Jumat, 30 November 2012

Life of Pi (2012)


Director: Ang Lee
Cast: Suraj Sharma, Irrfan Khan, Gerard Depardieu, Adil Hussain, Tabu, Rafe Spall
Rate: 4,5/5


Desas-desus di luaran sana, banyak yang bilang novel Life of Pi karangan Yann Martel ini akan sangat sulit untuk diterjemahkan lewat tampilan audio visual layar lebar. Fakta yang tertuang di bukunya memang demikian, karena apa yang saya dengar dan baca penjelasan pembaca bukunya, novel tersebut memiliki tingkat imajinasi yang sulit untuk digambarkan secara digital. Mengingat ini semacam otobiografi kecil tentang perjuangan hidup melawan alam di tengah samudera luas, berita akan dibuatkannya versi filem untuk novel ini cukup menyita perhatian. Apalagi yang menahkodainya adalah Ang Lee. Walaupun kita tau bahwa Ang Lee adalah sutradara kenamaan berbasis Oscar dan sudah cum laude dalam media ini, bukan berarti arahannya akan mudah membuat Life of Pi menjadi sangat believable dan menarik. Filem ini, makin ditunggu ternyata makin terlihat kualitas karena gembar-gembor review positif yang tercurah selama test-screening-nya.

Saya sebenarnya tidak mau membeberkan kisah film ini, walaupun cuma satu-dua kalimat saja. Film ini akan terasa lebih mengejutkan jika kita tidak perlu membaca sinopsis ataupun menonton trailer-nya. Gaya penuturan film ini mengingatkan saya kepada Titanic, di mana pewawancara menanyakan ke narasumber atas kejadian masa lampau yang menjadi isu sedap di dunia. Dengan lugas dan santainya, pemeran utama kita mendongengkan pengalaman luar biasanya saat harus mengarungi kesepian tengah samudera dengan hanya ditemani seekor harimau. Tapi inti film ini bukan hanya itu. Life of Pi juga mengisyaratkan keintiman manusia dengan sang penciptanya. Masih terbayangi dengan agama dan kepercayaan, peristiwa ajaib tadi malah menghantarkan tokoh utama ke daerah yang lebih personal dan sensitif.

Saya sedikit tidak percaya jika ini buatan seorang maestro Ang Lee. Melihat filmografi yang pernah dibuatnya spesialiskan drama, menatapi keindahan Life of Pi terasa amat menyegarkan. Lust, Caution dan Brokeback Mountain yang begitu mendayu-dayu minus efek komputer yang dominan sangat bertolak belakang dengan apa yang terpampang di film terbarunya ini. Begitu banyak kejutan yang Ang Lee berikan, mulai dari kenaturalan akting para pemain 'tidak terkenal'-nya, beragam makhluk bumi yang amat cantik, kekuatan dialog yang berisi, hingga sinematografi yang menakjubkan. Semua elemen di film ini terasa sangat sempurna, dan bahkan saya belum menemukan setitik saja kelemahan dari film ini. Semangat pesan moral yang sangat ditujukan ke manusia pada khususnya. Perihal agama, cinta kasih terhadap sesama makhluk, perjuangan dan tujuan hidup memang ditata dengan sangat rapih.

Ang Lee dengan pintarnya memadukan hukum alam dengan dunia showbiz menjadi satu produk yang patut dibicarakan. Habitat dan ekosistem mulai dari kebun binatang, laut, hingga pulau tak bernama dilukiskan dengan sangat nyata. Kita seperti diajak menonton Animal Planet dengan Pi Patel sebagai fotografer dan spoke-person-nya. Untuk adegan bencana alam badaipun dibuat senyata mungkin. Tanpa diperlihatkan orang terkasih kita menjadi korban, adegan tersebut malah menjadi salah satu dari sekian banyak adegan terkuat di film ini. Enigma Tuhan yang dipertanyakan oleh Pi akan tujuan hidup dan kepergian 'teman baik'-nya menimbulkan sejuta dan keberagaman pertanyaan akan kehidupan paska berjuta rintangan tersebut.

A great direction yang bisa jadi menghantarkan Life of Pi ke singgasana Oscar bagi Ang Lee yang sempat dikecewakan karena Brokeback Mountain buatannya kalah oleh film rasisme favorit Amerika. Dengan sentuhan mencengangkan seperti ini, Ang Lee mengulang lagi kedigdayaannya saat memperkenalkan keindahan layar lewat Crouching Tiger, Hidden Dragon. Sebuah mahakarya yang tak akan mati dimakan usia. Panorama berjuta makna dengan sodoran point of view yang sama murninya. Berderet sejajar dengan ilmu akan kepercayaan kepada Tuhan, Life of Pi mau tak mau akan bercokol sebagai salah satu film terbaik yang pernah ada. Kemampuan bercerita yang kokoh dan kesempurnaan lukisan bergerak dari film ini adalah bukti nyata bagaimana seorang non-Amerika mampu menggabungkan beberapa kultur dan negara di dalam satu layar. Happy watching!

by: Aditya Saputra

Selasa, 20 November 2012

Breaking Dawn part. 2 (2012)


Director: Bill Condon
Cast: Kristen Stewart, Robbert Pattinson, Taylor Lautner, Michael Sheen, Dakota Fanning, Peter Facinelli, Elisabeth Reaser, Ashley Greene, Jackson Rathbone
Rate: 3/5


