Rabu, 27 Februari 2013

Pitch Perfect (2012)


Director: Jason Moore
Cast: Anna Kendrick, Skylar Astin, Brittany Snow, Rebel Wilson, Ben Platt, Anna Camp
Rate: 3/5


Memasuki milenium 2000, dan semenjak Moulin Rouge! memperkenalkan kembali dunia musikal pada filem, semakin berganti tahun semakin banyak saja filem yang mengambil genre tersebut. Bahkan setahun sesudahnya, Chicago malah menjadi pemenang Best Picture di Academy Award. Disusul Rent, Be Cool, Dreamgirls, Hairspray, dan terakhir Pitch Perfect meramaikan ranah ini dengan sedikit cara yang berbeda. Bahkan, pagelaran Oscar Februari kemarin memberikan sedikit apresiasi dan tribute untuk pencapaian musical movie satu dekade ke belakang. Mengusung teknik akapela dalam mengaransemen serta mencampur adukkan beberapa lagu dalam satu performance, Pitch Perfect menghadirkan nuansa baru walaupun cerita filem ini sangat-sangat stereotype.

Beca, yang memiliki ambisi tersembunyi di dunia musik harus rela mengikuti kemauan sang ayah untuk melanjuti ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Terdamparlah Beca di Barden University dan mengikuti komunitas The Bellas sebagai salah satu kontender yang akan mengikuti kompetisi musik akapela yang digelar rutin tiap periodenya. Nyatanya, menjadi anak bawang sedikit menyudutkan Beca terlebih lagi hubungannya dengan Jesse meluap kemana-mana dan harus berurusan pula dengan sang ayah akibat keonaran yang dibuatnya di sekolah.

Pitch Perfect memang memberikan banyak asupan yang pas untuk sebuah filem remaja. Tema persahabatan dan kerja keras yang diusung lewat filem ini mengental hingga akhir filem kendati sutradaranya memoles filem ini menjadi sangat ringan. Kekuatan musik menjadi poin terpenting di filem ini. Karena, filem musikal tanpa sodoran lagu-lagu yang ciamik juga akan menjadi bumerang sendiri. Oleh sebab itu pemilihan lagu dan komposisasi musik di filem ini sangatlah juara. Menutupi semua departemen filem yang cenderung membosankan. Cerita Pitch Perfect hanyalah seukuran filem remaja kebanyakan yang diisi intrik basi dan mudah ditebak. Aktingpun tidak menjadi fokus utama. Hingga menular ke Anna Kendrick yang berakting dengan sangat payah. Pengecualian dengan aksi panggung dan taste musikalitas untuk filem ini. Koreografi serta aransemen yang enak didengar memang menjadi bagian terpenting untuk Pitch Perfect. Jika saja elemen ini juga di bawah rata-rata, Pitch Perfect tidak akan seramai sekarang diperbincangkan oleh kaula muda.

Berbahagialah saat menonton Pitch Perfect, buruknya naskah tidak diikuti oleh penokohan yang bisa ditempatkan pas sesuai porsi. Member The Bellas dibuat seunik mungkin dan mampu memberikan joke-joke segar. Terutama lelucon yang dilempar oleh Rebel Wilson. Brittany Snow yang sudah lama tak terlihat batang hidungnya di berbagai filem, di sini cukup memberikan sumbangsih berkat suaranya yang terasa enak didengar. Hanya saja, buat saya itu saja tidak cukup. Sebuah filem akan bernilai lebih jika seluruh partisinya digenjot semenarik mungkin, apalagi untuk urusan cerita. Berdiri sama kokoh dengan serentetan episode Glee dan beberapa filem Step Up dan Street Dance, Pitch Perfect hadir untuk menambah panjang daftar filem musikal yang berhasil menarik minat penonton untuk membuka mata ke arah genre ini. Happy watching!

by: Aditya Saputra

The Game (1997)


Director: David Fincher
Cast: Michael Douglas, Sean Penn, Deborah kara Unger
Rate: 3,5/5


