Minggu, 03 Februari 2013

Amour (2012)


Director: Michael Haneke
Cast: Jean-Louis Trintignant, Emmanuelle Riva, Isabelle Huppert
Rate: 4,5/5


Tidak banyak orang yang mengenal Michael Haneke. Dari ruang lingkup yang menyukai filem saja, nama Haneke mungkin masih terasa asing di telinga walaupun karya-karyanya hampir seluruhnya dicap bagus. Bahkan, lewat Funny Games yang sedikit komersilpun, Haneke cenderung masih dipandang kalah terkenal jika dibandingkan dengan Steven Spielberg, Martin Scorsese, dsb.. Haneke tidak jarang bermain dengan dunianya sendiri saat membuat sebuah filem. Keanehan dan kejanggalan yang meliputi cerita maupun adegan lantas membelah penonton menjadi dua, suka dan tidak suka. Keunikan filemnya memang dirasa kurang masuk akal dan seperti membodohi penonton. Namun, itu juga yang menjadi standar kejeniusan seorang Haneke dalam mengelabui penonton agar selalu fokus dengan clue yang menyebar di sepanjang filem. Datang lagi satu filem produksi Perancis yang pertengahan tahun kemarin sempat menghiruk-pikukan jagad perfileman dikarenakan temanya yang kata kebanyakan penonton adalah sisi lain dari seorang Haneke.

Haneke kali ini bermain di ranah drama percintaan. Bukan Haneke jika tidak beda, dan Amour mengambil sudut pandang romansa di usia lanjut. Georges dan Anne, sepasang suami istri yang memasuki masa usia 80 tahunan, memensiunkan diri dari pekerjaan mereka sebagai pengajar musik. Mempunyai anak perempuan yang juga berkecimpung di dunia musik, namun telah menjalin sebuah keluarga dan hidup memisah dengan orang tuanya. Suatu ketika, Anne menderita stroke yang lama-kelamaan membuat sebagian tubuhnya lumpuh dan meminimkan kinerja tubuhnya untuk bekerja dan otomatis membutuhkan perawatan penuh dari sang suami tercinta. Dan di sinilah, kadar cinta George dipertaruhkan. Memberikan perlindungan dan pemawasan kepada Anne, mulai dari hal kecil hingga hal besar semacam kemanjaan Anne yang cenderung seperti anak kecil. Kendati sudah dibantu oleh suster yang merawat Anne seminggu tiga kali, tetap saja pangkuan terbesar hidup Anne ada di tangan George.

Saya harus akui jika filem ini salah satu filem romantis yang pernah saya tonton sebelum akhirnya dibuat tercengang oleh ending dahsyat khas Haneke. Saya tidak akan membicarakan akhir filem ini, saya akan memuji apa yang telah Haneke perbuat hingga menghasilkan Amour yang sungguh cemerlang ini. Patut diwaspadai, Amour banyak mengandung adegan-adegan sepi dan kosong yang cenderung membuat lelah. Namun, jika sudah memasuki dialog, kesunyian tadi terbayar sudah berkat obrolan yang terlihat sangat natural dan dibumbui oleh kapabilitas akting yang juga sejajar naturalitasnya. Amour hanya bermain di sebuah apartemen kecil yang terdapat kamar tidur, dapur, kamar mandi dan ruangan lainnya. Haneke menggunakan jasa lokasi sempit ini dengan sangat efektif. Penonton seperti diajak merasakan bagaimana pedihnya sakit yang dialami Anne dan betapa beratnya beban yang harus diangkat oleh George, terlebih lagi mengingat umurnya yang juga tua dan susah berjalan.

Kepekaan Haneke tidak terbantahkan. Di filem terdahulunya saja ia bisa memaksimalkan set minim dengan penuh dialog berkualitas. Amour pun demikian. Naskah yang amat rapih ini diselaraskan oleh kemampuan akting kelas wahid oleh Trintignant dan Riva. Dua sejoli ini menunjukkan kekuatan akting di atas rata-rata. Believable. Penonton mungkin merasa jika mereka tidak sedang berakting, especially Riva yang dengan supernya merefleksikan seorang pesakitan yang harus menghabiskan waktu di atas tempat tidur. Wajar jika AMPAS akhirnya memberi penghormatan berupa nominasi Oscar. Selain itu, Haneke juga sering memasuki satu-dua adegan yang jauh dari cerita awal. Seperti pas bagian burung yang menjadi simbol terkuat filem ini. FYI saja, poster internasional Amour diambil dari salah satu adegan paling bagus dari filem ini dan mungkin saja salah satu dari sekian banyak adegan romantis, dari sudut pandang yang lebih umum.

Dengan bangga saya sematkan Amour sebagai salah satu filem terbaik yang pernah saya tonton selama ini. Pengeksekusian yang berani dan terlihat kurang ajar dan tidak wajar, membuat Amour memunyai cita rasa yang berbeda di antara filem bertemakan sejenis. Dan memang benar, saat Haneke menerima piala Golden Globe untuk filem berbahasa asing terbaik, dalam pidatonya ia sempat berujar, bagian bawah piala itu adalah dirinya, sedangkan bagian atasnya adalah untuk Trintignant dan Riva. Karena, tanpa mereka, Amour hanyalah semacam cerita klasik biasa. Emosi yang tercurah memang berkat kesuksesan mereka dalam memberikan makna yang lebih dalam kepada filem ini. Kepada makna cinta yang seharusnya tidak akan pernah mati dimakan usia. Happy watching!

by: Aditya Saputra

Tidak ada komentar:

Posting Komentar