Sabtu, 29 Juni 2013

World War Z (2013)


Director: Marc Foster
Cast: Brad Pitt, Mireille Enos, Daniella Kertesz, David Morse
Rate: 3/5


Zombie tidak akan pernah punah. Bagaimana mau punah jika cerita kehidupan mereka selalu diumbar-umbar dengan menambahkan efek yang lebih mencekam dan dramatis. Baru kelar sebuah serial ternama yang juga mengedepankan zombie, The Walking Dead. Serial itu populer dan disukai karena jalan ceritanya yang menarik dan tampilan zombie-nya juga yang masuk akal. Jauh sebelum ini, era Resident Evil masih di jalan yang benar juga menumbuhkan rasa baru di kalangan perzombian. Muncul lagi 28 Days Later yang disusul sekuelnya, Dawn of the Dead dari tangan midas Zack Snyder, Shaun of the Dead yang brilian itu, hingga zombi kekanak-kanakan lewat Warm Bodies. Semuanya mencerminkan zombi dengan tipe dan keunikan masing-masing. Tak tinggal diam, di bawah naungan Plan B kepunyaan Brad Pitt, Marc Foster ikutan latah dan mengangkat novel karangan Max Brooks yang bernafaskan zombi juga. Kita tidak akan menemukan unsur komedi seperti di Zombieland, bahkan sebaliknya. Usungan tema basi ini dibuat seekstrim mungkin. Dan seperti ingin menekan budget, Brad Pitt pun diajak untuk menjadi pemeran utama.

Jika Anda sudah menonton Contagion, mungkin jika menonton permulaan World War Z akan langsung teringat dengan film tersebut. Dari awal, tanpa disuruh pemanasan, kita sudah ditempatkan di kursi dengan mata fokus ke layar. Pensiunan anggota PBB yang dipaksa untuk menemukan jalan keluar atas virus mematikan yang belum diketahui penyebabnya. Sebagai imbalan, istri dan anaknya boleh ditempatkan sementara di kapal raksasa yang menampung sebagai kecil masyarakat yang masih selamat. Perjalanan panjang dari negara satu ke negara lainnya membuahkan hasil yang positif walaupun sepanjang perjalanan tadi harus diisi dengan momen-momen yang tidak akan pernah ia bayangkan sebelumnya.

Untuk film yang mengatas-namakan zombi, World War Z telah memberikan apa yang kita harapkan. Adrenalin yang dipompa mati-matian memang sejajar dengan banyaknya adegan mematikan di sepanjang film. Belum lagi sosok zombinya sendiri yang jauh lebih sangar dari yang dimiliki I Am Legend. Dengan kecepatan berlari di atas rata-rata, memang sungguh mustahil jika kita ingin lolos dari kejaran mereka. Lebih parahnya lagi, infeksi yang terjangkit juga menular dengan amat cepat. Kontaminasi yang terjadi tak lebih dari 30 detik. Sejauh ini, Marc Foster sukses membangun tempo dan memainkan emosi penonton. Dan penulisan naskah yang disadur dari novelnya pun saya nilai pas dan tidak berlebihan. Ditambah dengan dukungan musik yang membahana sepanjang film serta sosok Brad Pitt yang menjadi satu-satunya tunggangan Foster dari departemen aktingnya.

Hanya saja, ya hanya saja drama yang menyelimuti World War Z semacam digampangkan begitu saja. Apalagi mengingat ending dan penyelesaian masalahnya terlalu mudah jika tidak mau dibilang membodohi. Klimaks yang dilempar setinggi mungkin tadi tiba-tiba dihempas begitu saja. Belum cukup juga, dan masih di ranah dramanya, ada banyak kejanggalan yang saya rasa dari film ini. Baik seputar kematian maupun teknis yang berhubungan dengan pesawat terbang. Jika saja film ini tidak berusaha menjadi film porak-poranda yang cerdas, hal-hal kecil akan luput dari perhatian. Sayangnya, Foster yang kita kenal cekatan dalam memberikan drama, di sini malah seperti kehilangan kendali akibat terlalu fokusnya untuk memerangkan aksi untuk film ini. Dan, tak ada satupun tokoh di film ini yang bisa kita jadikan panutan ataupun sekadar sosok cermin, terlebih lagi tampilan seorang ibu yang cengeng di kala genting tersebut.

