Jumat, 24 Agustus 2012

Ice Age: Continental Drift (2012)



Director: Steve Martino & Mike Thurmeier
Cast: Ray Romano, John Leguizamo, Denis Leary, Queen Latifah, Nick Frost, Sean William Scott, Peter Dinklage, Azis Ansari, Jennifer Lopez, Nicki Minaj
Rate: 3/5


Mayoritas bilang film ini seharusnya tidak perlu dibuat jika hanya ingin mengeruk laba semata. Mayoritas juga bilang film ini sama bodohnya dengan film dahulunya. Mulai dari humornya yang dangkal hingga cerita yang itu-itu saja menjadi penyebab buruknya penilaian mayoritas ke film ini. Namun hanya saja, secara pribadi film ini justru sarat akan hiburannya. Ice Age pertama yang sempat menggoncang box office mingguan bahkan mendarat di nominasi Oscar, filem keduanya berjaya di tangga pencapaian untung, ketiga yang walaupun sukses tapi menjadi sasaran empuk cacian para kritikus. Memang, seri ini seperti kaleng kosong. Tidak ada isi namun jika kita ketuk akan menghasilkan suara yang besar. Sebagai minoritas yang menyukai film ini, tak lantas membuat saya jadi mengelu-elukan kualitas standardnya ini.

Geng Manny, Sid, dan Diego lagi-lagi harus terpisah dengan komunitasnya. Naasnya, di tengah lautan mereka bertemu komplotan bajak laut pimpinan Capt. Gutt yang mencoba menguasai daerah perairan. Sid yang diberi 'hadiah' oleh keluarga untuk mengasuh neneknya dan Diego yang berkenalan dengan singa cantik, menjadi bumbu menarik lainnya untuk film ini. Belum lagi anak Manny dan Ellie yang mulai beranjak dewasa dan mengalami problem cinta dengan spesiesnya. Dan masalah itu pula yang menjadi cikal bakal kicruhnya ketentraman keluarga mammoth ini.

Plotnya masih sama, lebih menyenangkan penonton di bawah umur daripada menambah kadar bobot agar enak ditonton kaum dewasa. Tapi tak apa, Ice Age masih mempunyai segudang kelucuan yang bisa meregangkan otot bagi siapa saja yang menontonnya. Selain humornya yang universal, gambarnya juga sangat halus. Blue Sky memang telah belajar banyak dari sejak pertama mereka melempar Ice Age tahun 2001 silam. Kinerja sineas disain grafisnya semakin bagus. Tapi harus diakui, untuk tampilan airnya, masih kalah bersih dan halus jika dibandingkan dengan Finding Nemo silam. Kendati begitu, franchise Ice Age ini menang berkat adanya karakter sampingan yang selalu mencuri perhatian. Di sini, Scrat masih bersusah payah mencari dan menyelamatkan buah kenari dambaannya. Lucunya, ada satu adegan bagaimana muka bumi darat dan lautan ini terbentuk oleh ulah konyol si Scrat.

Musik film ini dewanya, diisi oleh beberapa penyanyi di sektor sulih suaranya, Jennifer Lopez dan Nicki Minaj, lagu We Are Family mungkin salah satu yang terbaik keluaran tahun ini. Denis Leary, John Leguizimo, dan Ray Romano seperti biasa menghidupkan tokoh dengan penuh jiwa. Terutama Sid yang semakin ceriwis, apalagi ditambah dengan karakter sang nenek. Seperti saya sebutkan di atas jika Ice Age 4 ini memang banyak kejutan yang tersembunyi di dalamnya. Kemunculan para bintang bajak laut juga cukup mengundang perhatian. Battle-battle di atas kapal es menjadi poin penting buat film ini. Intinya, penambahan beberapa karakter untuk film ini boleh dibilang tidak sia-sia. Sekecil apapun perannya, tetap menampilkan kelucuan mereka.

Namun, saya rasa saga ini tidak usah memanjangkan tali kelambu saja. Keenam, ketujuh, dan seterusnya itu semoga tidak akan pernah ada. Apalagi sampai menfilemkan Scrat secara personal. Biarlah Ice Age menjadi salah satu animasi yang memanjakan penontonnya bukan saja dengan tampilan luarnya, tapi juga dengan pesan moral yang tersirat di dalamnya. Bagaimana persahabatan dan cinta kasih keluarga adalah nilai mutlak untuk menyelaraskan diri kita sendiri dalam hidup. Jangan terlalu egois dengan pendirian, karena kadang keegoisan itulah sumber dari rasa penyesalan. Happy watching!

by: Aditya Saputra

Perahu Kertas (2012)