Akhirnya, saga akbar ini tiba di pemberhentian terakhir. Euforia luar biasa yang dimulai sejak novel buatan Stephanie Meyer, Twilight rilis, akan hilang gemanya seiring waktu berjalan. Saya akui kemunculan Twilight tempo hari memang kelak akan menjadi sefenomenal sekarang. Dan sekarang terbukti, entah sudah berapa milyar dollar pundi-pundi yang dihasilkan seri ini dan menggembungkan tabungan PH kemarin sore, Summit Entertainment. Summit yang kian raksasa berkat saga ini urung gulung tikar. Judi yang menguntungkan. Dan mungkin karena isi Twilight yang sungguh kewanitaan pula lah yang membuat kelima filmnya digandrungi dari seri ke seri. Penghasilan tak pernah merosot dan para aktornya pun kecipratan tenar. Namun apa daya, di luar itu semua dan bila harus jujur, saga ini hampir tidak pernah memiliki kualitas di atas rata-rata. Mulai dari cerita yang biasa saja, pengeksekusian yang kurang maksimal, hingga permainan tanpa ekspresi dari para pelakonnya.

Di bab baru ini, Renesmee mangalami pertumbuhan yang sangat signifikan hingga menjadi rumor sedap bagi para bangsa Volturi yang tidak setuju adanya kaum imortal. Bella Swan dan suaminya, Edward Cullen mencoba menomorsatukan keselamatan anaknya dengan berbagai cara. Dibantu para keluarga Cullen dan mendapatkan sokongan dari klan werewolf, kubu si baik ini menjadi tambah kokoh. Kehausan grup Volturi yang dipimpin Aro semakin tinggi. Mencoba mencari kebenaran  isu dengan meminta bantuan kepada Alice, rombongan vampir berjubah ini menabuh genderang perang dan memaksa secara halus kepada para koloni untuk menyerahkan Renesmee.

Yang menyenangkan dari saga ini adalah pemilihan lagu pengiring yang nantinya akan mengisi album soundtrack-nya. Mulai Twilight hingga film kelima ini semua diisi oleh penyanyi terkemuka lengkap dengan lagunya yang membius masyarakat luas. Tapi tetap saja yang akan saya nilai adalah keseluruhan film ini. Paruh awal di mana saat Bella 'belajar' menjadi makhluk baru dan keintiman dengan suaminya jujur saja adalah saat-saat terlemah dari film ini. Tempo yang lamban tanpa ada adegan yang menarik bisa jadi akan melumpuhkan film ini secara utuh. Naskahpun terbilang buruk, tanpa adanya dialog berbobot. Walaupun secara singkat kita dijabarkan begini begitu namun tetap saja pembawaan Bill Condon yang terlalu fokus malah terpecah ke mana-mana. Kemunculan karakter baru juga patut diadili secara bijak. In frame seadanya mereka malah membuat penonton bingung ini siapa dan itu siapa. Kendati begitu, penata kamera film ini sudah berjasa besar. Tanpa tangan midas Navarro, niscaya kamera dengan mudah menangkap visual yang sangat cantik dari film ini. Landscape gunung, lahan bersalju bahkan saat adegan puncak diperhatikan dengan sangat baik.

Kita kenal Bill Condon berkat film-film berkelas Oscarnya. Menulis skrip Chicago dan menyutradarai Dreamgirls sedikit banyak memberikan pengalaman baginya untuk memoles Breaking Dawn part. 2 terlihat bagus. Bill Condon belajar dari bagian 1-nya yang condong ke arah buruk, dan oleh sebab itu di sini ia mencoba menetralisir dan duduk di tengah-tengah. Menyenangkan pecinta Twilight dan memberi semangat baru bagi yang kurang suka seri ini. Adegan puncak dibuat sedramatis dan seepik mungkin. Walaupun kurang 'berdarah', namun yang pasti kejutan di akhir film adalah salah satu penutupan yang sangat menakjubkan yang pernah ada. Penonton dibuat terperangah. Semula adrenalin yang dibuat kencang seketika umpatan-umpatan kasar yang keluar saat twist itu muncul.

Sayangnya, lagi-lagi saga ini tidak memberikan luapan emosi lewat ekspresi. Semua aktor bermain canggung seperti biasanya. Bahkan chemistry Pattinson - Stewart tidak seromantis film-film drama percintaan kebanyakan. Mungkin Michael Sheen yang terlihat serius bermain film ini, Dakota Fanning yang mendapatkan dialog satu kata cukup bisa memberi arti talentanya cuma lewat bantuan mimik muka. Selebihnya, kita  hanya diberikan audio visual yang cantik, bukan lewat bakat alami aktornya. Ketutupan make-up mungkin.

Breaking Dawn part. 2 memang tidak semeriah itu, film ini justru masih banyak kelemahannya apalagi di sektor pengembangan cerita. Tertolong kecanggihan Bill Condon dalam mengolah epic battle, yang secara tidak langsung menaikkan derajat Twilight bagi golongan twihater (begitulah orang-orang menyebutnya...). Dan senang rasanya mejadi saksi penutupan sebuah seri dengan hasil akhir yang memuaskan. Layaknya Harry Potter yang juga tamat dengan sejuta senyum, Twilight pun menutup sejarah bukunya dengan baik. Lupakan untuk membandingkan dua mega franchise tersebut karena mau tak mau, keduanya beda alam, jenisdan tentu saja beda kualitas. Happy watching!

by: Aditya Saputra

Kamis, 15 November 2012

Aku Membunuh Diriku Sendiri

Aku tidak menyesal. Setahun sudah aku dibui, tidak ada sedikitpun perasaan bersalah yang merongrong diriku atas apa yang sudah aku perbuat. Toh buat apa aku bersimpuh meminta pengampunan? Aku telah menguji dunia, di mana batas kesabaran seorang makhluk. Aku bersedia dihukum Tuhan jika memang aku bersalah. Namun, pada kenyataan, aku hanyalah umat-Nya yang tidak neko-neko, tapi kenapa diberikan cobaan yang sungguh berat ini. Tuhan sayang kepada diriku, tapi tolonglah, jangan cara seperti ini yang harus aku jalani.