Sudah bisa ditebak, penilaian saya untuk film ini terpecah menjadi dua, sangat bagus dan atau sangat buruk. Seperti yang sudah-sudah, saya selalu menghiraukan kelemahan kecil untuk film yang diproduksi di musim panas. Walaupun tidak sepenuhnya berbaik hati, dan saya masih mengesampingkan ego saya, World War Z tidak akan saya kutuk begitu saja. Adegan menyeramkan di film ini tidak mudah dilupakan begitu saja. Khusus Plan B, saya lihat sejauh ini eksistensi mereka semakin dipertanyakan. Walaupun Brad Pitt memegang benderanya, tapi rasanya PH ini harus sigap dalam bertarung di Hollywood sana. Terakhir, saya pada dasarnya merekomendasikan film ini sebagai tontonan yang bagus. Happy watching!

by: Aditya Saputra

Monsters University (2013)


Director: Dan Scanlon
Voice-over: Billy Crystal, John Goodman, Steve Buscemi, Helen Mirren
Rate: 4,5/5


Kenapa banyak yang menyayangkan Pixar keluar dari zona amannya? Mengapa banyak yang tidak menyukai proyek lanjutan dari film-film sukses Pixar terdahulu? Mengapa Toy Story tidak dipermasalahkan? Sebagai produk tunggal, karya-karya Pixar memang memberikan sesuatu yang renyah dan baru. Bahkan hampir dari seluruh film keluaran Pixar Animation mendapatkan banyak gelar animasi terbaik dari berbagai ajang film. Minimal sebagai nominator. Di mata para fans, franchise Cars semacam tumbal karena keluar dari tujuan utama Pixar yang selalu menyajikan sebuah film yang manis dan mendidik. Padahal, untuk sebuah animasi Cars adalah sesuatu yang baru dan cerdas. Memang tidak sekuat apa yang diberikan Ratatouille atau Wall-E misalnya, tapi dengan ide seperti itu saja Cars sudah mempunyai daya pikat tersendiri. Sekarang Monsters, Inc. yang pada masanya dicap sebagai salah satu pelopor animasi terkini, diberikan prekuel. Secara komersil, Pixar masih menyetir apa yang diinginkan penonton. Monsters University ramai diperbincangkan, baik dengan penilaian yang positif maupun negatif.

Dikarenakan standard yang tinggi inilah mengapa Pixar selalu diklaim yang terdepan, jadi jika ada satu film yang menurut penonton lemah berarti taji Pixar sudah tumpul. Sebagai prekuel, Monsters University memberikan banyak info yang sebelumnya pernah kita temui di Monsters, Inc.. Semua yang tersaji di film tersebut perlahan dijelaskan secara detil di Monsters University. Bicara soal detail, Monsters University mempunyai detil yang diharapkan. Walapun harus saya akui jika cerita yang diangkat memang jauh dari harapan. Premis yang lemah ini mungkin menjadi penyebab mengapa Monsters University dinilai terlampau biasa saja. Tapi, di luar itu film ini memberikan lebih apa yang diinginkan untuk sebuah prekuel. Dari yang sudah-sudah, tema yang diangkat Pixar memang murni untuk menyadarkan apa itu arti persahabatan. Semua filmnya. Di samping itu, Pixar juga tidak enggan menyelipkan isu lain. Bantahan inilah yang membuat saya masih kagum atas kinerja para kru di belakang film ini. Semangat untuk memanjakan penonton bukan hanya lewat tampilan visual berhasil dimanfaatkan dengan baik.

Mematok harga tinggi untuk sebuah film memang sudah melekat di tiap penonton. Ekspektasi inilah yang kadang menjatuhkan atau malah menaikkan penilaian. Monsters University ibarat sebuah umpan sekaligus permulaan baru bagi Pixar untuk membuktikan jika Cars 2 dan Brave kemarin hanyalah produk selingan yang menguntungkan. Film ini memiliki segudang harapan yang berhasil direpresentasikan oleh sang kreator. Humor yang santai, karakteristik yang beraneka ragam bentuk beserta keunikan masing-masing, dan yang terpenting adalah bagaimana sang sutradara dalam menggiring kita untuk iba sekaligus puas dengan para tokohnya.

