Kamis, 15 November 2012

Aku Membunuh Diriku Sendiri

Aku tidak menyesal. Setahun sudah aku dibui, tidak ada sedikitpun perasaan bersalah yang merongrong diriku atas apa yang sudah aku perbuat. Toh buat apa aku bersimpuh meminta pengampunan? Aku telah menguji dunia, di mana batas kesabaran seorang makhluk. Aku bersedia dihukum Tuhan jika memang aku bersalah. Namun, pada kenyataan, aku hanyalah umat-Nya yang tidak neko-neko, tapi kenapa diberikan cobaan yang sungguh berat ini. Tuhan sayang kepada diriku, tapi tolonglah, jangan cara seperti ini yang harus aku jalani.

Dua tahun lamanya aku berusaha bangkit dari kepedihan dan malapetaka yang terus-terus menghantui diriku. Satu cobaan berlalu, lanjut datang yang kedua, ketiga, dan seterusnya. Jika sekarang aku menyimpan dendam yang telah membuncah ini, pantas kan kalau aku meluapkannya?

Pagi itu matahari seakan memberikan semangat baru untuk aku dan dirinya. Menyambut hari yang dinanti-nanti. Menyongsong hari yang akan menyucikan kami sebagai pasangan yang halal. Si dia begitu senang, sumringah sepanjang minggu belakangan. Aku pun merasakan hal yang sama. Tidak pernah aku menikmati hari sebahagia ini. Perempuan yang telah mengayomiku selama 2 tahun terakhir itu akan menjadi primadona satu-satunya yang akan menemaniku di tempat tidur nantinya. Letupan kebahagiaan bermetamorfosis menjadi momen yang mungkin tak akan terlupakan. Semua dirancang dengan penuh kepastian. Kami saling membagi tugas untuk hari nan sakral itu. Kami tidak pernah saling egois dan selalu menempatkan diri di posisi yang benar. Kami pun tetap menjalani metode pacaran yang seharusnya.

Aku sangat mencintainya, begitupun sebaliknya. Kami memang bukan contoh pasangan kebanyakan yang menunjukkan perasaan sayang dengan hadiah atau sentuhan fisik yang bagi kebanyakan orang bisa jadi sebagai simbol kasih sayang seutuhnya. Cukup dengan perhatian dan hal-hal kecil, hubungan kami jauh lebih intim. Saling mengerti keadaan dan waktu satu sama lain adalah kunci mengapa kami berani menyalurkan satu ide untuk bersemarak dan mengumandangkan hubungan kami di depan penghulu dan di atas panggung pernikahan. Rumah tangga adalah tujuan kami, mutlak. Karir yang telah kami topang selama ini kami rasa sudah cukup untuk dijadikan modal untuk kami membangun keluarga kecil di bawah pondasi rumah yang telah kami cicil selama ini. Terasa matang, dan siap melangkah ke ranah yang lebih dewasa.

Tapi kadang, Tuhan terlalu berani memberikan takdir kejam kepada makhluknya. Angan dan mimpi yang akan terwujudkan itu ternyata belum dirasakan cocok untuk kami berdua. Bahkan mimpi tadi perlahan namum pasti berhasil menjadi momok dan nightmare yang harus aku terima, ikhlas tak ikhlas.

Dua hari sebelum pernikahan kami digelar, kekasihku (ya, aku tak sanggup menyebut namanya) dihadang oleh tiga pria jalanan laknat. Aku tidak tau pasti kekasihku dari mana dan hendak ke mana, yang aku tau kekasihku diperkosa habis-habisan di sebuah gedung kosong dan akhirnya dirampok harta bendanya. Waktu itu aku belum tau siapa tiga setan yang dikirim Tuhan itu. Aku hanya merasa kosong, mendapat telpon dari orang tua kekasihku jika ia sedang di rumah sakit. Dalam keadaan sekarat. Aku, yang saat itu sedang mengontrol kesiapan gedung yang akan digunakan di hari H nanti, merasa ditindih beban berjuta ton beratnya. Aku sekonyong-konyongnya langsung lari ke mobil dan menuju rumah sakit yang diinfokan. Sepanjang jalan, kecepatan mobilku selaras dengan kecepatan air mata yang mengalir. Aku tidak bisa mengontrol emosiku. Bahkan sesekali isakan tangisku terdengar sangat jelas di tengah hiruk-pikuk jalan raya malam itu. Aku bahkan sempat salah jalan saking tidak fokus lagi menyetir mobil. Perasaan marah berkecamuk tak sudah-sudah.

