Sabtu, 28 Januari 2012

The Descendants (2011)


Director: Alexander Payne
Cast: George Clooney, Shailene Woodley, Amara Miller, Nick Krause, Beau Bridges
Rate: 4/5


George Clooney termasuk aktor yang beruntung. Hampir keseluruhan filmnya dikritik dengan baik, dan juga termasuk aktor pujaan banyak sineas. Pemakaian jasanya memang dipertanggungjawabkan dengan pembuktian akting yang cemerlang dan seringkali gemilang di award-award nantinya. Mulai dari Syriana yang menganugerahinya Oscar, Michael Clayton, hingga Up in the Air yang tergolong drama ringan. Kepiawaiannya di belakang kamera juga diperlihatkan dengan takjub berkat Good Night, and Good Luck. serta The Ides of March baru-baru ini. Sebagai sineas yang apik, tidak membuat Clooney keteteran dalam membenahi aktingnya, yang sekali lagi ditunjukannya lewat film arahan Alexander Payne yang bertajuk The Descendants. Payne sendiri yang telah bergaung berkat Election-nya yang bernuansa pop serta mendaratkan Sideways dan About Schmidt di landasan nominator Oscar.

Clooney kali ini menjadi seorang suami serta ayah yang berada di posisi tidak mengenakkan. Walaupun jabatannya sebagai pengacara handal dan merupakan pewaris tunggal sebuah lahan berbilang hektar, tapi kenyataannya tidak membuat dia merasa lega. Dampak dari kesibukan yang membuatnya jauh dengan kedua anaknya, dan terasa tertipu oleh perselingkuhan istrinya dan juga harus meluruskan kesenjangan dengan orang tua dan sepupunya yang juga mengharapkan sejengkal warisan lahan tersebut. Mengikuti sepak terjang seorang Matt King di sini sangat menyentil aroma spiritual kita. Melibatkan penonton di pundak Matt, menyusuri satu-satu kebenaran dan menyelesaikan puzzle yang terbongkar sejak sakit parah istrinya. Ya, istrinya mengalami koma yang kemungkinan tidak tertolong lagi.

Gambar film The Descendants adalah salah satu kekuatan utama film ini. Hamparan Hawaii lengkap dengan landscape kota, perhutanan serta pantai indahnya ditangkap dengan sangat menggugah oleh Papamichael yang diiringi lagu lokal yang easy listening. Kelengkapan tadi juga disusul oleh keapikan naskah dari buku berjudul sama karangan Kaui Hart Hemming. Penceritaan seorang suami dan ayah yang di ujung jurang perpecahan suatu keluarga. Kenakalan remaja serta kurang perhatiannya seorang anak ditonjolkan dengan lembut namun menusuk. Bagaimana hasil didikan orang tua memang menuai hasil dari apa yang ditanam. Tembakan-tembakan Payne seputar film ini memang tepat sasaran. Mengambil beberapa sudut pandang masalah yang menguak. Payne tidak serta-merta melempar joke kosong atau dialog garing, melainkan sebuah padanan kata yang membumi dan bersifat keseharian.

Clooney dengan segala kecanggungannya sebagai Matt dinilai sempurna. Gesture yang lebih dari kata bagus serta luapan emosi, bibir yang ketar-ketir, serta gaya bicara dengan orang sekitar, satu kata: sempurna. Terutama untuk adegan akhir yang sangat memorable itu. Tak heran jika voter memilihnya sebagai aktor terbaik di Golden Globes kemarin. Berikut juga Shailene Woodley yang secara mengejutkan mampu mengimbangi Clooney yang jauh lebih senior. Aktor yang sekali lewat munculpun, berkat arahan statis dinamis dari Payne mampu bermain bagus. Uhm, sebenarnya banyak adegan yang kurang penting buat diekspos tapi yang hebatnya malah mempengaruhi perkembangan cerita, seperti dialog sebelum tidur antara Clooney dan Krause. Dan juga petikan singkat dari Bridges yang semakin membuat Clooney terombang-ambing.

