Senin, 29 April 2013

Iron Man 3 (2013)



Director: Shane Black
Cast: Robert Downey, Jr., Gwyneth Paltrow, Guy Pearce, Don, Cheadle, Ben Kingsley, Jon Favreu, Rebecca Hall, William Shadler
Rate: 3,5/5


Masih mengharapkan popcorn movie sekelas The Dark Knight dan Inception? Atau bahkan malah masih bersikeras jika film tentang superhero harus seintim dan sedramatis The Dark Knight? The Dark Knight boleh saja menjadi salah satu superhero movie terbaik yang pernah ada berkat tampilannya yang sungguh kokoh dan senyata mungkin. Tidak menitikberatkan CGI dan efek komputer lainnya, The Dark Knight justru hadir dengan kedigdayaan cerita, twist berlapis, hingga karakterisasi yang sama kuatnya. Paska film besutan Christopher Nolan tersebut, film tentang pahlawan super seakan memiliki anekdot dan memiliki pandangan lain. Marvel bahkan ketar-ketir menghadapi theme ini, namun nyatanya kekuatan Marvel dalam memberikan kepuasan tidak akan pudar selagi sisi komersil masih bermain dengan sangat jelas. Marvel tidak akan segelap DC dalam memindahkan cerita komik mereka ke dunia film, namun juga tidak akan meninggalkan kesan istimewa yang akan tetap melekat di hati fans dan penonton.

Iron Man salah satu produk Marvel yang ketika dilempar di industri perfilman menjadi produk yang kuat dari berbagai sisi. Sosok Tony Stark yang slengean serta flamboyan dalam satu gerak, memiliki ruang lingkup yang besar dan beralasan untuk menjadi seorang superhero. Tidak akan sekonyol manusia yang digigit laba-laba atau pemimpin sakti yang reinkarnasi dan bahkan Tony Stark bukanlah anak dewa. Stark jelas-jelas bilyuner pintar yang nyaris memiliki apa yang seharusnya pahlawan punya. Di seri ketiga ini, kilas flashback di awal film yang menceritakan Tony bertemu dengan orang yang akan menjadi musuh utamanya. Seperti yang Tony bilang lewat narasinya, "we create our own devil", begitulah kira-kira. Kenyataan yang ada memang terasa memberatkan Tony sebagai manusia yang memiliki kehidupan nyata dan juga sebagai Iron Man yang memiliki tanggung jawab dalam memberantas kejahatan.

Singkirkan dulu Iron Man 2 yang serba tanggung itu, tapi jadikan Iron Man sebagai patokan sukses untuk Iron Man 3. Yap, bagi saya, apa yang sudah dikemas oleh Iron Man sebagai film bagus tidak bisa diimbangi oleh Iron Man 3. Jangan salah, saya suka apa yang tersaji di seri terakhir ini, namun masalahnya Iron Man 3 tidak memiliki unsur spesial yang bisa disamaratakan dengan superioritas film pertamanya. Iron Man 3 berhasil sebagai film yang menghibur karena sang sutradara mampu membagi porsi yang beimbang untuk cerita, adegan aksi, efek CGI, hingga lelucon janggal yang lucunya sangat mengena ke penonton. Yang tidak bisa disangkal adalah kolaborasi menyenangkan di departemen aktingnya. Dan seperti yang kita tau, Robert Downey, Jr. seakan terlahir untuk memerankan tokoh Tony Stark. Membahas jeniusnya dia dalam menafsirkan tokohnya mungkin akan membuang-buang waktu. Begitupun dengan Gwyneth Paltrow yang sukses menjadi pendamping setia Tony Stark. Sedikit bocoran, ada sesuatu yang spesial dari Pepper Potts.