Dua tahun lamanya aku berusaha bangkit dari kepedihan dan malapetaka yang terus-terus menghantui diriku. Satu cobaan berlalu, lanjut datang yang kedua, ketiga, dan seterusnya. Jika sekarang aku menyimpan dendam yang telah membuncah ini, pantas kan kalau aku meluapkannya?

Pagi itu matahari seakan memberikan semangat baru untuk aku dan dirinya. Menyambut hari yang dinanti-nanti. Menyongsong hari yang akan menyucikan kami sebagai pasangan yang halal. Si dia begitu senang, sumringah sepanjang minggu belakangan. Aku pun merasakan hal yang sama. Tidak pernah aku menikmati hari sebahagia ini. Perempuan yang telah mengayomiku selama 2 tahun terakhir itu akan menjadi primadona satu-satunya yang akan menemaniku di tempat tidur nantinya. Letupan kebahagiaan bermetamorfosis menjadi momen yang mungkin tak akan terlupakan. Semua dirancang dengan penuh kepastian. Kami saling membagi tugas untuk hari nan sakral itu. Kami tidak pernah saling egois dan selalu menempatkan diri di posisi yang benar. Kami pun tetap menjalani metode pacaran yang seharusnya.

Aku sangat mencintainya, begitupun sebaliknya. Kami memang bukan contoh pasangan kebanyakan yang menunjukkan perasaan sayang dengan hadiah atau sentuhan fisik yang bagi kebanyakan orang bisa jadi sebagai simbol kasih sayang seutuhnya. Cukup dengan perhatian dan hal-hal kecil, hubungan kami jauh lebih intim. Saling mengerti keadaan dan waktu satu sama lain adalah kunci mengapa kami berani menyalurkan satu ide untuk bersemarak dan mengumandangkan hubungan kami di depan penghulu dan di atas panggung pernikahan. Rumah tangga adalah tujuan kami, mutlak. Karir yang telah kami topang selama ini kami rasa sudah cukup untuk dijadikan modal untuk kami membangun keluarga kecil di bawah pondasi rumah yang telah kami cicil selama ini. Terasa matang, dan siap melangkah ke ranah yang lebih dewasa.

Tapi kadang, Tuhan terlalu berani memberikan takdir kejam kepada makhluknya. Angan dan mimpi yang akan terwujudkan itu ternyata belum dirasakan cocok untuk kami berdua. Bahkan mimpi tadi perlahan namum pasti berhasil menjadi momok dan nightmare yang harus aku terima, ikhlas tak ikhlas.

Dua hari sebelum pernikahan kami digelar, kekasihku (ya, aku tak sanggup menyebut namanya) dihadang oleh tiga pria jalanan laknat. Aku tidak tau pasti kekasihku dari mana dan hendak ke mana, yang aku tau kekasihku diperkosa habis-habisan di sebuah gedung kosong dan akhirnya dirampok harta bendanya. Waktu itu aku belum tau siapa tiga setan yang dikirim Tuhan itu. Aku hanya merasa kosong, mendapat telpon dari orang tua kekasihku jika ia sedang di rumah sakit. Dalam keadaan sekarat. Aku, yang saat itu sedang mengontrol kesiapan gedung yang akan digunakan di hari H nanti, merasa ditindih beban berjuta ton beratnya. Aku sekonyong-konyongnya langsung lari ke mobil dan menuju rumah sakit yang diinfokan. Sepanjang jalan, kecepatan mobilku selaras dengan kecepatan air mata yang mengalir. Aku tidak bisa mengontrol emosiku. Bahkan sesekali isakan tangisku terdengar sangat jelas di tengah hiruk-pikuk jalan raya malam itu. Aku bahkan sempat salah jalan saking tidak fokus lagi menyetir mobil. Perasaan marah berkecamuk tak sudah-sudah.

Ruangan ICU yang sunyi kontras dengan keadaan di depan pintu. Raungan semakin jadi tanpa ada seorang pun yang meredamnya. Aku kalut, kewarasanku tiba-tiba hilang, logikaku sudah terbang entah kemana. Yang aku lakukan hanya menangis, menjerit dan mengumpat kepada Tuhan mengapa ini harus terjadi di sela-sela hari penuh makna bagi kami berdua ini. Ujian Tuhan terlalu mengada-ngada. Tangisanku mendadak berhenti saat dokter yang keluar dari ruangan dan memberikan hasil sementara kekasihku. Dokter bilang jika dia mengalami shock berat dan masih mengalami goncangan yang sangat dalam. Kekasihku sadar, tapi dengan tatapan kosong, tanpa arti. Aku mengerti perasaannya. Aku tidak beranjak satu meterpun darinya, aku rela hancur demi membuatnya kembali bangkit. Tapi apa daya, malapetaka ini terlalu menyesakkan. Aku tidak berhenti menyalahkan diriku sendiri. Aku ingat jika siang itu ia memang bilang mau mengurusi sesuatu di salah satu tempat, tapi tidak bilang di mana tempat itu spesifiknya. Aku hanya mengiyakan dan percaya jika tidak akan terjadi apa-apa dengan dirinya nanti. Tapi aku bukan Tuhan yang bisa memberikan garansi akan kehidupan seseorang, dan takdir berkata lain. Dan inilah hasil akhir dari perlakuan tiga setan brengsek utusan Tuhan yang Maha Agung.

