Sabtu, 22 Desember 2012

The Amusing Movie-Life

Hidup di dunia hobi ibarat membangkitkan roh baru dan kemudian dijalani dengan penuh warna yang dikreasikan oleh diri sendiri. Entah saya harus menyebut kebiasaan saya ini adalah hobi atau hanya habit yang kelewat berlebihan, namun yang jelas saya menyelami hobi bukan untuk sekali-dua-kali dinikmati tapi juga terjun ke kisi-kisinya paling dalam.

Balita menjelang anak-anak hingga memasuki masa remaja, segelintirpun saya tidak mengerti apa itu film. Tidak seperti beberapa teman saya yang dari usia dini sudah dicekoki media layar lebar tersebut, saya mungkin salah satu dari sekian banyak anak yang mengisi dunia kanak-kanaknya dengan permainan kampung saja. Saya lahir di tahun 1989, tahun di mana Driving Miss Daisy dikumandangkan sebagai film terbaik versi Oscar. Menapaki era SMP, saya ingat sekali jika televisi Nasional sering menyiarkan berbagai film yang di jamannya disinyalir sebagai yang terbaik. Bodohnya saya (dulu yang masih senang didongengkan oleh kartun dan sinetron remaja), keacuhan dan keegoisan saya membuang saya lebih jauh ke dunia film tatkala saya memonopoli layar kaca dari ayah saya yang sedang menonton film Platoon. Double bodohnya, Platoon pun dicap sebagai film terbaik di tahun perilisannya.

SMA adalah periode di mana saya perlahan menaiki derajat kedewasaan dengan memilah dan memilih tontonan berkualitas dan mendidik untuk diisi di otak saya. Dengan bioskop yang hanya memakan waktu 5 menit dari sekolah saya, bioskop menjadi pelarian utama jika saya sedang malas pulang ke rumah. Tentu saja dengan teman-teman. Namun, weekly schedule itu hanya berlaku jika ada film yang menurut saya layak tonton. Jauh sesudahnya, bab baru kembali terbuka, film menjadi sebuah wadah tersendiri bagi saya untuk menampung dan membungkam rasa introvert di dalam kepribadian saya. Semenjak salah satu bioskop baru dibuka, di saat itulah saya merasakan menonton film di bioskop seperti sebuah pengalaman yang indah. Kendati demikian, pertama kali saya memasuki gedung bioskop saat usia 6 tahun, film India entah judulnya apa, itupun semacam modus oleh tetangga saya.

Lanjut ke inti, tahun 2006 - 2007 boleh dikatakan menjadi tahun penting bagi saya yang untuk pertama kalinya mulai memahami apa itu seni. Cakrawala saya semakin terbuka lebar, imajinasi liar yang selama ini terpendam tanpa ada aplikasinya perlahan mulai menguap dan menggumpal menjadi semangat. Saya seperti disiram air dingin dan dibangunkan dari tidur saya yang lama, dan angin seraya berteriak, 'Inilah kehidupan ekstramu, jadikan film sebagai keluargamu dan bioskop menjadi tempat tinggal sampinganmu'. Dijamu oleh kemegahan suara dan arsitektur gambar yang apik, menonton bukan lagi sebuah kebiasaan lumrah, tapi sudah menjadi suatu barang komplementer. Tom Ford pernah berujar, "If you spend an hour and a half in a movie theater, it should challenge you". Dan benar saja, memandangi layar putih dengan dentuman dari loudspeaker seperti ditantang dan diajak mengarungi apa yang tersaji di depan mata.

Akhir 2007, untuk pertama kalinya saya menonton film sendirian dan film yang beruntung itu adalah I Am Legend, dan di tahun itu pula saya mengenal facebook dan bergabung di grup sebuah majalah, Cinemags. Sejak itu, rutinitas setiap bulan untuk membeli majalah selalu dilakukan walaupun kadang harus memangkas uang jajan dan berpasrah untuk tidak jajan berlebihan. Haus akan film membuat saya semakin tertantang. Menonton Transformers membuat saya kagum bukan tanpa alasan. Film ini mengajarkan saya jika ilmu bukan cuma seperti yang saya dapati selama ini. Ilmu dan juga teknologi ada di belakang pintu yang bernama seni peran, dan film secara umumnya. Komputerisasi yang sudah mengglobal seperti sekarang ini semakin memudahkan sineas untuk memacu dan mengendalikan perbioskopan dunia dengan film mereka masing-masing dalam hal memamerkan bakat dan imajinasi. Perlahan namun pasti, walaupun masih berada di jalur mainstream, keistimewaan yang melingkupi jajaran film mulai saya kuasai.

