Minggu, 24 Juni 2012

The Best Exotic Marigold Hotel (2012)


Director: John Madden
Cast: Judi Dench, Tom Wilkinson, Bill Nighy, Maggie Smith, Dev Patel, Ronald Pickup
Rate: 4/5


Terkadang, ada beberapa film yang dibuat bukan untuk diikutsertakan dalam ajang-ajang spektakuler sedunia. Bisa jadi film itu hanya sebagai dedikasi atau ada maksud lain yang ingin disampaikan sutradaranya. Begitulah kesan yang saya liat selama menonton The Best Exotic Marigold Hotel (TBEMH) ini. Tidak ada art direction yang apik, tokoh-tokoh dengan tubuh langsing dan tampang rupawan, tidak ada juga lagu-lagu memorable sepanjang film. TBEMH dipersembahkan memang dengan jiwa filmis yang menggetarkan hati penonton jika cinta adalah objek universal yang bisa dirasakan oleh siapa saja, kapan saja, dan di mana saja. John Madden, yang dulu pernah memberikan Judi Dench peran hitungan menit yang memukau dan menghantarkannya mendapatkan patung Oscar, sekali lagi mengajak Dench di proyek sederhananya ini.

Ada Evelyn, seorang janda yang akan meneruskan bisnis suaminya, Graham yang merasa peran pentingnya di pemerintahan tidak diperhatikan lagi, Muriel yang tidak kerasan dengan kehidupan sekitarnya, Tuan dan Nyonya Ainslie yang diambang perceraian dan miskin rasa harmonis, Norman dan Madge yang sama-sama masih mencari kepuasan cinta di usia renta mereka. Secara kebetulan yang menyenangkan, ketujuh tokoh ini memilih kota Jaipur, India, untuk tujuan masing-masing mereka. Awalnya yang tidak saling kenal, pertemuan mereka di bandara, serta perjalanan panjang menuju Hotel Marigold, menjadi bumbu yang paling sedap dari film ini. Kocak. Sialnya, Hotel Marigold yang terbayang di benak mereka sangat berbeda dari aslinya.

Kita memang tidak akan melihat pelataran yang memanjakan mata. Sejauh mata memandang, Jaipur adalah kota kecil di India yang terkesan sempit dan kumuh. Yah, seperti kebanyakan kota di India lainnya. Bahkan 'best' dan 'exotic' yang terbaca di judulnya sama sekali tidak ada realisasinya di setting hotelnya sendiri. Tapi jangan salah, film ini menyimpan harta karun yang melimpah. Ketujuh tokoh kita yang terbiasa dengan kebiasaan di Inggris, di sini merasa ketakutan dengan produk Asia beserta hingar-bingar dan hiruk pikuk kota Jaipur ini. Some can adapt solemnly, some feel bad-adaptation. Saya tidak akan menjelaskan bagaimana masing-masing tokoh bisa memahami posisi mereka di tempat asing. Dan bagaimana nasib Hotel ini sendiri, biarlah terjawab oleh tiap penonton.

Cinta di usia senja. Satu-satunya pokok yang dibicarakan TBEMH. Semua teka-teki terpecahkan dan sebagai penonton yang budiman, pendiktean klasik seperti ini memang menyenangkan. Apalagi hal ini bisa dijadikan sedikit moral lesson bagi kita. Luar biasanya lagi, ada sedikit twist yang bisa jadi tidak akan terbaca oleh kita sedari awal. Dialog-dialog yang keluar dari mulut tokohnyapun begitu segar dan menyentuh. Celetukan sinis dari Muriel, quote-quote bermutu dari Evelyn, petikan-petikan kalimat cinta dari Sonny, sindiran dari Graham, dan sentilan-sentilan ringan arti cinta dari sisa tokohnya. Scriptwriter film ini adalah sang juara. Memadukan kisah biasa namun unik ini di tengah tandusnya India dengan bantuan aktor-aktor mumpuninya. Yah! Dench, Smith, Wilkinson, Nighy, dan lainnya dengan cekatan dan tanpa cela sukses menginterpretasikan karakter mereka dengan sempurna. Bakat adalah bakat, dan bakat tanpa pengalaman adalah hampa. Pengalaman mereka di dunia peran memang membuktikan mereka jika pekerjaan mereka di film ini sangat jelas membantu jalannya film menjadi lebih bermakna.