The Descendants bukan jenis tontonan yang akan disukai banyak orang. Amanat film ini begitu dekat dengan kehidupan kita. Sulit menggambarkan betapa suramnya hasil dari kesibukan seseorang dan kurang perhatian dengan lingkungan. Di tangan Payne, The Descendants menjadi satu bahan pembelajaran yang sangat berharga. Arahan yang stabil dan dibantu oleh in-frame Clooney yang gemilang, semakin mengukuhkan The Descendants sebagai salah satu drama yang paling berbobot edaran tahun 2011 kemarin. Kurang lebih seperti itu, nikmati aroma nyiur pantai dan sekati tokoh kita dengan seksama. Happy watching!

by: Aditya Saputra

Carnage (2011)


Director: Roman Polanski
Cast: Jodie Foster, Kate Winslet, Christoph Waltz, John C. Reilly
Rate: 3,5/5


Apa jadinya jika empat aktor dengan kemampuan akting yang mumpuni dikumpul di satu ruangan kecil dan berargumen tentang kenakalan anak-anak dan kemudian menyerempet ke kehidupan pribadi mereka? Attitude buruk yang akhirnya kepalan terbuka dan segala temperamental keluar berkat ketidaksengajaan mereka saling tukar pikiran? Roman Polanski sangat jelih memilih public figure untuk menuntaskan drama berbau komedinya kali ini. Dengan Carnage sebagai title, tak banyak film yang bermain di ranah tidak aman begini. Diilhami dari drama teatrikal, Carnage dibangun berkat keempat aktor kebanggan banyak orang ini. Tema dan seting yang unik meski pembahasannya tetap santapan sehari-hari di kehidupan nyata.

Ceritanya anak Jodie Foster dan Joh C. Reilly di-bully oleh anak pasangan Kate Winslet dan Christoph Waltz. Untuk melebarkan sikap silaturahmi dan juga meredakan permasalahan, Kate - Waltz bertamu ke rumah Reilly. Jamuan yang bersifat menyelesaikan perkara yang ada malah memanjang menjadi sebuah kompromi yang tidak berkesudahan. Keluarga Waltz yang selalu urung pulang berkat 'cegahan' dari keluarga Reilly, dan beberapa pertimbangan lain yang membuat mereka seakan 'dipaksa' berkonfrontasi dan bergejolak yang mengepul menjadi adu amarah dan saling mengungkapkan kepribadian masing-masing.

Film ini cukup pendek, malah hanya berdurasi kurang dari satu setengah jam. Itu sudah sangat pas, dan kesan menyempitnya cerita menjadi terkendali. Tidak dipaksa dipanjang-panjangkan oleh durasi, dengan obrolan mereka yang membundar di empat perwatakan saja. Polanski meneropong tiap jengkal penokohan dengan begitu cermat. Perlahan mereka yang tangan terbuka lambat laun memanas dan konsekuensi terburuk yang harus diterima. Rumah tangga mereka ternyata masing-masing memiliki kepelikan tersendiri. Bahtera bahagia itu mengelupas sendirinya berkat dialog-dialog menggelitik tersebut. Winslet yang kebagian paling emosionil sukses memerankan tokoh yang begitu paranoid dengan situasi yang memaksa serta Waltz yang begitu cuek dan sibuk dengan pekerjaannya. Diimbangi dengan Foster yang begitu pintar mengolah body language sebagai orang yang merasa dirugikan serta Reilly yang dengan santainya mengupas kesalahan-kesalahan bodoh. Menarik dan extra-ordinary.

Sayangnya, walaupun banyak adegan yang dimaksimalkan di seting yang minimalis, tapi Polanski kurang menjaga kenyamanan penonton berkat pesan filmnya sendiri. Kita sedikit dikelabuhi tentang maksud Polanski mengarang film ini. Apa masalah pem-bully-an hanya sebagai kedok yang berujung ke saling umpat jati diri atau bagaimana? Bagian itu terasa janggal kendati sesekali derita anak mereka sempat disinggung. Tapi bagaimanapun juga, niat baik Polanski patut dipuji. Cukup dengan satu apartemen dan empat orang saja mampu membalikkan simbiosis menjadi rantai makananan yang saling menyikut dan menikam satu sama lain. Perilaku rumah tangga serta harmonisasinya yang juga patut dipertanyakan. Kadang, tampilan luar yang bahagia belum tentu juga menyimpan bongkahan kebahagian yang sama dengan kulit luar tadi.