Don Cheadle, Guy Pearce, Ty Simpkins, serta Rebecca Hall tidak memiliki kendala yang berarti di film ini, semuanya bermain pas dengan porsinya masing-masing. Yang perlu dikasih sanjungan adalah betapa hebatnya Ben Kingsley dalam mengubah dirinya menjadi sosok The Mandarin yang miliki double side sekaligus. Bahkan saya berani bilang ini salah satu akting terbaik yang pernah ia berikan di sebuah film. Kesintingannya hampir sama saat ia menjadi ketua mafia bengis di Sexy Beast. Selain itu, Iron Man 3 memiliki alur terkontrol yang tidak asal dalam memberikan ledakan-ledakan semata yang bisa menjadi bumerang bagi filmnya sendiri. Shane Black yang belum mapan dalam memoles film berkomputersisasi tinggi, dalam hal ini berhasil memberi pondasi yang kuat ke Iron Man 3 dan tinggal menyusun beberapa fitur untuk saling melengkapi. Duetnya terdahulu bersama RDJ di Kiss Kiss Bang Bang memiliki dampak positif dalam memberikan kerja sama yang baik.

Stop berkekspektasi berlebihan terhadap popcorn movie, summer movie, superhero movie, you name it. Dugaan kita yang berlebihan terhadap sebuah film yang awalnya untuk menjadi film hiburan, bisa jadi akan menjadi dinding besar untuk kita sendiri dalam menilai filmnya secara kesuluruhan, bahkan yang ada kita akan mencari kesalahan-kesalahan yang tersebar di film tersebut. Iron Man 3 adalah contoh paket lengkap yang menjual cerita permen dan warna-warni yang menghibur segala pihak. Dan kita, sebagai penonton, tidak bisa mengelabuhi pasar internasional yang memang mengharapkan tontonan yang semenarik ini. Happy watching!

by: Aditya Saputra

Senin, 01 April 2013

The Croods (2013)


Director: Kirk De Micco, Chris Sanders
Voice-over: Nicolas Cage, Emma Stone, Ryan Reynolds, Chaterine Keener, Cloris Lechman, Clark Duke
Rate: 4/5


Jauh sebelum ini, film animasi yang mengutamakan wanita sebagai bintang utamanya hanya dirajai film-film Disney yang bernuansakan percintaan. Princess di film-film semacam Beauty and the Beast, Cinderella, The Snow White, dll. hanya menceritakan keluh kesah mereka dalam mendapatkan cinta sejati. Spirited Away pun pernah memakai peran wanita "perkasa". Dan baru-baru ini Pixar sepertinya tidak enggan dalam mengedepankan wanita dalam film mereka. Brave seperti penyegaran di dunia animasi yang mana selama ini pasti diperan utamai oleh laki-laki. Dengan perolehan Oscar, Brave memang kuat hampir di segala sisi. Kali ini, Dreaworks Animation seakan latah dan mengikuti jejak pesaing utamanya, dan hadirlah The Croods yang juga memfokuskan tokoh wanita. Dan seperti yang kita tau, Dreamworks seperti telah belajar banyak bagaimana membuat film kartun yang mendidik namun juga tidak lepas dari teknik hiburannya. Franchise Shrek dan Madagascar yang makin menggelembungkan saldo dolar mereka dan yang sebentar lagi How To Train Your Dragon juga semakin meraksasa, tak salah Pixar harus tetap waspada kepada mereka.

Senang rasanya menonton animasi yang "tidak aneh", maksudnya karakternya tidak hanya hewan yang bisa berbicara, tapi benar-benar menggunakan figur manusia. Biasanya animasi tidak menitik beratkan pada cerita karena akan berpengaruh banyak pada kuantitas penonton yang dihuni oleh anak-anak dan berlanjut pada perolehan laba. Oleh sebab itu, The Croods pun tidak repot-repot memakai plot yang runyam, yang mereka perlukan hanyalah mempercantik diri secara visual dan lelucon. Cerita hanya seputar pencarian dunia baru yang dijelajahi oleh keluarga Croods yang selama ini hanya tinggal di goa pada malam hari. Bagi mereka, kegelapan adalah malapetaka dan hal-hal baru adalah bencana. Eep, anak tertua keluarga ini merasa tidak betah dan berani untuk keluar dari zona aman. Suatu hari, bertemu dengan pria bernama Guy yang mengajarkan dirinya banyak penemuan baru. Guy pun berupaya untuk mencari jalan keluar agak tidak terperangkap pada tanah yang diinjaknya sekarang. Apalagi disinyalir akan menjadi akhir dunia. Dimulailah perjalanan panjang mereka menyongsong alam yang pada kenyataannya susah untuk ditaklukkan.