Layaknya film prekuel, Monsters University menjabarkan dengan sangat lengkap. Bagaimana menjadi monster yang menakutkan bagi anak kecil, dan ini mereka enyam di pendidikan formal tau ubahnya manusia yang bersekolah untuk mencapai tujuan hidupnya. Memperkenalkan kepada penonton pintu yang menjadi lorong antara dunia monster dan manusia serta tabung pendeteksi rasa ketakutan. Dan sekalipun sutradara film ini bukanlah tetua Pixar, namun tetap saja nyawa Pixar melekat kuat di film ini. Betul saja, 2 nama besar Pixar memegang penuh skrip untuk film ini. Kerja keras Pete Doctor dan Andrew Stanton berhasil mencairkan kekikukan tadi menjadi cerita yang luwes dan teknik animasi yang brilian. Dan beruntunglah Pixar memiliki aktor yang bisa menghidupkan tokoh mereka di tiap film yang mereka buat. Billy Crystal dan John Goodman ibarat Tom Hanks dan Tim Allen yang merupakan nyawa untuk kolaborasi kocak ini. Ditambah bantuan Helen Mirren yang berhasil membawa sang dosen ke ranah yang lebih menusuk dan dalam.

Saya belum menemukan kelemahan film ini, semakin saya mencari saya malah semakin suka. Jika penonton sedikit terbuka dan tidak dibayangi jika ini adalah keluaran Pixar, niscaya kepuasan menonton akan lebih dari yang mereka nilai. Untuk film yang dirilis di musim panas, ternyata Monsters University masih bisa bertengger di posisi puncak. Jelas saja, anak-anak akan menyukai film ini, dan orang dewasa akan diajak untuk mengingat sepak terjang Mike dan Sully di film sebelumnya. Happy watching!

by: Aditya Saputra

Jumat, 14 Juni 2013

The Great Gatsby (2013)


Director: Baz Luhrmann
Cast: Leonardo Dicaprio, Tobey Maguire, Carey Mulligan, Isla Fisher, Joel Edgerton, Amitabh Bachchan, Elizabeth Debicki
Rate: 2,5/5


Bilamana sebuah cerita yang diisi dengan begitu banyak pemain papan atas tapi hasilnya biasa saja malah menjurus ke jelek? Kasus ini sering terjadi di belantika perfilman Hollywood. Sedikit memaksakan dengan mencampur banyak pemanis di sebuah film tanpa memikirkan alur cerita bisa jadi menggali lubang sendiri dan akhirnya filmnya terpuruk di lubang tersebut. Ambil contoh film Nine yang diserbu nama-nama berkelas Oscar tapi dinilai kurang seimbang dengan cerita filmnya yang sangat lemah. Sebelum tayang, The Great Gatsby juga kebagian isu yang sama. Disadur dari novel klasik karangan F. Scott Fitzgerald, The Great Gatsby yang awalnya akan dilempar ke pasar di tahun 2012 namun akhirnya mundur hampir setengah tahun dengan alasan sistem produksi. Tidak bisa disangkal, kutukan yang mengatakan film yang ditunda masa tayang begitu lama biasanya tidak percaya diri dengan hasil akhirnya. Dan kutukan tersebut juga menular ke The Great Gatsby.

Banyak yang menyayangkan mengapa The Great Gatsby hasilnya begitu mudah dilupakan. Padahal, jika kita melihat komposisi yang terkandung di film ini, kita seharusnya menaruh optimisme yang tinggi. Bayangkan, dengan Baz Luhrmann di belakang kamera dan nama-nama semisal Leonardo DiCaprio, Carey Mulligan, serta Tobey Maguire di dalamnya seharusnya, ya seharusnya bisa mendongkrak filmnya jauh mengawang di atas awan. Tampilan film ini sangat-sangat cantik, megah, anggun, dan tertekan secara bersamaan. Set dekorasi serta art direction film ini benar-benar visual orgasm bagi siapa saja yang menontonnya. Ditunjang pula musik dan peragaan busana yang menyejukkan telinga dan mata. Beberapa penyanyi ternama turut menyumbang suara mereka untuk meramaikan film ini. Dan sepertinya seluruh designer di dunia ini berbondong-bondong memberikan sponsorship kepada film ini. Bagaimana tidak, sepertinya bidang ini memang perlu dibidani layaknya fashion show karena cerita dan latar film ini memang memerlukan reklame sebuah kekayaan yang glamor dan flamboyan.

