Selasa, 12 Maret 2013

4 Months, 3 Weeks, And 2 Days (2007)


Director: Cristian Mungiu
Cast: Anamaria Marinca, Laura Vasiliu, Vlad Ivanov, Alexandru Potocean
Rate: 4,5/5


Rata-rata, atau hampir seluruh film yang memenangkan piala di Cannes, atau setidaknya diikut-sertakan di festival itu, pasti akan mendapat sanjungan setinggi langit dari siapa saja. Sudah banyak bukti filem jebolan Cannes lambat laun akan mampir juga di Oscar, atau minimal Golden Globe sebagai saur sepuh kejuaran para sineas dalam menonjolkan karya mereka. Hebatnya Cannes adalah komunitas tersebut  berisikan film-film yang sangat jarang atau malah sangat terasa sekali independenitasnya. Niscaya, jika film mereka sukses mendapat perhatian juri dan publik, bukan tidak mungkin para distributor raksasa akan dengan senang hati mengiklankan film mereka dan akhirnya mampu bertengger di deretan box office. Sejauh ini, film "terbitan" Cannes bukan film sembarangan. Kali ini saya akan mengupas sedikit film edaran 2007 yang memiliki kualitas jauh dari kesan karbitan. Berjudul provokatif, dan sangat mudah sekali dibaca, namun isinya bukan kelas sembarangan.

Dua wanita yang tinggal di salah satu apartemen kecil sedang berencana melakukan praktek ilegal untuk mengaborsi kandungan salah satu dari mereka. Berbekal uang yang sedikit dan keberanian dalam menggugurkan janin tak bersalah, mereka akhirnya dipertemukan dengan the expert yang ternyata memiliki kebijakan-kebijakan khusus dalam menjalankan misi berbahaya ini. Dengan segala tindak-tanduk yang mungkin akan membahayakan banyak pihat, keterlibatan the expert malah memperkeruh keadaan. Di lain pihak, sang tokoh utama kita dihadapkan dengan kebelengguan yang tidak kalah menyita perhatian. Hubungan dengan sang pacar yang semula tidak berkonflik perlahan muncul dengan sendirinya dampak dari perbuatan asusila tersebut. Si wanita mulai mempertanyakan rasa tanggung jawab sang pacar.

Apa yang menjadi daya tarik film ini di luar ceritanya yang sangat brilian dan menggugah? Dialog-dialog yang dibangun sepanjang film salah satu penyebab mengapa film ini sangat nikmat untuk diikuti. Pada satu set, hanya diambil satu take dan para tokoh seperti diarahkan tanpa naskah dan mereka bebas untuk bercakap apa saja asal masih dalam ruang lingkup cerita yang dibangun. Emosi yang dipupuk lewat serentetan dialog tak berpola itulah, penonton diajak untuk duduk diam dan merasakan apa yang mereka lakukan. Kejeniusan teknik ini menimbulkan kesan yang luar biasa. Saya sendiri seperti ada di lokasi dan memperhatikan debat kusir mereka yang seperti tidak menemukan celahnya. Ending yang dibuat segamblang mungkin akan menjadi sisi yang menjengkelkan, namun dengan ini kita tidak akan menghakimi mereka satu persatu. Keberhasilan mengosongkan maksud dari filmnya sendiri meninggalkan tanda tanya besar. Terlebih untuk status hubungan sang tokoh utama dengan si pacar yang tidak dijelaskan konklusinya.

Tak dipungkiri, film ini termasuk berani dalam mengambil resiko yang melibatkan janin dalam menyempurnakan filmnya. Saya sendiri sampai kaget dan tidak berani melihat layar, dan itu ditunjukkan hingga beberapa detik. Penyampaian sang sutradara yang juga bertindak sebagai scriptwriter-nya memang tepat sasaran. Penggambaran situasi yang sangat riskan juga ditunjukkan dengan sangat sempurna. Traumatik serta paranoid yang menimpat tokoh-tokohnya pun masuk di akal. Dan, yang terpenting, film ini sangat minim adegan aksi sert efek-efek main berlandaskan komputer. Senjata utama 4 Months, 3 Weeks, And 2 Days adalah bagaimana mereka menempartkan adegan penuh derita menjadi pembelajaran yang sangat menohok. Yang hebatnya lagi adalah para aktornya yang bermain sangat santai namun believable. Kekikukan yang mereka perlihatkan memunyai banyak arti dan bersepakat dengan ceritanya sendiri.

