Sabtu, 26 Januari 2013

Hotel Transylvania (2012)


Director: Genndy Tartakovsky
Voice-over: Adam Sandler, Andy Sambeg, Selena Gomez, Kevin James, David Spade, Steve Buscemi, CeeLo Green
Rate: 3/5


Menggembirakan, para pembuat filem animasi sekarang lebih memunyai visi dan misi yang bisa membangkitkan pesona animated feature di kalangan penonton dewasa. Brave yang sangat dongeng itu tetap dinikmati oleh orang dewasa karena lelucon dan struktur ceritanya yang universal dan down to earth. Frankeweenie lebih sadis lagi karena humornya memang ditujukan langsung ke penonton berumur. Hotel Transylvania sebenarnya berada di tengah-tengah apakah filem ini khusus sebagai tontonan anak-anak atau mungkin bisa memuaskan para penonton dewasa. Masih mengusung tema yang sama paska kesuksesan luar biasa Twilight, Hotel Transylvania bermain aman namun tetap berusaha unik dan didukung oleh cerita yang tidak biasa. Jika dulu manusia yang takut dengan monster semacam frankenstein dan vampir, sekarang kebalikannya. Kaum mereka seperti memisahkan diri dari manusia karena mereka menganggap manusia sebagai pembuat onar dan mengancam kelangsungan hidup mereka.

Dracula hendak merayakan ulang tahun anaknya, Mavis, yang ke-118. Dengan alasan itu, ia akhirnya membangun sebuah hotel yang dikhususkan untuk tempat inap para monster yang juga telah menjadi teman semasa hidupnya. Reuni para monster tersebut ternyata diganggu dengan kedatangan sesosok manusia secara rahasia. Belum lagi Mavis yang masih penasaran dengan kehidupan di luar kastil, tempat selama ini ia singgahi selama 118 tahun tersebut. Kehadiran Jonathan tidak diketahui para tamu undangan lainnya. Hanya Dracula yang bersekongkol dengan Jonathan. Namun, berkat Jonathan lah pesta ulang tahun tersebut menjadi lebih megah dan meriah. Lambat laun, persembunyian itu akhirnya tercium juga dan merubah seluruh pandangan tamu terhadap Dracula.

Sejujurnya, tidak ada yang menarik dari Hotel Transylvania selain ide ceritanya yang lumayan unik. Sayangnya hal itu tidak berkembang. Ide tersebut seakan berjalan di tempat dan sang kreator lebih mementingkan bagaimana meramu humornya agar diterima penonton. Dan itu menyebabkan filem ini cenderung datar dan semakin lemah hingga mendekati akhir. Bahkan, 30 menit awal filem ini sangat biasa jika tidak mau dibilang membosankan. Joke-joke yang dilempar juga hampir kebanyakan yang tidak pas. Yang seru memang penempatan berbagai tokoh sentral yang pas pada tempatnya. Kehadiran mereka jelas membantu filem ini hingga tidak jatuh lebih dalam lagi. Serunya di dunia animasi adalah kita bisa memungkinkan apa yang di dunia nyata tidak mungkin terjadi. Untunglah seperempat akhir filem ini digenjot dengan sangat baik. Semua kebosanan di awal terbayar dengan tuntas. Kendati banyak adegan yang tidak masuk di akal, akan tetapi tetap memberikan angin segar tersendiri. Begini saja, jika saga Twilight saja bisa berbuat sebodoh itu, kenapa sebuah animasi tidak bisa?

Chris Rock pernah berujar, menjadi pengisi suara di filem animasi sangat mudah. Hanya berintonasi sesuai apa yang sutradara perintah dan dia puas, maka kita dibayar. Jadi, seluruh aktor yang menjadi penghembus nyawa untuk karakter di Hotel Transylvania tidak masalah sama sekali. Mereka menghidupkan setiap tokoh dengan pas. Pemilihan lagu-lagu juga sangat menghibur, bagaimana para monster tersebut nge-rap dan bernyanyi lantang. Satu lagi yang penting adalah pembelajaran yang bisa kita serap dari filem ini. Kita seperti diajak menertawakan diri sendiri. Manusia digambarkan sebagai trouble maker, dan memang benar. Sayangnya, dengan point of view yang sangat frontal karena menilik dari para monster, sudut pandang tersebuh serasa invalid dan hambar.