Pagi itu kekasihku masih terlena dan terjaga. Dia tidak tidur sama sekali, dan dia belum mengucapkan satu katapun paska insiden itu. Hanya air mata yang sesekali turun dan melunturkan maskaranya yang belum sempat dibersihkan itu. Aku terlampau sayang kepadanya, dan aku semakin terpukul dengan keadaan mengenaskannya ini. Aku menemaninya menangis walaupun aku tau ini tidak bisa meringankan beban yang sedang dipikulnya.

Tuhan menyulap keadaan menjadi lebih baik. Kekasihku sudah diizinkan pulang karena selama beberapa minggu di rumah sakit ia mengalami progres yang bagus. Pernikahan kami rusak. Undangan, baju pengantin, gedung dan catering yang telah disewa semua hancur. Tidak akan ada pesta megah yang selama ini kami idamkan. Tidak ada prosesi tukar cincin yang kami dambakan. Tak ada juga malam pertama yang kami harapkan. Dan tentang keluarga kecil kami, kami tutup episode itu sementara waktu. Aku tidak lagi memikirkan rasa malu, malah aku tidak perduli dengan gunjingan orang lain perihal masalah ini. Yang ada di benakku sekarang, bagaimana caranya mengembalikkan kebahagiaan batin kepada kekasihku. Aku ingin Tuhan tidak hanya memberikan cobaan, namun juga mukjizat. Sebuah keajaiban yang bisa menyembuhkan kekasihku dari kenistaan maha berat ini.

Situasi membaik, kekasihku sudah mulai merasa kembali ke hidup aslinya. Dia sudah kembali 'mengenal' ku. Aku mencurahkan semua yang aku bisa untuk membentuk kebahagiaan yang sempat hilang untuk dirinya. Aku menjadi sering bolos kerja, lupa makan, membiarkan kumis dan jenggotku yang mulai memanjang. Semua kulakukan semata untuk membuatnya kembali tersipu, menghirup segarnya udara dunia. Aku ajak kekasihku ke pantai, mengelilingi kota kecil ini, bercengkrama ria di taman yang biasa kami lakukan saat berpacaran dulu. Aku berusaha memunculkan kembali kenangan itu dan merangsang daya ingatnya untuk melupakan kesuraman yang pernah melanda hidupnya. Walaupun tak mudah.

Dua bulan setelah terakhir kali aku mengantarnya pulang, petir kembali menyambar dan lingkaran setan semakin tebal menyelimuti hidup kekasihku. Kekasihku hamil, sebuah kejutan yang tak diharapkan. Lembar baru yang telah ia susun itu ternyata harus rusak lagi oleh vonis yang menyakitkan itu. Hujan air mata kembali terjadi. Aku hanya bisa diam, terpaku oleh keadaan yang aku sendiri bingung mengendalikannya. Kekasihku terperosok ke lobang yang paling dalam. Aku hanya bisa memandangnya dari atas lobang itu tanpa ada gerakan untuk menolongnya. Karena akupun tidak tau bagaimana cara terbaik membantunya keluar dari lobang itu. Aku seperti dilempar granat yang siap meledak. Aku dirudung dilematis yang sangat kejam. Begitupun kekasihku yang terlunta-lunta oleh estafet kesialan yang dideritanya.

Tuhan memberikan masing-masing jalan, dan inilah hidup yang harus dijalani kekasihku. Sialnya, kekasihku mengambil jalan pintas dan memilih untuk menyudahi kehidupan yang telah Tuhan persiapkan untuk dirinya. Tak menunggu lama, seminggu dari berita memalukan itu, kekasihku ditemukan tewas di dalam kamarnya. Ia akhirnya mengerti jika dirinya sudah tidak berguna lagi. Ia merasa kecewa dengan dirinya, merasa tidak pantas dengan diriku, merasa kotor, dan yang paling menyedihkan ia berterima kasih kepada Tuhan atas semua ini. Kata-kata itu ia tulis di secarik kertas yang sudah basah dan lusuh.

Ingin rasanya aku mengikuti jejak kekasihku untuk berhenti melanjuti hidupku. Elemen penyemangatku telah tiada, orang yang telah memompa kebahagiaan untuk diriku sudah hilang, menuruti kehendak Tuhan untuk kembali kepada-Nya walaupun dengan cara yang salah. Tapi Tuhan tidak bisa berkomplentasi lagi, makhluk-Nya satu itu punya alasan mengapa ia memilih mati secepatnya. Ia tidak ingin terlalu lama memendam luka dan aib yang menjerat lehernya itu. Aku semestinya pantas marah ke Tuhan. Secara tidak langsung Tuhan telah merusak benang kebahagiaan yang telah aku sulam selama ini bersama kekasihku. Tapi tanpa ancang-ancang, Tuhan lah yang memorak-porandakan semuanya. Mimpi yang hanyut ke aliran sungai hitam kelam.

Aku memutuskan untuk resign dari kantor. Lagipula hasratku sudah patah, kalah oleh kekesalan dan perasaan sakit hati. Aku melanjutkan hidup tanpa arah. Aku kehilangan rasa ingin hidup. Yang ada dipikiranku hanyalah bagaimana aku menemukan tiga bajingan itu. Rasa balas dendamku telah menggunung. Aku sengaja memisahkan diri dari keluarga dan orang-orang yang aku kenal. Aku ingin menyelesaikan ini sendiri tanpa ada 'dukungan' dan 'campur tangan' dari orang lain. Aku ingin mengeksekusi kejamnya dunia ini sendiri. Sudah ada yang menemaniku, kekasihku. Walaupun aku tau kekasihku tidak akan pernah menyukai apa yang akan aku perbuat ini. Tapi aku sudah membulatkan tekad, menyingkirkan logika, dan merancang semuanya dengan rapih.

