Rabu, 29 Desember 2010

Evan Almighty (2007)

Director : Tom Shadyac
Cast : Steve Carell, Morgan Freeman, Lauren Graham, Jonah Hill
Rate : 3/5


Bruce Almighty, feature yang dimainkan oleh Jim Carrey itu jatuhnya aneh di pandangan saya. Bukan hanya terlalu mengibulin pemirsa lewat temanya, sekaligus juga menjadi jalan bengkok karena penyaduran tak beralasan. Alkisah, Tuhan berkoneksi langsung dengan tokoh Bruce Nolan untuk mengabulkan semua masalah manusia. Ternyata, film rekaan Tom Shadyac itu menemui jalan lurus yang membuat peralihan labanya menjulang tinggi. Tanpa ba-bi-bu lagi, sekuel (spin-off?) akhirnya diberi lampu hijau oleh sang penggalang dana. Estafet yang dilakukan oleh Steve Carell di Bruce dilanjutkannya lewat sajian serupa tak sama di Evan Almighty.

Masih memakai formula yang sama, Evan berkutat dengan ikut campurnya tangan Tuhan. Namun, kali ini fokusnya lebih jelas. Penyelamatan hewan yang berada di kawasan tempat tinggal Evan dengan alat transportasi sebuah kapal laut. Ya, ini plesetan norak dari kisah Nuh dan bahtera-nya yang tertuang di Al-Kitab. Memanjangkan alur, Evan juga harus menaklukan konspirasi yang dilakukan dewan di kantor tempatnya bekerja. Dengan aral rintangan yang menarik ulur upaya nama baik di kantor maupun evakuasi para fauna, Evan--lengkap dengan segala jubah, rambut gondrong, dan janggutnya--menyingsingkan lengan baju.

Apa yang terjadi sama jalur komedinya? Pedoman kekocakan yang telah diterapkan di seperempat pertama film, malah menguap tak berbekas hingga menuju ending. Banyolan yang semestinya masih bisa dieksploitisir malah melempem gara-gara sisipan-sisipan kejadian yang maunya lucu tapi berujung garing. Seperti permainan ajaib manusia dan hewan cgi, sampai maksud sang goverment yang mengada-ngada. Meskipun begitu, film ini lebih terarah dalam memfokuskan plot dibanding pendahulunya, Bruce Almighty. Jika Bruce jatuh bebas ke wadah pengharapan cinta, Evan lebih tepat sasaran dalam memposisikan sebagai ajang kampanye penyelamatan para fauna. Meskipun jalan pintas yang diambil terlalu berlebihan yaitu memparodikan kisah nabi yang tertuang di Al-Kitab.

Mengesampingkan peran para ekstras yang sangat merusak momen (termasuk untuk pemeran istri Evan yang seperti aktris gagal kesting), pujian patut diberikan kepada sosok Steve Carell yang berhasil menambah daftar atas upaya terkenalnya lewat The 40-Year-Old Virgin. Di sini, kerja keras akan mimik dan gestur yang baik menekankan jika ia bukan komedian yang komikal, melainkan natural comedian. He's the star. Sedangkan bagi Morgan Freeman, tugasnya hanya menyelesaikan 'pe-er' yang belum tuntas ia kerjakan sewaktu di Bruce sebagai 'Tuhan'. Bintang tetaplah bintang.

Jika perlu bicara soal kewajaran, film ini tidak begitu layak tonton karena akan sedikit menyesatkan penonton karena asal saduran cerita yang diangkat. Ketakutan akan salah kaprah bagi penonton (terutama anak-anak) bisa jadi menimbulan plural kontra. Tapi, jika maksudnya hanya sebagai sebuah hiburan, Evan bisa dikatakan cukup berhasil dalam beberapa sisi. Lupakan CGI yang kaku, lupakan akan beratnya kisah (karena menyangkut isi kitab), lupakan jika Anda tak kunjung tertawa. Tujuan utama dibuatnya film ini adalah mencari uang. Dan buktikan sendiri, jika setiap makhluk hidup itu menjalani kehidupan berpasang-pasangan. Happy watching!

by: Aditya Saputra

The Holiday (2006)

Director: Nancy Meyer
Cast: Kate Winslet, Cameron Diaz, Jude Law, Jack Black, Eli Wallach
Rate: 3,5/5


Untuk kali pertamanya, Meyers memperkenalkan dirinya sendiri lewat suguhan keluarga menarik yang sekaligus melemparkan Lindsay Lohan sebagai artis muda bertalenta lewat The Parent Trap. Lulus predikat bagus, diteruskannya dengan menyewa 2 aktor kawakan untuk berlaga dalam kisah cinta unik di What Woman Want. Meyers dicap tangguh dalam menyorot dua tokoh sentral yang menilik kehidupan masing-masing, lengkap dengan suka dukanya. Jelang beberapa tahun, Meyers kembali membawa kisah cinta usia uzur yang juga dibawakan oleh aktor-aktor kawakan di It's Complicated. Namun sebelum itu, Meyers telah membawa kita ke tingkat cinta kelas menengah. Percintaan pria wanita mapan yang terbalut lewat dinginnya London dan pengapnya LA.

