ini. Toh, duet Anderson dan Jovovich masih punya majis tersendiri. Terutama untuk Jovovich, yang makin tua, makin sedap dipandang. Seakan mengandalkan aura dan pesona Jovovich seorang, lantas film ini mengesampingkan keterlibatan aktor besar lainnya, termasuk Michelle Rodriguez.

Awal mula film ini adalah flasback cerita dari film pertama hingga Alice yang mati-matian membasmi zombie di jilid keempat. Cerita melompat saat perang bar-bar di atas kapal dan terus menuju markas Umbrella Corp. Alice kembali diutus mengemban tugas menyelamatkan dunia Racoon City pada khususnya. Sekaligus harus menyelamatkan anak kecil yang menjadi bayang-bayang di kehiduan nyatanya. Sampai sini, sudah jelas penonton bisa menerk-nerka sendiri alur ceritanya yang memang mudah ditebak. Tidak ada pembaharuan di sisi ini. Hanya saja, Anderson menambahkan adegan tipuan yang boleh jadi dianggap sebagai penyegaran. Congkaknya lagi, adegan-adegan tadi tidak dieksekusi secara maksimal. Serba tanggung, jadi saat tensi penonton sudah di puncak, dengan naivnya si empunya filem langsung membanting mood tadi. Terasa hambar.

Jangan mengharapkan kapasitas akting yang mumpuni dari filem ini. Jovovich jelas-jelas mengalami stagnansi berkepanjangan di kubangan seri ini. Ekspresi datar dan serba masam baik saat adegan sedih maupun adegan aksipun mukanya begitu-begitu saja. Yang lainpun kena tuah busuknya, tidak ada bakat akting mereka yang dimanfaatkan sebagaimana mestinya. Karakter baru yang diperankan Li Bingbing pun tidak cukup menyita perhatian penonton. Untung saja filem ini masih bisa dipertanggungjawabkan lewat sisi teknisnya. Anderson mungkin sudah menduga jika filemnya akan menjadi jiplakan semi-formal dari gimnya, maka diapun tidak meluputkan sisi pinggir dari fielmnya ini.

Mulai dari musik pengiring, audio visual yang membahana satu ruangan studio, serta mainan baru era 3D sekarang ini diproduksi dengan penuh semangat. Anderson seperti tidak ingin menyia-nyiakan teknologi yang ada sampai ia rela mengorbankan kualitas akting para pelakonnya. Malahan, untuk konsumsi visual moster-nyapun lebih enak ditonton. Entah Anderson kesulitan memopang para wayangnya atau memang bukan itu dagangan utama filem ini.

Bisa saja Resident Evil akan muncul yang keenam bahkan ketujuh, itupun jika produser masih gelap mata akan raupan dolar untuk seri kelima ini. Yang jelas, jika Anderson ataupun sutradara lain yang menerima tongkat estafet kelak masih jalan di lajur yang sama, mau tak mau film seperti akan akan berakhir di luar isi kepala penonton. Ditonton, lantas dilupakan. Yah, lebih menyenangkan jika Anderson meng-handle filem semacam Death Race yang ketauan seru dan kosongnya daripada film yang penuh ekspektasi seperti ini tapi hasilnya IQ jongkok.Happy watching!

by: Aditya Saputra

Sabtu, 22 September 2012

Test Pack (2012)

Director: Monty Tiwa
Cast: Reza Rahardian, Acha Septriasa, Renata Kuswanto, Uli Herdinansyah, Gading Marten, Dwi Sasono
Rate: 3,5/5


Rata-rata, sutradara di Indonesia begitu mudah merekrut bintang-bintang besar untuk diajak main di proyeknya. Itu pula yang membuat film mereka terasa ensemble cast-nya, entah untuk menjaring penonton atau sebagai tempelan saja. Monty Tiwa salah satu yang beruntung itu, dan terjadi untuk film terbarunya ini. Test Pack yang merupakan saduran singkat dari novel berjudul sama, disesaki dengan barisan aktor ternama. Mungkin track record Monty seperti pasang surut, kadang menelurkan yang berkualitas prima sampai yang abal-abal. Namun, berkat kepiawaiannya dalam mengolah data novel atau juga karena pengalaman di balik kamera, Test Pack terasa sekali sisi positifnya. Lengkap dengan naskah dan dialog cerdas yang tertuang di dalamnya.

Acha dan Reza berperan sebagai suami istri yang diambang kehancuran. Mereka dihadapkan akan suatu momok apakah mereka sanggup mempunyai momongan atau tidak. Sang istri yang selalu didesaki kata 'bayi' seperti siap terjun dari jurang jika kenyataannya dialah yang mandul. Namun takdir dan nasib berkata lain. Kendala rumah tangga yang dibangun kokoh awalnya, malah seperti tempat mengerikan bagi mereka berdua. Mereka saling mencari apa arti keluarga sebenarnya. Dan, pada bagian inilah, Monty mengajak kita menyelami keluarga mereka lebih intim sekaligus belajar secara bijaksana bagaimana jika kita yang berada di posisi mereka.

Secara drama, film ini memang layak diacungi jempol. Di samping, ceritanya yang asik dan penuh teori yang bertanggung jawab, permainan akting dari para aktornya juga bukan sekadar berakting. Mereka menjiwai. Terutama Reza dan Acha yang sangat melebur dengan tokoh mereka. Di mana saat mereka bercanda, bercengkrama, bertengkar, diperlihatkan dengan sangat natural. Ditambah pula dengan teknik slow-motion dan alunan lagu yang menyunting adegan tadi jadi lebih nyata. Selain itu, kemunculan para peran pembantu memang pas adanya, tidak mubasir. Yang kerennya lagi, bagaimana Monty mengeksekusi ending-nya menjadi sangat believable. Sangat jarang film Indonesia dibikin semenarik ini.

Terus terang, jika film Indonesia berkelanjutan dibuat dengan penuh visi dan misi yang positif seperti ini, plus, dengan keberagaman tema tentunya, sudah pasti perfileman Indonesia tidak akan tertatih-tatih seperti ini. Dan Test Pack akan menjadi salah satu pintu gerbang. Dengan tema yang sangat Indonesia, penggarapan yang maksimal, dan gerak akting yang lihai, sang empunya novel pasti berbangga hati jikalau karyanya diapresiasikan dengan tidak semenjana seperti ini. Happy watching!

by: Aditya Saputra