Sabtu, 29 Desember 2012

Frankenweenie (2012)


Director: Tim Burton
Cast: Catherine O'Hara, Martin Short, Martin Landau, Winona Ryder, Robert Capron, Atticus Shaffer
Rate: 3,5/5


Tim Burton, seperti yang kita tau, hampir keseluruhan filemnya mengandung unsur kekelaman baik di sektor cerita maupun karakter yang mengisi proyeknya. Mulai dari Edward Scissorshand, Ed Wood, Big Fish, Alice in Wonderland, hingga animasi semisal Corpse Bride dan yang sekarang, Frankenweenie. Uniknya dan hebatnya, hampir keseluruhan karyanya diterima baik oleh masyarakat baik dari segi financial maupun kritik dari para reviewer. Dengan kesehariannya yang gothic dan sedikit menyeramkan, memang tidak heran jika ia juga menyematkan jiwa quircky ke setiap tokohnya. Tidak perlu heran, karena berkat keanehan yang ia perlihatkan di setiap filmnya memang memancing topik yang akan diperbincangkan lebih jauh. Namun, kali ini tanpa mengajak Johnny Depp dan Helena Bonham-Carter, yang sering muncul di setiap feature-nya, Frankenweenie contoh animasi yang sederhana dan loveable, dan juga sarat makna dan gambar yang menarik.

Diceritakan Bob harus kehilangan anjing kesayangannya yang telah menjadi teman di masa hidupnya. Kepergiannya membuat Bob galau sepanjang hari dan tidak bersemangat mengerjakan apapun, termasuk mengikuti pelajaran di sekolah. Namun, suatu hari gurunya menjelaskan cara untuk menghidupkan kembali makhluk yang sudah mati dengan bantuan listrik. Terperangah dan penasaran dengan science project itu, Bob akhirnya memilih untuk me-reinkarnasi peliharaannya yang sudah tiada. Hiduplah kembali si Sparky. Namun kemunculan walking dog itu mengundang temannya untuk mencoba apa yang telah Bob berhasil lakukan. Teknik listrik tadi disalah gunakan dan membuat daerah kota menjadi gempar tak terkendali. Bob yang merasa bersalah akhirnya mendapat wajangan dari orang tua serta gurunya agak lebih bijaksana dalam memanfaatkan hukum fisika. Lambat laun, permasalahan kembali aman dan Bob kembali merajut hidupnya lagi.

Seperti biasa, Tim Burton sekalipun membuat filem animasi ataupun bertemakan anak-anak pasti tidak membuang sisi dewasanya. Corpse Bride jelas bukan tontonan bocah di bawah umur. Charlie and the Chocolate Factory kendati bernuansa menyenangkan, tapi juga banyak adegan sarkastik yang akan sulit diterima oleh anak-anak. Begitupun dengan Frankenweenie, walaupun sudah bermain aman dengan topik yang sangat kekanakan sekali tapi tetap ujungnya tidak jauh dari apa yang Burton lakukan selama ini. Volume of violence masih dalam kadar yang sukar dicerna oleh anak-anak namun bisa dipastikan orang dewasa akan menyukai filem ini. Cerdasnya, Burton tidak hanya membumbui animasi ini dengan humor kosong, tapi juga menyelipkan genre sci-fi yang jarang ditemui di filem animasi. Jimmy Neutron yang membual mimpi tak berkesudahan terasa berlebihan dan sulit dijangkau oleh anak-anak. Frankeweenie tidak seekstrim itu walaupun proyek mematahi kodrat Tuhan juga tak kalah ambisiusnya.

Satu hal yang bisa menambah nilai di tiap filem Burton adalah musiknya yang heboh, dalam artian yang bersenyawa dengan adegan filemnya sendiri. Jasa Danny Elfman selama ini sangat berperan penting dan sudah tau betul kehendak 'negatif' Burton untuk menyeramkan filem-filemnya, termasuk Frankenweenie. Para aktor 'kurang terkenal' di sini berhasil menyemarakkan dan menghidupkan tokoh mereka masing-masing. Jadi memang, Burton tidak terlalu berpangku tangan dengan para pengisi suaranya karena ia lebih menekankan pada cerita, memantapkan animasi komputernya, serta memfokuskan pada hasil akhir yang tidak lain adalah editing yang sempurna. Berarti, memang sangat wajar jika film ini dijagokan dalam ajang-ajang filem sebagai animasi terbaik.

Ide filem ini langsung dari otak Tim Burton, maka tak heran jika melihat Frankenweenie seperti ini. Maksud saya, dengan gaya parlente gelapnya, Frankenweenie pun jatuhnya di lobang yang sama. Salah satu persembahan yang menarik dari Burton. Pesan moral yang paling membekas adalah dalam penggunapan teknologi dan ilmiah. Jika kita memanfaatkan hukum dasar alam secara adil, influence dan dampak yang dihasilkan pasti sama besarnya. Sebaliknya, jika kita menggunakan hal-hal tersebut untuk hal-hal yang sembarangan, bukan tidak mungkin hal-hal negatif juga akan timbul. Seperti apa yang kita lihat di besutan terbaru Tim Burton ini. Verdict, mungkin ini bukan pilihan utama keluarga untuk menghabiskan waktu senggang mereka dalam menonton filem. Tapi Frankeweenie tidak akan menjebloskan pola pikir anak-anak yang menontonnya ke arah yang menyimpang. Happy watching!

by: Aditya Saputra

Jumat, 28 Desember 2012

Flight (2012)

Director: Robert Zemeckis
Cast: Denzel Washington, Don Cheadle, John Goodman, Kelly Reilly, Tamara Tunie, Melissa Leo
Rate: 4/5


Seperti yang kita ketahui, Denzel Washinton adalah satu dari sedikit aktor kulit berwarna yang berhasil dengan konstan memantapkan karir aktingnya di Hollywood. Mencoba berbagai jenis peran dan menjalankannya dengan sangat baik berhasil membawa namanya di turnamen-turnamen pernghargaan filem di seluruh dunia. Dengan bekal 2 patung piala Oscar dari filem Glory dan Training Day serta beberapa nominasi dari filem lainnya, tidak lantas membuat Denzel menjadi incaran para sineas untuk mengisi tokoh filme-filem mereka. Uniknya lagi, Denzel seringkali diberi kesempatan untuk mendalami karakter di tengah keadaan genting. Seperti di Man on Fire, Deja Vu, The Taking of Pelham 1 2 3, dan lain sebagainya. Beliaupun pernah sekali diuji dalam mengatur kerja kereta api yang melaju dengan sangat kencang dan sulit dihentikan di Unstoppable. Di posisi yang sama namun beda kendaraan dan profesi, kali ini di Flight Denzel Washington bertanggung jawab atas nyawa ratusan penumpang di sebuah pesawat yang dikomandoinya.