The Holiday berawal dan dibuka dengan pengenalan 4 tokoh utama kita yang setiap individu hidup dengan gejolak masing-masing. Amanda Woods, wanita karir yang sukses dengan kehidupan filmnya, berteman dengan pria tambun Miles yang meronta dalam cinta. Belahan dunia lain, seorang wanita patah hati Iris Simpkins merasa tak berguna meneruskan nafasnya. Iris dan Amanda pelakukan persilangan rumah; Iris menempati kediaman Amanda dan sebaliknya, tentu saja melalui internet dan unsur ketidaksengajaan. Ternyata, lingkar cinta mereka perlahan mengalami titik nadir dan timbal balik atas apa yang telah mereka jalani. Amanda bertemu duda ganteng, Graham, dan Iris memaku perasaan sukanya kepada dua lelaki sekaligus, dan salah satunya Miles.

Meyers, yang telah mengumandangkan ketenarannya dalam bercerita romantis sejak dekade 90-an, kembali mematangkan ide percintaannya lewat guyonan hangat cinta di kubangan dinginnya salju melalui The Holiday. Kendati keterlibatannya tidak membuahkan sesuatu yang heboh, tapi tetap saja The Holiday memberikan banyak makna cinta. Meyers sanggup menyamaratakan 4 karakter dalam satu lini nasib tanpa harus merenggangkan untuk siapa yang harus lebih ditonjolkan. Kisah cinta yang unik (walaupun klisenya terasa sekali) tetap saja enak disimak karena balutan dialog yang manis dan paduan akting yang adorable.

Kuartet Diaz-Winslet-Black-Law memang tidak dalam akting terbaik mereka, kendati begitu padanan olah akting mereka mampu membentuk ikatan yang kuat. Terlebih pada adegan duet yang terbilang biasa namum memorable. Coba lihat bagaimana cerianya adegan meja makan antara Diaz-Law ataupun scene 'mabuk' Winslet-Black. Terpesona? Mungkin lebih tepat memesona.

The Holiday memang tidak dicanangkan sebagai film kandidat festival, tapi 'liburan' ini saya bertaruh menjadi film yang akan selalu terbesit di benak para penontonnya. Pesona cinta yang membundar di antara keempatnya membentuk galaksi intim tanpa menghilangkan gemerlap kebintangan aktornya. Jangan lupakan ekstra menarik dari Eli Wallach dan Dustin Hoffman yang bersumbangsih walau tidak dalam peran penting.

Yah! The Holiday adalah bentuk lain dari The Bucket List. Kelihatan biasa dari kulit, namun isinya penuh dengan kalsium dan vitamin. Banyak saripati untuk setiap episode cerita cintanya. Memang, sekalipun naskah lemah jika disadur oleh pakar dalam genrenya tetap saja menjadi gugusan yang patut ditonton. Happy watching! by: Aditya Saputra

Jumat, 17 Desember 2010

I Choose Them for The 68th Golden Globe Nomination


Beberapa hari yang lalu, nominasi perhelatan Golden Globe yang ke-68 dikumandangkan. Mengikuti gegap gempita ajang yang akan di-host oleh Ricky Gervais ini, saya 'latah' untuk bereksperimen sedikit untuk menduga-duga siapa saja yang menurut saya pantas menang. Kendati dari sekian banyak nominasi ada beberapa film yang belum saya jamah, balik lagi ke kata PREDIKSI yang menurut saya hanya penerawangan seorang bocah ingusan.

Best Picture - Drama :
1. Black Swan
2. The Fighter
3. Inception
4. The King's Speech
5. The Social Network
I choose: Black Swan. Why? Bukan saja karena telah disinggung jauh sebelum ini kalau film ini salah satu kado istimewa bagi para moviegoer dari Darren, namun juga Black Swan seeakan sebuah kamuflase 2 dara cantik yang ternyata memiliki sisi gelap sebagai seorang balerina.