Foster dan Winslet sangat pantas mendapat nominasi Golden Globes kemarin mengingat Winslet yang begitu hebatnya mengatur rasa mual dan akhirnya muntah tanpa ada efek apapun. Begitupun Foster yang meletup-letup berkat pancingan dari Winslet maupun Reilly. Carnage tipe film yang unik namun kurang mendapat tempat bagi sebagian orang. Bukan saja yang keluar dari pakem film kebanyakan tapi Carnage juga tidak menyisakan apa-apa selain pembenahan diri lewat untaian kalimat dan segaris kemarahan. Setidaknya, Polanski sekali lagi sukses membuat karya yang super dan mendapat sambutan hangat di sidang kritikus. Happy watching!

by: Aditya Saputra

Rabu, 25 Januari 2012

Beginners (2011)



Director: Mike Mills

Cast: Ewan McGregor, Melanie Laurent, Christopher Plummer

Rate: 4,5/5



Akhirnya ada film yang begitu personal, nyaman untuk dinikmati, tidak glamor nan vulgar, penceritaan yang menghipnotis, kisah cinta yang begitu romantis. Lengkap sudah apa yang melingkari Beginners dari awal sampai akhir. Mengkritisi hubungan ayah-anak, laki-laki dan perempuan seakan menjadi sebuah poin tersendiri untuk Mills yang sangat telaten mendeskripsikan Beginners dengan sangat memesona. Jika menoleh ke belakang, kita akan menemukan judul Venus, cerita dengan puber kesekian seorang tua yang diperani dengan gestur sempurna oleh Peter O'Toole. Kecermatan Venus diikuti oleh Mills dalam mengangkat tema serupa. Sekarang dengan Plummer sebagai wayangnya. Untuk perannya di sini, Plummer membuktikan jika kiprahnya di dunia sinema selama ini memang bukan sembarang talenta.


Penuturan Beginners begitu halus, dan mengambil format flashback dari point of view seorang lelaki yang merasa kepergian ayahnya menyisakan banyak kejutan baginya. Keterkejutannya akan pengakuan sang ayah yang merunuti tentang kehidupan lewatnya bersama sang ibu, serta sesekali diperlihatkan kehidupan pekerjaannya yang naik turun, terakhir tentang pemolesan cerita cinta yang lembut dan sangat romantis. Dari penggalan cerita tersebut, sang pria menemukan arti lain dari sebuah penggambaran cinta. Cinta sejenis yang dijalani ayahnya di sisa masa hidupnya. Sang ayah yang sudah out of the closet dan menemukan pasangan baru di dunianya sendiri. Penyakit yang menggerogoti hidupnya hanya dirasa sekali lewat sejalan dengan kebahagiannya menemukan kekasih idaman.


Babak pertama film ini bergulir interaksi tokoh utama dengan ibunya di masa kecil. Bagaimana cara ibunya mendidik dirinya dengan cara yang berbeda. Mengajari pandangan yang lain. Babak selanjutnya tentang hubungan asmara dengan seorang aktris Perancis yang bertemu saat pesta kostum di suatu acara. Sepanjang film dijelaskan bagaimana mereka akan menghadapi hubungan yang serius dan paranoid untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih intim. Dan yang terakhir dan yang paling spiritual adalah simbiosis antara ia dan ayahnya, tepat di saat-saat terakhir ayahnya akan meredam nyawa. Tiga untaian cerita inilah yang dengan pintarnya diramu dan disulam oleh Mills menjadi satu produk yang indah untuk disimak. Walaupun sepi alunan musik dan terkesan senyap, tapi perjalanan si tokoh utama mampu berbicara banyak. Tanpa harus memaksakan penonton untuk mencerna amanatnya, film ini malah mengalir terus tanpa membuai yang tidak-tidak.