Sebelum The Game mencoba mengelabuhi penonton dengan sejuta teka-teki tak terungkapnya, Fincher telah mendapat perhatian massa di feature panjang pertamanya, Seven, yang diramaikan oleh penampilan dahsyat Brad Pitt, Morgan Freeman, dan juga Kevin Spacey. Namun, yang menjadi momok Seven adalah penjelasan di akhir filemnya yang sangat cerdas. Tak dapat disangkal juga, filem paska The Game juga menimbulkan sebuah enigma yang tak bisa terbantahkan jeniusnya sebuah akhir cerita, Fight Club menjelma menjadi salah satu cult movie terbaik yang pernah ada. Namun The Game tidak mendapat perhatian yang sama dengan kedua filemnya yang lain. Kendati memiliki pengaruh yang besar akibat pola cerita yang berstruktur rapi, nyatanya The Game hanya dinilai sebagai filem bagus saja tanpa ada apresiasi tinggi. Bagi saya, The Game adalah salah satu filem paling pintar dalam membuat penonton mengikuti alurnya dan dibuat kaget oleh endingnya.

Di hari ulang tahunnya, financier kaya Nicholas van Orton mendapat hadiah spesial dari adiknya, Conrad, berupa kartu nama yang akan membawanya ke sebuah wahana bermain yang tak dapat diduganya sebelumnya. Paska cerai dengan istrinya, Nicholas menjadi sosok yang membosankan dan menjalani hidup dengan monoton. Namun, berbekal hadiah yang diberi Conrad, Nicholas mulai mencoba sesuatu yang baru di CRS (Consumer Recreation Services). Sialnya, Nicholas lambat laun mulai direcoki oleh keterlibatan tim CRS di kehidupan nyatanya. Merasa terganggu dan dikuntit sepanjang hari, kejengahan yang dirasakan Nicholas menuntunnya ke berbagai karakter yang terlibat langsung dengan CRS. Yang menggelegar adalah bagaimana Nicholas mengetahui kebenaran yang terjadi di ujung filem ini.

John D. Brancato dan Michael Ferris selaku scriptwriter The Game berhasil memberikan kiat pintar dalam membuat naskah yang berbobot. Pencapaian Fincher dalam menafsirkannya ke dalam gambar bergerak juga patut diberi skor tinggi. Dengan penyutradaraan yang dinamis, The Game ibarat sebuah puzzle yang harus disusun serapi mungkin oleh penonton, dan nantinya penonton bakal diberi kejutan yang teramat cemerlang. Yang saya salut adalah bagaimana kejelian Fincher dalam mengatur dan tidak memberikan clue sama sekali sepanjang filem berlangsung, padahal penonton sendiri sudah diberi acuan di awal filem. Mungkin karena adegan per adegan dibuat se-real mungkin, jadi banyak adegan yang berhubungan dikamuflase dengan poin-poin tak penting tadi. Sisi teknis filem ini memang agak kurang, seperti misalnya tata musik yang tidak begitu membahana. Untung saja hal itu bisa ditutup dengan penokohan yang kuat dan para figuranpun memiliki peran penting bagi filem ini.

Michael Douglas sebagai korban penguntit menunjukkan karisma di atas rata-rata. Sebagai seorang kaya yang congkak, ia mampu memberikan kesan tersebut, dan saat di klimaks utama Douglas dengan sukses meronta-ronta dan bertanya apa yang sedang dilaluinya. Rasa ketakutan dan penasaran beradu jadi satu, dan Michael Douglas membuat penonton percaya jika ia sedang berada di posisi tersebut. Sean Penn walaupun muncul di sedikit adegan tapi dialah poin kunci sebagai pembuka tabir semua kesialan yang menimpa Douglas.

My last verdict: twist The Game memang tidak terlalu membuat pusing penonton karena endingnya juga hanya memberi kejutan saja bukan pemecahan masalah yang dibuat timpang sedari awal. The Game juga tidak ada pesan khusus yang bisa diserap. Yang menjadi kenikmatan The Game adalah bagaimana filem ini bermain di luar zona aman sebuah filem cerdas. Namun nyatanya, saya rasa filem ini tidak akan memberikan kesan yang sama saat kita akan menontonnya untuk yang kedua kali. Kali serupa dengan filem ber-twist ending lainnya, menyaksikannya lagi akan terasa kosong dan seperti dibodohi. Cukup sekali tapi membekas sepanjang masa. Happy watching.

by: Aditya Saputra

Sabtu, 16 Februari 2013

Hitchcock (2012)