Sejatinya, mengemban tugas yang mewajibkan kita untuk mendedikasikan setengah dari hidup dan nyawa kita memang terasa memberatkan. Apapun itu pekerjaannya, termasuk menjadi seorang pilot. Mereka, mau tak mau harus membuang kebiasaan buruk yang dapat mencelakakan dirinya sendiri dan juga orang lain, dalam hal ini penumpang. Itulah yang menjadi pokok permasalahan yang terkait pada filem terbaru Robert Zemeckis ini. Denzel berperan sebagai Whip Whitaker, seorang alcoholic yang beberapa jam sebelum tugas terbangnya mengonsumsi minuman keras dan menyebabkan dia ditiban banyak masalah. Paska kecelakaan pesawat yang dia sendiri mati-matian dalam menstabilkan kokpit dan kinerja si burung besi, ia ternyata diinterogasi oleh pihak yang berkenan dikarenakan dituduh kelalaian dalam bekerja. Kendati saat disinyalir kesalahan ada pada keadaan pesawat yang tidak layak, namun tetap saja pengaruh alkohol menjadi pintu menuju neraka bagi Whitaker. Usahanya menyelamatkan ratusan orang menjadi tidak berlaku tatkala bukti fisik berkata lain. Kisah percintaan sesaat dan hubungan dengan keluarga yang semakin runyam, membawa alur kehidupan Whitaker menjadi sedikit terbuka.

Adegan pembuka di mana sang kapten pengudara mencoba menyeimbangkan pesawat agar tidak terlalu fatal adalah salah satu adegan di dalam pesawat terbaik yang pernah saya saksikan di filem. Mungkin tidak seintens apa yang dikerjakan Paul Grengrass di United 93-nya, tapi Zemeckis telah berhasil menggodok emosi penonton berkat gambaran yang sangat meyakinkan. Tempo yang semakin kencang diiringi teriakan di sana-sini memaang membuat sedikit mual dan paranoid yang tidak terkontrol lagi. DoP film ini bekerja dengan sangat baik, bahkan bukan untuk di adegan pesawat saja. Perhatikan bagaimana pergerakan kamera saat di ruang sidang. Ketegangan dan kemirisan di wajah Whitaker terlihat amat jelas. Skrip yang ditulis dan diterjemahkan pun tergolong apik dan tidak timpang. Menyenangkan jika menonton film yang kombinasinya penuh dengan semangat positif seperti ini.

Dan, sang pilot yang telah bermain dengan penuh energi adalah Denzel Washington. Baik sebagai pilot, pecinta yang ditinggal cinta, hingga pemabuk diperankan dengan sangat memuaskan. Mungkin tidak seekstrim Nicolas Cage di Leaving Las Vegas, namun Denzel di sini dengan sangat brilian mewujudkan kehendak watak tokoh. Perfoma kuat yang tak terbantahkan. Peran semi-penting yang muncul juga bisa memaksimalkan keelokan film ini secara keseluruhan. Kemunculan sesaat Melissa Leo pun mampu membuat Flight menjadi lebih berisi. Walau bagaimanapun juga, pesan moral dari film inilah fokus utama si sutradara. Bagaimana menjadi pecandu minuman keras akan merugikan diri sendiri. Dampak yang terlihat di depan mata sebaiknya menjadi pelajaran berharga bagi kita, apalagi jika mengingat tugas yang harus diemban Whip Whitaker sebagai pilot.

Flight akhirnya membuat penonton bersimpati dan kesal kepada Whitaker secara bersamaan. Kesal karena ia salah satu penyebab hancurnya hidup orang lain, iba karena keperkasaan dia dalam mengoptimalkan keselamatan harus dihadiahi jeruji penjara. Zemeckis sukses membangun teror kepada penonton lewat filem ini. Dan dengan senang hati filem ini saya masukkan ke daftar salah satu filem terbaik keluaran 2012. Dan tidak ada salahnya jika AMPAS memberikan nomor di slot nominator aktor terbaik untuk Denzel Washington. Doa yang tidak berlebihan memngingat Flight adalah contoh filem sarat makna dan pembelajaran serta juga memberikan pengalaman sinematik yang segar. Di luar kesalahan-kesalahan kecil yang menimbulkan sedikit pertanyaan. Happy watching!

by: Aditya Saputra

Sabtu, 22 Desember 2012

The Amusing Movie-Life

Hidup di dunia hobi ibarat membangkitkan roh baru dan kemudian dijalani dengan penuh warna yang dikreasikan oleh diri sendiri. Entah saya harus menyebut kebiasaan saya ini adalah hobi atau hanya habit yang kelewat berlebihan, namun yang jelas saya menyelami hobi bukan untuk sekali-dua-kali dinikmati tapi juga terjun ke kisi-kisinya paling dalam.

Balita menjelang anak-anak hingga memasuki masa remaja, segelintirpun saya tidak mengerti apa itu film. Tidak seperti beberapa teman saya yang dari usia dini sudah dicekoki media layar lebar tersebut, saya mungkin salah satu dari sekian banyak anak yang mengisi dunia kanak-kanaknya dengan permainan kampung saja. Saya lahir di tahun 1989, tahun di mana Driving Miss Daisy dikumandangkan sebagai film terbaik versi Oscar. Menapaki era SMP, saya ingat sekali jika televisi Nasional sering menyiarkan berbagai film yang di jamannya disinyalir sebagai yang terbaik. Bodohnya saya (dulu yang masih senang didongengkan oleh kartun dan sinetron remaja), keacuhan dan keegoisan saya membuang saya lebih jauh ke dunia film tatkala saya memonopoli layar kaca dari ayah saya yang sedang menonton film Platoon. Double bodohnya, Platoon pun dicap sebagai film terbaik di tahun perilisannya.