Ending film ini menuntaskan banyak hal yang tertunda. Dan tereksekusi dengan sangat manis dan rapih. Sesekali saya tertawa dan tersenyum melihat tabiat mereka dan dengan tidak sengaja malah menceritakan masa lalu mereka sendiri. Inilah harta karun yang seperti saya katakan di awal review. TBEMH dengan sangat berhasil sebagai film drama memikat, dengan isi jompo namun kualitas masa kini. Sesederhana itu memang arti cinta, namun kadang terasa rumit jika kita tidak ingin sejalan dengan rasa cinta itu sendiri. Terdengar basi bukan? Happy watching!

by: Aditya Saputra

Brave (2012)


Director: Mark Andrews and Brenda Chapman
Voice-over: Kelly McDonald, Emma Thompson, Billy Connolly, Julie Walters
Rate: 4/5


Brave, hanya berkutat pada teritori yang sangat sering disinggung oleh film-film tentang keluarga lainnya. Mengambil benang merah koneksi batin antara anak dan orang tua. Tidak ada yang spesial dari premis tersebut, sampai akhirnya saya buktikan sendiri menyaksikan film berdurasi 100 menit-an ini. Satu hal yang menjadi acuan adalah, Brave merupakan hasil beranak pinak dari rumah produksi animasi terbesar di dunia, Pixar Animation Studio. PH yang telah menelurkan banyak film brilian yang tak jarang menghantarkan ke podium Oscar serta beberapa tingkat festival lainnya. Selain itu? Apa yang menarik dari Brave jika prosa penceriteraannya terbilang sangat klise?

Merida, terlahir dari keluarga yang memiliki silsilah kerajaan yang mengesankan. Hidup di alam Skotlandia yang masih memegang unsur kaum viking, Merida terbentuk oleh kebebasan yang bertanggung jawab. Yang itu pula menjadi masalah bagi ibunya. Merida remaja mau tak mau dipaksa ibunya untuk menjadi puteri kerajaan yang berujung pada penjodohan ke kerajaan-kerajaan tetangga. Sayembara sepihak itu ternyata membuahkan hasil yang tidak akan terpikirkan sebelumnya. Keegoisan sang ibu dibalas oleh keegoisan sang anak. Bibit amarah yang ditanam, tumbuh menjadi mimpi buruk yang akan disesali oleh keduanya, seumur hidup.

Yang tak lazim dari kebiasaan Pixar adalah mempersembahkan sebuah film dengan wanita sebagai tokoh utamanya. Bahkan Merida dikisahkan sangat perkasa dengan bekal bakat memanah yang luar biasa memukau dan penyebab utama runtuhnya rasa saling kasih antara ia dan ibunya. Lantas, mengesampingkan storytelling yang generik tadi, film bergulir dengan sangat positif hingga akhir filmnya. Dengan membawa pernak-pernik sihir (yang sangat jarang dipakai Pixar), Brave memiliki segala unsur yang patut dinilai dengan poin terbaiknya.

Mengetahui siapa si kreator film ini memang sangat riskan menelaah hasil akhir filmnya sendiri. Pengalaman yang minim sedikit memberikan skeptis buruk bagaimana filmnya akan memenangi hati segala usia laiknya film-film Pixar sebelumnya. Nyatanya, keamatiran mereka membidani sebuah film panjang malah berdampak baik. Brave terlihat sekali keorisinalitasannya pada berbagai kesempatan. Penonton tidak perlu meragukan lagi betapa indahnya film ini melaju di layar lebar. Sangat cantik, sempurna, dan tata visual yang menggugah mata. Dan juga akan terpuaskan dengan pemilihan musik yang sama memesonanya. Satu hal lagi ialah pengisian suara yang terbilang sempurna. Terutama untuk aksen Scottish yang begitu kental.

Menyinggung Madagascar 3 yang baru-baru ini rilis, sedikit menggelitik saya untuk membandingkan film yang sama-sama berformat animasi 3D ini. Brave tidak sememukau sekumpulan hewan itu dalam memberikan suntikan guyonan-guyonan, tapi Brave memiliki semangat tinggi dalam menyampaikan pesan moral yang tidak tertuang di film animasi kebanyakan. Saya berani bertaruh, ending film ini adalah bagian paling emosional. Bukan berarti adegan lain lempeng-lempeng saja, hanya saja rasa penyesalan memang terlihat jelas di bagian ini. Dan inilah gagasan utama yang ingin dibangun Brave sedari awal.

Mudah-mudahan Brave berkesempatan menaikan kembali derajat Pixar di ajang Oscar. Jika menang adalah bonusnya, setidaknya ini bisa dijadikan sedikit tebusan yang bernilai untuk semua pengagum karya-karya Pixar. Penuturan klasik yang diemban Brave memang memiliki tanggung jawab yang sungguh berat. Brave tidak semewah Wall-E, tidak sekreatif Ratatouille, tidak semenyentuh Toy Story, tidak selucu Finding Nemo, tapi patut dipercaya, jika Brave memiliki tingkat orisinalitas yang sepadan. Happy watching!

by: Aditya Saputra

PS: La luna adalah film pendek yang muncul sebelum Brave dimulai. Bercerita tentang bagaimana tiga orang pelaut yang bertugas menggantikan posisi bulan yang membelah bumi menjadi dua bagian waktu, siang dan malam. When the moon is off, that's the chance when you can stargaze spectacularly!