Ada tiga aktor utama, dan mereka menjelma menjadi sosok yang sangat loveable. Kita dibuat untuk mencintai dan simpati kepada mereka, terutama untuk sosok yang dimainkan dengan sangat memukau oleh Plummer. Di samping McGregor yang berhasil menjadi seorang grafis desainer yang pangling dengan hidupnya, serta Laurent sukses menaruh jiwa pemanis, kemapuan olah akting Plummer lah yang melengkapinya. Kekuatan gestur yang meyakinkan dan emosi yang teraut dalam wajah tuanya terefleksikan dengan sangat mumpuni. Di usia senjanya ini, berkat peran tak biasanya ini, sangat wajar pula akhirnya didaulat sebagai Best Supporting Actor in Motion Picture di Golden Globes kemarin dan pula dinominasikan untuk kategori yang sama di Oscar tahun ini. Christopher Plummer for the win!


Tidak berlebihan jika saya menyebut Beginners sebagai kejutan akhir tahun yang menggembirakan. Di luar ceritanya yang sangat believeable, Beginners memang contoh film yang dari satu sisi saja sudah mampu mengungkapkan banyak hal. Disubstitusi dengan pesona seluruh aktornya yang bermain dengan sangat bagus, saya lantas mengharapkan produk Mills selanjutnya. Thumbsucker yang tak biasa pun menjadi tontonan yang ajaib di tangannya. Verdict, banyak cerminan hidup yang terbiaskan di film Beginners. Yang paling menohok adalah arti cinta sebenarnya dan kejujuran yang mungkin akan pahit hasilnya. Beginners for the win!! Happy watching!


by: Aditya Saputra

Trespass (2011)



Director: Joel Schumacher

Cast: Nicole Kidman, Nicolas Cage, Cam Gigandet

Rate: 6/10



Ceritanya minimalis, sama seperti lokasi filmnya yang di situ-situ saja. Aktornya kelas kakap, sayang pembawaan mereka seperti ada sesuatu yang kurang. Sutradaranya orang yang sama yang pernah membangun Phone Booth dengan begitu dramatisirnya. Trespass hanya bertutur tentang pembajakan rumah yang kurang lebih mirip seperti Firewall waktu itu. Sayangnya Firewall seperti menipu penonton, dari judulnya yang serupa akan menjelaskan tentang lika-liku perkomputeran dan sejenisnya malah melenceng ke perampokan rumah. Beda lagi dengan Trespass yang sedari awal memang sudah engumandangkan tema pembajakan tadi. Kali ini yang jadi incaran tamu tak diundang itu adalah berlian, serta wanita idaman si perampok. Jika ditelisik lebih jauh, semestinya cerita film ini bisa berkembang kalau saja penulis naskahnya bisa melebarkan intrik selingkuhnya. Sayang bagian itu kurang dieksplorasi dan terkesan jalan di tempat serta membuat tampilannya jadi sedikit cemen.


Permainan akting Cage dan Kidman memang tidak terlalu buruk. Ekspresi-ekspresi mereka terlihat pas untuk beberapa sekuens. Seperti rasa ketakutan, kesal, dan segala rupa ego diperlihatkan seolah-olah nyata. Buruknya, mendekati ending, poin tadi melempem dan hilang begitu saja. Grafik gregetnya menukik tajam dan seakan Oscar mereka serasa diragukan. Bukan 100% salah mereka, dari skrip dan penanganan Schumacher sendiri seperti kurang energi. Film maker-nya terlalu lamban dalam mengeksekusi beberapa adegan kendati masih menyisakan sedikit emosi. Tapi itu saja tidak cukup, kesalahan yang paling fatal adalah penggunaan efek yang terkesan murahan dan kurang melihat detil-detil penting sepanjang film. Seperti saat Cam yang dipukul habis-habisan, terlihat jika mulutnya penuh darah. Namun, selang beberapa detik kemudian, darah tadi menghilang begitu saja. Alakazam!!