Director: Sacha Gervasi
Cast: Anthony Hopkins, Helen Mirren, Denny Huston, Scarlett Johansson, Jessica Biel, Michael Stuhlberg
Rate: 3,5/5


Saya tidak begitu mengenal Alfred Hitchcock. Saya bahkan belum menonton satupun karyanya, apalagi Psycho yang menjadi bahasan utama filem Hitchcock ini. Yang saya tau, Hitchcock adalah salah satu sineas terpandang yang dulu karya-karyanya sering dianggap sebelah mata namun perlahan menjadi acuan penting bagaimana sebuah mahakarya dibuat dan mampu dipuja-dipuja hingga bertahun-bertahun kemudian. Mungkin banyak sutradara yang menjadi sumber inspirasi bagi sineas baru atau mungkin disebut sebagai pengaruh penting dalam memberikan sumbangsih di metode-metode perfileman. Hitchcock bisa jadi tidak setenar Steven Spielberg yang karya-karyanya mampur bercokol di puncak box office dan selalu diapresiasi dengan belasan bahkan puluhan piala dari berbagai festival filem. Dan kembali ke filemnya, inilah sebuah poin plus dari sebuah biografi. Kita akan diberi gambaran singkat tentang tokoh yang sedang diangkat.

Hitchcock mengambil seting paska kesuksesan North by Northwest dan rencana sang sutradara untuk membuat suatu karya yang beda. Diilhami dari delusional yang sering ia alami akibat dari proyek yang akan digelarnya ini, Hitchcock membuat Psycho dengan penuh emosi, ambisi, argumentasi, hingga eksposisi yang berlebihan. Terlebih lagi kepada sang istri yang ia curigai memiliki affair dengan salah satu teman penulisnya. Sepanjang pembuatan filem, Hitchcock dan tim produksinya dihantui bahwa filem yang sarat violence serta unsur nuditasnya yang cenderung eksplisit akan merugikan pihak produser yang akhirnya Hitchcock membiayai segala beban filem ini dengan menggadaikan rumah kesayangannya. Perekrutan Janet Leigh dan Vera Miles pun menjadi cerita pinggiran yang memiliki plot sendiri yang sayang sekali kurang dikupas lebih dalam.

Hitchcock disadur dari buku semi otobiografi yang juga fase di mana Hitchcock membuat Pshyco. Skripnya ditulis ulang oleh John J. McLaughlin yang di sini memiliki amunisi yang pintar dalam memilih dialog-dialog berkualitas yang mampu mengembangkan isi ceritanya sendiri. Lempar pendapat yang diperlihatkan Hitchcock dan Alma sangat harmonis, bahkan sekalipun bertengkar masih terlihat menarik. Kekurangan justru terlalu buru-burunya dugaan Hitchcock kepada istrinya yang memiliki affair dengan seseorang. Bagian ini terasa datar bagi saya. Selebihnya, walaupun drama yang terkait tidak begitu mendalam, setidaknya masih bisa merealisasikan secara nyata bagaimana siklus kehidupan Hitchcock di tengah pekerjaannya sebagai seniman, dan suami untuk istrinya di rumah. Selain art direction yang mendekati aslinya, departemen kostum dan make-up untuk filem ini sudah bekerja dengan amat baik. Mereka memermak Anthony Hopkins menyerupai Hitchcock secara alami dan menyisakan sisi mistis di Hopkins.

Sebagai penyelenggara utama filem ini, Anthony Hopkins memang telah berusaha dengan amat optimal. Kinerjanya sebagai sang maestro patut dihargai setinggi mungkin. Gesture serta body language yang ia peragakan di depan layar memang menimbulkan kesan yang luar biasa. Terlebih lagi Helen Mirren sebagai Alma yang mampu beradegan kocak dan bijaksana dalam satu lini. Sebagai Janet Leigh dan Vera Miles, Scarlett Johansson serta Jessica Biel bukan saja mengeluarkan aura keseksian mereka dari postur tubuh namun juga berhasil menambah kesan manis di sepanjang filem. Sebenarnya peran mereka di filem Psycho sangat penting, namun berhubung ini adalah filem yang menyorot lingkaran kehidupan Alfred, mau tak mau keduanya harus puas sebagai pemeran pembantu saja. Sacha Gervasi selaku orang yang duduk di kursi sutradara berhasil memompa filemnya agar tidak menjadi kacangan. Pengalamannya sebagai scriptwriter seakan sebagai awal untuk meneruskan niatnya berprofesi sebagai sutradara di filem panjang perdananya ini.