Jumat, 15 Juni 2012

War Horse (2011)


Director: Steven Spielberg
Cast: Jeremy Irvine, Peter Mullan, Emily Watson, Beneddict Cumberbatch, Tom Hiddleston, David Kross, Eddie Marsan, David Thewlis
Rate: 3,5/5


Apa yang kurang dari seorang Steven Spielberg? Semua proyek di tangannya akan berbuah keuntungan yang besar, dan berbagai piala dari festival-festival film menjadi bonusnya. Dari dulu, Spielberg adalah asosiasi dari film-film mutakhir dan visioner sejati. Mulai dari yang bertemakan perang, kemanusiaan, alien, petualangan, hingga bumbu animasipun dihajarnya dengan ektra matang. Walau kadang keseleo sedikit dengan proyeknya yang gagal baik secara kualitas maupun pengerukan untang, tapi tetap saja Spielberg bagai dewa Hollywood yang disembah ratusan sineas muda dan menjadi tolak ukur untuk film bermutu. Tahun 2011 lalu, berbarengan dengan Tintin, Spielberg mempersembahkan satu karya lagi. Kali ini ia memfokuskan pada animalia. Akan tetapi, kaya akan sup-plot bergizi dan menyentuh.

Perang antara Perancis dan Jerman, tahun 1914, propaganda yang jelas merugikan rakyat jelata. Suatu hari, seorang petani memenangkan sebuah pelelangan kuda. Awalnya, sang istri tidak begitu setuju dengan ide suaminya hingga si anak seperti mendapat penglihatan jika kuda tersebut memiliki bakat yang di luar dugaan. Sedihnya, masa suram itu kembali lagi dan si kuda mau tak mau harus dijual dan nantinya menjadi kuda perang. Namun di tengah jalan, takdir kuda itu berbelok dan terus berjalan yang akhirnya stop pada titik yang paling emosional di film ini. 

Sejatinya, jika saya harus menguraikan satu persatu potongan-potongan cerita film ini, bisa jadi lima paragraf tidak akan cukup. Oleh sebab itu, Spielberg memanfatkan alur tadi dengan pemakaian durasi yang melebihi waktu normal. Dua jam lebih kita dihadapkan dengan kehidupan seekor kuda hebat yang nasibnya bahkan lebih mengenaskan daripada kita yang menontonnya. Maksud hati ingin mengimplementasikan filmnya sedetil mungkin, hanya saja ada part yang seharusnya dihilangkan saja. Toh, tidak terlalu berpengaruh terhadap keseluruhan film. Bukan Spielberg jika tidak bisa menyiasatinya. Menggandeng Janusz Kaminski si juru kamera dan John Williams di ranah musik, menjadikan film ini lebih nyata dan jelas, indah.

Kaminski dengan sempurna memotret lewat kameranya, menangkap visual-visual pedesaan, arena perang, hingga di dalam kandangpun menjadi sangat intens. Pewarnaan yang klasik, bahasa gambar yang sedap dipandang. Editing yang rapi juga turut serta membangun tensi yang naik turun di sepanjang film. John Williams, maestronya, dan War Horse sebagai pembuktian sahih akan kehebatan konduksi musiknya. Hanya saja, dengan banyaknya aktor yang harus berbagi layar menyebabkan bakat akting mereka sedikit tersembunyi. Tidak ada yang benar-benar menonjol kendati Hiddleston sudah bersusah payah memadu gerak muka seorang prajurit perang yang kokoh.

Melodramatis film ini sangat kental, bahkan untuk pengungkapan pada sosok kuda sekalipun. Jujur saja, dari seekor kudapun kita bisa mengambil intisari yang terserap dari film ini. Mungkin bukan film terbaik Spielberg, tapi saya berani bertaruh jika film ini masih dipuja oleh kritikus manapun. Pada akhirnya, War Horse adalah obsesi Spielber untuk kembali ke tema andalannya. Perang epik layaknya Saving Private Ryan, tidak seheboh itu, tapi tetap saja ada pesan yang sangat mendasar yang ingin disampaikan oleh seorang legenda, lewat tampilan seekor kuda. Happy watching!

by: Aditya Saputra

Take This Waltz (2011)


Director: Sarah Polley
Cast: Michelle Williams, Seth Rogen, Luke Kirby, Sarah Silverman
Rate: 3,5/5


Dewi Fortuna sedang berlalu-lalang di sepanjang karir Michelle Williams beberapa tahun belakangan. Betapa tidak, dengan jenjang kerumitan akting yang harus dia emban di setiap film tersorot dengan sangat mengagumkan. Peran apapun di tangannya akan berujung pada komentar positif bagi siapa saja yang menonton penampilannya. Dan uniknya, untuk beberapa film terakhirnya, semua terpojok pada biduk rumah tangga. Entah apa maksudnya, yang pasti ini seakan menjadi lahan basah bagi Williams dalam mengeksplorasi bakat seninya tersebut. Direkrut Sarah Polley, kali ini Williams harus mewujudkan sosok tokoh pada skrip di dalam pita seluloid yang berlajur hampir dua jam ini.

