Jumat, 24 Agustus 2012

Perahu Kertas (2012)



Director: Hanung Bramantyo
Cast: Adipati Dolken, Maudy Ayunda, Reza Rahardian, Elyzia Mulachela, Kimberly Ryder, Ira Wibowo, August Melasz, Titi DJ
Rate: 3/5


Hanung Bramantyo sering kali mengadaptasi sebuah buku untuk dijadikan cerita panjang berbentuk pita seluloid di layar lebar. Selama ini, kiprah beliau di kancah perfileman Nasional selalu diisi dengan angin segar baik secara dramatikal maupun komedikal berkelas. Ingat sekali bagaimana saya dibuat tertawa terpingkal-pingkal saat menonton Get Married, dan tersedu sedan kala menyaksikan Sang Pencerah. Persamaan keduanya dengan Perahu Kertas secara pribadi, ketinganya saya tonton H-1 Lebaran Idul Fitri. Itulah target pasar yang selalu Hanung terapkan selama ini. Mematok libur lebaran untuk menjaring penonton sebanyak-banyaknya.

Beda dengan Ayat-Ayat Cinta yang kental nuansa agamisnya, melalui Perahu Kertas Hanung bercerita tentang tema yang sangat umum tapi sarat akan kesan dongengnya. Sebelum itu, saya ingin memberi tahu jika Perahu Kertas adalah buah pena dari salah satu penulis terkemuka di Indonesia, Dewi 'Dee' Lestari. Jebolan RSD itu lambat laun telah menelurkan banyak karya seperti tetraloji Supernova, Madre, Rectoverso, Filosofi Kopi, dan Perahu Kertas ini sendiri. Kesemuanya menjadi best seller nasional. Dan di sini saya tidak akan me-review buku-buku fantastis itu, melainkan mengupas tentang apa yang ada di pikiran saya setelah menonton tulisan Dee versi gambar bergerak. Karya Hanung Bramantyo, yang melalukan blooper hidupnya saat mengadon naskah Sundel Bolong dengan begitu parahnya.

Suatu waktu, dipertemukanlah Kugy dan Keenan yang memiliki kepribadian dan latar belakang yang sama uniknya. Keduanya juga terperangkap pada seni yang harus melebur sejalan dengan paksaan nasib. Satu pendongeng, satunya lagi pelukis. Sisi lain dari Kugy adalah dia antek dari Dewa Neptunus. Menulis surat buah pikirannya lantas dijadikan perahu kertas lalu dialiri ke air, karena ia percaya seluruh air di muka bumi ini akan bermuara ke lautan jua. Pertemuan unik mereka ternyata berjalan dengan sangat hidup. Hingga satu hari mereka diharuskan oleh penulis untuk berpisah sejenak dan menjalani kehidupan masing-masing. Keenan bertapa di Bali dan Kugy kembali menyelami hiruk-pikuk kota Jakarta. Happy ending? Iya.

Mungkin ada benarnya Hanung membagi novelnya menjadi 2 film secara terpisah, karena saya sendiripun susah menulis sinopsis singkat tanpa melepaskan ditel-ditel menarik dari bukunya. Secara cerdas, Dee menulis ulang skripnya tanpa membuang poin-poin penting yang ada di karya sastranya. Sampai sesi ini, Perahu Kertas berhasil membuai saya. Di teritori penggarapan Hanung, Perahu Kertas indah berkat pencapaian terbaik tata kemeranya. Sinematografi yang menyorot lenskep seting dipotret dengan apik. Banyak adegan yang terbentuk berkat ambience fotografinya. Pemilihan cast pun tidak sembarangan. Walaupun Dolken dan Maudy masih asing di telinga, setidaknya mereka cukup telaten dalam memperagakan karakter novelnya menjadi nyata. Kugy yang selalu tampak ceria sekalipun pada saat bersedihpun dapat dimainkan dengan santai oleh Maudy. Setali tiga uang dengan kegalauan Keenan yang diserap dengan pas oleh Dolken. Sedangkan untuk para ekstranya, terutama August Melasz, mereka penyempurnanya.

Namun sayangnya, fiksi indah ini harus diretak oleh kualitas musik, yang entah bagaimana mengatakannya, seperti 'kebetulan' sama. Ada satu instrumen dan nada yang sama persis dengan musik latar dari film Babel karya Alejandro Gonzales Innaritu yang berjudul Bibo No Aozora. Tanpa mengesampingkan peran 'kebetulan' tadi, bagi saya slot itu sungguh-sungguh mengganggu. Kendati soundtrack-nya cukup easy listening, tetap saja 'kebetulan' tadi jadi disturbing sequence yang teringat sampai sekarang.

Terlepas dari itu semua, Perahu Kertas tersaji dengan penuh filosofi. Penonton seakan sedang diajarkan untuk menilai hidup mereka sendiri. Karena, Perahu Kertas adalah paket lengkap bagaimana kita mengenal apa itu cinta, apa itu cita-cita, apa itu persahabatan, apa itu keluarga, dan apa itu tujuan hidup. Cermin klasik yang akan kita tahan untuk melihat sambungan ceritanya beberapa bulan ke depan. Happy watching!

by: Aditya Saputra

Tidak ada komentar:

Posting Komentar