Sungguh sebuah apresiasi yang luar biasa Hotel Transylvania bisa bercokol di deretan nominasi terbaik Golden Globe tahun ini. Dan pilihan yang bijak para juri Oscar tidak menempatkan filem ini di salah satu yang terbaik. Karena sayapun setuju, untuk duduk di kasta setinggi Oscar, Hotel Transylvania terlalu lemah. Dengan tidak mengurangi rasa hormat, Hotel Transylvania jatuh berkat kekontrasannya dalam memilih plot mana yang hendak didahulukan. Setidaknya, sebagai paket hiburan dan bahan untuk tertawa riang, Hotel Transylvania masih sanggup memuaskan dahaga humor penonton. Namun, sebagai konsumsi publik yang mahal dan sehat, kandungan gizi di tubuh Hotel Transylvania kurang berbobot. Happy watching!

by: Aditya Saputra

Gangster Squad (2013)


Director: Ruben Fleischer
Cast: Sean Penn, Ryan Gosling, Emma Stone, Nick Nolte, Josh Brolin
Rate: 2,5/5


Meramu sebuah filem aksi susah-susah gampang. Action movie yang berbobot lemah cenderung hanya memaksimalkan adegan yang melibatkan adu jotos ataupun dentuman senjata api dengan mengesampingkan kekuatan cerita yang sebenarnya menjadi hal penting bagi sebuah filem, apapun genrenya. Menyimak sekelumit pesan moral yang dituangkan dari filem Gangster Squad, sialnya tidak ada moral lesson yang bisa kita petik. Jika Anda pernah menonton Public Enemies, duet Johnny Depp dan Christian Bale, yang lemah di beberapa sisi, Gangster Squad lebih parah lagi. Memakai metode yang sama si baik versus si jahat, Gangster Squad terjun ke lembah serba tanggung. Kendati Gangster Squad diisi dengan parade superstar yang sedap di mata, namun nyatanya hal tersebut tidak membuat nilai filem ini bertambah tinggi.

Sean Penn sebagai dalang dan mafia dari serentetan kejadian di filem ini memang telah menunjukkan feel kejamnya dengan hampir sempurna. Terlihat dari mimik dan gesture, Sean Penn sukses menjelma menjadi ketua kriminal yang pantas disegani hanya lewat gaya bicaranya saja. Sayangnya, poin positif tersebut tidak diimbangi oleh aktor lain. Trio Gosling, Brolin, dan Stone bermain sangat biasa. Terlebih lagi Stone yang perannya bisa digantikan oleh aktris tidak terkenal sekalipun. Nama tetaplah nama, pemakaian mereka mungkin sebagai kiat mengiklankan filem ini jauh lebih luas dan menjual nama mereka adalah taruhan yang cukup ampuh. Namun, penampilan mereka sungguh mengecewakan. Ruben seperti kehilangan arah dalam menangkap nuansa-nuansa penting di filemnya untuk digenjot lebih eksklusif.

Gangster Squad memang tidak separah itu. Filem ini masih memiliki cerita, walaupun bisa kita tebak akhirnya setengah jam setelah filem ini mulai. Mengambil seting waktu tahun 1949, di mana bisnis Mickey Cohen sedang marak-maraknya. Pun dengan kriminalitas yang ia geluti secara diam-diam akhirnya tercium oleh polisi setempat yang juga punya dendam dengan Cohen, John O'Mara. Perseteruan semakin sengit, John akhirnya merekrut beberapa agennya untuk bekerja sama dalam menumpas seluruh bisnis haram yang Cohen pegang. Karena Cohen memunyai antek yang tidak sedikit, otomatis battle ini berlangsung sengit dan sempat memincangkan kubu John. Bagaimana ending-nya yang seluruh khalayak ramai tau, Gangster Squad pasti akan memuaskan penonton dengan akhir yang bahagia.

Yang patut diberi nilai mungkin atmosfer yang dibangun oleh tim dekorasi seninya. Kota Los Angeles disulap kembali ke tahun 40-an dengan segala kostum dan kendaraan yang memang menjadi momen pada masa itu. Pemilihan musik juga amat jitu, seluruh instrumen bermain dengan baik saat adegan klimaks muncul di layar.

Kombinasi Sean Penn, Ryan Gosling, dan Emma Stone tetap akan menjadi magnet bagi filem ini untuk menjaring penonton sebanyak-banyaknya. Semoga saja kelemahan filem ini tidak berimbas pada karir mereka. Lagian, Hollywood tidak semudah itu membuang aktor mapan hanya karena bermain di satu/dua filem buruk. Catatan kecil itu mungkin berlaku bagi sutradaranya, Ruben, dengan filemografi yang belum terlalu menonjol, penggarapannya di sini bisa jadi sebagai amunisi untuk terus membuat filem bagus. Yah, anggap saja Gangster Squad kelinci percobaan yang hampir gagal. Happy watching!

by: Aditya Saputra

Kamis, 17 Januari 2013

Silver Linings Playbook (2012)



Director: David O. Russell
Cast: Bradley Cooper, Jennifer Lawrence, Robert De Niro, Jackie Weaver, Julia Stiles, Chris Tucker, Anupam Kher
Rate: 3,5/5


Langsung saja. Silver Linings Playbook sedikit mengecewakan saya. Dalam artian, filem ini adalah salah satu yang saya tunggu, dan saya berekspektasi besar-besaran terhadap filem ini sebelumnya. Yang membuat saya antusias adalah isu yang mengalir beberapa bulan terkahir di berbagai festival filem yang banyak menganugerahi Silver Linings Playbooks (SLP) kemenangan di kategori akting. Dan betul, filem ini hanya hebat di sektor tersebut, dan sedikit timpang jika membicarakan filem ini secara keseluruhan. SLP tidak ada elemen yang membuat saya akan dengan gampang menontonnya untuk kesekian kalinya. Beda dengan karya Russell sebelumnya, The Fighter, yang walaupun tidak se-happy SLP, namun memunyai daya pikat yang seimbang. Disadur dari novel berjudul sama karangan Matthew Quick, SLP, in my humble opinion, hanya sekedar filem romansa.