Williams adalah seorang penulis yang bernama Margot. Menikah selama lima tahun dengan penulis buku memasak khusus ayam bernama Lou (Seth Rogen). Sayangnya, kehidupan rumah tangga mereka berada dalam krisis identitas dan miskin rasa kasih sayang. Di tengah perjalanan udara pada satu hari, Margot berkenalan dengan seorang pria yang nantinya disinyalir adalah seorang seniman. Daniel (Luke Kirby) yang ternyata tinggal berdekatan dengan rumah Margot, memenuhi kebutuhan hidupnya dengan menjadi tukang becak. Kedekatan Margot dan Daniel berakibat fatal namun sanggup mengisi kekosongan batin yang didera Margot. Walaupun pada awalnya Margot masih bimbang akan kebathilan rumah tangganya dan juga kisruh emosi dengan Daniel., perlahan takdir berkata lain dan meruntuhkan semua angan yang berakhir pada satu kata, penyesalan tak terbantah.

Menyaksikan film ini seperti menonton fragmen-fragmen Blue Valentine dalam versi yang lebih halus tapi sama menggigitnya. Jika Blue Valentine lebih menekankan pada masalah internal laki-bini saja, di Take This Waltz lebih menitikberatkan kegundahan serta kegalauan yang menimpa Margot baik secara personal, suami, selingkuhan, serta sahabat. Bedanya lagi, walaupun Valentine dan Waltz sama-sama berdurasi panjang, namun Waltz kalah dalam mengisi slot runtime tadi dengan sangat lugas. Bukan membandingkan, hanya saja dengan tempo yang sangat lamban dan banyak adegan yang sebenarnya tidak begitu penting, menyebabkan penonton agak kelelahan mengartikan seluk beluk masalah Margot tadi. Boleh dikatakan, sedikit bertele-tele padahal waktu tadi bisa diminimalisir dengan plot-plot yang tepat sasarannya saja.

Mungkin Polley bermaksud lain, potret diri Margot diibaratkan gambaran sosok wanita labil yang haus rasa cinta walaupun jarak pernikahan sudah ditempuh cukup jauh. Kita memang sedikit ditampar (khususnya bagi yang sudah menikah) jika rasa perhatian itu adalah akar dari segala kebahagiaan. Margot tidak selalu benar dan tidak serta-merta pula patut disalahkan, ia hanya manusia yang juga bimbang akan pilihan hidup. Episode kedua dalam hidupnya, malah dibunuh oleh perasaan bersalahnya sendiri. Penyesalan adalah ungkapan terpahit pada hidup. Cerita yang sangat manusiawi, penuh pelajaran, dan menuai suntikan keras untuk penonton. Cerdas.

Williams adalah nyawa tunggal untuk film ini. Hampir seluruh frame cerita, pasti ada dia di dalamnya. Rogen dan Kirby seakan peran pembantu yang kebetulan juga bermain bagus. Tapi tetap saja, film ini adalah kepunyaan Williams. Dan dia seakan mengerti betul bagaimana memposisikan diri sebagai juru kunci dalam sebuah film. Aktingnya sangat memukau. Tanpa perlu make-up menyerupai seorang legenda, air muka di filmnya menceritakan seluruh kerisauan hatinya. Senyumnya mencairkan suasana tegang, isak tangisnya bahkan seperti mengajak penonton ikut iba terhadap masalahnya. Dan, scene stealer kita kali ini adalah Sarah Silverman dengan kesempatan sedikitnya ini, berhasil menunjukkan kapasitas yang mantap sebagai peran pembantu. Intinya, keberanian (tentu saja untuk Williams!!) mereka di sini patut diapresiasikan.

Hal lain yang istimewa adalah penempatan kamera yang sangat cantik dari film ini. Dengan bantuan cahayapun, gambar seakan dihiasi dengan bulir segar efek komputer. Baik saat di dalam rumah, panorama pantai, jalan raya, hingga saat adegan kamasutrapun dibuat dengan sangat maksimal. Penataan cahaya favorit saya jelas pada saat Margot dan Daniel bermain komedi putar dengan diiringi lagu yang tak kalah indahnya.