Hitchcock bukanlah filem biopik yang sempurna, namun ada sisi entertaining yang ada tersembunyi di dalamnya. Kendati masih banyak kekurangan yang harus dibenahi sang sutradaranya, tapi dengan porsi durasi yang tidak berlebihan memang membuat Hitchcock terasa padat yang tepat sasaran. Didukung penampilan aktor kelas wahid dan ditunjang dua pesolek yang siap menyita perhatian para penonton pria, Hitchcock menambah daya pikatnya. Dan kesimpulan yang bisa saya tarik dari filem ini adalah semangat, kepercayaan diri, kerja keras, serta partner yang baik adalah beberapa elemen yang harus diperhatikan untuk mencapai hasil baik yang kita inginkan. Alfred Hitchcock biarlah tinggal nama, namun karya-karya monumentalnya akan tetap dikenang para penggemarnya yang tiap tahun akan bertambah. Happy watching!

by: Aditya Saputra

Jumat, 15 Februari 2013

The Lorax (2012)


Director: Chris Renaud
Cast: Danny DeVito, Ed Helms, Zac Efron, Taylor Swift, Betty White
Rate: 3/5


Sebagai permulaan dan sedikit perbandingan, saya sangat suka dengan filem Horton Hears A Who! yang juga diterjemahkan secara kasar dari cerita karangan Dr. Seuss. Cat in the Hat juga termasuk yang lumayan walaupun banyak yang menyayangkan kenapa harus dibuat versi live action. The Lorax, dari sumber inspirasi yang sama, mencoba mengikuti jejak saudaranya dalam menyemarakkan parade animasi sederhana dengan sisipin pesan moral yang bertaji. Sulit diakui, The Lorax malah hadir sangat biasa, jika tak mau dibilang mengecewakan. Sepanjang filem diputar, saya hanya mau mengakui filem ini terasa bagus karena dilapisi oleh titipin pembelajaran yang mampu berbicara banyak. Namun, dari segi animasi, rekayasa komputer, hingga yang paling penting semisal pemilihan musikpun, The Lorax terbilang biasa-biasa saja. Dr. Seuss layaknya Roald Doahl yang mampu berdongeng sekaligus menyisipkan sekelumit fabel yang dikemas dengan lucu, mendidik, dan segar. Nyatanya, memang tak mudah memaksakkan sastra untuk dikembangkan ulang melalui medium filem.

Berawal dari sebuah kota yang hidup tanpa udara bebas. Kesempatan inilah akhirnya dimanfaatkan secara jahat oleh (sebut saja) gubernur kota setempat untuk mengedarkan udara bebas buatan yang mungkin akan memperkaya dirinya sendiri. Kota yang tanpa rerumputan, pohon, maupun miskin reboisasi ini malah lebih mementingkan gaya hidup yang bebas demikian. Namun, ternyata masih ada satu-dua orang yang peduli dengan lingkungan hidup dan mencari kebenaran yang selama ini tersembunyi atau bahkan disembunyikan oleh gubernur. Suatu ketika, seorang anak bertemu dengan lelaki yang ternyata biang keladi atas 'bencana sosial' yang terjadi di kotanya. Flasback pun mengalir dari awal ia dikucilkan oleh keluarga hingga menjadi kaya raya akibat pengembangan bulu ajaib yang berasal dari pohon. Dan muncullah The Lorax sebagai penunggu hutan tersebut. Happy seketika menjadi hancur ke akar-akarnya. Roda kembali berputar memperburuk keadaan si lelaki tersebut.