The Great Gatsby memiliki Leo, aktor ambisius yang akan selalu mencurahkan seluruh kemapannya agar terlihat berkualitas di depan layar. Sebagai Gatsby, hal itu berhasil ia buktikan. Dengan logat dan gaya yang ekspresif membuat kita yakin jika Leo adalah Gatsby yang parlente. Tidak kalah memukau adalah Tobey yang sukses menerjemahkan karakter Nick yang sendu, adil, dan bijaksana. Joel Edgerton dan Carey Mulligan sebagai pasutri kaya raya bagi saya sudah bermain dengan sangat pas, terhitung Isla Fisher yang tampil sebentar namun masih tetap mencuri perhatian. Di sektor ini, Luhrmann beruntung memiliki nama mereka di barisan cast-nya. Tidak untuk alur dan terlalu biasanya cerita yang dituju. Semuanya datar, dan tidak ada klimaks yang berarti yang bisa membangkitkan emosi penonton. Padahal, esensi dan masalah yang tertuang di film ini bisa dimanfaatkan dengan baik. Karena, bagaimanapun juga tema perselingkuhan apalagi di wilayah orang berduit pasti selalu menarik untuk disimak.

Lurhmann sepertinya tidak mau susah bagaimana filmnya akan bermuara dan berakhir seperti apa. Kecerobahan ini saya lihat karena Lurhmann lebih memfokuskan masalah teknis tadi. Setengah jam mendekati akhir film, di situlah saat terlemah The Great Gatsby. Kepergian salah satu toko sentral di film ini tidak memberikan efek iba kepada penonton.

Cukup sulit untuk bilang jika saya tidak menyukai film ini. Karena, jika saja Luhrmann tidak menyediakan kehidupan hura-hura yang terpampang di film ini, otomatis The Great Gatsby akan menjadi semakin tidak penting. Mungkin karena itu juga, kegelisahan penonton dibayar lunas oleh keartistikan sebuah lokasi di sebuah drama percintaan klasik ini. Namun, sebagai film yang dirilis di era musim panas, film ini pasti akan malu dengan serbuan film lain yang jauh lebih memukau baik di segi cerita maupun efek-efek canggih nan memukau. Dan sepertinya, Luhrmann harus belajar dari pengalaman agar tidak terlalu lamban untuk membuat sebuah film. Apalagi, ciri khas percintaan yang biasa ia torehkan di film-film sebelumnya semakin luntur. Saya (dan sepertinya para penonton yang lain juga) tidak mengharapkan lebih. Australia bisa begitu memorable bagi saya, karena apa? Karena Australia tidak neko-neko. Happy watching!

by: Aditya Saputra

Man of Steel (2013)


Director: Zack Snyder
Cast: Henry Cavill, Amy Adams, Michael Shannon, Kevin Costner, Russell Crowe, Laurence Fishburne, Diane Lane
Rate: 3,5/5


Untuk memulai bahasan kali ini, saya ingin beritahu sedikit bahwa saya belum pernah nonton film Superman satupun kecuali buatan Bryan Singer tahun 2006 lalu. Superman Returns yang kata kebanyakan orang masih tetap setia memakai pola film Superman buatan Richard Donner, namun tetap dinilai lemah karena porsi dramanya terlalu padat sehingga membuat Superman Returns layaknya Hulk hasil kreasi Ang Lee. 7 tahun berselang, hadir lagi reboot manusia baja yang kali ini di bawah komando Christopher Nolan dan dinahkodai langsung oleh Zack Snyder, lelaki di belakang suksesnya 300 dan Watchmen. Namun, Snyder pernah tersandung dan jatuh di mata kritikus saat Sucker Punch dan animasi burung hantu Ga'Hoole-nya terperosok habis-habisan karena terlalu mengandalkan slo-mo secara berlebih hingga melupakan teknik lainnya. Akhirnya Man of Steel hadir di depan kita, dan pujian serta cacian pun tetap tak terbendung. Kecuali bagi yang merasa Man of Steel telah lepas jauh dari versi Richard Donner. What did you expect, guys?