Seperti yang diduga sebelumnya, The Croods banyak memiliki modal dalam menjadi animasi sukses. Mulai dari para tokoh yang menggemaskan dan membuat tawa, pesan moral yang dimilikinya juga mudah dicerna anak-anak. Dan lucunya lagi, The Croods mengambil pola road movie yang jarang dipakai oleh animasi-animasi pada umumnya. Sehingga setiap pemberhentian yang mereka lakukan, pasti akan kita temukan petikan-petikan moral yang baru. Yang paling ketara adalah bagaimana membangun sebuah keluarga yang harmonis dan saling menghormati. Dari sang ayah yang ingin menjaga keluarganya dari dunia luar, hingga Sandy yang bisa menghargai teman barunya. Walaupun banyak adegan kurang ajar, dan itu bisa dimaklumi karena film ini juga mengambil seting masa lampau di mana attitude dan kenyataan kadang tidak sinkron sama sekali. Penempatan karakter Guy di tengah-tengah ancaman bagi keluarga ini juga tepat.

Anda pasti tau Ice Age, film yang juga dilatar belakangi dengan masa pra sejarah. Film itu termasuk rusak jika saja tidak ada Scrat di dalamnya. The Croods dengan bebas dan bias bermain di dunia antah-berantah karena sekalipun tidak disebutkan jika mereka ada di bumi. Sehingga yang tampak di layar bisa dibuat sesuka hati para kreator. Dan secara komersialitas, visualisasi film ini sangat bersih dan menarik. Seperti misal penemuan sepatu hingga popcorn dan kembang api yang termasuk jenaka pada levelnya. Itulah mengapa saya katakan film ini akan sangat digemari oleh anak-anak. Dengan berhamburannya sisi positif dari film ini, siapa yang mengisi suara siapa menjadi tidak begitu penting. Aktor-aktor mahal semisal Nicolas Cage, Ryan Reynolds, Catherine Keener, dan Emma Stone untungnya pas dan tidak merusak The Croods yang kepalang bagus ini.

Belum apa-apa, The Croods sudah bisa memecah keheningan bioskop yang akhir-akhir ini tandus karena diisi oleh film-film semenjana semua. Semoga keberuntungan The Croods berlanjut pada dipilihnya sebagai nominator Oscar. Happy watching!

by: Aditya Saputra

The Host (2013)


Director: Andrew Niccol
Cast: Saoirse Ronan, Max Irons, Diane Kruger, Chandler Canterbury
Rate: 1/5


Bagaimana bisa, otak cerdas di balik luar biasanya The Truman Show, dan memberikan arti lain dari waktu kehidupan di In Time dan membuat Nicolas Cage dipuji di Lord of War, membuat film yang sangat lempem di segala sisi. Apa yang ada di benaknya saat terperosok dalam menggarap film yang diangkat dari novel karangan Stephanie Meyer ini. Sulit disangkal, Andrew Niccol menjadi salah satu alasan mengapa saya begitu antusias dengan The Host selain karena adanya Saoirse Ronan yang bermain di dalamnya. Ya, saya memang penggemar Ronan sejak ia menunjukkan akting luar biasa culasnya di Atonement dulu yang menghadiahinya sebuah nominasi Oscar dan belasan piala dari festival lainnya. Melanjutkan sisi melankolisnya di The Lovely Bones dan Death Defying Acts serta meneruskan sisi heroik dari film Hanna dan City of Ember, Ronan kembali menunjukkan sisi humanisnya lewat The Host. Berbeda dengan The Way Back yang mengharuskannya terlunta-lunta, di sini Ronan semakin memperlihatkan paras ayunya yang semakin mekar selama bertambahnya usia.

Di lain sisi, bakat mengagumkan yang Ronan punya selama ini dan terpendam begitu saja, malah menjadi suatu yang fatal tatkala ia menjadi 2 jiwa yang berlainan melalui film The Host ini. Boro-boro menampilkan performa brilian seorang buronan, sedikitpun Ronan menjadi lepas kendali. Lemahnya skrip The Host memang menjadi bukti kuat betapa buruknya film ini jadinya. Talenta yang Ronan miliki seakan sirna begitu saja. Niccol mungkin telah berupaya semaksimal mungkin membuat The Host layaknya Twilight yang chessy namun bisa memancing banyak penggemar. Tapi perlu diingat, Ronan bukanlah Stewart dan Irons bukanlah Pattinson. Sejauh mata memandang, kecemerlangan seorang bintang harus diimbangi sebesar apa nama mereka di mata penggemar. Tak hanya Ronan yang bermain biasa saja, hampir keseluruhan aktor berakting dengan amat buruk, terutama Diane Kruger. Perubahan karakter yang dijalaninya sangat annoying, dan peran antagonisnya tidak berhasil diimplementasikan dengan baik.