Yang cerdas dari filem ini adalah cerita sumbangan dari Dr. Seuss. Bagaimana fiksi bisa disatukan dengan pola pikir yang matang akan kepedulian masyarakat kepada lingkungan. Mengindahkan tamak dan rakus yang berakhir pada kerugian orang banyak. Saya sendiri sangat salut bagaimana penyeimbangan ide brilian ini dengan pola hidup manusia sekarang ini. Namun, kesuksesan ceritanya tidak diikuti dengan sisi teknis yang seharusnya bisa lebih dimaksimalkan lagi. Banyak adegan yang terlalu dipaksakan lucu dan malah berakhir tragis garingnya. Ada juga beberapa adegan yang diharapkan bijaksana dan sendu namun jadinya basi dan canggung. Untuk komputerisasinya sendiri tidak ada yang baru. Bahkan animasi semisal Mary & Max saja bisa jauh lebih detil dan transparan. The Lorax yang dibiayai dengan budget yang lumayan seharusnya bisa lebih bereksplorasi dan meningkatkan daya imajinasi sutradaranya untuk mengembangkan dunia The Lorax itu sendiri. Mungkin setengah dari budget-nya dipakai untuk membayar aktor yang jasa suaranya digunakan untuk filem ini.

Jujur, tidak ada pengisi suara karakter yang berhak dilabeli 'memorable'. Semua datar dan tidak ada pengembangan sama sekali. Lagian penonton juga tidak melihat artis idola mereka di depan layar, jadi teritori ini tidak begitu penting. Tapi, satu hal lain yang penting untuk sebuah animasi bisa dikatakan berhasil adalah pemilihan lagunya yang asik. Sayangnya hal itu tidak ada di The Lorax. Sungguh sangat mengecewakan, dan lagi-lagi saya membandingkan filem ini dengan Horton yang begitu enerjik dan atraktif dan sesuai gambaran akan seperti apa filemnya.

Bagaimanapun juga, anak-anak akan tetap menyukai filem penuh warna ini. Bagi penonton dewasa, The Lorax cukup ditonton sekali saja saat menemani anak mereka yang riang menyaksikan para hewan menunjukkan ekspresi terlucu mereka, sembari menjelaskan pelajaran yang amat penting dari filem ini tentang bagaimana menjaga lingkungan dan memelihara hutan kita yang semakin gundul ini. Menyikut perihal banjir yang baru-baru ini melanda Jakarta, mungkin salah satu penyebabnya adalah kurangnya lahan penghijau yang berguna untuk menyerap air hujan dikarenakan tanah hutan sudah dipangkas habis untuk dibuatnya gedung-gedung hiburan. Ini sudah berjalan dari kemarin-kemarin dan dampaknya baru terasa sekarang. Kejelian masyarakatlah yang dibutuhkan sekarang ini untuk selalu mewaspadai apa yang akan terjadi esok jika kita terus bermain-main dengan alam tanpa tanggung jawab. Happy watching!

by: Aditya Saputra

Minggu, 03 Februari 2013

Amour (2012)


Director: Michael Haneke
Cast: Jean-Louis Trintignant, Emmanuelle Riva, Isabelle Huppert
Rate: 4,5/5


Tidak banyak orang yang mengenal Michael Haneke. Dari ruang lingkup yang menyukai filem saja, nama Haneke mungkin masih terasa asing di telinga walaupun karya-karyanya hampir seluruhnya dicap bagus. Bahkan, lewat Funny Games yang sedikit komersilpun, Haneke cenderung masih dipandang kalah terkenal jika dibandingkan dengan Steven Spielberg, Martin Scorsese, dsb.. Haneke tidak jarang bermain dengan dunianya sendiri saat membuat sebuah filem. Keanehan dan kejanggalan yang meliputi cerita maupun adegan lantas membelah penonton menjadi dua, suka dan tidak suka. Keunikan filemnya memang dirasa kurang masuk akal dan seperti membodohi penonton. Namun, itu juga yang menjadi standar kejeniusan seorang Haneke dalam mengelabui penonton agar selalu fokus dengan clue yang menyebar di sepanjang filem. Datang lagi satu filem produksi Perancis yang pertengahan tahun kemarin sempat menghiruk-pikukan jagad perfileman dikarenakan temanya yang kata kebanyakan penonton adalah sisi lain dari seorang Haneke.