Aku sudah mencari ke segala penjuru dengan segala cara tentang tiga iblis neraka Jahanam itu, namun nihil. Amarahku semakin terbakar, aku hilang kendali. Peringatan pahala terbantakan oleh niat pendosaku yang berkoar lantang. Aku tidak perduli lagi dengan apa itu pahala dan dosa. Yang aku inginkan adalah segera menuntaskan dan mencari ending yang sepadan dengan apa yang sudah aku terima. Tuhan kembali bermain-main denganku. Aku kesulitan menemukan lokasi mereka, atau mereka juga sudah ditelan bumi? Aku tidak tau dan tidak yakin, aku semakin berontak mencari keberadaan mereka bertiga. Nyatanya, semakin aku bersikukuh mencari, hasilnya semakin mendekati nol. Keputus asaan kembali bersemayam, kendati luapan balas dendam masih tidak bisa dibendung. Aku akhirnya menggunakan cara lain. Aku..........

Minggu, 11 November 2012

Wreck-It Ralph (2012)



Director: Rich Moore
Cast: John C. Reilly, Sarah Silverman, Jack McBrayer, Jane Lynch, Alan Tudyk
Rate: 3,5/5


Tampaknya dunia animasi mempermudah sineas untuk mengeksplorasi apa yang ada di benaknya. Imajinasi liar yang bersarang di kepala lantas distimulasi berkat bantuan dunia digital jaman sekarang. Semua diperalat oleh teknologi terkini yang akhirnya dipoles sedemikian rupa menjadi sebuah animated feature film. Lihat saja studio-studio animasi raksasa yang sekarang memaksa kita percaya jika film-film kartun mereka memang hidup layaknya manusia normal. Tidak masalah, toh penonton dimanjakan berkat visual cantik dan menarik lewat CGI tersebut. Dunia sempat dibuat terperangah dengan adanya mainan yang mampu berjalan dan bertengkar seperti halnya manusia. Pixar membuat suatu hal yang tak mungkin menjadi masuk akal sekaligus lucu dan mengharukan. Setelah itu, barulah dunia animasi semakin merajalela. Dunia robot, kaum Who yang hidup di bulir bunga, tikus pandai masak, kampung otomotif, serta hewan purbakala yang sibuk mengungsi.

Wreck-It Ralph hadir bukan hanya sebagai pelengkap perkartunan yang ada, tapi lebih kepada tribute dan nostalgia kita terhadap game arcade atau yang lebih dikenal sebagai ding-dong. Itulah yang unik, penonton diajak ke dunia ding-dong lebih dalam lagi. Kehidupan dan latar belakang serta problema karakter ding-dong menjadi pusat dan inti dari film ini. Tokoh sentral adalah Ralph si penghancur dari game Felix the Fix, yang merasa dirinya lelah menjadi orang jahat dan bersikukuh berubah menjadi yang lebih baik. Semua ditenggarai oleh tetua wahana yang merasa Ralph tidak pantas gabung dengan mereka dan membuat kecemburuan sosial Ralph semakin meradang. Bertaruh mendapatkan medali, Ralph bertemu dengan Vanellope, tokoh dari Sugar Rush yang ternyata mengalami malfungsi dan akan dimatikan karakternya. Ternyata, ada udang dibalik batu. Sosok tokoh jahat lainnya yang ternyata glitch juga mencoba memanipulasi program Vanellope. Keadaan semakin runyam saat monster jahat mulai mengganggu ketentraman jagad raya per-ding-dongan. Dibantu Felix dan Calhoun, Ralph berusaha menyelamatkan nasib Vanellope sekaligus game Felix the Fix itu sendiri.

Yang menyenangkan saat menonton film ini adalah penonton tidak hanya diberi kelegaan saat menikmati audio visual dan gimmick lainnya (baca: 3D), tapi juga diberi pelajaran lewat pesan moralnya. Kendati ceritanya tipikal film konsumsi anak-anak kebanyakan, namun film ini juga tidak merasa sok dewasa. Humornya masih dalam kadar yang bisa dicerna anak-anak. Dari awal hingga akhir, cerita memang bergulir tanpa jeda dan adegan kosong. Wreck-It Ralph memang tidak sesempurna itu, adegan Ralph yang mengajari Vanellope serta tokoh antagonis yang manipulatif banyak kita temukan di film lain. Hanya saja, Wreck-It Ralph sangat lugas dalam penyampaian point of view-nya. Hal-hal umum soal persahabatan, kesenjangan sosial, serta ketamakan akan sesuatu juga disampaikan dengan sangat jenaka. Rich Moore berhasil membuat film yang whole package-nya mampu menyenangkan segala pihak.

Pengisi suara semacam John C. Reilly, Sarah Silverman (main bagus di Take This Waltz), dan Jane Lynch memberikan nyawa kepada tokoh-tokoh di film ini. Kombinasi pemilihan aktor yang sangat pas. Terlebih lagi Wreck-It Ralph dibantu dengan lagu-lagu pengisi film yang amat segar. Sumbangan AKB48, Owl City, dan lagu lamanya Rihanna mampu menyemangati film ini lebih jauh lagi. Semuanya bersinyalir dan melengkapi hiruk pikuk dunia game arcade yang saling menyatu lewat aliran paralel listrik. Kita tak akan pernah tau kalau arcade universe bisa saling terhubung dan berkesinambung menjadi sebuah dunia yang ramai, warna-warni, dan penuh problematika sebelum menonton film ini.