Positif dari film ini adalah penokohan. Walaupun tidak begitu kokoh, namun semua watak memiliki peran tersendiri. Maksudnya, tidak sia-sia menempatkan mereka di film ini. Perampok yang diharuskan tempramental dan sadis di sini dibuat sedikit kikuk dan labil. Menyenangkan buat saya. Dan otoriter dari pengambilan gambar yang juga khas Schumacher yang cukup membantu menjaga emosi penonton. In this part, he did it! Dan, walaupun tidak banyak, setidaknya Trespass sudah mencoba berbagi ilmu secara informatif tentang berlian dan asal muasalnya.


Amanat film inilah yang membuat saya mengurungkan memberi ponten merah untuk film ini. Hubungan keluarga ditonjolkan dengan sangat bagus baik dari sisi pelaku maupun korban. Kepercayaan yang seharusnya berkembang dalam rumah tangga malah menjadi senjata balik buat merusak rumah tangga itu sendiri. Sikap acuh suami terhadap keluarga yang mengakibatkan neraka kesepian bagi istri dan anak, memang akan mengalirkan kutub negatif mulai dari intrik perselingkuhan atau kurangnya rasa empati dan simpati satu sama lain. Contoh kecil lain adalah keberanian seorang anak yang nekad kabur dari rumah. Itu sudah jelas karena adanya kesenjangan antar ayah-anak-ibu.


Untuk sebuah tontonan yang menghibur, Trespass boleh saja dibilang gagal, sekalipun menurut saya ukuran gagal semestinya lebih parah hasilnya daripada film ini. Lubang di sana-sini yang menyelimuti Trespass tertolong berkat selipan pesan moral yang sangat down to earth dan dekat dengan kehidupan sehari-hari. Schumacher mungkin telah kehilangan tajinya dalam melepaskan dahaga moviegoer dalam menyajikan asupan yang bergizi. Tapi, jika dikaji lebih lanjut, Schumacher sendiri masih setia sama pakemnya dalam membuat film yang bukan hanya dar-der-dor belaka tapi juga menjadi renungan bagi penonton, kali ini menyikut soal rumah tangga. Happy watching!!!


by: Aditya Saputra

Sabtu, 14 Januari 2012

Drive (2011)


Director: Nicolas Winding Refn
Cast: Ryan Gosling, Carey Mulligan, Albert Brooks, Ron Perlman
Rate: 4/5


Dua dari tiga film panjang Ryan Gosling untuk tahun 2011 ini sudah saya tonton, dan keduanya bertaraf bagus. Crazy, Stupid, Love. yang beraroma komedi romantis memberikan kesan mendalam bagi saya dengan tampilan bedanya, The Ides of March yang diperuntukkan pertarungan di Oscar kelak juga menggadang Gosling sebagai penyabet aktor terbaik dengan pendalangan mengagumkan dari George Clooney, dan Drive yang juga memberi imun baik bagi akting Gosling turut memberikan sumbangsih besar untuk perhelatan Academy Award nanti. Ini benar-benar tahunnya Gosling. Tidak seperti aktor lain yang sering ada tumbal film tiap tahunnya, Gosling menampilkan keseluruhan penampilanan dengan energi yang mapan serta kesiapannya untuk maju ke podium kelak. Dan Drive sendiri, tidak senada dengan judulnya yang bersifat kebut-kebutan model The Fast and The Furious, kontradiktif itu muncul tepat saat detik pertama muncul di layar.

Prolog film ini mengenalkan kita sosok pengemudi malam yang menggantungkan hidup sebagai pembantu sindikat pencurian. Siangnya, ia dikenal sebagai stunt driver untuk film-film berbahaya dan terkadang juga ikut kompetisi Nascar. Namun job lainnya ia pilih dengan bekerja sebagai buruk sopir lepas untuk membantu pencurian gelap. Di tengah hidupnya, ia berkenalan dengan seorang wanita beranak satu yang tinggal di sebelah apartemennya. Mengetahui jika suami sang wanita adalah residivis yang meminta bantuannya untuk memperoleh uang haram, dan yang membuka tabir jika bagasi mobilnya adalah mula dari pencariannya terhadap para monster tak berperikemanusiaan yang mulai menguntit hidupnya dan kelanggengan sang wanita pujaan.