Haneke kali ini bermain di ranah drama percintaan. Bukan Haneke jika tidak beda, dan Amour mengambil sudut pandang romansa di usia lanjut. Georges dan Anne, sepasang suami istri yang memasuki masa usia 80 tahunan, memensiunkan diri dari pekerjaan mereka sebagai pengajar musik. Mempunyai anak perempuan yang juga berkecimpung di dunia musik, namun telah menjalin sebuah keluarga dan hidup memisah dengan orang tuanya. Suatu ketika, Anne menderita stroke yang lama-kelamaan membuat sebagian tubuhnya lumpuh dan meminimkan kinerja tubuhnya untuk bekerja dan otomatis membutuhkan perawatan penuh dari sang suami tercinta. Dan di sinilah, kadar cinta George dipertaruhkan. Memberikan perlindungan dan pemawasan kepada Anne, mulai dari hal kecil hingga hal besar semacam kemanjaan Anne yang cenderung seperti anak kecil. Kendati sudah dibantu oleh suster yang merawat Anne seminggu tiga kali, tetap saja pangkuan terbesar hidup Anne ada di tangan George.

Saya harus akui jika filem ini salah satu filem romantis yang pernah saya tonton sebelum akhirnya dibuat tercengang oleh ending dahsyat khas Haneke. Saya tidak akan membicarakan akhir filem ini, saya akan memuji apa yang telah Haneke perbuat hingga menghasilkan Amour yang sungguh cemerlang ini. Patut diwaspadai, Amour banyak mengandung adegan-adegan sepi dan kosong yang cenderung membuat lelah. Namun, jika sudah memasuki dialog, kesunyian tadi terbayar sudah berkat obrolan yang terlihat sangat natural dan dibumbui oleh kapabilitas akting yang juga sejajar naturalitasnya. Amour hanya bermain di sebuah apartemen kecil yang terdapat kamar tidur, dapur, kamar mandi dan ruangan lainnya. Haneke menggunakan jasa lokasi sempit ini dengan sangat efektif. Penonton seperti diajak merasakan bagaimana pedihnya sakit yang dialami Anne dan betapa beratnya beban yang harus diangkat oleh George, terlebih lagi mengingat umurnya yang juga tua dan susah berjalan.

Kepekaan Haneke tidak terbantahkan. Di filem terdahulunya saja ia bisa memaksimalkan set minim dengan penuh dialog berkualitas. Amour pun demikian. Naskah yang amat rapih ini diselaraskan oleh kemampuan akting kelas wahid oleh Trintignant dan Riva. Dua sejoli ini menunjukkan kekuatan akting di atas rata-rata. Believable. Penonton mungkin merasa jika mereka tidak sedang berakting, especially Riva yang dengan supernya merefleksikan seorang pesakitan yang harus menghabiskan waktu di atas tempat tidur. Wajar jika AMPAS akhirnya memberi penghormatan berupa nominasi Oscar. Selain itu, Haneke juga sering memasuki satu-dua adegan yang jauh dari cerita awal. Seperti pas bagian burung yang menjadi simbol terkuat filem ini. FYI saja, poster internasional Amour diambil dari salah satu adegan paling bagus dari filem ini dan mungkin saja salah satu dari sekian banyak adegan romantis, dari sudut pandang yang lebih umum.

Dengan bangga saya sematkan Amour sebagai salah satu filem terbaik yang pernah saya tonton selama ini. Pengeksekusian yang berani dan terlihat kurang ajar dan tidak wajar, membuat Amour memunyai cita rasa yang berbeda di antara filem bertemakan sejenis. Dan memang benar, saat Haneke menerima piala Golden Globe untuk filem berbahasa asing terbaik, dalam pidatonya ia sempat berujar, bagian bawah piala itu adalah dirinya, sedangkan bagian atasnya adalah untuk Trintignant dan Riva. Karena, tanpa mereka, Amour hanyalah semacam cerita klasik biasa. Emosi yang tercurah memang berkat kesuksesan mereka dalam memberikan makna yang lebih dalam kepada filem ini. Kepada makna cinta yang seharusnya tidak akan pernah mati dimakan usia. Happy watching!

by: Aditya Saputra

The Sessions (2012)


Director: Ben Lewin
Cast: John Hawkes, Helen Hunt, William H. Macy, Moon Bloodgood
Rate: 3/5