Seharusnya, film ini bisa dibuat lebih baik lagi. Dengan mengedepankan sisi sci-fi yang memang menjadi fokus utama dengan menyisipi romansa klasik di dalamnya. Selain sinematografinya yang terbilang indah, sektor lain semisal seting masa depan yang unbelievable, klimaks yang kurang matang, dan minimnya adegan aksi sangat mudah untuk dikritisi. Tidak ada yang salah dengan novelnya, yang salah jelas-jelas Niccol yang tidak berani bermain lebih liar lagi. Bahkan di sini, darah seakan haram untuk diekspos. Latar belakang tokoh utama kita juga tidak diceritakan secara lugas, dan dari mana sang musuh memiliki tujuan itu juga kurang dibeberkan sehingga penonton kebanyakan bertanya-tanya dan tidak akan mendapatkan jawabannya di akhir cerita.

Jujur, moral lesson The Host cukup padat. Kemanusiaan dan keadilan yang ditujukan langsung memang memberikan cermin singkat tentang kehidupan sosial di masa sekarang. Meyer yang ahli dalam memajemukkan kekuatan cinta di tengah-tengah ketidak-masuk-akalan cerita semestinya bisa membantu Niccol dalam menindak lanjuti The Host menjadi lebih dinamis dan cathcy. Saya, yang begitu bersorak-sorak saat filmnya rilis sehari sebelum waktunya, hanya bisa terkecoh dan mengakhirinya dengan tidur di dalam studio. Jika diliahat filmografi Ronan yang masih full-schedule hingga tahun depan, semoga The Host tidak menjadi momok baginya dan bisa belajar dari pengalaman untuk lebih bisa menyeleksi peran apa yang seharusnya ia mainkan. Dengan begitu, semoga ia bisa kembali terseret ke deretan nominasi-nominasi akting.

Sepanjang tahun 2013 yang baru memasuki bulan keempat ini, mungkin The Host bisa saya masukkan ke daftar worst movie ever. Secara subjektif, Ronan bisa saja menjadi penghasut bagi saya untuk tidak terlalu kasar untuk film ini. Nyatanya, penilaian tetaplah penilaian dan Ronan tetap menjadi idola saya. The Host seperti penghinaan bagi drama percintaan dan juga perusakan otak untuk mengharapkan sci-fi yang berlimpahkan knowledge bermutu sepanjang film. Meratapi The Host yang kecium bau sampahnya, mungkin film ini salah satu film terburuk yang pernah dibuat. Tapi jangan salah, di luar sana masih ada segelintir manusia yang masih menyukai The Host berkat sisi humanitas yang diangkatnya. Tidak masalah, setiap kepala memiliki persepsi masing-masing, dan 5 paragraf ini adalah persepsi saya. Happy watching!

by: Aditya Saputra

G.I. Joe: Retaliation (2013)


Director: Jon M. Chu
Cast: Dwayne Johnson, Jonathan Pryce, Byung-hun Lee, Elodie Yung, Ray Park, Ray Stevenson, D.J Cotrona, Adrianne Palicki, Channing Tatum
Rate: 2,5/5