Saya sangat merekomendasikan film ini. Kita seperti diajarkan untuk mengeksekusi kesalahan yang kita perbuat sendiri. Bagaimana kelugasan kita dipertanggungjawabkan dan menusuk kita untuk mengerti apa itu hidup. Tokoh sentral kita adalah cerminan nyata anak muda yang melakukan blooper dalam hidupnya dan menyelesaikannya dengan berjuta kesalahan jalan keluar. Mereka boleh saja berhasil melakukan tindakan kriminal ini, tapi mereka tidak akan pernah bisa kabur dari rasa penyesalan dan pertanyaan tak terjawab yang menimbulkan kesan dramatis dalam hidup mereka. Kitapun, khususnya para wanita, diberikan gambaran dan contoh akan sekelumit tipisnya moral dalam menjalani hidup. Saya tidak sedang menggurui atau apapun. Happy watching!

by: Aditya Saputra

Oz the Great and Powerful (2013)


Director: Sam Raimi
Cast: James Franco, Mila Kunis, Michelle Williams, Rachel Weisz, Zach Braff
Rate: 2,5/5


Tampaknya, selepas dari meraksasakan tokoh komik Spider-Man, Sam Raimi mencoba kembali bekerja keras menelurkan proyek-proyek yang dapat diterima fans maupun penonton awam. Bermula dari menaikkan lagi pamor horor lewat Drag Me To Hell yang menjembatani antara fans dan hater, Raimi mencoba kembali membuka lahan baru yang diharapkan bisa memenuhi kepuasan banyak pihak. Sebelum kita disuguhi Evil Dead yang rencananya akan dibuka layar pada bulan Mei mendatang, Raimi di bawah dukungan Walt Disney, berdongeng bebas dengan efek komputer yang gemuk namun miskin di segi cerita. Mengangkat dunia Oz yang sempat terkenal di eranya, Raimi dengan sentuhan midasnya merakit kembali apa yang pernah ada dengan ramuan-ramuan modern.

Sebagai sebuah filem yang diperuntukkan kepada anak-anak dan keluarga, filem ini bisa dikatakan berhasil memanjakan mereka yang memang mengharapkan paket hiburan di bioskop tanpa memerhatikan keluwesan bercerita. Tentu saja, dengan iming-iming 3D yang benar-benar menyulap layar dengan sangat memesona, Oz the Great and Powerful jelas sangat powerful dalam menciptakan visual dan panorama dunia Oz dan lainnya. Raimi dan seluruh pekerja di sektor ini sudah berhasil memenuhi janji mereka. Berkat bantuan Danny Elfman pun, Oz tampak lebih membahana. Sepanjang filem, music score yang menggema memang sudah pas dalam menyesuaikan berbagai adegan dalam berbagai emosi. Negeri Oz yang sangat berwarna, makhluk-makhluk imajinasi yang tidak akan mungkin kita jumpai di alam nyata, serta tampilan busana-busana mereka yang menyerupai asli, adalah jualan utama filem ini. Meski dari itu, Raimi akhirnya dengan rela menyingkirkan kualitas cerita.

Secara pribadi, filem ini tidak ada kejelasan dalam memberikan alur. Cerita yang mudah ditebak, penokohan yang tidak kuat, dan banyakan lelucon yang gagal yang menyebabkan mengapa saya memberika nilai buruk untuk filem ini. Belum termasuk dengan penampilan aktor-aktor utama yang tidak menaikkan nilai kualitas filem Oz nya sendiri. James Franco seperti yang kehilangan arah mau seperti apa karakternya. Atau bahkan mungkin Raimi sendiri yang kebingungan dalam mengarahkan para aktor mahal ini. Sebagai juru kunci, James Franco tidak memberikan andil yang cukup mapan dalam memerangi apa yang menjadi topik utama di filemnya. Kehadiran Mila Kunis dan Rachel Weisz dalam mengantagoniskan karakter jahatpun tidak mencerminkan apa yang saya harapkan. Beda seperti Charlize Theron yang bisa membuat penonton percaya jika ia adalah evil queen yang tega membunuh orang baik. Apalagi Michelle Williams yang masih ingin terlihat cantik. Oke, perannya di sini memang sebagai puteri jelita, hanya saja niat cantiknya itu malah menutupi perannya di sini sebagai pendamping Oz.

Sekali lagi, Oz adalah produk yang ditujukan langsung untuk konsumen anak-anak ataupun orang dewasa yang menemani anak-anak mereka dalam meramaikan studio bioskop. Dan jelas, anak-anak akan suka dengan wahana yang sedap di mata yang terpampang jelas di filem ini. Hanya saja, Raimi tidak berani melakukan apa yang telah Tim Burton perbuat di Alice in Wonderland yang sukses memarodikan beberapa karakter lucu menjadi sangat menyeramkan. Raimi tidak mengindahkan kesempatan itu dan beliau memilih untuk tetap membuat Oz di garis amannya. Happy watching!

by: Aditya Saputra

Sabtu, 02 Maret 2013

Hasduk Berpola: Ketika Pramuka Hanya Tinggal Kenangan Manis

Masa itu sudah menjadi lembaran kusut yang jika dibuka kembali akan menjadi potongan-potongan cerita membahagiakan selama saya mengikuti kegiatan pramuka. Dahulu, mulai dari kelas 4 hingga kelas 6 SD, saya yang termasuk aktif dalam ekstrakurikuler ini. Tidak ada yang spesial sebelumnya, karena saya bukan yang termasuk gemar beraktivasi dalam organisasi apapun. Tapi, berhubung saya dipilih langsung oleh sang guru pembimbing pada waktu itu, secara mengejutkan saya perlahan menggemari jadwal sampingan saya itu. Dengan satu hal yang harus digaris bawahi, pramuka tidak boleh mengambil jatah belajar utama saya di sekolah.