Bisa jadi, ini jenis film yang dijauhi penonton dikarenakan tema dan durasinya. Tapi, dengan sedikit kesabaran, kita akan menemukan esensi yang memikat akan bukti sahih sebuah kebahagian yang bisa datang dari sosok asing pada diri kita. Take This Waltz, dengan melodi keren di akhir filmnya, menyembunyikan sihir yang sangat manis. Temukan sendiri. Happy watching!

by: Aditya Saputra

Sabtu, 09 Juni 2012

Puss in Boots (2011)


Director: Chris Miller
Cast: Antonio Banderas, Salma Hayek, Zach Galifianakis, Amy Sedaris, Billy Bob Thorton, Guillermo del Toro
Rate: 3/5


Sebuah film laris manis bahkan menang perhargaan bergensi, dibuatlah film keduanya yang jadi animasi terlaris saat itu, iming-iming duit akhirnya muncul yang ketiga yang ternyata payah dalam penceritaan, tak lama yang keempat lanjut rilis dan membenamkan kesaktian Shrek seutuhnya. Produser dan rumah produksi tak mau tinggal diam, tokoh yang dianggap berpotensi bisa dipanjang-panjangkan ceritanya akhirnya dikumandangkan akan mempunyai film sendiri. Spin-off akhirnya tak terbantahkan, dan terpilihlah di kucing Spanyol yang jadi primadona. Sama-sama berwarna oranye, Puss sama sekali berbeda dengan Garfield, kucing pemalas penikmat lasagna itu. Puss adalah kucing heroik yang sekali-kali bisa melemahkan musuhnya dengan tatapan sendunya. Dengan simbolisasi sebuah topi dan pedang anggar, Puss sekali lagi menancapkan cakarnya di belantika perfilman dunia, dengan hasil laba yang memuaskan.

Storytelling film ini dari awalnya sudah bagus. Diceritakan kehidupan Puss waktu kecil hingga ia akhirnya bisa mendapat gelar tambahan 'in Boots' di belakang namanya. Mendapati jika ia pernah berekan dengan Humpty Dumpty yang culas dan seorang pemimpi sejati, kehidupan baik-baiknya membentuk metafora yang tidak menguntungkan baginya. Dalam perjalanan mencari kacang ajaib yang diyakini bisa tumbuh tinggi dan sekaligus sebagai tangga menuju istana kediaman angsa raksasa. Sayangnya mereka harus bersusah payah melawan Jack and Jill sama biadabnya. Bertemu dengan kucing wanita yang akhirnya kita tau jika mereka akan jatuh cinta, perjalanan petualangan mereka diiringi dengan kondisi pedesaan yang juga dirundung masalah.

Antonio Banderas adalah Puss in Boots dalam bentuk suara. Memang kekuatan yang paling sakti adalah sumbangan pita suara dari aktor tersebut. Puss begitu ikonik juga akibat dari pengkarakterannya yang lucu nan menggemaskan namun dalam sekejab bisa mematikan pihak lawan. Tentu saja banyak karakter baru serta perwatakan antagonis yang diharapkan bisa mensejajarkan filmnya ke ranah yang lebih bermutu. Bantuan dari Salma Hayek, si super Galifianakis, Thorton serta sekelibat del Toro mengakibatkan film ini jadi sedikit lebih megah. Namun sayangnya itu saja tidak cukup. Saya pribadi menilai, cerita awal film ini yang semula sudah terbangun dengan baik seakan dilemparkan begitu saja ke lumpur yang membuat kesan wah tadi hilang seketika. Kendati masih ada unsur klasik dengan pemakaian wahana dari dongeng dahulu kala, tapi tetap saja tidak begitu pintar menyelamatkan film ini di penceriteraannya.

Untunglah, Puss in Boots lahir dari perut Dreamworks yang telah makan asam garam dunia per-animasi-an. Tekstur tubuh Puss serta karakter lainnya terlihat sangat halus dan rapih. Dialog-dialog menyentil dan joke yang terlempar cukup ampuh meningkatkan beberapa kadar nilai untuk film ini. Sayangnya jika harus membandingkan dengan film edaran tahun yang sama, saya masih menilai Cars 2 masih lebih unggul dari beberapa sektor. Tidak bermaksud objektif, Puss seakan melupakan sisi 'hiburan murni' yang ditujukan kepada anak-anak. Dialog-dialog tadi di beberapa kesempatan seperti terlalu berat untuk dimakan mentah-mentah oleh penonton usia dini. Namun, pekerja di balik layarnya tentu saja tutup mata dan telinga mengingat film ini berujung pada nominasi Oscar dan raupan dolar yang fantastis.

Mengapa produser lebih memilih sosok kucing ketimbang seekor keledai untuk dipertontonkan utuh di depan layar. Karena kucing lebih dekat dengan keseharian manusia dan tentu saja kebanyakan kisah kucing lebih memilukan dari keledai. Mungkin saja, beberapa tahun kemudian Donkey atau bahkan Putri Fiona bisa disejajarkan dengan Puss ini. Kalau sudah begini, Puss in Boots cukup pantas ditorekan sebagai film animasi yang menghibur. Tidak kurang dan tidak lebih. Kuantitas penjualan tiket boleh berkoar-koar, tapi masalah kualitas, tetap mind-set penonton yang menilai. Happy watching!

by: Aditya Saputra

Jumat, 08 Juni 2012

Madagascar 3: Europe's Most Wanted


Director: Eric Darnell, Tom McGrath, Conrad Vernon
Cast: Ben Stiller, Chris Rock, Jada Pinkett-Smith, David Schwimmer, Jessica Chastain, Frances McDormand, Sacha Baron Cohen
Rate: 4/5