Best Actress in Leading Role - Drama :
1. Halle Berry – Frankie and Alice
2. Nicole Kidman – Rabbit Hole
3. Jennifer Lawrence – Winter's Bone
4. Natalie Portman – Black Swan
5. Michelle Williams – Blue Valentine
I choose: Natalie Portman. Why? Sudah saya katakan, mungkin ini salah satu wujud karakter paling monumental yang pernah Portman mainkan. Dan bisa jadi, lewat Black Swan lah Portman bisa kembali memegang piala lagi setelah di Closer tempo hari.

Best Actor in Leading Role - Drama :
1. Jesse Eisenberg - The Social Network
2. Colin Firth - The King's Speech
3. James Franco - 127 Hours
4. Ryan Gosling - Blue Valentine
5. Mark Wahlberg - The Fighter
I choose: Colin Firth. Why? British satu ini tidak pernah mengecewakan di setiap filmnya. Dan saya rasa, untuk kategori ini terasa no contest.

Best Picture - Comedy or Musical :
1. Alice in Wonderland
2. Burlesque
3. The Kids Are All Right
4. Red
5. The Tourist
I choose: The Kids Are All Right. Why? Red? Terlalu kacangan untuk ajang sebesar ini. Satu-satunya judul yang akan dibaca di amplop kemenangan adalah film yang diperan utamai oleh Annette Bening itu. The Kids Are All Right menang mutlak.

Best Actress in Leading Role - Comedy or Musical :
1. Annette Bening – The Kids Are All Right
2. Anne Hathaway – Love And Other Drugs
3. Angelina Jolie – The Tourist
4. Julianne Moore – The Kids Are All Right
5. Emma Stone – Easy A
I choose: Annette Bening. Why? Saya mencintai aktingnya, dan menunggu kesempatan Bening melangkah mudah dalam mengambil piala dari pembaca nominasi GG sekalipun Oscar. Dan inilah saatnya!!!

Best Actor in Leading Role - Comedy or Musical :
1. Johnny Depp – Alice in Wonderland
2. Johnny Depp – The Tourist
3. Paul Giamatti – Barney's Version
4. Jake Gyllenhaal – Love And Other Drugs
5. Kevin Spacey – Casino Jack
I choose: Paul Giamatti. Why? Akan menjadi kejutan jika Johnny Depp tidak menang untuk 2 nominasi di kategori yang sama. Namun, jiwa komedi Paul lebih 'murni' ketimbang Johnny yang hanya bermake-up aneh di Alice ataupun di The Tourist yang kentara buruknya dari para kritikus.

Best Actress in Supporting Role :
1. Amy Adams – The Fighter
2. Helena Bonham Carter – The King's Speech
3. Mila Kunis – Black Swan
4. Melissa Leo – The Fighter
5. Jacki Weaver – Animal Kingdom
I choose: Mila Kunis. Why? Meskipun 2 tempat telah diborong 2 nama dari film yang sama dan juga kemunculan nama Bonham Carter, namun kehadiran Kunis di Black Swan menimbulkan persepsi jika Kunis sekarang tidak anti main jalur arthouse. Beri dia piala, juri!!!

Best Actor in Supporting Role :
1. Christian Bale – The Fighter
2. Michael Douglas – Wall Street: Money Never Sleeps
3. Andrew Garfield – The Social Network
4. Jeremy Renner – The Town
5. Geoffrey Rush – The King's Speech
I choose: Christian Bale. Why? Momen yang pas bagi para penilai untuk memenangkan Bale saat pengorbanan anoreksianya di The Machinist seakan terlupakan. We love you, Mr. Bruce Wayne.

Best Animated :
1. Despicable Me
2. How To Train Your Dragon
3. The Illusionist
4. Tangled
5. Toy Story 3 I choose: Toy Story 3. Why? Malah akan menimbulkan kontroversi jika film tentang mainan hidup ini tidak menang. Dan jika menang, Pixar kembali tersenyum lebar atas ini semua.

Best Foreign Language :
1. Biutiful (Mexico, Spain)
2. The Concert (France)
3. The Edge (Russia) 4. I Am Love (Italy)
5. In A Better World (Denmark)
I choose: Biutiful. Why? Babel telah membius saya dengan tingkat drama teratas. Dan ini menjadi titik balik bagi seorang Innaritu untuk mengangkat piala di podium nanti.

Best Director :
1. Darren Aronofsky – Black Swan
2. David Fincher – The Social Network
3. Tom Hooper – The King's Speech
4. Christopher Nolan – Inception
5. David O. Russell – The Fighter
I choose: David Fincher. Why? Fincher berhasil mengolah naskah saduran menjadi suatu film yang penuh intrik tentang pencetus jejaring sosial Facebook itu. Seperti di karyanya sebelumnya, Fincher sukses membaurkan sisi komersialitas menjadi satu sajian memesona.