Kelas 4 mungkin saya tidak begitu menonjol, karena bisa dikatakan hanya dijadikan 'peran pembantu' untuk mengisi slot kosong di barisan. Kebetulan postur tubuh saya kala itu yang masih sangat pendek, jadi selalu berada di barisan kiri belakang. By the way, dalam LTBB di pramuka barisan harus disesuaikan dari yang paling tinggi ke yang paling pendek. Dan mungkin juga saat itu sang guru pembimbing belum melihat sisi lain dari saya yang begitu menakjubkan *ahem*. Kelas 5 awal, potensi lain saya akhirnya timbul bersama desiran angin alam yang tidak terkendali saat itu. Saya pun mahir dalam ber-semaphore. Sepasang bendera 2 warna dengan tongkat kecil menjadi teman baru bagi saya dan beberapa teman yang lain. Lupakan soal pelajaran tali-menali dan memasang tenda serta kiat khusus dalam memberikan P3K. Semaphore bagi saya jauh lebih menyenangkan dari itu semua. Meragakan huruf A - Z dengan bermacam bentuk yang berbeda, seperti belajar mengeja dengan menggunakan bahasa Inggris. Mudah, tapi jika salah pronouncation-nya akan sulit dimengerti.

Begitupun dengan teknik semaphore. Ada beberapa bentuk huruf yang sama dengan yang lainnya. Dan itu juga bukan kendala berarti bagi saya. Lambat laun, dengan semakin lincahnya saya berkomunikasi lewat bendera kepramukaan itu, saya dan 2 teman lainnya dipilih untuk mengikuti lomba semaphore tingkat provinsi pada waktu itu. Jujur, itu pengalaman yang paling mendebarkan bagi saya. Saya yang awalnya anti sosial dan jarang menjadi perhatian publik sekolah ternyata langsung melejit berkat keterlibatan di lomba tersebut. Lomba semaphore pada waktu itu bersistem 3 orang dalam 1 grup. Jadi ada 1 orang yang akan memeragakan satu baris kalimat dengan menggunakan semaphore dan 2 orang lainnya yang berada cukup jauh dari pegara tadi harus mengartikan apa yang ia peragakan. Dan saya kebagian peran sebagai pembaca kalimat aba-aba itu. Setelah saya paham, baru saya akan sampaikan kepada teman satunya lagi yang akan ditransfer dalam bentuk tulisan.

Luar biasa, dengan waktu dan ketepatan menjawab, akhirnya sekolah kami memenangkan turnamen tersebut. Sulit diungkapkan dengan kata-kata. Piala bergilir dari Bapak Pramuka setempat akhirnya bertengger di sekolah kami untuk pertama kalinya. Dan untung saja, nilai akademik saya tidak terecoki hingga masih bisa bercokol di jajaran juara kelas. Kelas 6 kami diberhentikan untuk sementara waktu dikarenakan harus fokus ke ujian nasional (waktu itu masih EBTANAS). Namun uniknya, ketika kami sudah pindah sekolah which is berganti seragam menjadi putih-biru, tiba-tiba guru pembimbing pramuka mengajak kami kembali untuk terus melanjuti klasemen sempahore yang diadakan di tahun bersangkutan. Sayang, dengan status kami yang sudah memang titel anak SMP, terpaksa niat tersebut harus tertimbun untuk selamanya.

Dari pramuka, saya mengenal banyak hal. Mulai dari kedisplinan, kekeluargaan, kerja sama, dan hidup bersosialisasi saya pelajari dari lingkungan tersebut. Belajar memakai hasduk (dasi pramuka-red), latihan baris-berbaris, hingga memraktekkan palang merah remaja juga menjadi bab-bab penting dalam hidup saya.

Tahun 2013, Maret ini tepatnya, akan hadir filem lokal yang juga mengedepankan tema persahabatan dan perjuangan anak bangsa dalam berpramuka. Semoga filem ini bisa mengisi dan melengkapi nuansa perfileman Indonesia. Menjadi oase untuk filem anak-anak yang masih setengah-setengah dalam penggarapannya. Tidak muluk-muluk mengharapkan akan menjadi superior di kelasnya, semoga Hasduk Berpola bisa memberikan contoh positif kepada penonton tanpa meninggakan kesan menggurui. Itu saja.

Trailer Hasduk Berpola:




by: Aditya Saputra