Minggu, 02 Oktober 2011

Water for Elephants (2011)


Director: Francis Lawrence
Cast: Reese Whiterspoon, Robert Pattinson, Christoph Waltz, Hal Holbrook
Rate: 3/5


Beberapa bulan yang lalu, saya membaca sebuah novel yang berisikan seluk beluk dunia sirkus. Salah satu tema dan dunia yang jarang disentuh oleh penulis. Kehidupan keras yang menyelimuti aneka ragam dari layar belakang panggung sirkus tersebut, ditelaah dengan sangat lugas di novel karang Sara Gruen tersebut. Water for Elephants, judul buku tersebut yang akhirnya diterjemahkan lewat untaian pita seluloid tahun ini dengan menghadirkan pesona vampir masa kini, Robert Pattinson. Agak riskan memang saat saya mendengar kabar jika si vampir ini akan bermain drama, apalagi akan didampingi oleh aktor sekaliber OScar semacam Resse Whiterspoon dan Christoph Waltz. Yah, nasi sudah menjadi bubur, dan Rob akhirnya menjadi tokoh utama yang diharapkan mampu mengimbangi filmnya ke jalur yang lebih baik.

Sialnya, tidak. Apa yang terkisah di filmnya sangat jauh dari harapan dan dugaan saya ketika saya membaca novelnya. STOP!! Dari casting-nya saja saya sudah punya bayangan jika Rob adalah miscast. Ternyata benar. Sosok karismatik, pintar, dan pendiam seperti Jacob di lembaran kertas novelnya seakan melenceng jauh dengan panorama akting yang dibawakan oleh Pattinson. Saya tidak bilang buruk, tapi sangat disayangkan--jauh dari kesan memorable. Jadi, apa yang telaph ditopang oleh Whiterspoon dan Waltz hilang tanpa bekas. Belum lagi, sang scriptwriter dan sutradaranya membuat kesalahan dengan tidak menyertakan adegan-adegan penting di novelnya untuk dilibatkan di filmnya. Tujuannya mungkin dibenarkan, yaitu agar terlihat mampu berdiri sendiri tanpa anekdot dari cerita aslinya. Tapi kalau sudah begini, tujuannya jadi tidak dibenarkan sama sekali. Soalnya, cerita yang terpampang dengan sangat cantik dan membumi itu sudah lebih dari cukup untuk diolah kembali sedemikian rupa demi kepentingan uang dan keegoisan ide pikir.

Jacob, seorang pelajar yang tidak selesai sekolahnya mencoba peruntungan dengan mengikuti perjalanan sebuah parade sirkus. Singkatnya ia bertemu dengan banyak manusia 'aneh' dalam bertingkah dan tentu saja Marlena dan August, sepasang cinta yang sebenarnya berlabel tidak saling mencintai. Kedatangan Jacob yang semula kurang berguna perlahan menjadi sosok penting karena selanjutnya diketahui jika ia cukup mahir dalam mengobati binatang. Tak lama, grup sirkus ini kedatangan si bintang utamanya, Rosie--seekor gajah yang berperilaku unik karena mampu berkomunikasi dengan manusia dalam bahasa Polandia. Dalam hal ini, Jacob lagi-lagi cumlaude berbahasa negara itu. Permasalahan muncul tepat saat August mulai menampakkan sifat asilnya dan beringas terhadap para binatang-binatang sirkus ini.

Inilah yang kata saya sangat disayangkan. Beberapa hal utama dalam novelnya kurang tergali dengan sangat intim. Keterlibatan para animalia ini seharusnya berpotensi menyegarkan mata penonton yang sudah kelewat lelah menyaksikan drama klisenya belaka. Keikut-sertaan Rosie sang gajah serta amuk massal saat pagelaran juga kurang dieksplor lebih. Kalau boleh memuji, art direction dan tata busana film ini terbilang kolosal dan cukup mewakili apa yang didongengkan penulis novelnya. Cuma itu saja kesalahan, kurang dieksplorasi apa yang terkandung di jiwa bukunya.

Terlalu memaksa memang jika memaksakan kehendak sendiri agar apa yang tersaji di filmnya harus 100% real dari novelnya. Tidak begitu juga, saya sebagai penonton yang sudah membaca bukunya, memang mengahrapkan suatu gejolak emosi dan mungkin perasaan gundah yang sama. Okelah, sebut saja sutradaranya memang belum ahli dalam menggodok emosi penonton, dan sebut saja Robber Pattinson salah satu tumbal yang membuat film ini semakin enggan ditonton, namun jangan lupakan penampilan menarik dari sosok Reese dan Waltz yang sudah bermain cukup bagus. Mampu menghalau penampilan seadanya dari Pattinson dan ekstra lainnya. Satu poin penting film ini adalah, film ini membagi dua babak dimana pertama saat Jacob mengalami masa keemasan dan kepudarannya, dan kedua saat ia mulai renta di panti jompo menunggu sekelompok sirkus siap menerimanya kembali.

How pity, this movie is not as big as the elephant. It's not as strong as the horse, neither. The plus is, setidaknya kita sedikit mendapatkan ilmu tentang bagaimana dunia sirkus itu sendiri. Happy watching!

by: Aditya Saputra

Tidak ada komentar:

Posting Komentar