Meskipun Pixar seolah menaikkan kembali pamor Disney yang sempat meredup, tapi Disney kembali maju dengan menghasilkan film-film yang berkualitas Oscar. Hadirnya Tangled dan Wreck-It Ralph ini sebagai bukti jika Disney masih fokus dengan tujuan utamanya dalam hal memberikan produk yang bermutu tinggi tapi bisa dinikmati oleh segala jenis usia. Bahkan sekarang Pixar yang seperti sedang merangkak dan terseok-seok akibat Cars 2 dan Brave mereka yang dinilai biasa-biasa saja. Pertarungan antar PH semakin sengit, apalagi Dreamworks Animation semakin dewasa dalam melempar produknya. Belum lagi desakan dari Blue Sky, dan lain-lain. Wreck-It Ralph pada akhirnya tidak akan menjadi sesuatu yang klasik laiknya filmografi Disney terdahulu, tapi film ini jelas memiliki taring yang harap menjadi ancaman bagi film animasi lainnya dalam hal perebutan piala Oscar tahun depan. Happy watching!

by: Aditya Saputra


post.script: Ada short movie sebelum Wreck-It Ralph dimulai, yaitu Paperman. Bercerita tentang pertemuan singkat tak disengaja antara seorang cowok dan cewek di sebuah stasiun. Storytelling-nya sangat menarik, bahkan romantis. Animasinya pun sangat menawan dan lucu. Banyak hal yang terkandung dari animasi berdurasi kurang dari 5 menit ini. Black and white mode, silent mode, but it's astonishing.

Sabtu, 10 November 2012

A Single Man (2009)


Director: Tom Ford
Cast: Colin Firth, Julianne Moore, Nicholas Hoult, Matthew Goode
Rate: 4/5


Percayakah Anda jika seorang designer yang nol-directing experience dalam menyutradarai film lantas membuat film berkelas Oscar? Dan percayakah Anda jika designer tersebut menulis naskahnya seorang diri dan menghasilkan sebuah film yang sangat personal bagi dirinya? Tom Ford, designer jebolan fashion house kenamaan, Gucci, membuat kritikus membuka mata akan talenta barunya selain mendisain dan menyketsa baju-baju orang ternama. Tanpa promo yang berlebihan, film ini malah mengejutkan semua pihak dan dicap sebagai salah satu karya terbaik keluaran tahun 2009. Cerdasnya lagi, Tom Ford membuat sendiri script yang ia terjemahkan langsung dari buku karangan Christopher Isherwood. Bakat terpendam, jika diasah memang akan muncul kualitasnya.

A Single Man memang menceriterakan sepak terjang seorang dosen yang terjebak dalam masa lalu dan terperangkap dalam cinta matinya. George Falconer, dosen Bahasa Inggris - seorang gay, menjalani hidup monotonnya tanpa warna-warni percintaan lagi. Sang kekasih, Jim, yang telah hidup bersamanya selama 16 tahun meninggal karena kecelakaan saat akan mengunjungi keluarganya. Sial bagi George, kematian sang kekasih harus ia cari tau sendiri karena sang keluarga tidak memberi kabar atas kepergian Jim. George semakin terpuruk dan merencanakan untuk memperpendek masa hidupnya. Menutup akun di bank-nya dan membuat sebuah catatan singkat untuk orang terdekatnya. Namun, satu pagi George berkontak mata dengan anak didiknya, Kenny, yang mempunyai rasa penasaran tinggi dengan sosok si dosen. Affair yang tidak wajar terjalin walaupun hasil akhirnya tidak akan terbayangkan. Belum lagi George harus terlibat cinta bertepuk sebelah tangan yang didera oleh sahabat lamanya, Charley. Drama kehidupan George makin pelik, dan kebahagian masih mengambang entah kemana.

Opening film ini sangat menggugah, bagaimana kita diperlihatkan 'panorama air' yang sangat classy dan indah. Namun sarat makna. Semuanya tersimbolkan dengan amat lugas. Naskah yang dikarang Ford mengalir lembut namun tegas, serupa dengan penggarapannya yang matang kendati ini adalah debut penyutradaraannya. Bahkan Ford dengan pintarnya mengolah beberapa adegan yang memang sarat emosi. Editing yang cantik, pergerakan kamera yang dinamis, serta pemilihan lagu dengan tempo yang pas. Tom Ford seakan telah mempersiapkan segalanya untuk film ini. Termasuk dengan memilih cast yang sempurna. Colin Firth meraih nominasi Oscar dari film ini, dan memang sangat beralasan. Tokoh George Falconer adalah contoh karakter yang susah dimainkan. Firth dengan kemampuan dan pengalamannya sukses bertransformasi menjadi sosok yang depresi, tempramental, dan cenderung introvert. Kegagalan drama percintaannya dilukiskan dengan air muka yang minus senyum. Penyeimbang dari aktor lainnya juga terhitung maksimal. Julianne Moore yang lagi-lagi kebagian peran wanita terpuruk berhasil menjabarkan maksud Ford akan tokohnya ini. Terlebih lagi untuk Nicholas Hoult yang tampil berani dan mampu jalan berdampingan dengan si senior Firth.