SMA adalah periode di mana saya perlahan menaiki derajat kedewasaan dengan memilah dan memilih tontonan berkualitas dan mendidik untuk diisi di otak saya. Dengan bioskop yang hanya memakan waktu 5 menit dari sekolah saya, bioskop menjadi pelarian utama jika saya sedang malas pulang ke rumah. Tentu saja dengan teman-teman. Namun, weekly schedule itu hanya berlaku jika ada film yang menurut saya layak tonton. Jauh sesudahnya, bab baru kembali terbuka, film menjadi sebuah wadah tersendiri bagi saya untuk menampung dan membungkam rasa introvert di dalam kepribadian saya. Semenjak salah satu bioskop baru dibuka, di saat itulah saya merasakan menonton film di bioskop seperti sebuah pengalaman yang indah. Kendati demikian, pertama kali saya memasuki gedung bioskop saat usia 6 tahun, film India entah judulnya apa, itupun semacam modus oleh tetangga saya.

Lanjut ke inti, tahun 2006 - 2007 boleh dikatakan menjadi tahun penting bagi saya yang untuk pertama kalinya mulai memahami apa itu seni. Cakrawala saya semakin terbuka lebar, imajinasi liar yang selama ini terpendam tanpa ada aplikasinya perlahan mulai menguap dan menggumpal menjadi semangat. Saya seperti disiram air dingin dan dibangunkan dari tidur saya yang lama, dan angin seraya berteriak, 'Inilah kehidupan ekstramu, jadikan film sebagai keluargamu dan bioskop menjadi tempat tinggal sampinganmu'. Dijamu oleh kemegahan suara dan arsitektur gambar yang apik, menonton bukan lagi sebuah kebiasaan lumrah, tapi sudah menjadi suatu barang komplementer. Tom Ford pernah berujar, "If you spend an hour and a half in a movie theater, it should challenge you". Dan benar saja, memandangi layar putih dengan dentuman dari loudspeaker seperti ditantang dan diajak mengarungi apa yang tersaji di depan mata.

Akhir 2007, untuk pertama kalinya saya menonton film sendirian dan film yang beruntung itu adalah I Am Legend, dan di tahun itu pula saya mengenal facebook dan bergabung di grup sebuah majalah, Cinemags. Sejak itu, rutinitas setiap bulan untuk membeli majalah selalu dilakukan walaupun kadang harus memangkas uang jajan dan berpasrah untuk tidak jajan berlebihan. Haus akan film membuat saya semakin tertantang. Menonton Transformers membuat saya kagum bukan tanpa alasan. Film ini mengajarkan saya jika ilmu bukan cuma seperti yang saya dapati selama ini. Ilmu dan juga teknologi ada di belakang pintu yang bernama seni peran, dan film secara umumnya. Komputerisasi yang sudah mengglobal seperti sekarang ini semakin memudahkan sineas untuk memacu dan mengendalikan perbioskopan dunia dengan film mereka masing-masing dalam hal memamerkan bakat dan imajinasi. Perlahan namun pasti, walaupun masih berada di jalur mainstream, keistimewaan yang melingkupi jajaran film mulai saya kuasai.

Steven Spielberg, Martin Scorsese, Roman Polanski, Michael Bay, dan sutradara lainnya dengan segala tetek bengek film lama dan baru mereka banyak memberikan kesan yang mendalam untuk saya pribadi. Salah satu dan yang paling baik menurut saya hingga sekarang adalah Babel hasil tangan Alejandro Gonzales Innaritu. Bagi saya, film itu sangat personal dan 100% positif. Tangisan yang keluar saat meratapi film itu bukan sebagai arti jika saya lemah dan film itu hanya menyajikan hal tearjerker semata, tapi lebih dari itu. Terhitung itulah, saya tidak hanya berkutat ke film yang menghibur saja tapi juga ke film yang selain menghibur, tapi juga berisi, dan mendidik. Jujur saja, dari film inilah yang membuat mata saya tidak lagi buta akan dunia. Dari Saving Private Ryan saya dapat gambaran singkat bagaimana perang yang sesungguhnya. Forrest Gump memupuk rasa optimisme yang tinggi, dsb..

Sebetulnya, genre favorit saya adalah drama, tapi tidak menutup kemungkinan bahwa saya juga menyukai jenis film lainnya. Hanya saja, bobot rasa suka ke drama, apalagi biopik, jauh lebih besar ketimbang genre lainnya. Mengapa demikian? Karena film full drama seringkali lebih masuk di akal dan sangat manusiawi dalam artian nyata. Terlebih lagi biopik yang berjuta kali lebih banyak manfaatnya. Sebelum 'hidup' di dunia film, saya tidak tau siapa itu Truman Capote, Alfred Hitchcock, Harvey Milk, dan Idi Amin. Berkat mediasi ini dan berbagai film yang mengungkapkan secara bijak orang-orang terkenal dan berpengaruh di eranya membuat saya tidak begitu norak jika diajak membahas kaum bersahaja tersebut. Saya sudah tiga kali menonton Amadeus, sebuah film biopik musikal langka. Mengapa saya sebut langka? Karena film tentang Wolfgang Amadeus Mozart tersebut jika diibaratkan sebuah menu makanan, maka Amadeus adalah menu komplit. Mulai dari tata busana, musik, direksi dan dekorasi seni, akting, hingga make up dan naskah saling berkesinambungan dan melengkapi dan menjadi satu film secara utuh.

Alfred Hitchcock: "In feature films, the director is a God; in documentary films, God is the director". Quote itu sangat mutlak benarnya dan saya sampai sekarang belum bisa menemukan letak nikmat dari menonton sebuah film dokumenter. Oleh sebab itu, seingat saya hingga detik ini belum ada satupun film dokumenter yang saya tonton. Walaupun keinginan menonton The Cove dan March of Penguins sudah sangat membuncah. Memang, mungkin sebagai penikmat film yang bijak tidak boleh mengotak-kotakkan sebuah sub-genre, tapi secara pribadi saya sekarang memang belum 'membutuhkan' film yang berpola dokumentasi tersebut. Makanya saya juga tidak begitu suka film-film yang memakai teknik serupa, seperti beberapa film horor yang merekam langsung adegan nyatanya.

