Senin, 07 Januari 2013

Weekend (2011)


Director: Andrew  Haigh
Cast: Tom Cullen, Chris New, Jonathan Race, Laura Freeman
Rate: 4/5


Yang katanya cinta itu bersifat universal memang sangat benar, tapi jika melihat dari sudut agama, percintaan sesama jenis nyatanya tidak dibenarkan. Untuk lebih bijaknya, saya tidak akan menyerempet masalah ini lewat unsur agama. Katakanlah, filem ini akan dijauhi oleh para homophobic dan penonton awam yang mencari unsur 'menyenangkan' dari sebuah filem. Namun, jika kita sedikit membuka mata dan menelah Weekend lebih dalam, ada pesan manis yang terselubung di sini. Bukan sebagai pandangan yang kabur antara para homo (gay/lesbian) tapi sebagai cinta yang menyeluruh. Weekend yang heboh di seantero festival yang diikutinya, menjelma menjadi salah satu filem indie segmented yang memunyai sejuta makna. Tidak terus-terusan membuka tabir kasih sayang terlarang.

Weekend adalah semacam maklumat dari sutradaranya dan target yang ditujunya adalah penonton yang memiliki kecenderungan yang sama dengan karakter di Weekend. Pernah kita merasakan kehilangan seseorang yang sangat kita sayangi? Atau bertemu seseorang yang sangat mengerti kita sehingga kita susah untuk melepaskan diri dari hidupnya? Hal inilah yang diutarakan Andrew Haigh dan menjelaskan dengan padat berisi metafora yang terjalin kuat antara Russell dan Glen yang bertemu di sebuah gay bar dan selanjutnya menjalin hubungan layaknya sahabat-sayang-sahabat. Hingga suatu ketika, mereka berdua harus merasakan takdir Tuhan, dipisahkan oleh keadaan yang mereka sendiri tidak sanggup menolaknya.

Cerita filem ini sungguh kokoh. Sepanjang filem, kita akan temui uraian singkat penuh sarat makna yang menjelaskan keluh kesah mereka sebagai gay. Naluri yang telah tumbuh semasa kecil hingga hukum bullying yang harus mereka terima. Weekend tidak serta merta menghasut bahkan menulari benih 'kelainan' mereka kepada penonton. Seperti yang saya katakan sebelumnya, filem ini mengambil jalur yang lebih terbuka. Tumpuan personal yang memang sangat melekat dijabarkan dengan santai tanpa menghilangkan kesan dramatis romantis. Pencarian jati diri pada salah satu karakter juga tergambar dengan amat jelas. Dirangkai dengan sangat indah oleh sinematografi yang cantik. Sudut-sudut saat mereka merenung hingga memadu birahi tersorot dengan tegas. Percakapan yang terjalin juga ditangkap tanpa keklisean yang biasa terjadi di filem-filem serupa.

Sebenarnya, filem ini sedikit kurang dieksplor. Ada kala saat Glen merekam aktivitas Russell dan sebaliknya, sebaiknya dimatangkan lagi. Padahal, mereka berdua memiliki cara pemikiran yang berbeda yang seru untuk dikomentari lebih jauh. Cara Haigh ini sebenarnya mujarab untuk mengintenskan drama dan emosi lebih kuat lagi. Walaupun demikian, tanpa adegan tersebut filem ini juga sudah kelewat kokoh berkat narasi dan dialog yang sangat menggigit.

Saya tidak akan merekomendasikan filem ini. Biarlah pembaca review ini yang mencari sendiri keunggulan Weekend. Berbagi kepedihan dan kebahagian kepada orang yang kita sayangi kadang kala membuat sebagian dunia kita yang dulu meredup seakan terang kembali. Kedua tokoh filem ini mengalami fase itu. Namun, part saling tinggal-meninggali memang tidak ingin terjadi di kehidupan kita. Sekalipun jika kita harus membelokkan goresan tangan Tuhan. Kesulitan Russell dan Glen menanam, memupuk, merawat, dan memetik hasil cinta mereka mungkin sulit untuk direalisasikan. Tapi kejujuran mereka terhadap satu sama lain dan juga kepada orang di sekitar mereka, hal inilah yang sepatutnya dihargai. Happy watching!

by: Aditya Saputra

Tidak ada komentar:

Posting Komentar