Saya sungguh-sungguh memberi poin 4 bintang untuk film terbaru Madagascar ini. Bukan karena saya mencintai franchise ini, malah saya tidak begitu suka dengan seri keduanya, tapi lebih karena film ini seakan bisa memperbaiki diri dari kekecewaan penonton akan film sebelumnya. Para sineasnya belajar dari pengalaman jika film animasi yang berkualitas itu bukan saja harus dijejali dengan tampilan visual yang bagus namun juga ada bantuan dari sektor-sektor lainnya pula. Di episode kali ini, dosa itu seakan dimengerti oleh mereka dan jadilah Madagascar 3 menjadi sebuah produk yang selain menghibur juga mengandung kesan filosofi dan amanat yang tersampaikan dengan amat baik.

Alex, Marty, Gloria, dan Melman, beserta komplotan lainnya berencana untuk kembali ke kandang mereka, kebun binatang di New York. Tempat yang telah membuta mereka begitu terkenal, hingga saat hilangpun mereka seakan menjadi buruan pertama para pecinta binatang. Di tengah jalan, akibat pelarian dari opsir wanita yang terobsesi ingin menangkap hewan incarannya, rombongan 'Madagascar' ini bertemu dengan grup sirkus tua yang ternyata dalam kondisi yang teramat sangat down. Popularitas yang dulu sempat tersemat pada mereka perlahan rontok dan sekarang yang tersisa hanya sekumpulan binatang-binatang berpernampilan unik tanpa ada bakat yang bisa ditunjukan ke khalayk ramai. Kehadiran Alex dkk. ternyata berdampak bagus bagi kedua belah pihak.

Saat prolog film ini mulaipun, film ini sudah berbicara banyak. Sampai akhirnya sepanjang film, taring film ini semakin meruncing dan diakhiri dengan epilog yang sangat manis. Joke-joke segar membahana, kilauan warna-warna neon yang hampir mengindahi keseluruhan film, tamiplan karakter yang makin jenaka, sampai petuah singkat akna betapa pentingnya kepercayaan diri serta kekuatan untuk lari dari ketakutan masa lalu. Kekaguman saya tidak sampai di situ, satu poin sakral yang harus benar-benar diacungi jempol adalah gimmick 3D-nya. Luar biasa mengagumkan, bahkan saya melabeli 3D ini sebagai pengalaman terbaik yang pernah saya rasakan. Bagian ini benar-benar dimaksimalkan dengan sempurna oleh pekerja seninya. Dan musik film ini adalah pelengkap yang sempurna. Beberapa remix yang bisa membuat kaki bergoyang, pengadopsian lagu Firework-nya Katy Perry yang menjadi lebih atraktif. Seru!

Cerita film ini memang terdengan kekanak-kanakan sekali. Namun dengan begitu, keseimbangan antara cerita dan lelucon menggigit itulah yang membuat film ini asupan yang bermanfaat baik baik penonton cilik maupun yang dewasa sekalipun. Apalagi pesan moral di film ini mudah diikuti. Adegan-adegan konyol nan kocak mengisi layar dari awal hingga akhir. Penambahan karakter yang pas pada tempatnya. Saya angkat topi untuk penciptaan tokoh Dubois yang sanggup mengalahi ke-imortal-an nenek sakti di dua film sebelumnya. Kisah cinta yang walaupun cemen tapi tetap lucuh dan berada dalam jalur aman untuk ditonton anak-anak. Yah, intinya film ini seakan menjawab dan menyirami hasrat penonton yang mengharapkan tontonan yang murni menghibur dan tertawa lepas.
 
Pencitraan yang telah dibentuk dalam film Madagascar adalah persahabatan yang bisa mengikat perbedaan, apapun itu. Beda tingkatan pada rantai makanan ternyata tidak menyurutkan kesan heroik antar mereka sendiri. Menggemaskan dan lucu, malah itu yang terbentuk dari parodi menyenangkan ini. Bukankah tujuan utama dirilisnya sebuah film di musim panas adalah untuk menghibur, bukan? Soal nantinya berkualitas atau tidak, anggaplah itu sebuah bonus. Kalau boleh jujur, saya masih menunggu jikalau beberapa tahun ke depan, bakal ada seri keempatnya. Happy watching!

by: Aditya Saputra

Sabtu, 02 Juni 2012

Snow White and the Huntsman (2012)


Director: Rupert Sanders
Cast: Kristen Stewart, Charlize Theron, Chris Hermsworth, Sam Claflin, Sam Spruell, Ian McShane
Rate: 3,5/5