Apa yang menarik dari Drive? Pertama adalah kesunyiannya. Berawal dari kesenyapan sang tokoh utama dan digiring secara perlahan oleh isi film yang sangat mengejutkan di tengahnya dan berakhir dengan begitu mencengangkan. Kedua, faktor Ryan Gosling sebagai eksekutor. Kekuatan gesture dan akting apiknya membantu sekali akan keluwesan Refn dalam mengolah gambar. Terakhir adalah teknisnya yang mengagumkan. Gaya penceritaan a la retro serta gubahan musik yang kontemporer sedikit banyak menyumbang akan betapa kerennya film ini. Penonton akan dibuat kaget. Kepekatan di hampir setengah film tiba-tiba dikejutkan dengan sebuah adegan yang tak akan terduga jika adegan selanjutnya akan berkali-kali lipat mengejutkannya. Unsur inilah yang menjadi kekuatan Drive. Tidak menonjolkan kegarangan senjatanya untuk disimpan hingga waktu yang tepat.

Performa Gosling 10 betul yang mengakibatkan film bermain di standar maksimal. Lewat kesantainnya meenyetir mobil, berdialog dengan si antagonis, memegang senapan, hingga bersenda gurau dengan wanita menyiratkan jika ia aktor yang mumpuni. Mulligan dengan muka inosennya juga cukup meniup angin segar dan sedikit memberikan ruang bagi penotnon untuk bernafas. Karena apa, setengah film selanjutnya film akan berjalan tegang setegang-tegangnya. Musik yang mengalun lembut, mengoper adegan slow motion menjadi sangat menggugah.

Sangat jarang film yang begitu hampir sempurna di segala aspek teknis dan non-teknisnya. Drive pasti masuk di salah satunya. Power script sebagai manuver utama ditumpuk dengan ilmu akting dari para aktornya, ditambal dengan musik yang pas momentumnya, mengisaratkan jika Drive dikatakan sebagai sleeper hit yang berhasil. Tidak perlu dialog panjang lebar, tidak butuh juga multi plot ataupun latar-latar berbilang dolar, cukup naskah yang sanggup digodok dengan sempurna, sebuah film akan berlari dengan sempurna sendirinya. Happy watching!

by: Aditya Saputra

Mission: Impossible - Ghost Protocol (2011)


Director: Brad Bird
Cast: Tom Cruise, Jeremy Renner, Paula Patton, Simon Pegg, Michael Nyqvist, Lea Seydoux
Rate: 4/5


Kapan terakhir kali Anda melihat Tom Cruise memegang senjata dan mengejar musuh dengan kakinya sendiri? Knight & Day, bukan? Dan film itu seperti mencoreng nama Ethan Hunt yang kadung melekat di jidatnya sebagai aktor yang mampu menjadi agen bak James Bond. Sepanjang karir selebritasnya, terhitung Cruise sudah tiga kali memerankan sosok agen tampan yang mampu berkelana dan bertarung dalam kondisi apapun. Menjengkelkan memang melihat sosok Ethan yang tak pernah kalah dan dipuja para wanita di seluruh dunia berkat Tom Cruise. Tapi bagaimanapun juga, kehadiran Ethan di tangan Cruise memang pas badan, dan sukses menghantarkannya ke seluruh dunia sebagai aktor favorit hingga sekarang. Kini, berkat bantuan Brad Bird, untuk kali keempatnya Cruise mencoba berpetualang ke Dubai guna mencari untung sebesar-besarnya.