Steven Spielberg, Martin Scorsese, Roman Polanski, Michael Bay, dan sutradara lainnya dengan segala tetek bengek film lama dan baru mereka banyak memberikan kesan yang mendalam untuk saya pribadi. Salah satu dan yang paling baik menurut saya hingga sekarang adalah Babel hasil tangan Alejandro Gonzales Innaritu. Bagi saya, film itu sangat personal dan 100% positif. Tangisan yang keluar saat meratapi film itu bukan sebagai arti jika saya lemah dan film itu hanya menyajikan hal tearjerker semata, tapi lebih dari itu. Terhitung itulah, saya tidak hanya berkutat ke film yang menghibur saja tapi juga ke film yang selain menghibur, tapi juga berisi, dan mendidik. Jujur saja, dari film inilah yang membuat mata saya tidak lagi buta akan dunia. Dari Saving Private Ryan saya dapat gambaran singkat bagaimana perang yang sesungguhnya. Forrest Gump memupuk rasa optimisme yang tinggi, dsb..

Sebetulnya, genre favorit saya adalah drama, tapi tidak menutup kemungkinan bahwa saya juga menyukai jenis film lainnya. Hanya saja, bobot rasa suka ke drama, apalagi biopik, jauh lebih besar ketimbang genre lainnya. Mengapa demikian? Karena film full drama seringkali lebih masuk di akal dan sangat manusiawi dalam artian nyata. Terlebih lagi biopik yang berjuta kali lebih banyak manfaatnya. Sebelum 'hidup' di dunia film, saya tidak tau siapa itu Truman Capote, Alfred Hitchcock, Harvey Milk, dan Idi Amin. Berkat mediasi ini dan berbagai film yang mengungkapkan secara bijak orang-orang terkenal dan berpengaruh di eranya membuat saya tidak begitu norak jika diajak membahas kaum bersahaja tersebut. Saya sudah tiga kali menonton Amadeus, sebuah film biopik musikal langka. Mengapa saya sebut langka? Karena film tentang Wolfgang Amadeus Mozart tersebut jika diibaratkan sebuah menu makanan, maka Amadeus adalah menu komplit. Mulai dari tata busana, musik, direksi dan dekorasi seni, akting, hingga make up dan naskah saling berkesinambungan dan melengkapi dan menjadi satu film secara utuh.

Alfred Hitchcock: "In feature films, the director is a God; in documentary films, God is the director". Quote itu sangat mutlak benarnya dan saya sampai sekarang belum bisa menemukan letak nikmat dari menonton sebuah film dokumenter. Oleh sebab itu, seingat saya hingga detik ini belum ada satupun film dokumenter yang saya tonton. Walaupun keinginan menonton The Cove dan March of Penguins sudah sangat membuncah. Memang, mungkin sebagai penikmat film yang bijak tidak boleh mengotak-kotakkan sebuah sub-genre, tapi secara pribadi saya sekarang memang belum 'membutuhkan' film yang berpola dokumentasi tersebut. Makanya saya juga tidak begitu suka film-film yang memakai teknik serupa, seperti beberapa film horor yang merekam langsung adegan nyatanya.

Berbicara cita-cita dan prospek di lingkaran ini, saya seringkali berkeinginan mejadi seorang penulis naskah ataupun aktor. Karena saya mampu menjalani 2 profesi itu secara beriringan. Sayangnya, dengan minimnya organisasi sejenis dan wadah yang tidak memadai di kota saya membuat saya berhenti sejenak di tempat dan menunggu aba-aba jika memang ada yang menyuruh jalan kembali. Akting telah menghipnotis dan mengajak saya ke alam bawah sadar. Bagi saya, menyumbang roh untuk menghidupi suatu tokoh itu adalah tantangan. Bagaimana kita merubah watak menjadi orang yang kita tidak kenal sama sekali. Mungkin, jika ada kesempatan untuk mementaskan suatu drama, chance itu tidak akan saya sia-siakan.

Sebagai penutup, menjajaki sebuah forum di mana saya sendiri nyaman mendalaminya, sudah pasti akan membekas dan menghadiahi sebuah pengalaman yang luar biasa. Saya tidak sedang menggombal karena saya merasakannya sendiri secara langsung. Atribut dan komponen yang terkandung di dalam labirin yang bernama film memang telah berkumpul menjadi satu membentuk elemen utuh untuk saya pribadi sebagai barang konsumsi yang suatu saat akan menjadi barang produksi. Mudah-mudahan, jika Tuhan melebarkan jalan setapak di depan saya ini, rangkaian partikel yang saya sebut doa selama ini bisa diselaraskan dengan tujuan postif dan hasil yang menggembirakan. :)


This side project is presented by ours: (click the name!)

Merista Kalorin, Lucky Ramadhan, Bahana Damayana, Algitya Pratomo, Natanael Christianto, Heru Chrisadi, Arief Noor Iffandy, Tyas Indanavetta.

1 komentar:

  1. nice writing as uusual kkak Aditt.

    "Berbicara cita-cita dan prospek di lingkaran ini, saya seringkali berkeinginan mencari seorang penulis naskah ataupun aktor. Karena saya mampu menjalani 2 profesi itu secara beriringan."

    'mencari seorang penulis'? artinya dengan tujuan untuk berbagi ilmu kah?


    btw gimana bakal bisa nemu kenikmatan nonton film dokumenter kalo belum pernah sekalipun nonton film dokumenter...? ayuk lah dicoba sekali2 kak 8-)

    BalasHapus