Baru bulan kemarin kita melihat pengimplementasian yang berbeda perihal putri salju dari gambaran seorang Tarsem Singh dengan Lily Collins dan Julia Roberts sebagai wayangnya. Dan awal bulan ini kita kembali diberikan penjewantahan yang bertolak belakang dari tangan seorang Rupert Sanders, di karya perdananya ini, dengan menggandeng si Bella Swan dari saga Twilight, Kristen Stewart, dan si jelita Charlize Theron. Kalau boleh memilih dan andai Charlize Theron masih muda, mungkin ada baiknya ia yang memerankan seorang Snow White. Perawakannya yang tidak menua dari tahun ke tahun serta sisi melankolisnya sungguh tepat jika dipakaikan baju seorang putri kerajaan. Namun kenyataannya, sisi judes dan mata sinisnyalah yang menjadi alasan kuat jika ia lebih cocok menjadi seorang ratu kejahatan. Dan yah, dengan aroma kekelaman serta ada bumbu epik pula, kali ini dongeng klasik hasil buah pena dari Grimm bersaudara dibawa lebih seru dan tidak cheesy layaknya Mirror Mirror. Walaupun saya juga suka dengan Mirror Mirror.

Saya tidak begitu tau hal mendasar yang memengaruhi sang sutradara untuk membuat tampilan film ini menjadi begitu berbeda. Tapi percaya atau tidak, dengan pesona yang lebih kelam beginilah yang menjadi poin plus untuk filmnya sendiri. Mengacuhkan jalur aman dan menggiring penonton merasuki dunia antah berantah seorang putri salju, sontak dengan visual yang memanjakan mata, membuat gelaran ini semakin enak untuk dinikmati. Ceritanya seperti yang kita ketahui berpuluh-puluh tahun sebelum film ada sekalipun, putri kerajaan yang ditinggal mati ayah ibunya dan menerima kenyataan jika akhirnya harus 'dirawat' oleh pemimpin jahat yang terobsesi dengan kecantikan abadi. Immortal Beauty. Akhirnya si putri melarikan diri dan bertemu dengan seorang huntsman yang tak lama juga bertemu tambatan hatinya dari dini. Bersama dengan dwarves, mereka memerangkan misi untuk mengambil kembali tahta yang sudah direbut oleh penyihir sekaligus ibu tiri kejam itu.

Banyak yang meragukan dan mengucilkan peran Stewart dalam menunggangi karakter seorang putri. Tapi bagi saya, Stewart sudah terlampau cakap dalam mengartikan kegundahan seorang putri yang terlunta-lunta sampai akhirnya saat mendekati ending, perubahan emosi yang menggebu-gebu dalam memerdekakan kaumnya. Satu hal yang memang agak merusak image film ini adalah kurangnya jalinan per-tokoh yang ada yang memang sedikit kurang berkesinambungan. Sekali lagi, di luar itu, film ini masih layak dicap bagus. Belum lagi dengan akting memukau dari Charlize Theron. Peringai jahatnya terlihat saat ia, berteriak, berbicara nyelekit, sampai mengucapkan mantra khas dongeng ini. Chris Hermsworth bolehlah kita nilai sudah lepas dari bayang-bayang Thor. Dan bantuan aktor-aktor berkelas sebagai dwarves ataupun ektra lainnya.

Bicara soal musik di film ini, beberapa lagu memang sedikit kontras dengan ceritanya walaupun teritori ini tidak berdampak buruk akan keseluruhan ceritanya. Dan yang utama adalah penempatan CGI yang terlampau cemerlang. Saya dibuat tercengang oleh kekuatan komputer yang menghiasi hampir di keseluruhan filmnya. Sajian visual orgasm saat di hutan kegelapan maupun di hutan peri sungguh memanjakan mata dan meliarkan imajinasi. Terus juga secara khusus saat penampakan kumpulan gagak di raga putri jahat. Memukau! Tidak mengherankan jika alasan kuat untuk menonton film ini adalah karena surga visualisasi yang terlukis dengan sangat menakjubkan. Dan juga, asosiasi dari wujud benda yang sangat ikonik di sini, sebuah apel, bisa jadi cukup berkesan kendati tidak begitu memorable yang diharapkan.

Untuk ukuran film yang 'memparodikan' cerita aslinya, Snow White and the Huntsman tidak seburuk yang diprediksikan sebelumnya. Taraf bagus masih bisa disandang ke film ini. Predikat kreatif juga pantas disematkan kepada si empunya film. Untung saja, Sanders mempunyai wayang sekaliber Stewart dan Theron, dan kemampuan olah grafis komputer yang mapan. Dengan akhir yang sulit memuaskan segala pihak, mau tak mau film ini seperti di ambang pertaruhan komentar kritikus dan laba yang menjadi bukti sebenarnya walaupun saya optimis film ini bisa mengeruk keuntungan yang mega. Happy watching!

by: Aditya Saputra

50/50 (2011)


Director: Jonathan Levine
Cast: Joseph Gordon-Levitt, Seth Rogen, Anna Kendrick, Bryce Dallas Howard, Angelica Huston
Rate: 4/5