Berbicara cita-cita dan prospek di lingkaran ini, saya seringkali berkeinginan mejadi seorang penulis naskah ataupun aktor. Karena saya mampu menjalani 2 profesi itu secara beriringan. Sayangnya, dengan minimnya organisasi sejenis dan wadah yang tidak memadai di kota saya membuat saya berhenti sejenak di tempat dan menunggu aba-aba jika memang ada yang menyuruh jalan kembali. Akting telah menghipnotis dan mengajak saya ke alam bawah sadar. Bagi saya, menyumbang roh untuk menghidupi suatu tokoh itu adalah tantangan. Bagaimana kita merubah watak menjadi orang yang kita tidak kenal sama sekali. Mungkin, jika ada kesempatan untuk mementaskan suatu drama, chance itu tidak akan saya sia-siakan.

Sebagai penutup, menjajaki sebuah forum di mana saya sendiri nyaman mendalaminya, sudah pasti akan membekas dan menghadiahi sebuah pengalaman yang luar biasa. Saya tidak sedang menggombal karena saya merasakannya sendiri secara langsung. Atribut dan komponen yang terkandung di dalam labirin yang bernama film memang telah berkumpul menjadi satu membentuk elemen utuh untuk saya pribadi sebagai barang konsumsi yang suatu saat akan menjadi barang produksi. Mudah-mudahan, jika Tuhan melebarkan jalan setapak di depan saya ini, rangkaian partikel yang saya sebut doa selama ini bisa diselaraskan dengan tujuan postif dan hasil yang menggembirakan. :)


This side project is presented by ours: (click the name!)

Merista Kalorin, Lucky Ramadhan, Bahana Damayana, Algitya Pratomo, Natanael Christianto, Heru Chrisadi, Arief Noor Iffandy, Tyas Indanavetta.

The Perks of Being A Wallflower (2012)


Director: Stephen Chbosky
Cast: Logan Lerman, Emma Watson, Ezra Miller, Paul Rudd, Joan Cussack
Rate: 4/5


Masa lalu memang paling enak untuk diungkit, terutama pada kenangan-kenangan yang masih bermotifkan cinta dan sahabat. Kadang kala, apa yang telah kita perbuat bisa dijadikan bahan renungan dan imajinasi serta acuan untuk berbuat lebih baik lagi. Dan entah kenapa, menonton The Perks of Being A Wallflower seperti memutar kembali memori saya ke tahun ketika saya masih mengenyam pendidikan di bangku SMA. Tempat di mana saya mengenal betul bentuk seorang teman, mencicipi hasrat anak muda dalam bercinta, serta menimbulkan keonaran serta memunyai rahasia besar yang tidak ingin orang lain mengetahuinya. Bernostalgia lewat film adalah salah satu cara paling indah, apalagi film ini disuguhi dengan cerita yang sangat remaja sampai-sampai lagu pengisi filmnya pun bernafaskan anak muda sekali.

Logan Lerman memerankan tokoh geek and jerk di sekolah barunya. Melewati masa kelam di mana menjadi bahan olokan membuat ia semakin minder dengan posisinya di bangku SMA. Sebagai wallflower, akhirnya ada seorang guru yang membaca bakatnya untuk menjadi seorang penulis. Tak lama, Charlie berteman dengan Patrick dan Sam, kakak beradik tiri yang juga menjadi partner di kelasnya. Hidup Charlie mulai berubah terlebih dengan begitu eksistensinya terlihat oleh teman-teman yang lain. Di perjalanan persahabatan mereka, fase menyebalkan kembali muncul saat percintaan tak seimbang hadir di tengah mereka. Cinta terlarang yang juga menjadi bumbu film ini semakin meningkatkan dan menguatkan cerita serta blunder kekecewaan di masa remaja. Ending yang sangat indah menambah keistimewaan film yang diangkat dari novel berjudul sama ini.

Yap, film ini disadur dari sebuah novel karangan Stephen Chbosky yang juga menyutradarai dan membuat naskah untuk film ini. Peran banyak Stephen untuk film ini berkhasiat sekali. Ia seakan tau apa yang harus diperbuat dalam mengimplementasikan tulisan di karya sastranya. Dan memang benar, hasil akhir film ini menjadi kuda hitam dan diperbincangkan di ajang-ajang perfilman manapun. Semangat keremajaan yang dirangkai sangat manis memang menjadi kekuatan utama filmnya. Propaganda dalam hubungan sejenis dan tak sejenis sebagai bab penyedap untuk dieksploitasi semaksimal mungkin. Menggunakan sudut pandang  orang pertama, film ini memang terasa sangat hidup. Kemudian adalah porsi tata busana yang menghiasi layar sepanjang film. Sangat pas di jamannya walaupun kita tidak diberi tahu secara eksplisit kapan film ini mengambil seting waktunya.

Film ini beruntung memiliki aktor-aktor muda berbakat yang berhasil menghidupi peran mereka masing-masing. Logan Lerman sebagai tokoh utama sekaligus narator sukses menjiwai karakternya sebagai seorang yang geeky dan linglung dalam bersosialisasi. Emma Watson yang sudah melepas almamater Hogwarts-nya pun berhasil menjadi yang tercantik di film ini berkat akting dan pesonanya. Namun, tanpa mendiskreditkan keterlibatan aktor lainnya, penampilan yang paling berkesan muncul dari seorang Ezra Miller. Sehabis membantai keluarga di filmnya terdahulu, Miller merubah watak menjadi seorang yang sangat berbeda. Bahkan, di film ini akting Miller dipuji dan mampu bersanding dengan aktor-aktor besar lainnya untuk ikut di ajang-ajang film pra-Oscar belakangan ini. Kolaborasi mereka melengkapi film ini secara keseluruhan. Persahabatan yang niscaya akan membuat penonton kembali ditarik ke masa lalu. Begitu manis dan memukau.