Film ini memang diantisipasi sekali oleh fanboy maupun yang hanya sekedar ingin menonton, tapi lambat laun semua pandangan tertuju ke salah satu film ambisius ini. Apalagi banyak yang memasang target berlebih mengingat dayang di belakang layarnya tertera nama Nolan dan Goyer. Tapi, pembuat film tetaplah Zack Snyder, dan semestinya ikut campurnya Nolan di sini hanya sebatas sebagai produser. Snyder-lah algojo yang mengeksekusi filmnya agar lebih berbobot tapi tidak juga meninggalkan kesan komersil Superman-nya sendiri. Dan jika saya lihat, Man of Steel tetap memberikan ciri khas seorang superman dengan memberikan warna yang cukup berbeda dari seri yang terdahulu. Kita akan tahu cikal bakal Clark Kent menjadi superhero. Tidak sampai di situ, fase flashback saat ia masih kecil dan dirawat oleh keluarga Kent cukup menyita emosi saya. Sangat jarang saya menonton film bertemakan pahlawan yang begitu menyentuh. Walaupun editing-nya sangat kasar, setidaknya pencapaian dramanya tetap terjaga.

Dan kita memasuki bagian super-duper-berlebihannya film ini. CGI dan visual effect. Maksud saya saat final battle-nya. Penggambaran dunia Krypton dilukiskan dengan sangat indah, believable, dan megah. Setelah itu, visual-nya tampak sangat berantakan. Perkelahian antara dua kubu terlalu mengada-ada dan tidak relevan sama sekali. Efeknya terlalu manis sampai-sampai membuat mual jika dikonsumsi terus-terusan. Untunglah film ini diiringi dengan musik yang lumayan membangun filmnya sendiri. David S. Goyer sepertinya sedikit goyah dalam membuat ceritanya ini menjadi lebih menarik. Mungkin karena Goyer lebih menitikberatkan drama flashback-nya tadi daripada harus mengupayakan bagaimana percintaan Kent dan Lane diungkap di sini.

Henry Cavill si manusia baja telah menunjukkan kapasitasnya sebagai aktor baru yang siap mematahkan persepsi awal bahwa ia bisa menjadi pahlawan super. Dengan postur tubuh yang sangat memungkinkan untuk menjadi seorang superhero. Sayang, Cavill masih lemah dalam menerjemahkan emosi Kal-El di momen-momen penting sehingga membuat adegan tersebut tasteless. Amy Adams bermain pas, pun dengan Crowe sebagai Jor-El yang tidak berlakon berwibawa yang berlebihan. Namun yang menarik adalah penampilan Kevin Costner dan Michael Shannon. Selama saya menonton, semua adegan yang ada Costner-nya sukses membuat saya sedih, dan adegan yang ada Shannon di dalamnya berhasil membuat saya geram. Bintang tetaplah bintang, sebagai supporting actor pun mereka tetap menunjukkan kapasitas seorang bintang.

Sebagai film musim panas, Man of Steel bagi saya sudah memenuhi syarat. Menghibur namun tidak lupa membekaskan logika. Menyortir semua kejanggalan yang biasa terjadi di film superhero. Sayang, saya nilai Zack Synder terlalu tergesa-gesa membuat Superman agar menjadi pahlawan masyarakat yang kembali bisa dikenang. Akibatnya, Superman kali ini sepertinya mudah sekali untuk dilupakan. Setidaknya, sisi humanis yang menempel di film ini yang diproklamirkan sepanjang film cukup membuat saya begitu terpesona. Masih ada film bertema sejenis yang memiliki misi secara universal, bukan hanya untuk dunia perkomikan sahaja. Happy watching!

by: Aditya Saputra

Senin, 03 Juni 2013

Laura & Marsha (2013)


Director: Dinna Jasati
Cast: Ardinia Wirasti, Prisia Nasution, Restu Sinaga, Afika
Rate: 3/5