Saya termasuk yang terlambat menonton salah satu film emosional keluaran tahun 2011 ini. Tanpa promosi yang gencar, tau-tau film ini sudah bercokol di klasemen nominasi Golden Globe tempo hari walaupun juri Oscar enggan melirik film yang menceritakan tentang penyakit kanker ini. Baru tadi, dan itupun atas pinjaman dvd dari teman, akhirnya saya berkesempatan menyaksikan betapa unggulnya aktor utama di film ini hingga mendapat pujian luar biasa di mata sebagian besar para kritikus. Dan, atas pembelajaran hidup yang diberikan dengan sangat memilukan lewat film ini, memberikan kesan mendalam kepada para penonton (terutama saya) tentang betapa suramnya hidup ini jika kita putus asa. Dan sebaliknya, senyuman indah dunia akan terlihat lebih berkilau jika kita menghadapinya dengan optimistis yang tulus.

Adam Lerner, seorang jurnalistik yang memiliki kehidupan hampir sempurna yang mana dengan umurnya yang baru menginjak 27 tahun, dengan pekerjaan yang mapan, teman yang setia dan pacar cantik seakan melengkapi hari-harinya. Sampai suatu ketika, saat ia merasakan nyeri di bagian punggung dan akhirnya divonis mengidap kanker, barulah perlahan ia merasa seperti melihat masa depan suramnya. Bonusnya, lambat laun ia mengetahui kebiadaban sang pacar. Namun satu hal, dengan kondisi dan situasi yang menyedihkan ini, Adam layaknya menjalani hidup baru dan mulai memandangnya dengan penuh perjuangan walaupun ada sedikit rasa sensitivitas tentang ajal. Pertemuannya dengan sang terapis belia serta ikatan batin yang sentimentil dengan keluarganya, sedikit melugaskan betapa ia masih membutuhkan orang di sampingnya.

Apa yang perlu diucap dari film ini adalah betapa pintarnya penuturan Levine dalam mengatur emosi penonton dengan durasi 100 menit di film ini. Awal yang mencerahkan yang perlahan buruk dan akhirnya menyisakan secercah harapan untuk karakter utama kita berstruktur rapi. Jujur saja, 30 menit terakhir adalah momentum yang paling menyesakkan buat saya. Adegan per adegan yang dengan lepasnya menyusutkan air mata saya. Berkat bantuan Jospeh Gordon-Levitt yang benar-benar memasuki ruh Adam Lerner, kekuatan aktingnya memang sangat berdampak besar. Seth Rogen, ia aktor bertalenta tinggi, dengan jenakanya tokoh ini bisa mengaburkan sisi kelam walaupun seperti ada sisi ironik yang menyelimuti pertemanan mereka. Kemistri yang kelewat kental dengan Anna Kendrick selaku sang terapis. Tak luput dari perhatian adalah performa dari Bryce Dallas dan Angleica Huston yang sama-sama mengembangkan atmosifer kekebalan emosi saat beradu dengan tokoh utama kita.

Kembali ke filmnya sendiri, 50/50 dengan sahajanya memberikan gambaran akan bagaimana kita menghadapi suatu penyakit yang mungkin saja akan merenggut dunia bahagia kita. Menyelami lebih dalam dengan kontrasnya sosialisasi dengan orang yang kita sayangi memang akan terlihat kejam saat mengetahui jika ajal sedang berjalan di belakang kita. Kita seakan dituntun oleh dewa kematian. Metafora itulah yang mengajarkan kita untuk membuka ruang dengan lebih ikhlas. Menjalani semuanya dengan sikap bijaksana, seperti yang dituturkan dengan sangat baik oleh film ini. Betapa pentingnya seorang sahabat, kekasih, bahkan orang tua sekalipun yang mereka perlihatkan tidak seperti yang kita harapkan. Belum termasuk dengan obrolan penyayat nadi di sekitaran kemoterapi. Dan penyempurna film ini adalah gubahan musik di tangan Michael Giaccino yang sangat menggugah. Alunan nada sepanjang filmnya dan beberapa lagu pengantarnya seakan memberikan aura positif untuk film ini.

Sebuah film dikatakan berhasil di mata saya saat film ini sukses membawa saya ke dalam cerita film itu sendiri dan saya merasakan itu di 50/50 ini. Bukan karena saya juga megidap kanker (Naudzubillah!), tapi karena pembawaan senatural mungkin oleh filmnya sendiri. Tak pantas menyebut film ini sempurnya, dan tak semegah film Terms of Endearment yang disebutkan di film ini, kendati demikian 50/50 adalah sebuah cermin kehidupan bagi siapa saya yang merasa dihantui oleh penyakit ganas yang menggerogoti tubuh mereka. Tinggal kita menyiasati, apakah memakai sisa kesempatan yang ada dengan lebih terbuka atau sebaliknya, terpuruk hingga malaikat menjemput. Happy watching!!

by: Aditya Saputra