Ruangan ICU yang sunyi kontras dengan keadaan di depan pintu. Raungan semakin jadi tanpa ada seorang pun yang meredamnya. Aku kalut, kewarasanku tiba-tiba hilang, logikaku sudah terbang entah kemana. Yang aku lakukan hanya menangis, menjerit dan mengumpat kepada Tuhan mengapa ini harus terjadi di sela-sela hari penuh makna bagi kami berdua ini. Ujian Tuhan terlalu mengada-ngada. Tangisanku mendadak berhenti saat dokter yang keluar dari ruangan dan memberikan hasil sementara kekasihku. Dokter bilang jika dia mengalami shock berat dan masih mengalami goncangan yang sangat dalam. Kekasihku sadar, tapi dengan tatapan kosong, tanpa arti. Aku mengerti perasaannya. Aku tidak beranjak satu meterpun darinya, aku rela hancur demi membuatnya kembali bangkit. Tapi apa daya, malapetaka ini terlalu menyesakkan. Aku tidak berhenti menyalahkan diriku sendiri. Aku ingat jika siang itu ia memang bilang mau mengurusi sesuatu di salah satu tempat, tapi tidak bilang di mana tempat itu spesifiknya. Aku hanya mengiyakan dan percaya jika tidak akan terjadi apa-apa dengan dirinya nanti. Tapi aku bukan Tuhan yang bisa memberikan garansi akan kehidupan seseorang, dan takdir berkata lain. Dan inilah hasil akhir dari perlakuan tiga setan brengsek utusan Tuhan yang Maha Agung.

Pagi itu kekasihku masih terlena dan terjaga. Dia tidak tidur sama sekali, dan dia belum mengucapkan satu katapun paska insiden itu. Hanya air mata yang sesekali turun dan melunturkan maskaranya yang belum sempat dibersihkan itu. Aku terlampau sayang kepadanya, dan aku semakin terpukul dengan keadaan mengenaskannya ini. Aku menemaninya menangis walaupun aku tau ini tidak bisa meringankan beban yang sedang dipikulnya.

Tuhan menyulap keadaan menjadi lebih baik. Kekasihku sudah diizinkan pulang karena selama beberapa minggu di rumah sakit ia mengalami progres yang bagus. Pernikahan kami rusak. Undangan, baju pengantin, gedung dan catering yang telah disewa semua hancur. Tidak akan ada pesta megah yang selama ini kami idamkan. Tidak ada prosesi tukar cincin yang kami dambakan. Tak ada juga malam pertama yang kami harapkan. Dan tentang keluarga kecil kami, kami tutup episode itu sementara waktu. Aku tidak lagi memikirkan rasa malu, malah aku tidak perduli dengan gunjingan orang lain perihal masalah ini. Yang ada di benakku sekarang, bagaimana caranya mengembalikkan kebahagiaan batin kepada kekasihku. Aku ingin Tuhan tidak hanya memberikan cobaan, namun juga mukjizat. Sebuah keajaiban yang bisa menyembuhkan kekasihku dari kenistaan maha berat ini.

Situasi membaik, kekasihku sudah mulai merasa kembali ke hidup aslinya. Dia sudah kembali 'mengenal' ku. Aku mencurahkan semua yang aku bisa untuk membentuk kebahagiaan yang sempat hilang untuk dirinya. Aku menjadi sering bolos kerja, lupa makan, membiarkan kumis dan jenggotku yang mulai memanjang. Semua kulakukan semata untuk membuatnya kembali tersipu, menghirup segarnya udara dunia. Aku ajak kekasihku ke pantai, mengelilingi kota kecil ini, bercengkrama ria di taman yang biasa kami lakukan saat berpacaran dulu. Aku berusaha memunculkan kembali kenangan itu dan merangsang daya ingatnya untuk melupakan kesuraman yang pernah melanda hidupnya. Walaupun tak mudah.