Tahun ini film Indonesia semakin menggila. Dibuka dengan Demi Ucok yang menjadi bahan pujian dimana-mana (saya sendiri tidak sempat menonton karena cepatnya film ini turun layar di kota saya -red), lalu muncul Belenggu yang ternyata menegangkan kembali urat perfilman Indonesia yang semula kendur, lalu hadir What They Don't Talk About When They Talk About Love yang sunyi senyap namun mencekam ke dasar batin kita paling dalam. Walaupun saya begitu selektif dalam menonton film lokal di bioskop, namun saya cukup jeli film apa yang memang harus saya nikmati di layar lebar. Seperti contoh baru, Laura & Marsha yang memang telah saya tunggu dari awal-awal pemberitaan pertama film ini digaungkan. Terlebih lagi, film ini dibintangi oleh Ardinia Wirasti yang menjadi salah satu aktris favorit saya. Satu poin lagi yang membuat saya begitu antusias adalah tema yang melingkari film ini, tapi saya tidak tau-menau masalah sinopsisnya dan tibalah saya di puncak kekagetan.

Mengapa kaget? Karena Laura & Marsha menyajikan sebuah fragmen yang jauh dari pandangan saya sebelumnya. Mengadon semua bumbu yang sekarang dipertanyakan dalam kehidupan. Begitu sakral, intim, tapi tidak melupakan sisi hiburan di dalamnya. Hanya saja, apa yang telah diberikan sang sutradara terlalu lepas kendali dan tidak memikirkan alur serta tujuan utama tema yang diusung. Saya sedikit mengerti dengan subplot yang ingin disampaikan, tapi bagi saya hal itu sedikit terlalu dipaksakan. Boleh-boleh saja sih mencampur adukkan semua hal untuk sebuah road movie, tapi tidak lantas juga banting stir dan dilepas begitu saja. Si empunya film lupa tujuan awal film ini, karena penonton akan dibuat terkecoh oleh poster yang dijual film ini kendati sinopsisnya sendiri mungkin sudah membeberkan apa yang akan dituangkan lewat filmnya.

Saya cuma tidak menyukai bagian 'kematian' di film ini serta adanya bintang tamu yang kebetulan muncul untuk melengkapi atau bahkan kasarnya dipaksakan ada untuk membuat filmnya menjadi mempunyai cerita. Padahal, tanpa itupun film ini semestinya bisa sukses menjadi road movie. Dan jujur saja, banyak adegan yang membuat saya terhanyut dan terbuai ke dalam memori yang bisa jadi sangat personal buat saya. Saat dua tokoh utama kita bertengkat hebat, mungkin menjadi momok tersendiri bagi saya yang menontonnya. Hebatnya lagi, saya hampir terbawa emosi pula oleh segmen ending yang begitu cheesy namun sangat mengena. Dalam hal ini, Prisia Nasution serta Ardina Wirasti sudah mampu mengangkat beban dan tanggung jawab mereka dalam menransfer watak dari Laura dan Marsha. Persahabatan mereka yang diuji di negara orang lain cukup mewakili mental orang-orang yang hobi travelling. Satu dengan gaya ranselnya, dan yang lain tidak boleh ketinggalan kopernya. Film inipun sedikit banyak memberi gambaran akan sebuah kebebasan, derita masa lalu, serta bagaimana kita menyikapi hidup bahagia yang enggan bersama kita.

Segala teknis film ini tidak akan saya ributkan, karena film ini tidak memanfaatkan teknis yang begitu signifikan. Mungkin cuma pemilihan musiknya yang pas dan penataan kameranya yang sepadan dan mampu menangkap view-view bagus di beberapa negara di benua Eropa. Panorama yang mengikuti perjalanan spiritual (?) Laura dan Marsha sungguh sedap dipandang. My last verdict, kita tidak pernah tau apa yang akan terjadi pada kita esok, dan kita hanya hidup sekali di dunia ini. Nikmatilah apa yang bisa kalian rasakan lewat alam dan lingkungan, rasakanlah jika dunia masih ada di dalam genggaman kita jika kita bisa menjaganya dengan bijaksana. Laura & Marsha memamerkan sekelumit liburan singkat yang penuh dengan pengalaman dan cobaan. Lebih dari itu, film ini memaparkan dengan sangat jelas sebuah arti persahabatan untuk saling menolong, mengisi satu sama lain, dan menjadikan satu dunia tadi untuk digenggam bersama-sama. Happy watching!


by: Aditya Saputra