Cukup memuja film ini, dan susah mencari kelemahan dari film ini. Kemampuan bercerita yang jauh dari kesan mendikte di film ini adalah alasan kuat mengapa film ini menjadi sangat mudah diterima penonton di seluruh dunia. Aura positif di segala aspek telah berhasil memberi nilai bagus untuk film ini di bawah kepemimpinan sutradara yang masih minim di dunia penataan kamera ini. Quote manis dari film ini: We accept the love we think we deserve, memang kunci dari film ini. Memaknai cinta yang pantas kita dapat dan layak kita cintai.  Jika tahun lalu Flipped muncul dan mengejutkan karena temanya yang unik, tahun 2012 ini kita punya The Perks of Being A Wallflower dengan tingkat kematangan yang pas dan layak dikonsumsi siapa saja. Happy watching!

by: Aditya Saputra

Get Low (2009)

Director: Aaron Schneider
Cast: Robert Duvall, Bill Murray, Lucas Black, Sissy Spacek
Rate: 3,5/5


Sebagai seorang anti-sosial (terlebih lagi dikurung oleh kecaman dan gosip tetangga) memang sangat tidak mengenakkan. Walaupun tindakan memisahkan diri ini adalah tujuan pribadi, tapi tetap saja campur tangan orang sekitar bisa jadi tersangka juga kenapa para anti sosial enggan memperkenalkan diri mereka. Begitupun yang dirasakan oleh Felix Bush yang mendekam di tengah hutan tempat dia bernafas selama 40 tahun dari rongrongan masyarakat. Gosip lama yang menyebar seantero kota mau tak mau memberi jarak antara Felix dan mereka. Entah pada suatu hari Felix datang ke kota untuk mencanangkan aksi 'pensiun'-nya. Bertemu dengan pengurus kematian, Frank Quinn beserta anak buahnya, Buddy, Felix menyusun rencana untuk mengundang para warga di pemakamannya nanti. Namun, di tengah alur tadi, Felix bertemu dengan masa lalunya yang meninggalkan banyak bekas dan ternyata yang menjadi alasan akan perilaku anti sosialisasinya tersebut.

Tidak masalah mengapa film ini sangat lamban sekali. Dengan tempo lemah dan musik yang minim, Get Low memang berpotensi membosankan. Keadaan sepi di tengah hutan tidak membantu banyak bagaimana filmnya akan disegani penonton awam. Dan, sebagai penyangkal dari sang sutradara, film ini memang tidak ditujukan untuk komersialitas, namun untuk dilajukan ke festival-festival. Untungnya, film ini mendapat sambutan yang baik saat diputar di Toronto Film Festival. Pengakuan saya, film ini berjalan dengan sangat pelan tapi misteri yang melapisi sepanjang film memang memerlukan durasi selama itu. Dan, dengan kurangnya bantuan musik di film ini mau tak mau membantu memberi aspek ketegangan.

Film ini dianugerahi gambar yang indah. Porsi landscape hutan dan latar lainnya ditangkap dengan cantik. Dan inilah keistimewaan dari film yang mengambil seting jauh dari pusat kota, banyak view menawan yang bisa dijadikan nilai tambahan untuk film. Robert Duvall, Bill Murray, dan Sissy Spacek yang menyemarakkan film ini telah bekerja dengan sangat baik. Akting mereka melampaui perkiraan saya sebelumnya. Di tangan mereka, simbiosis terjalin dengan sangat memukau sehingga bantuan dari Lucas Black seperti sangat berpengaruh. Film ini lembut dan menusuk layaknya The Last Station, film yang juga dipenuhi kakek-nenek bertalenta super. Bedanya, film tadi seperti jor-joran sekali dalam hal publikasi hingga bisa menitipkan para aktornya untuk menjadi nominator di ajang Oscar.

Kecerdasan Get Low murni berasal dari tulisan naskahnya. Scriptwriter film ini dengan jelihnya melihat dan menyeleksi poin penting untuk membuat pola misteri tadi untuk tetap dinikmati tanpa meninggalkan esensi filmnya sendiri. Kendati ending film ini terhitung lemah, tapi atmosfer awal yang telah dibangun seperti membungkam endingnya yang tidak terlalu relevan itu. Saya bisa memaklumi dengan keterbatasan ide tersebut, tapi akan lebih baik jika lebih diteliti. Aaron Schneider, yang sangat jarang saya dengar namanya, memberikan permulaan baik di kancah perfilman dunia. Dengan bantuan bintang-bintang tenar kelas kakap, Get Low menjadi sangat manis saat dilempar ke permukaan festival. Puja-puji semakin meningkat. Tidak ada yang salah dengan film yang berdurasi panjang tanpa warna yang segar, yang salah adalah saat kita langsung skeptis terhadap sebuah film karena alasan yang tidak masuk di akal. Happy watching!

by: Aditya Saputra

Habibie & Ainun (2012)


Director: Faozan Rizal
Cast: Reza Rahardian, Bunga Citra Lestari
Rate: 3,5/5


Sebagai seorang presiden, bohong sekali rasanya jika masyarakat Indonesia ada tidak mengenal sosok B.J. Habibie. Sebagai orang yang pertama kali mencetuskan dan memroklamirkan pembuatan pesawat terbang dan teknologi lainnya, Pak Habibie patut dijadikan contoh nyata bagaimana superioritas sebuah bangsa adalah bagaimana tokoh besar di belakangnya. Masa kepemimpinan Pak Habibie dengan rentang waktu yang sebentar memberikan sedikit gambaran bagaimana nahasnya negara ini pada waktu itu. Pak Habibie dengan begitu gentarnya berupaya sekuat tenaga untuk kepentingan negeri ini, sekalipun mesti mengorbankan dirinya sendiri. Panutan yang berharga. Kehidupan rumah tangganya yang berjalan sempurna bersama ibu negara, Ainun, bahkan bisa dijadikan contoh untuk sebuah realita percintaan yang memerdekaan kebersamaan dalam kondisi apapun.

Love story antara Habibie dan Ainun inilah yang menjadi fokus utama film garapan sutradara baru, Faozan Rizal. Menyadur dari buku yang ditulis sendiri oleh Pak Habibie yang berisikan kumpulan-kumpulan hidupnya dengan sang istri tercinta, buku tersebut menjadi best-seller di tahun perilisannya. Dan beberapa tahun kemudian, salah satu sineas muda kita yang dibentengi oleh sosok Hanung Bramantyo di belakangnya, buku semi-otobiografi tersebut mengemuka di layar lebar. Siklus cinta itu dimulai dari bagaimana Habibie dan Ainun di satu sekolah, kemudian mengenal cinta ketika remaja. Memadu janji di sebuah becak, dan akhirnya membina silsilah kecil sembari mengerjakan proyek di negara seberang benua.