Best Screenplay :
1. Simon Beaufoy, Danny Boyle - 127 Hours
2. Christopher Nolan - Inception
3. Stuart Blumberg, Lisa Cholodenko - The Kids Are All Right
4. David Seidler - The King's Speech
5. Aaron Sorkin - The Social Network
I choose: Christopher Nolan. Why? Inception telah mengintimidasi saya dengan zero gravity-nya. Superb!!!

Best Original Score:
1. Alexandre Desplat - The King's Speech
2. Danny Elfman - Alice in Wonderland
3. R. Rahman - 127 Hours
4. Trent Reznor and Atticus Ross - The Social Network
5. Hans Zimmer - Inception
I choose: Danny Elfman. Why? I love the film and the music. Iringan musik saat Alice 'bermain' di antah berantah tidak terduga membuat jari saya bergoyang. Asik!

Driving Miss Daisy (1989)

Director: Bruce Beresford
Cast: Morgan Freeman, Jessica Tandy, Don Aykroyd
Rate: 4/5


Morgan Freeman, salah satu aktor berwarna yang mampu mempertahankan eksistensinya di belantika perfilman Hollywood kendati usianya tak lagi muda. Dengan kematangan akting serta banyaknya channel yang memungkinkan mendapatkan naskah yang bagus membuat kiprahnya tak patut disepelekan. Kemunculan memukau pertamanya di Street Smart semakin melapangkan perjuangannya hingga menjadi seorang superior Nelson Mandela di tahun 2009 silam lewat biografi Invictus. Kepadanannya dalam berbaur frame dengan para aktor kulit putih pun sering kali menimbulkan kemahfuman duet. Terlebih saat berkolaborasi dengan Tim Robbins di The Shawshank Redemption ataupun Clint Eastwood di berbagai feature. Tempo doeloe, saat Freeman diduetkan dengan Jessica Tandy lewat balada persahabatan di usia renta mengakibatkan banjir piala termasuk dari Golden Globe dan National Board of Review.

Film yang hanya berdurasi 99 menit ini menceritakan tentang seorang wanita tua yang disarankan oleh anaknya untuk ditemani oleh seorang supir untuk berpergian kemana-mana. Semula, masukan Boolie Werthan ditolak mentah-mentah oleh sang ibu, Daisy, namun lambat laun ketika Boolie mengambil keputusan sepihak dan mendatangkan orang yang dimaksud membuat sang ibu tak bisa membantah. Inilah saat Driving Miss Daisy memaparkan sebuah replika kehidupan pertemanan beda warna kulit yang begitu manis. Pertentangan strata serta rasialisme di mana para kulit hitam biasa diperbudakkan terjalin sangat emosionil dan menyiratkan sejuta arti.

Ada satu momen ketika Miss Daisy akan mengunjungi keluarganya yang berulang tahun dengan Hoke Colburn sebagai sopir menyebabkan keduanya saling mengerti posisi dan peran penting satu sama lain. Nyonya Daisy yang awalnya selalu waspada kepada sang sopir menerima timbal balik yang sepadan. Daisy perlahan menemukan titik kebaikan-tulus dari seorang sopir. Begitu pula dengan sang sopir yang sadar dan bisa membaca keadaan nyonya besarnya, apalagi saat Miss Daisy harus mendekam di sebuah panti jompo.

Inilah salah satu contoh film yang patut disebut sebagai era puncak dalam mewakili jiwa pertemanan. Simbolisasi hitam-putih dari karakter utamanya menohok penonton kalau tidak ada jembatan untuk yang namanya persahabatan. Pesan yang terkandung lewat deretan naskahnya dikonotasikan dengan sangat rapih oleh sang sutradara yang begitu cermat dalam menjalin benang kusut menjadi satu paket istimewa untuk penonton yang masih bingung dalam membuktikan suatu pertemanan abadi. Maka tak heran juga jika naskah adaptasi di ajang Oscar sanggup diraihnya bersamaan dengan kemenangan mutlak dari Jessica Tandy di usia ke 80-nya. Walaupun begitu, Bruce Beresford--yang pernah dipuja lewat Tender Mercies--harus sedikit rela saat Oliver Stone 'menodong senapan' sebagai Best Director saat itu.

Tandy tak akan bermain bagus jika lawannya berakting seadaanya. Oleh sebab itu, performa gemilang dari Freeman menyisakan chemistry yang menawan dari keduanya. Tak salah jika banyak yang mengoreksi jika ini salah satu penampilan terbaik Morgan Freeman di dalam sebuah film drama.