Walaupun Goode tampil sebentar, tapi perannya menjadi dalang dan sebab musabab serentetan kejadian di film ini. Flashback story yang menceritakan bagian bahagia George dan Jim, memang membantu menguatkan cerita itu sendiri. Dan pada akhirnya, prosa film ini memang terasa kokoh berkat seluruh elemen yang terkandung di dalamnya. Dan Tom Ford, di film perdananya, patut diacungi jempol, karena telah meramu sebuah film yang sangat intim dan personal. Bukan saja mendeklarasikan kemelut dan gundah seorang diri yang ditinggal mati kekasih, tapi juga bagaimana menempatkan diri di lingkungan saat keadaan mulai perlahan mengekang.

A Single Man is a highly recommended movie I must share. When a loner get a distraction, he might be not give himself a suicidal life. Saat sajak awal film mengalun, A Single Man memang berjalan di arah yang positif dalam memberi sudut pandang dan arti lain dari sebuah kehidupan. Naskah yang berpotensial mengaduk emosi, pemilihan aktor yang berkadar tinggi, mengaratkan semua persepsi awal akan tampilan film eksklusif seorang designer ini. A Single Man, with a single humble quote from Tom Ford: If you spend an hour and a half in a movie theater, it should challenge you. Happy watching!

by: Aditya Saputra

Jumat, 09 November 2012

Unfaithful (2002)



Director: Adrian Lyne
Cast: Richard Gere, Diane Lane, Olivier Martinez
Rate: 3/5


Mungkin sudah rahasia umum jika Adrian Lyne adalah salah satu sineas spesialis film-film dewasa yang bermaterikan perselingkuhan dan kental akan unsur seksualitasnya. Nine 1/2 Weeks dan Fatal Attraction adalah dua karya terbaiknya yang menjadi sampel bagaimana sebuah cerita yang kuat dibarengi dengan sex appeal dari para pemainnya. Ketika itu, Kim Basinger dan Glenn Close menjelma menjadi sex bomb atas kerja keras mereka menunjukkan kapasitas sebagai aktris jempolan yang bisa memainkan segala jenis karakter, termasuk sebagai wanita yang hobi main seks. Di tahun 2002, Lyne mencoba rumus serupa yang kali ini menggunakan bakat Diane Lane, salah satu aktris yang cantiknya abadi dan juga punya acting talent yang memukau. Menyadur judul produksi Perancis, Le Femme infidele, Lyne membawa atmosfer yang sama namun dengan gengsi Hollywood.

Mungkin berkat gengsi itulah film ini agak sedikit timpang meskipun tetap enak diikuti. Unfaithful yang perlahan sudah sangat seru, dipatahkan dengan setengah akhir filmnya yang tidak adanya unsur thriller sedikitpun. Saya belum menonton versi aslinya, jadi tidak akan membandingkan film ini dalam bentuk apapun. Film bermula saat Connie Summer yang tidak sengaja bertemu dengan pemuda penyuka sastra, Paul Martel. Ternyata pertemuan singkat mereka berlanjut ke arah yang tidak semestinya. Paul yang nantinya ketauan adalah seorang playboy, tertarik dengan kecantikan Connie dan begitu pula dengan Connie yang terpukau akan karisma dari seorang Paul. Manalagi setelah hubungan intim terjadi dan Connie merasakan hasrat seks yang luar biasa. Kecanduan hubungan terlarang ini membawa kisruh rumah tangga Connie dan suaminya, Ed Summer. Tapi apa daya, bau bangkai akan tetap tercium sejauh manapun kita menyimpannya. Tabiat perselingkuhan ini diketahui Ed sehingga hal-hal yang tidak diinginkanpun terjadi.

Unfaithful, saya akui memang memiliki kisah yang menarik dan bisa terjadi oleh keluarga manapun yang kurang harmonis. Tapi, keluarga harmonis pun bisa berantakan jika salah satunya memang tidak mempunyai rasa saling percaya. Unfaithful dengan lugas menyampaikan jika ketenteraman rumah tangga adalah bukan patokan jika nantinya tidak akan terjadi perselingkuhan. Kesempatan, ya kesempatan yang membawa neraka itu. Lyne dengan cerdasnya meramu awal kisah dengan amat klasik dan cara mempertemukan tokoh Connie dan Paul pun terbilang lucu dan romantis. Perseteruan batin Connie juga dipaparkan dengan amat baik kendati kadang penonton akan dibuat kesal dengan kebohongan pribadi yang diperbuatnya. Sayangnya, saat bagian sang suami balas dendam, Unfaithful terasa kurang gregetnya. Semua dibuat terasa cepat dan tidak ada sedikitpun perasaan mencekam. Kalau saja eksekusinya tidak terlalu lemah seperti ini. Untung saja musik dari Kaczmarek mengubah atmosfer awal yang sendu berakhir dengan tempo yang cukup seru.

Gere bermain total, dan sama halnya dengan Diane Lane. Richard Gere telah berhasil menjadi sosok suami 10 betul yang nantinya berubah menjadi hantu yang mencoreng seluruh sifat baiknya. Tapi Lane lah juru kunci film ini, selain panorama dan liukan tubuhnya yang menjadi sorotan, aktingnya pun berkelas Oscar. Sebagai wanita yang fakir hasrat libido, Lane bertransformasi ke sosok yang berada di zona serba salah. Ketakutannya terekspresikan dengan sangat pas. Memancing Oliver Martinez untuk bermain dengan santai, yah walaaupun Martinez di sini tidak begitu spesial selain menunjukkan sixpack body dan senyum beracunnya itu.