Jujur, harus diakui film ini mengandung banyak pesan bergizi yang diutarakan langsung ke pemuda pada khususnya dan kepada seluruh rakyak ini pada umumnya. Keberhasilan Habibie dalam menyejajarkan dirinya di lapisan orang-orang atas dan pembinaan kerukunan rumah tangga diimplementasikan dengan sangat baik oleh sutradara kita. Fase reformasi yang mengharuskan beliau menjabat menjadi presiden, meringkuh di tengah penyakit TBC-nya, menomor duakan jalinan keluarga, memang mengajarkan kita untuk menjadi sosok bertanggung jawab di mata masyarakat. Pergolakkan kinerja Habibie yang terus-terusan dirudung masalah terkait politik suap-menyuap juga mewarnai kehidupan beliau. Tapi, walau bagaimanapun juga film ini menyorot sepenuhnya akan perjalanan cinta beliau dengan sang istri hingga akhirnya harus ditinggal pergi karena penyakit kanker ovarium yang didera Ibu Ainun.

Inilah negara kita, berlian paling mahal semacam Pak Habibie harus memutar arah ke negara orang lain terlebih dahulu untuk bisa diakui di tanah kelahirannya sendiri. Krisis percaya diri dan kekurangan audiens dalam berkarya memang menjadi dasar mengapa negeri kita akhirnya jalan di tempat di dalam hubungan bilateral internasional. Belum lagi dengan kecakapan para politikus tak bermoral yang menyalip dan menyulap uang untuk kepentingan pribadi. Fragmen ini bukti nyata, dan dalam film Habibie & Ainun walaupun dipersempit dengan durasi yang hanya kurang lebih 2 jam saja, masih bisa diperlihatkan betapa kotor dan culasnya negara ini. Faozan memanfaatkan momen ini dengan menyisipkan beberapa rekaman asli pemerintahan pada zaman itu. Mengubah perkotaan menjadi sangat kuno, sayangnya pada kesempatan adegan di Jerman, kepalsuan sangat jelas terlihat. Andaikata adegan salju itu tersebut tidak dipaksakan ada, pasti kenyamanan menonton akan lebih sempurna.

Sama halnya dengan dipaksakannya kemunculan para sponsor di sepanjang film. Hadirnya bedak merek terkenal, cokelat yang dimodeli Nikita Willy, dan lain sebagainya itu memang sangat merusak citra film ini secara keseluruhan. Bagaimana film yang sedari awal sudah dibuat semanis dan senyata mungkin harus dicoreng dengan para 'bintang tamu' tadi. Sangat disayangkan. MD Pictures selaku yang membiayai film ini sepatutnya tidak berlaku egois hanya karena kepentingan uang semata. Sebuah karya yang dicampur tangani oleh materi memang akan melemahkan nilai karya tersebut. Contohnya film ini. Musik yang mengalun indah dibekali akting yang luar biasa dari Reza Rahardian di film ini berujung hanya lucu-lucuan belaka.

Yah, Reza Rahardian berhasil menempatkan dirinya di posisi yang serba beruntung. Dipilihnya Reza sebagai perwakilan layar Pak Habibie bukan tanpa alasan dan bukan tanpa hasil. Mengingat ia adalah satu aktor muda berbakat yang sudah memainkan banyak peran beda, kehadirannya di sini memang sangat dibutuhkan. Gesture dan body language yang sempurna serta cara berbicara yang sangat Habibie sekali terbukti menenggelamkan penonton untuk merasakan dawai film ini. Tapi, ketika harus berbagi frame dengan Bunga Citra Lestari selaku pemeran Ibu Ainun, kolaborasi mereka terasa sangat tidak kena. Bunga masih ingin terlihat cantik dan egois walaupun dalam keadaan tua renta. Make up saat Ibu Ainun pada masa pesakitan tidak terlihat dengan jelas. Tidak ada dari wajah Bunga yang membuat saya percaya jika ia sedang berakting. Ibu Ainun di tangan Bunga seperti satu masa satu umur dengan anak-anaknya.

Kendati banyak minus yang tersebar dari film ini, bukan berarti sisi positifnya menjadi hilang tak berarti. Film ini masih memiliki pesan moral yang tinggi. Memang sangat disayangkan, jika poin kritis tadi bisa diminimalisir dengan bijak, pasti Habibie & Ainun akan terlihat lebih kokoh tanpa memandang bulu jika ini film buatan sutradara minim pengalaman. Dan satu hal lagi, Pak Habibie telah menerbangkan negara ini ke kancah internasional dalam menelurkan teknologi yang jarang ditemui oleh anak bangsa untuk ukuran zaman tersebut, dan zaman sekarang. Seperti hanya ia menerbangkan pesawat terbang rangkaiannya yang menjadi tolak ukur sebuah kecerdasan hingga sekarang. Happy watching!

by: Aditya Saputra

Sabtu, 08 Desember 2012

The Hunger Games (2012)

Director: Gary Ross
Cast: Jennifer Lawrence, Josh Hutcherson, Liam Hemsworth, Stanley Tucci, Wes Bently, Elizabeth Banks, Woody Harrelson, Toby Jones
Rate: 2,5/5


The Hunger Games muncul sesaat sesudah usainya saga Harry Potter dan sebelum tamatnya franchise Twilight. Sebuah start yang bagus mengingat kedua seri besar itu harus dilanjuti dengan waralaba yang diharapkan bombastis juga. Tidak banyak novel berseri yang akhirnya sukses menjamu fans dan penonton awam ketika diangkat ke media film, seperti Eragon dan The Golden Compass misalnya, yang kelanjutannya masih berupa hembusan angin. Seperti mengikuti jalur seniornya, The Hunger Games yang di novelnya ditujukan ke pembaca remaja, versi filmnyapun ikut-ikutan dibuat seaman mungkin untuk menarik banyak peminat dan dilabeli PG-13 saja. Untuk beberapa sektor, ide yang jitu melihat box office filem ini yang lumayan saat masa edarnya. Namun, untuk beberapa kondisi dan keperluan film, rating PG-13 tadi malah menjadi kendala mengapa filmnya menjadi sangat kekanak-kanakan.