Director: Hanung Bramantyo
Cast: Adipati Dolken, Maudy Ayunda, Reza Rahardian, Elyzia Mulachela, Kimberly Ryder, Ira Wibowo, August Melasz, Titi DJ
Rate: 3/5


Hanung Bramantyo sering kali mengadaptasi sebuah buku untuk dijadikan cerita panjang berbentuk pita seluloid di layar lebar. Selama ini, kiprah beliau di kancah perfileman Nasional selalu diisi dengan angin segar baik secara dramatikal maupun komedikal berkelas. Ingat sekali bagaimana saya dibuat tertawa terpingkal-pingkal saat menonton Get Married, dan tersedu sedan kala menyaksikan Sang Pencerah. Persamaan keduanya dengan Perahu Kertas secara pribadi, ketinganya saya tonton H-1 Lebaran Idul Fitri. Itulah target pasar yang selalu Hanung terapkan selama ini. Mematok libur lebaran untuk menjaring penonton sebanyak-banyaknya.

Beda dengan Ayat-Ayat Cinta yang kental nuansa agamisnya, melalui Perahu Kertas Hanung bercerita tentang tema yang sangat umum tapi sarat akan kesan dongengnya. Sebelum itu, saya ingin memberi tahu jika Perahu Kertas adalah buah pena dari salah satu penulis terkemuka di Indonesia, Dewi 'Dee' Lestari. Jebolan RSD itu lambat laun telah menelurkan banyak karya seperti tetraloji Supernova, Madre, Rectoverso, Filosofi Kopi, dan Perahu Kertas ini sendiri. Kesemuanya menjadi best seller nasional. Dan di sini saya tidak akan me-review buku-buku fantastis itu, melainkan mengupas tentang apa yang ada di pikiran saya setelah menonton tulisan Dee versi gambar bergerak. Karya Hanung Bramantyo, yang melalukan blooper hidupnya saat mengadon naskah Sundel Bolong dengan begitu parahnya.

Suatu waktu, dipertemukanlah Kugy dan Keenan yang memiliki kepribadian dan latar belakang yang sama uniknya. Keduanya juga terperangkap pada seni yang harus melebur sejalan dengan paksaan nasib. Satu pendongeng, satunya lagi pelukis. Sisi lain dari Kugy adalah dia antek dari Dewa Neptunus. Menulis surat buah pikirannya lantas dijadikan perahu kertas lalu dialiri ke air, karena ia percaya seluruh air di muka bumi ini akan bermuara ke lautan jua. Pertemuan unik mereka ternyata berjalan dengan sangat hidup. Hingga satu hari mereka diharuskan oleh penulis untuk berpisah sejenak dan menjalani kehidupan masing-masing. Keenan bertapa di Bali dan Kugy kembali menyelami hiruk-pikuk kota Jakarta. Happy ending? Iya.

Mungkin ada benarnya Hanung membagi novelnya menjadi 2 film secara terpisah, karena saya sendiripun susah menulis sinopsis singkat tanpa melepaskan ditel-ditel menarik dari bukunya. Secara cerdas, Dee menulis ulang skripnya tanpa membuang poin-poin penting yang ada di karya sastranya. Sampai sesi ini, Perahu Kertas berhasil membuai saya. Di teritori penggarapan Hanung, Perahu Kertas indah berkat pencapaian terbaik tata kemeranya. Sinematografi yang menyorot lenskep seting dipotret dengan apik. Banyak adegan yang terbentuk berkat ambience fotografinya. Pemilihan cast pun tidak sembarangan. Walaupun Dolken dan Maudy masih asing di telinga, setidaknya mereka cukup telaten dalam memperagakan karakter novelnya menjadi nyata. Kugy yang selalu tampak ceria sekalipun pada saat bersedihpun dapat dimainkan dengan santai oleh Maudy. Setali tiga uang dengan kegalauan Keenan yang diserap dengan pas oleh Dolken. Sedangkan untuk para ekstranya, terutama August Melasz, mereka penyempurnanya.

Namun sayangnya, fiksi indah ini harus diretak oleh kualitas musik, yang entah bagaimana mengatakannya, seperti 'kebetulan' sama. Ada satu instrumen dan nada yang sama persis dengan musik latar dari film Babel karya Alejandro Gonzales Innaritu yang berjudul Bibo No Aozora. Tanpa mengesampingkan peran 'kebetulan' tadi, bagi saya slot itu sungguh-sungguh mengganggu. Kendati soundtrack-nya cukup easy listening, tetap saja 'kebetulan' tadi jadi disturbing sequence yang teringat sampai sekarang.