The Sessions diilhami dari kisah nyata yang telah dibukukan. Cerita ini juga pernah dibuatkan filem dokumenter yang juga menggambarkan kehidupan Mark O'Brien dalam menuntaskan niat untuk melepaskan virginitasnya. Mengidap polio sejak umur 6 tahun membuatnya hidup hanya di atas ranjang beroda dan menggunakan paru-paru besi (iron lung) sebagai alat bantu napasnya. Hasrat  janggalnya tadi rupanya bukan hanya omongan belaka. Dengan bantuan pakar terapi dan pastur yang menjadi penasehat baginya, akhirnya Mark mencoba menghubungi sex surrogate andal. Namun nyatanya, di tengah-tengah proses 'pelatihan' tersebut, hubungan kasar yang mereka jalani malah berdampak ke hal yang tidak diduga-duga. Sang sex surrogate bahkan mulai berpikir apakah benar atau salah yang dijalaninya selama ini.

Secara pribadi, filem ini sedikit membingungkan buat saya. Bagaimana tidak, saat menonton ini saya seperti disuruh menertawakan kesakitan orang lain. Walaupun The Sessions disadur dari kisah nyata, namun dengan tema yang 'nyentrik' seperti ini, membuat saya sedikit kewalahan bagaimana mengontrol reaksi. Entah harus jijik, mual, tertawa, sedih, simpati, atau bahkan ikut-ikutan sakit. Saya suka drama, tapi jika temanya terlalu menyimpang seperti ini juga bukan my cup of tea yang akan saya puja setinggi langit. Saya juga tidak bisa mengambil kesimpulan dan pesan moral yang hendak diangkat oleh Ben Lewin melalui The Sessions. Entah saya yang kurang cermat atau filem ini memang terkesan datar dan tidak mengandung visi dan misi yang kuat sebagai produk yang berkualitas.

Terutama untuk adegan ranjang yang membuat saya sedikit ngilu. Ketidak wajaran yang terpampang di layar memang sungguh mengganggu. Kendati efek samping di antara kedua pelaku berbeda-beda, namun 'kerja sama' mereka di sesi terapi ganjil ini memiliki dasar yang salah. Dan jangan pula mengharapkan sinematografi ataupun musik pembantu cerita yang seharusnya bisa menguatkan ceritanya sendiri. Dan kembali ke hukum alam, meskipun digerogoti polio Mark tetaplah lelaki normal yang haus akan cinta dan kasih sayang. Tujuannya mungkin tidak dibenarkan, tapi ambisinya bisa dimaklumi. Hanya saja, keegoisannya mengungkapkan cinta ke babysitter-nya malah berujung pahit. Di posisi inilah yang membuat saya tidak tega harus bereaksi apa dan bagaimana, ikut merasakan dukanya atau malah berbelok tidak simpati lagi akibat egosentrisnya tadi.

Jika berbicara soal akting, John Hawkes telah menunjukkan kapasitas juaranya. Keseriusannya di sini setara dengan apa yang telah dilakukan Javier Bardem di The Sea Inside dan Mathieu Almaric di The Diving Bell & the Butterfly. Sepanjang filem, Hawkes hanya bertalenta di atas tempat tidur. Hebatnya, dengan set sempit seperti itu Hawkes berhasil membawa perannya dengan optimal. Saya benar-benar salut saat ia harus berekspresi orgasme atau mencapai klimaks saat melakukan adegan seks. Perannya di sini jelas bertolak belakang dengan peran-perannya sebelumnya. Helen Hunt ternyata melakukan hal yang sama. Rupanya bakat sahihnya tidak tumpul, dan pengejewantahannya sebagai sex surrogate labil patut diberi kredit tersendiri. Sedangkan untuk William H. Macy, ya begitu saja. Ben Lewin termasuk beruntung karena memasang mereka di filem ini. The Sessions menjadi terasa beda.

Sulit untuk mengatakan bahwa The Sessions adalah filem ini. Dari uraian di atas, banyak justifikasi miring yang saya berikan ke filem ini. Tapi, dengan bantuan di departemen akting, The Sessions seperti berbicara lebih dalam. Namun, apabila berbicara masalah kesimpulan, ada baiknya para penonton sendirilah yang menarik kesimpulan apa maunya The Sessions ini. Setidaknya, The Sessions berhasil mengundang rasa iba sekaligus risih terhadap apa yang Mark lakukan. Happy watching!

by: Aditya Saputra

Sabtu, 02 Februari 2013

Beasts of the Southern Wild (2012)