Sekumpulan anak dari berbagai distrik di suatu jaman distopian, diharuskan mengikuti kontes musiman yang diselenggarakan panitia setempat dan kru tv untuk saling menyelamatkan diri di lokasi hutan yang sudah dipersiapkan. Mereka 'wajib' saling bunuh jika ingin menjadi pemenang tunggal. Adalah Katniss Everdeen yang menggantikan sang adik yang awalnya terpilih secara acak untuk mewakili daerahnya bersama pasangannya Peeta. Katniss harus rela meninggalkan keluarga dan sahabatnya, Gale, untuk ikut serta di turnamen kematian tersebut. Singkat cerita, selama masa survival in the woods itu para kontestan saling baku hantam, dan menyisakan beberapa orang saja, termasuk Katniss dan Peeta. Perjuangan mereka dengan segala trik dan ide untuk menyambung nyawa berujung sebuah kebahagiaan yang kita (penonton-red) sudah tau bagaimana akhir film ini. Happy ending!

Sebagian besar film ini mengingatkan saya kepada film fenomenal Battle Royale yang memiliki rating 'Dewasa'. Dan memang di situ kandungan thriller-nya sangat kental. The Hunger Games, alih-alih ingin menyamakan (walaupun si penulis novelnya tidak berniat demikian) unsur yang ada di Battle Royale, adegan kekerasannya serba tanggung. Suzanne Collins selaku novelis yang bertanggung jawab atas ceritanya sudah memberikan permulaan untuk dieksekusi Gary Ross sebaik mungkin. Sayangnya Ross terlalu berpatokan pada pasar. Tidak ada ketegangan saat melihat tokoh utama kita lari-larian menyelamatkan diri dari berbagai serangan dari musuh. Nihil adrenalin yang diciptakan. Apalagi adegan aksi di film ini terlampau sedikit mengingat durasi film ini lebih dari 2 jam. Drama untuk satu jam pertama saya nilai terlalu berlebihan, apalagi jika cuma diisi hal-hal kosong yang tidak bergitu penting.

Set dekorasi film ini juga tidak mengisyaratkan jika film ini dimaksudkan untuk menjadi waralaba besar. Pesona hutan dan 'kantor' para kru dibuat begitu saja. Poin plusnya, kostum dan make-up film ini diperhatikan dengan cukup baik sampai-sampai ingin tertawa saat melihat Stanley Tucci dan Toby Jones dengan dandanan seperti itu. Gary Ross juga pelit menyelipkan adegan-adegan berani serta dialog yang bisa membangun semangat penonton. Untung saja film ini memakai jasa Jennifer Lawrence. Aktris muda yang sudah diakui bakat aktingnya ini sukses membawa peran pahlawan dadakan seorang Katniss. Kepiawaiannya dalam memanah dan aksi bak-bik-buk cukup membuat kita percaya jika ia seorang hero. Sisa aktor lainnya tidak begitu bermasalah kendati tidak ada satupun dari mereka yang bermain total bagusnya.

The Hunger Games mungkin tidak tujukan sejauh seperti saya utarakan di atas. Walau bagaimanapun juga film akan terasa buruknya jika diolah dengan serba kekurang-matangan di departemen apapun yang melengkapinya. Jika Ross ingin serius membesarkan novel berseri ini, Catching Fire harus lebih berkualitas dari ini. Ingat, The Hunger Games bukanlah Twilight yang memunyai banyak komponen majis di dalamnya. Jika harus menaruh beban di pundak Jennifer Lawrence seorang, The Hunger Games ujung-ujungnya akan jatuh di penilaian yang sama. Happy watching!

by: Aditya Saputra

End of Watch (2012)

Director: David Ayer
Cast: Jack Gyllenhaal, Michael Pena, Anna Kendrick, Natalie Martinez, America Ferrera
Rate: 4/5


Apa yang menarik dari kehidupan kepolisian sampai sutradara-sutradara Hollywood sering sekali mengangkat dunia kelam mereka ke layar lebar. Entah sebagai contoh baik maupun cermin buruk seorang polisi, sineas sana mencoba membuka tabir sesungguhnya bagaimana wakil rakyat tersebut dalam memberantas (dan menimbulkan) keonaran. Dekade ini saja sudah puluhan film yang menceritakan sepak terjang pekerja berseragam cokelat/hitam tersebut. Denzel Washington pernah menerima Oscar atas perannya sebagai polisi kejam di Training Day, Nicolas Cage dan Michael Shannon baru-baru ini merefleksikan tabiat buruk seorang polisi. Richard Gere dan Mel Gibson pun tak mau ketinggalan dalam memerankan tokoh masyarakat ini. Sekarang, Jake Gyllenhaal dan Michael Pena kebagian tugas yang sama. Bedanya, yang ini lebih intens dan nyata.

Dibuat oleh David Ayer, orang yang juga pernah memroduksi film polisi-polisian juga lewat Street Kings (2008), film menceritakan tentang 2 orang polisi muda yang merekam aktifitas mereka selama mengabdi di kepolisian setempat. Dengan kerja sama yang baik, mereka lambat laun mendapatkan suatu penghormatan berkat keuletan mereka dalam menemukan gembong-gembong kejahatan di kota kecil tempat mereka patroli. Suatu hari, aksi pemergokan obat-obatan terlarang dan sejumlah senjata api ke kumpulan warga negro berujung panjang. Konklusi dan keputusan yang mereka ambil menyebabkan benang kusut yang mereka sendiri tidak bisa lagi merapihkannya. Kehidupan keluarga mereka yang tentram damai harus berujar kepada nasib yang memang sebagai eksekutor.

David Ayer menyulap End of Watch seperti sebuah film dokumenter berkat teknik hand held camera yang ia gunakan hampir di keseluruhan film ini. Kamera pengintai yang dipegang oleh pemeran utama menangkap kejadian-kejadian keseharian mereka baik dalam keadaan bertugas maupun saat sedang memadu kasih dengan pasangan masing-masing. Itulah yang membuat film ini begitu istimewa. Penonton diajak mengarungi apa yang mereka kerjakan, tidak hanya sebagai penonton tunggal. Keefektifan tersebut berdampak positif karena membuat tensi emosi menjadi terkontrol. Banyak adegan yang terlampau keji dan menjijikan di film ini disorot dengan sangat pintar berkat teknik tadi. Walaupun film ini tidak begitu mengandalkan sisi musikalitas, namun berkat kejelian Ayer dalam menggunakan jasa shaking camera tadi sektor musik jadi tidak begitu penting. Pun dengan kejutan-kejutan kecil yang bisa membuat saya puas bahwa masih ada sineas yang begitu peduli dengan penonton.