Terlepas dari itu semua, Perahu Kertas tersaji dengan penuh filosofi. Penonton seakan sedang diajarkan untuk menilai hidup mereka sendiri. Karena, Perahu Kertas adalah paket lengkap bagaimana kita mengenal apa itu cinta, apa itu cita-cita, apa itu persahabatan, apa itu keluarga, dan apa itu tujuan hidup. Cermin klasik yang akan kita tahan untuk melihat sambungan ceritanya beberapa bulan ke depan. Happy watching!

by: Aditya Saputra

Selasa, 21 Agustus 2012

The Expendables 2 (2012)


Director: Simon West
Cast: Silvester Stallone, Jason Statham, Jet Li, Dolph Lundgren, Chuck Norris, Jean-Claude Van Damme, Arnold Schwarzenegger, Bruce Willis, Terry Crews, Randy Couture
Rate: 2,5/5


The Expendables, 3 tahun lalu, hadir di dunia dengan membawa nama-nama aktor macho yang kurang lagi dipakai sutradara terkemuka. Mungkin karena keterbatasan kualitas akting merekalah yang menyebabkan kinerja mereka stagnan di peringkat kelas B saja. However, they still have fanatic fans. Film-film (lama) mereka masih digandrungi para fans, sejelek apapun itu. Seperti misalnya Sly, mahsyur sejak Rocky dan Rambo yang perlahan namun pasti terperosok lewat film-film kualitas murahan. Mungkin yang mendingan adalah Jason Statham, yang sudah jelas kiprah adrenalinnya di genre adu jotos tanpa ampun.

Yah, berhubung filem pertamanya laris bukan main begitupun dengan penonton pria banyak yang suka, maka tak heran film keduanya langsung diproduksi. Jika dulu Arnold dan Bruce muncul sebagai cameo, di seri ini peran keduanya semakin besar. Malah Jet Li yang kebagian jatah dipersempit, cuma muncul di paruh awal pertama film. Misi merekapun tak ubahnya di prekuelnya. Menyelamatkan yang lemah dan membasmi yang jahat. Dari teritori cerita memang tidak ada hal yang baru, apalagi spesial. Dari awal hingga akhir film ini memang hanya mengandalkan kemampuan otot dan memacu kekuatan adrenalin semata. Oleh sebab itu, untuk sebuah filem hiburan, The Expendables 2 boleh dikatakan berhasil.

Dentuman musik mulai dari lagu hingga editing suara saat peluru keluar dari selongsongnya, saya garansikan jika itu memang sangat menggelegar. Namun saja, visual yang tersaji sangat meresahkan mata. Banyak adegan yang dilakukan di depan layar hijau terlihat sangat jelas. Efeknya masih terasa kasar, dan sedikit menggelikan. Lebih seperti menyaksikan video game ketimbang adegan filem yang lebih realistis. Apalagi pihak pahlawan kita jarang sekali merasakan kesalahan. Selalu ingin dan akan menang. Mungkin di sinilah letak egoisme si penulis naskahnya. Tidak 'mensahkan' si tokoh baik dalam mencicipi kekalahan. Walaupun ada beberapa part yang memperlihatkan kalau the expendables berada di titik terendah mereka, tetap saja ke-cheesy-annya sangat kental. Belum lagi untuk celetukan-celetukan yang maunya humoris malah jatuhnya garing bukan main.

Opa-opa perkasa ini tentu saja ingin tetap mengeksiskan diri di dunia perfileman dunia. Sampai-sampai perekrutan Chuck Norris menjadi sangat 'wajib' untuk dipersembahkan. Bisa jadi filem ini seperti tribute, dan serunya berita yang digembar-gemborkan jika nanti akan ada The Expendables versi wanita. Can't hardly wait. Berhubung ini filem musim panas, jadi yang terpampang di layar besar memang khas summer movies. Aksi yang jor-joran, efek yang super-duper dramatis, kumpulan-kumpulan aktor-aktor terkenal, dan tempelan wanita cantik memang dipenuhi dengan sangat pas. Oh ya, ada wanita Mandarin yang muncul sebagai bagian dari para binaragawan ini. Dan untung saja peran dia di sini tidak sekadar tempelan semata.

Tahun ini desas-desusnya sekuel keduanya akan segera diproduksi melihat perolehan dolar untuk weekend-nya bisa mematahkan hasil si Bourne-nya Tony Gilroy. Yah, saya sih tidak mengharapkan filem selanjutnya akan menjadi lebih baik jika sineasnya masih itu-itu saja. Walaupun asa tetap membumbung setinggi-tingginya. Satu poin yang penting, andai dulu Indonesia memiliki serdadu layaknya para expendables ini, yah penjajahan negara asing atas negara tercinta ini pasti tidak akan berlangsung segitu lamanya. Lihat saja bagaimana mereka membasmi para sekutu di Myanmar dan Kamboja seperti sedang membunuh serangga. Happy watching!

by: Aditya Saputra