Filmnya jelas sudah meraup laba yang fantastis. Bukan berkat Bird maupun filmnya yang full aksi, tapi tunggal oleh Cruise. Tom Cruise ditambah action movie adalah big office, hal itu tak bisa ditepis. Sekalipun Brad Bird adalah pemegang Oscar lewat The Incredibles dan Ratatouille, tetap Cruise menjadi tersangka atas suksesnya Ghost Protocol. Cerita untuk filmnya sendiri secara umum hanya pengulangan dari tiga seri sebelumnya. Sosok Simon Pegg kembali diundang guna mengisi slot komedi dari dirinya, dan untung saja berhasil. Michelle Monaghan yang muncul sekelibatpun gunanya untuk menyambungkan tali dari serentetan seri sebelumnya. Kehadiran Paula Patton yang black-exotic-nya, serta Jeremy Renner yang siap mengambiul tongkat estafet dari Cruise memainkan perannya dengan sangat pas. Pemilihan pemeran antagonispun terbilang meyakinkan. Tidak hanya rupawan namun juga mampu berolah beladiri yang berhasil menyusun adegan laga menjadi enak ditonton, Lea Seydoux contohnya.

Tidak berlebihan, karena memang di film ini segala adegan aksi serasa dioptimalkan sekali. Dari awal mereka di Budapest hingga berakhir di Uni Emirat Arab lengkap dengan sandstorm-nya ditampilkan dengan sangat takjub. Efek yang membantu serta pesona gadget-gadget terkemuka diperlihatkan secara frontal guna menggelegar kuping dan mata penonton. Yah, penonton memang mengharapkan film aksi yang demikian. Alih-alih setengah-setengah dalam bertarung, Ghost Protocol malah melanjutkan tensi hingga terus menaik dari awal hingga akhir. Sekalipun hampir tidak ada dialog yang berbibit bobot yang signifikan, tetapi terbantu oleh tampilan megah film ini. Bird yang kita kenal hanya bergelut di dunia animasi, serasa menemukan pintu gerbangnya sendiri dalam menyetir film ini menjadi paket yang layak untuk diterusi franchise-nya.

Tidak ada yang salah dengan logika pada film ini. Meskipun banyak yang menyebutkan bejibunnya adegan lebay di film ini, toh tak sedikit juga yang berdecak kagum serta gemetaran melihat tokoh kesayangan kita dirundung kesusahan. Kekuatan komedik dari Pegg mungkin mampu meleburkan segala peluh keringat kala melihat Cruise memanjat dinding kaca berpuluh-puluh lantai tingginya. Mengatur nafas saat Renner bermagnet-ria, jika tanpa Pegg di belakangnya, mungkin kita lupa jika film ini adalah Mission Impossible. Terlalu mengharapkan yang lebih, padahal apa yang terpampang di layar sudah lebih dari cukup. Satu lagi ialah permainan musik dari Giacchino. Theme song legendaris dari MI yang ciamik itu diolah menjadi sentuhan yang segar dan membahana seisi studio kala itu. Pro dengan musiknya, pergerakkan kamera dari Robert Elswit sungguh dinamis. DoP favorit saya ini memang sudah membius dengan sorotan cemerlangnya saat mengambil gambar Daniel Plainview di tanah gersang lewat There Will Be Blood tempo hari. Di sini, kerja santainya mencerminkan kerja kerasnya.

Untuk suatu kemasan hiburan, Ghost Protocol bukan sembarangan film seri yang dibuat hanya demi uang semata. Walau kemungkinan alasan itu ada benarnya, tapi toh keleluasaan Bird untuk tidak mematikan tokoh Ethan Hunt sungguh patut diapresiasi. Belum lagi ini adalah live action movie pertamanya dan bagusnya, sukses besar. Paradigma Cruise yang menua dan kenyataan jika gadget semakin mengglobal, memungkinkan franchise ini akan terus berlanjut dengan atau tanpa Cruise berdiri di tengah poster. Tidak ada pesan terselubung selain si baik dan si jahat. Nikmati saja polesan visual yang memanjakan mata. Selesaikan dengan perasaan puas, dan Mission: Impossible is impossibly worth to be hated. Happy watching!

by: Aditya Saputra

Jumat, 13 Januari 2012

Bridesmaids (2011)


Director: Paul Feig
Cast: Kristen Wiig, Maya Rudolph, MElissa McCarthy
Rate: 3,5/5