Membuat film sekuel bisa dikatakan gampang-gampang susah. Hanya mencomot ide dan memanjangkan cerita dari film pertama hingga menambahkan beberapa karakter tamu yang siap dijadikan bintang utama kelak jika filmnya berlanjut ke instalmen berikutnya. Namun, ada banyak kasus film sekuel akhirnya terjerembab ke arah yang negatif berkat keegoisan sang produser yang hanya memiliki visi untuk mengeruk laba semata. The Hangover adalah contoh yang kasat mata bagaimana sekuel hanya diperuntukkan untuk berdagang sehingga image yang muncul di film pertamanya luluh lantak akibat buruknya film lanjutannya. G.I. Joe: Rise of the Cobra, yang sudah jelek dan bahkan masuk di Razzie tetap digemari para fans dan penggalang dana untuk -membuat satu film lagi yang kali ini dengan embel-embel Retaliation. Film pertamanya yang sudah nyata jeleknya sekalipun diisi dengan banyaknya aksi dan efek CGI namun tetap menjadi sasaran empuk kara kritikus. Kali ini, dengan janji Retaliation akan jauh lebih berbobot, hasilnya malah tidak lebih baik dari pemulanya.

Motif cerita Retailiation malah tidak jauh-jauh dari misi memberhentikan niat jahat musuh yang ingin menguasai dunia. Bedanya, kali ini sekutu G.I. Joe mendapat perhatian penuh dari pemimpin negara dan memiliki ajudan baru. Perubahan watak dari Storm Shadow juga diramu dengan maksud film ini jauh lebih berisi dan memiliki alur yang masuk di akal. Oke, untuk cerita yang seringan ini, visi sutradara dalam membaguskan film ini dan menyelamatkan kritik negatif hancurlah sudah. Dengan plot yang sesederhana ini, apa yang ingin disampaikan sutradara jelas berlawanan arah. Dan entah kenapa pihak produser memilih sutradara yang belum mahir di bidangnya untuk membidani film yang diharapkan mampu menjadi penyegar di bioskop. Rusaknya lagi, banyak dialog-dialog kacau yang entah kenapa saya tangkap malah menjadi sok bijaksana dan patriotik.

Masih ingat adegan Menara Eiffel yang dibumi hanguskan oleh virus hijau mematikan itu? Ya, itu menjadi satu-satunya adegan paling seru di Rise of the Cobra. Lantas, bagaimana di Retaliation? Untungnya ada satu adegan juga yang bisa menjadi nilai lebih. Silat para "pahlawan" dengan musuh di tebing dengan hanya menggunakan sling demi saling merebutkan Storm Shadow cukup membangun emosi. Walaupun sebelum dan sesudah adegan tersebut, lemahnya plot kembali terjadi. Setidaknya, latar belakang antara Snake Eyes dan Storm Shadow terkuak cukup lengkap sehingga bisa membuat penonton membuka mata bagaimana dampak bagi keduanya.

Layaknya film yang juga memeragakan mata-mata kelas kakap, di Retaliation menjadi serba tanggung. Rencana apik yang mereka lakukan di sini tidak menimbulkan kesan menghentak, bahkan terkesan membodohi. Dan yang paling memprihatinkan adalah bagaimana seluruh aktor di film ini bermain dengan sangat buruk. Lupakan Tatum yang in frame di awal-awal, keterlibatan Dwayne Johnson tak lebih hanya sebagai penarik minat penonton yang keburu mengidolai beliau. Sisanya, aktor-aktor yang saya kurang kenal namanya itu, juga menjadi momok yang membuat saya kurang nyaman selama berada di studio. Walaupun begitu, film ini setidaknya dibantu oleh musik pengiring yang -akhirnya- bisa menggenjot adrenalin. Kendati demikian, buruknya film secara keseluruhan akhirnya tidak bisa ditolerir oleh hanya sebuah musik.

Sebagai film yang direncanakan sebagai objek untuk memperbaiki seri sebelumnya, Retaliation dianggap gagal dalam mencapai tujuan itu. Penambahan beberapa karakter juga tidak terlalu berpengaruh, dan meminimkan efek spesial demi memberatkan di cerita (yang juga lempeng-lempeng saja) juga jauh dari kata bagus. Bagi Anda yang menyukai produk Hasbro dan cinta mati dengan film pertamanya, Retaliation jelas tidak boleh Anda lupakan begitu saja. Namun, bagi kalian yang ingin mencari film hiburan lengkap dengan cerita dan sisi-sisi lain yang maksimal, silakan judul ini dicoret dari list menonton Anda. Tanpa menimbulkan kesan menjelek-jelekkan serta menghasut pembaca, bagi saya sendiri, film ini jelas tidak direkomendasikan. Happy watching!

by: Aditya Saputra