Di tahun yang sama, Unfaithful harus bertarung dengan fim bertema serupa, Far From Heaven. Walaupun beda subjek dan objek, Unfaithful kalah sedikit dalam menciptakan suasana ending yang diharapkan penonton kebanyakan. Walaupun begitu, Lane dan seluruh jajaran cast dan crew-nya telah memastikan kita jika film bertema tabu seperti ini akan tetap diproduksi. Lihat saja Chloe yang masih dinilai positif. Sekaligus mengajarkan kita bagaimana mengatur sifat negatif kita dalam berumah tangga. Bukan mengajarkan kita untuk berselingkuh secara aman dan tidak kepergok orang rumah. Happy watching!

by: Aditya Saputra

Jumat, 02 November 2012

Skyfall (2012)


Director: Sam Mendes
Cast: Daniel Craig, Judi Dench, Ralph Fiennes, Javier Bardem, Naomi Harris, Ben Wishaw, Berenice Lim Marlohe
Rate: 4/5
Dr. No adalah permulaan yang bagus sekaligus menjadi mata rantai bagaimana sebuah franchise tentang spionase agent menjadi alat pengeruk uang. Cerita rekaan dari Ian Fleming mengglobal seantero dunia dan dari tahun ke tahun mengalami kematangan yang signifikan diiringi dengan pergantian pemeran Bond itu sendiri. Sean Connery tentu saja tidak akan selamanya menjadi James Bond, dan bisa saja menjadi Bond terbaik yang pernah ada. Dari mulai Roger Moore hingga Pierce Brosnan yang berupaya menggantikan keparlentean seorang Connery, start berujung pada pemilihan sosok Daniel Craig yang awalnya tidak terlalu disegani untuk membawa karakter legendaris ini. Namun nyatanya, lewat Casino Royale, Craig bisa mematahkan segala asumsi negatif tentang dirinya sekaligus membuktikan jika ia bisa melebihi kapasitas dari yang diharapkan sebelumnya. Bond di tangan Craig jelas bukan agen 007 yang sudah-sudah. Flamboyan yang sudah terlabel sejak awal dibiaskan oleh kemunculan awalnya di Casino Royale yang urakan, namun mematikan. Daniel Craig ditinjau lebih jauh lewat Quantum of Solace yang semakin mengukuhkan tajinya jika ia adalah Bond generasi baru.
Lain Craig, lain pula hanya Sam Mendes, nahkoda dari seri teranyar agen 007 ini, Skyfall. Mendes yang kita kenal sebagai sutradara berciri khas kisruh rumah tangga, sekarang langsung naik tahta untuk mengangkat saga ini lebih tinggi lagi. Dengan predikat Oscar yang sudah disandangnya, mau tak mau Mendes akhirnya mengemban beban berat juga agar hasil akhir film ini tidak anjlok. Betul saja, Mendes tidak main-main. Mengajak 3 orang scriptwriter andalan, merekrut Roger Deakins di sektor penggarapan gambar serta Thomas Newman di teritori penggarapan musik, memang berdampak pada kualitas Skyfall secara keseluruhan. Semuanya bekerja dengan sangat baik dan Skyfall berhasil menghapus dahaga penonton yang was-was akan kualitasnya. Score music yang sangat luar biasa membius dan juga tampilan cerita yang jauh lebih dewasa dan berbobot. Mendes menyeimbangi antara porsi action dan dramatisasinya.
Lihat saja opening scene-nya yang sangat classy dan simbolisasi sepanjang theme song bergulir memang adalah kumpulan singkat bagaimana filmnya kelak akan bercerita. Opening scene-nya mungkin salah satu yang terbaik yang pernah ada. Konfliknya pun semakin menggigit. Bond tidak hanya sekadar mengentaskan misi tapi juga harus merasakan kehilangan yang pahit. Boleh dibilang seri ini adalah kemaklumatan bagi sosok M yang mana emosi seorang Judi Dench dikuras habis-habisan. M tidak pernah sedramatik ini. Tokoh-tokoh tambahan yang mana nantinya mendapat peran penting juga patut disimak sepak terjangnya.
Kehadiran Daniel Craig sejak ia menerima tongkat estafet dari Brosnan memang sedikit mencengangkan. Aktor kemarin sore yang dikemas sedemikian rupa dan sekarang menjadi sosok yang dielu-elukan. Perombakan drastis pada dirinya sebagai persiapan menyelami tokoh 007 ini patut diberi kredit tersendiri. Craig diciptakan untuk peran yang seperti ini. Judi Dench, filosofis sosok M yang demokratis namun juga berjiwa pemimpin yang sangat solid. Tidak bisa dibayangkan jika karakter M harus dipegang oleh aktor lain. Kejutan yang diselipi di tengah dan akhir cerita memang akan menguak rasa penasaran penonton. Musuh Bond kali ini diprakarsai Javier Bardem, sosok kelam Anton Chigurh yang memberikannya Oscar atas peran mematikannya itu. Bardem sama halnya Mathieu Almaric yang kejam dan keji hanya lewat raut muka. Shiva di tangan Bardem dibimbing untuk kesetanan pada waktunya. Sorotan mata Bardem ditambah kekuatan suara yang membuat dialog menjadi begitu horor.
Sam Mendes akhirnya terbukti kuat di luar zona amannya. Budget besar yang dicurahkan kepadanya dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Pemilihan cast yang sempurna, pembuatan adegan yang memanjakan mata, serta memilih Adele untuk mengisi theme song nya bertajuk sama juga merupakan hasil kinerja dan tanggung jawab dari Mendes. Melepas Skyfall ke pasaran dengan hasil jutaan dolar dan timbunan review positif dari siapa saja yang menontonnya. Dan siapa tau, juri Oscar melirih film ini untuk diikut sertakan di bursa Oscar 2013 kelak. Happy watching!
by: Aditya Saputra