Pemanis kita semisal Anna Kendrick, Natalie Martinez, dan America Ferrera sudah mengerjakan tugasnya dengan cukup baik. Pendamping main casts yang super duper bermain total dan luar biasa apik. Jake Gyllenhaal dan Michael Pena menunjukkan bakat terbaik mereka di bidang ini. Keduanya melebur dan membuat kita percaya jika mereka adalah teman sejawat sehidup semati. Candaan mereka di mobil yang tersorot kamera benar-benar nyata dan tidak dibuat-buat, dialognya mengalir dengan santai dan mengharu biru. Terlebih lagi saat sudah mendekati ending film. David Ayer beruntung casting director film ini bekerja dengan sangat baik.

David Ayer naik kelas berkat filemnya kali ini. Bantuan di belbagai departemen pelengkap film yang beroperasi dengan amat baik membantu meningkatkan bobot kualitas End of Watch. Tahun depan Ayer akan mengajak Arnold Schwarzenegger untuk mengisi slot film Ten. Semoga saja akan sebagus atau bahkan melebihi kapasitas yang telah ia persembahkan lewat End of Watch. Serta merta tuah baik juga bersimbah kepada Gyllenhaal dan Pena yang dari sekarang sudah digadang-gadang untuk menempatkan posisi aktor utama & pendukung terbaik di ajang-ajang film pra-Oscar. Kita tunggu saja kelayakannya. Satu poin yang pasti, End of Watch mendewakan sekali asas persahabatan. Dan sudut pandang itulah yang menjadi pokok persoalan film ini. Happy watching!

by: Aditya Saputra

Jumat, 07 Desember 2012

Hope Springs (2012)


Director: David Frankel
Cast: Meryl Streep, Tommy Lee Jones, Steve Carell
Rate: 2,5/5


Meryl Streep (dengan 3 piala Oscar yang telah diraihnya) adalah salah satu dari sekian banyak aktris yang di usia senjanya masih menapakkan karir di dunia showbiz Hollywood. Tancapan bakat aktingnya dalam mengisi setiap film yang ia lakoni acap kali berakhir pada sebuah nominasi di ajang-ajang perfileman manapun. Dengan segala sertifikat terbaik yang pernah diterimanya, bukan berarti Streep tidak pernah terpleset di lini karirnya. Walaupun aktingnya sudah bagus, kesialan jatuh pada naskah film yang serba lemah, seperti saat ia memerankan seorang Margaret Thatcher di The Iron Lady dan di film terbarunya sekarang, Hope Springs. Film ini dibuat oleh David Frankel yang pernah sekali bekerja sama dengan Streep di The Devil Wears Prada, peran ringan yang mampu membawa Streep kembali bercokol di deretan nominator aktris terbaik. Sayangnya, di kerja sama mereka yang kedua ini malah terkesan biasa saja kalau tak mau dibilang jelek. Tidak istimewa apalagi bernafaskan festival.

Dari segi cerita saja mungkin film ini sudah terkesan segmented walaupun tujuan Frankel pasti mengharapkan tema ini akan bersifat universal. Sepasang suami istri yang telah memasuki masa pubertas kedua sedang dilanda masalah percintaan. Kay (Streep) dan Arnold (Lee Jones) terpaksa pisah ranjang tapi tetap satu atap hanya karena keduanya tidak lagi memiliki gairah satu sama lain. Walaupun Kay bersikeras menyatukan kembali hubungan keduanya, namun Arnold tetap pada pendiriannya untuk menjalani hidup seperti saat ini. Kay yang jenuh memutuskan untuk mengikuti pola kisah cinta ke Dr. Feld (Carell). Perjalanan rumit keduanya untuk menemukan kembali romantisme yang hilangpun dimulai.

Sayangnya, aktris sekaliber Meryl Streep dan Tommy Lee Jones pun tidak bisa menyelamatkan film ini lebih jauh lagi. Kapasitas naskahnya yang sudah melemah dari awal menjadi tersangka utama mengapa film ini kehilangan tajinya. Tidak susah untuk menjustifikasi film ini sebagai salah satu film terjelek aktor-aktor dedengkot itu. Bandingkan saja performa Streep di film ini dengan di It's Complicated yang serupa dan sama ringannya. Bedanya, It's Complicated lebih terarah dan tidak membuat Streep terkesan konyol. Dan memang iya, Steve Carell dengan peran anti-slapstick-nya di sini semacam isu baru. Melihat track record-nya yang sejenis, peran kalem bijaksananya di sini seperti terobosan singkat. Kita tidak akan melihat muka karetnya, yang ada bagaimana ia merespon dan memberi saran motivasi untuk pasiennya dengan amat santai. Hmmm, Carell memang tidak pernah mengecewakan.

Seperti yang saya bilang, film ini tidak memiliki komponen penting yang membuat filmnya menjadi layak ditelaah lebih jauh. Frankel yang sudah makan asam garam di sektor penyutradaraan beberapa episode serial tv dan membuat Streep seperti 'setan busana' di The Devil Wears Prada, tidak meneruskan keberuntungannya saat mengolah naskah yang ada. Kinerjanya saat memadukan Streep dan Lee Jones tidak terasa efektif. Frankel tidak berusaha membuat permasalahan sang tokoh utama terasa believable. Walaupun film dibuat semanis dan sekocak mungkin, tetap saja jatuhnya kasar dan sedikit melecehkan kaum tua. However, film ini juara di penggarapan musik dan pemilihan lagu-lagu pengiring. Beberapa judul lagu yang mengalun memang pas dengan suasana adegan dan mendukung atmosfer film menjadi lebih sedu sedan.

Frankel, jika saja tidak terlalu pongah karena memiliki 3 nama besar di filmnya, kemungkinan besar akan fokus kepada narasi film. Sialnya, aktor mumpuni saja tidak cukup untuk menyelaraskan sebuah film. Banyak contoh mutlak bagaimana sebuah film diisi aktor-aktor mapan dalam berakting, jika penggarapannya tidak maksimal tetap saja akan menjadi bual-bualan kritikus. Frankel dengan bijak memaksimalkan kerja kerasnya, tapi dia lupa jika penonton -apalagi temanya sangat orang tua sekali- dewasa tidak hanya sekadar mau diceremahi tapi juga diajak berdiskusi bersama setelah menonton filmnya. Yah, persoalan seks di film ini terlalu sensitif bagi orang tua seumur mereka. Apalagi film ini bukan konsumsi satu wilayah negara saja. Happy watching!

by: Aditya Saputra