Director: Benh Zietlin
Cast: Quvenzhane Wallis, Dwight Henry, Levy Easterly
Rate: 3,5/5


Setiap orang pasti tidak mau hidup di daerah kumuh, rentan terkena musibah, ataupun didera kesusahan dunia sepanjang hayatnya. Intro saya ini mungkin akan terasa membosankan, karena filem yang akan saya kupas ini memang menyinggung sebuah frame yang kasat mata oleh kita. Beasts of the Southern Wild semula memang hanya berkutat di ajang-ajang non-komersil saja. Untunglah ada PH yang melihat potensi pada filem ini sehingga disebarluaskan dan jadilah produk ini menjadi bahan sanjungan para kritikus. Beast of the Southern Wild terkesan sangat sederhana, miskin cerita, namun terkontaminasi oleh pesan hidup dan bobot akting yang bisa menyeimbangkan kekurangannya tadi. Kesulitan filem ini merangkak dalam menjaring penonton tidak diikuti dengan iklan mouth-to-mouth yang efektif. Lambat laun, filem ini akhirnya bercokol di deretan filem-filem favorit para reviewer, termasuk saya.

Seorang gadis sangat kecil hidup terlunta-lunta hanya dengan ayahnya di gubuk yang super-duper kecil dan mengenaskan. Tokoh sentral kita seperti diuji oleh Tuhan untuk mengemban beratnya nasib hanya seorang diri, dengan umur begitu dininya. Segmen ini adalah segmen terkuat di filem ini. Semangat yang mendidih di darah sang belia diperlihatkan dengan sangat menohok. Gaya nomaden yang harus digunakan keluarga kecil ini mau tak mau mengantarkan mereka keduanya untuk menyelami makna hidup yang sebenarnya. Fabel unik yang menjadi bayang-bayang sang gadis juga tak lepas memperindah cerita. Dari sanapun kita bisa tertegun penggambaran yang tak akan bisa kita prediksi sebelumnya.

Beasts of the Southern Wild bukanlah filem yang penuh dengan hiburan dan tawa riang para karakternya yang akan membawa kita melepas penat. Malah sebaliknya, depresi dan delusional adalah dampak paling nyata saat kita menyaksikan sepak terjang mereka dalam mengarungi hidup. Tinggal di lahan basah dan siap menerima bencana alam sewaktu-waktu tanpa diberi aba-aba, berpikir keras dan pintar dalam menyiasati jikalau seketika dirundung penyakit, licik dan cerdas jika memang diperlukan. Yah, momen indah saat para anak kecil ada di suatu bar benar-benar menyentuh. Sang sutradaranya, dalam hal ini, berhasil memanjakan penonton dan menggodok emosi di bagian yang pas. Bohong jika tidak terenyuh saat adegan yang saya maksud. Dan pesona tunggal dari Quvenzhane Wallis adalah mahkota filem ini. Bermain tanpa minus sedikitpun. Sayapun dibuat kagum oleh naturalitas yang ia luapkan lewat filem ini. Mungkin sama halnya saat saya dibuai oleh karismatik seorang Dakota Fanning di awal karirnya saat menjadi anak Sean Penn di I Am Sam. Wallis mungkin tidak akan menduga jika kerja kerasnya di filem ini akan dihadiahi beragam penghargaan termasuk duduk manis di deretan nominasi aktris terbaik di bursa Oscar.

Banyak yang heran filem 'biasa' ini bergaung amat keras hingga lolos di mata juri Oscar. Di luar pro dan kontra, pantas tak pantas yang disematkan kepada filem ini, mau tak mau sayapun harus jujur jika Beasts of the Southern Wild adalah salah satu karya terbaik edaran tahun 2012. Sebagai pemula pun, sang sutradaranya pantas diberikan kredit tersendiri karena telah memberikan 'panutan' kecil untuk kita agar lebih menghargai hidup. Lewat sinematografi yang sejuk di mata dan gubahan musik yang sedap di telinga, disubstitusi pula oleh bakat yang mumpuni, kekurangan-kekurangan filem ini akhirnya bisa dimanipulasi dan dieliminasi dengan baik. Silakan menyaksikan filem yang akan menampar diri kita sendiri ini. Happy watching!

by: Aditya Saputra