Driving Miss Daisy hadir pada saat situasi rasialisme begitu marak pada jamannya. Namun, yang ditegaskan lewat film jauh dari kesan itu meskipun ada satu adegan yang menyiratkan betapa ras sangat mejadi suatu kecaman dunia pada saat itu. Terbilang saat pengeboman gereja yang sering dikunjungi oleh Daisy ataupun cemoohan 2 polisi saat mencegat Daisy dan Hoke melakukan road trip. Nuansa musik Hans Zimmer begitu kental dan medayu-dayu bahkan sukses meleburkan emosi ke tingkat yang lebih mendalam.

Akhir kata, Driving Miss Daisy boleh dikategorikan ke genre drama atau komedi tergantung penonton menyerap kadar film ini ke arah mana. Untuk saya pribadi, ini murni drama walaupun sisi komediknya juga terasa satir. Happy watching!

by: Aditya Saputra

Selasa, 07 Desember 2010

Dog Day Afternoon (1975)

Director : Sidney Lumet
Cast : Al Pacino, John Cazale, Charles Durning, Chris Sarandon
Rate : 4/5


Menyaksikan sebuah film tentang perampokan bank memang kadang menyita emosi penonton karena biasanya film yang bersangkutan selalu diiringi dengan teknik merampok jitu serta letupan-letupan peluru yang keluar dari senapan sang perampok. Ada juga yang hanya mengandalkan ide yang cemerlang laiknya The Inside Man ataupun Public Enemies. Namun, feature yang akan saya kupas kali ini kendati bernada sama berupa detail merampok, namun juga ada bumbu komedi yang membalutnya. Yah, memang tidak pure ke arah banyolan, namun kesan satir dan realistisnya sangat terasa sekali.

Dog Day Afternoon berangkat dari artikel singkat bertajuk "The Boys in the Bank" yang merupakan sebuah replika nyata atas kejadian yang benar-benar terjadi pada masa itu. Lumet membawanya keluar dari momen perang Vietnam yang saat itu sedang digandrungi sineas luaran sana. Hebatnya lagi, Lumet mengasah karyanya ini lewat naskah yang benar-benar jempolan dari tangan Frank Pierso. Artikel singkat tadi digodok sedemekian rupa menjadi salah satu naskah adaptasi terbaik yang pernah ada. Lumet mengeksekusinya dengan penuh pesona tanpa meninggalkan unsur hiburan untuk menunjang kenikmatan menonton.

Tema utamanya memang berhubungan tentang penodongan senjata di sebuah bank, tapi banyak selipan menarik yang membuat Dog menjadi jauh lebih kaya. Sang tokoh utama yang diperlihatkan kikuk karena dorongan masalah internal. Begitupun dengan sekutunya yang memiliki karakter unik masing-masing. Ditambah dengan para sandera yang menyumbang peran penting dalam menyelesaikan masalah kebimbangan sang perampok. Lucu, menarik, menggelitik, tapi menyentuh juga untuk beberapa momen.

Al Pacino yang kebagian tugas untuk memerankan sang tokoh utama tadi memang telah bekerja super ekstra sehingga apa yang ia tampilkan di sini seperti sisi lembut dari perannya di Heat-nya Michael Mann. Al tidak maruk, walaupun hampir keseluruhan durasi dipenuhi oleh akting cemerlangnya tapi aktor lain juga kebagian frame serta pujian berkat sokongan yang tak kalah mearik dari para figuran dan ekstranya tadi. Untuk cerita sendiri mungkin tidak berat-berat amat. Sekomplotan lelaki merampok sebuah bank. Dikarenakan sesuatu dan lain hal ternyata apa yang mereka rencanakan terpaksa harus dibelok 360 derajat guna menyelamatkan diri dari kepungan polisi. Dari sinilah perudingan nasib yang harus dilewati oleh komplotan tadi. Mengalah? Silahkan cari tau jawabannya.

Senang sekali rasanya saya sudah mencicipi produk klasik langka ini. Apalagi ini sebuah persembahan terbaik dari Lumet dan Pacino yang mana menjadi satu tolak ukur mutlak jika film yang ditangani mereka selalu menjadi angka emas dalam hal mutu. Dan, Dog Day Afternoon membuktikan sendiri jika membuat film itu tidak perlu dengan tampilan yang berlebihan. Sederhana namun mengenapun akan membekas di hati para moviegoer. Dog mengajak kita ke 'rumah uang', dan menjadi saksi seorang robber yang sial dalam berecana dan bertindak. Mengasikkan. Happy watching!

by: Aditya Saputra