Dua bulan setelah terakhir kali aku mengantarnya pulang, petir kembali menyambar dan lingkaran setan semakin tebal menyelimuti hidup kekasihku. Kekasihku hamil, sebuah kejutan yang tak diharapkan. Lembar baru yang telah ia susun itu ternyata harus rusak lagi oleh vonis yang menyakitkan itu. Hujan air mata kembali terjadi. Aku hanya bisa diam, terpaku oleh keadaan yang aku sendiri bingung mengendalikannya. Kekasihku terperosok ke lobang yang paling dalam. Aku hanya bisa memandangnya dari atas lobang itu tanpa ada gerakan untuk menolongnya. Karena akupun tidak tau bagaimana cara terbaik membantunya keluar dari lobang itu. Aku seperti dilempar granat yang siap meledak. Aku dirudung dilematis yang sangat kejam. Begitupun kekasihku yang terlunta-lunta oleh estafet kesialan yang dideritanya.

Tuhan memberikan masing-masing jalan, dan inilah hidup yang harus dijalani kekasihku. Sialnya, kekasihku mengambil jalan pintas dan memilih untuk menyudahi kehidupan yang telah Tuhan persiapkan untuk dirinya. Tak menunggu lama, seminggu dari berita memalukan itu, kekasihku ditemukan tewas di dalam kamarnya. Ia akhirnya mengerti jika dirinya sudah tidak berguna lagi. Ia merasa kecewa dengan dirinya, merasa tidak pantas dengan diriku, merasa kotor, dan yang paling menyedihkan ia berterima kasih kepada Tuhan atas semua ini. Kata-kata itu ia tulis di secarik kertas yang sudah basah dan lusuh.

Ingin rasanya aku mengikuti jejak kekasihku untuk berhenti melanjuti hidupku. Elemen penyemangatku telah tiada, orang yang telah memompa kebahagiaan untuk diriku sudah hilang, menuruti kehendak Tuhan untuk kembali kepada-Nya walaupun dengan cara yang salah. Tapi Tuhan tidak bisa berkomplentasi lagi, makhluk-Nya satu itu punya alasan mengapa ia memilih mati secepatnya. Ia tidak ingin terlalu lama memendam luka dan aib yang menjerat lehernya itu. Aku semestinya pantas marah ke Tuhan. Secara tidak langsung Tuhan telah merusak benang kebahagiaan yang telah aku sulam selama ini bersama kekasihku. Tapi tanpa ancang-ancang, Tuhan lah yang memorak-porandakan semuanya. Mimpi yang hanyut ke aliran sungai hitam kelam.

Aku memutuskan untuk resign dari kantor. Lagipula hasratku sudah patah, kalah oleh kekesalan dan perasaan sakit hati. Aku melanjutkan hidup tanpa arah. Aku kehilangan rasa ingin hidup. Yang ada dipikiranku hanyalah bagaimana aku menemukan tiga bajingan itu. Rasa balas dendamku telah menggunung. Aku sengaja memisahkan diri dari keluarga dan orang-orang yang aku kenal. Aku ingin menyelesaikan ini sendiri tanpa ada 'dukungan' dan 'campur tangan' dari orang lain. Aku ingin mengeksekusi kejamnya dunia ini sendiri. Sudah ada yang menemaniku, kekasihku. Walaupun aku tau kekasihku tidak akan pernah menyukai apa yang akan aku perbuat ini. Tapi aku sudah membulatkan tekad, menyingkirkan logika, dan merancang semuanya dengan rapih.

Aku sudah mencari ke segala penjuru dengan segala cara tentang tiga iblis neraka Jahanam itu, namun nihil. Amarahku semakin terbakar, aku hilang kendali. Peringatan pahala terbantakan oleh niat pendosaku yang berkoar lantang. Aku tidak perduli lagi dengan apa itu pahala dan dosa. Yang aku inginkan adalah segera menuntaskan dan mencari ending yang sepadan dengan apa yang sudah aku terima. Tuhan kembali bermain-main denganku. Aku kesulitan menemukan lokasi mereka, atau mereka juga sudah ditelan bumi? Aku tidak tau dan tidak yakin, aku semakin berontak mencari keberadaan mereka bertiga. Nyatanya, semakin aku bersikukuh mencari, hasilnya semakin mendekati nol. Keputus asaan kembali bersemayam, kendati luapan balas dendam masih tidak bisa dibendung. Aku akhirnya menggunakan cara lain. Aku..........

Tidak ada komentar:

Posting Komentar