Banyak yang menduga sebelumnya jika film ini tak beda dengan kebanyakan komedi pernikahan pada umumnya. Menampilkan adegan slapstick dengan gaya humor Amerika yang sedikit jorok dan kasar, desilipin dengan romansa yang old-fashion, serta ending yang diharuskan bahagia. Sekalipun ada sososk nama Judd Appatow di dalamnya, juga tak menyurutkan pandangan penonton jika film ini tak jauh sebagai film wanita dengan unsur feminis yang berlebihan. Untuk satu hal tersebut, tidak ada yang salah. Bridesmaids memang mengarah dan akhirnya mengacu sebagai film romantis komedi yang bertutur keras pada pergolakkan wanita entah dari sisi negatif maupun positifnya. Yang menarik, sang empunya projek tidak meletakkannya sebagai tontonan wanita saja, karena terus terang, banyak hal lain yang mampu dipetik dari film ini, bukan sekedar gelak tawa.

Menimbulkan sebuah pertanyaan jika pada diri kita sendiri terbungkus rasa iri dan dengki yang berkecamuk melihat sahabat kita seperti tak mau lagi mendengar pendapat kita dan sebagainya. Menyesakkan dada jika lawan kita berasal dari kalangan super elit yang terasa mustahil buat ditaklukkan. Lebih nista lagi, jika hidup kita tengah ditudung masalah baik karir, keluarga, maupun dengan kekasih. Annie Walker adalah tokoh utama kita yang ceritanya sudah saya umbar sebagian dari beberapa penggal kalimat di atas. Hidup super slenge'an dengan tingkah yang hampir keseluruhan orang sekitarnya tidak menyukainya menyebabkan Annie menjadi sosok yang cenderung semau gw. Hingga pada akhirnya, sebuah pesta yang menentukkan arah hidup Annie dan bercermin pada keadaan tentang kesalahan fatal yang telah ia perbuat.

Yang cukup menarik dari film ini adalah patut disimaknya beragam karakter yang cenderung generik tapi tetap istimewa bagi penonton. Beberapa tokoh hidup di tangan aktornya masing-masing. Pembawaan mereka yang santai menghangatkan segala adegan yang ada. Mulai dari dialog lucu hingga yang bersifat intimpun menjadi suatu paket yang segar tanpa harus diselipi dialog-dialog super berat. Segala intrikpun memang sangat nyata, semua orang di dunia bisa saja terjadi seperti kondisi mereka. Naskah yang tersusun rapih inilah sungguh dicermati pembuat filmnya dengan bijaksana dan mengadu para aktor dan skripnya tadi untuk tetap stabil di hadapan kamera.

Penguasaan Kristen Wiig sebagai pemeran utama jelas nyawa terbesar untuk film ini. Tanpa dia mungkin keseluruhan paket tadi akan menguap begitu saja. Penampilan yang santai namun prima membantu menghidupkan film feminis satu ini. Kerja keras yang sepadan dengan dampak nominasi yang seliweran belakangan ini kepadanya. Appatow selaku isi kepala untuk filmnya kali ini tidak serta merta meninggalkan atribut kekocakannya yang biasa ia bawa untuk film banyolan khas prianya. Kali ini lewat bantuan badan perempuan. Feig yang sudah pengalaman lewat The Office selama ini, mengangkat Bridesmaids ke hasil yang mengagumkan untuk kalangan pemula di layar lebar.

Kendati hampir seluruh kritikus menyebut Bridesmaids film komedi romantis biasa-biasa saja, namun pesan dan kritik yang membalutnya mampu berbicara lebih dari itu. Isu persahabatan dan tema yang umum seperti cinta dan pernikahan ini memang masih menjadi tombak yang pas jika dibuat dengan bijaksana. Beberapa adegan yang terasa baru dan segar, serta bantuan menawan dari para pekerja aktingnya, mampu melahirkan Bridesmaids disukai pria dan wanita dan diplakat sebagai salah satu keluaran terbaik tahun 2011 kemarin. Bersanding di Golden Globe, meskipun tidak optimis untuk menang, setidaknya masih lebih pantas dipilih ketimbang The Tourist yang 'dipaksakan' ikut bersaing. Happy watching!

by: Aditya Saputra