Tokoh utama kita, Pat, mantan guru yang baru saja keluar dari rumah sakit jiwa karena mengidap penyakit bipolar order. Berusaha mengembalikkan kembali rumah tangganya yang rusak, Pat dipertemukan secara tak sengaja dengan Tiffany, seorang janda yang juga depresi akibat kematian suaminya dan dibalas dengan perilaku menyimpangnya sehingga menjadi gosip hangat di jajaran masyarakat kota tersebut. Kedua anak Adam yang 'aneh' dan berperilaku menyimpang ini terkoneksi satu sama lain dan melakukan banyak rencana dan perjanjian unik di antara keduanya. Kepulangan Pat awalnya juga disambut dingin oleh sang ayah. Dan berkat penjelasan sang ibu, akhirnya Pat lambat laun diterima dan menerima lingkungannya lagi.

Penggambaran Russell terhadap dua karakter utama yang sakit terbukti mampu mematahkan argumentasi jika filem bertemakan serupa akan jatuh ke tangis-tangisan saja. SLP lebih dari itu, karena secara langsung juga memaparkan refleksi perjuangan dan kisah cinta unik yang harus mereka terima akibat kesalahan mereka sendiri. Hanya saja, hadirnya sub-plot yang seakan dipaksa menyempitkan durasi cerita jelas menjadi titik kelemahan filemnya sendiri. Bagi saya, awal yang manis filem ini seakan dibuat berantakan di pertengahan, yang untungnya kembali digenjot lagi di akhir filemnya. Penafsiran yang bersifat semu memang akan sangat sulit diterima oleh penonton pada umumnya. Harus diakui filem ini memunyai cerita yang unik, gaya penyutradaraan Russell dengan memasukkan karakter-karakter disfungsional juga tak kalah hebat.

Masuknya nama Bradley Cooper beserta tiga aktor lainnya di bursa Oscar jelas prestasi tersendiri untuk filem ini. Jackie Weaver dan Robert De Niro sebagai pendukung main sangat efektif, namun jika untuk sampai di barisan penerima piala, Weaver tidak sekarismatik sebagai ibu seperti yang ditampilkan Melissa Leo di The Fighter. Jennifer Lawrence dengan ajiannya sukses mengelabui dan membuai penonton dengan akting naturalnya sebagai janda yang gila seks. Tatapan serta intonasi dialog yang ia lakukan tersirat dengan amat meyakinkan. Dan, Bradley Cooper, dia bermain bagus, tidak seperti biasanya. Ketotalannya menjadi pria delusional dan optimistik ditransfer dengan baik, hanya saja performanya terlihat masih standar jika harus bersanding di deretan nominator Best Picture Oscar. Bagi saya masih banyak aktor lain yang kemampuannya jauh di atas Cooper. Titik balik Chris Tucker boleh dibilang sebagai permulaan yang menggembirakan karena tidak asal memilih filem yang akan dibintanginya.

SLP pada akhirnya bercabang menjadi dua tema yang keduanya sama-sama menarik. Sebuah filem komedi yang dibalut dengan percintaan pasangan berumur dan sudah memiliki pengalaman dalam membangun rumah tangga sebelumnya. Beberapa adegan yang mudah sekali ditebak memang membuat filem ini berkurang unsur teka-tekinya. Dipenuhi dengan empat aktor mapan yang sukses bekerja sama membentuk kesatuan akting yang apik, SLP menjadi tontonan berkualitas tetapi tidak untuk ditonton berulang-ulang. Setidaknya, semoga ini menjadi pembuktian Russell dalam berkomitmen secara serius untuk menghasilkan karya yang benar-benar mampu dipandang kedua mata oleh kritikus. Happy watching!

by: Aditya Saputra

Les Misérables (2012)


Director: Tom Hooper
Cast: Hugh Jackman, Russell Crowe, Anne Hathaway, Helena Bonham-Carter, Sacha Baron Cohen, Amanda Seyfried, Eddie Redmayne, Aaron Tveit, Samantha Barks
Rate: 3,5/5


Dua tahun lalu, saat sineas hasil eraman dari media tv seketika memanaskan jagad perfileman dunia dengan karya epiknya, The King's Speech, hingga menjadi nomor satu di bursa Oscar. Filem bertemakan kerjaan Inggris itu memuncakkan karir Hooper sebagai pendatang baru yang tak boleh dipandang sebelah mata. Sekarang, Hooper kembali memberikan persembahan spesial yang temanya sangat jarang disentuh akhir-akhir ini. Filem musikal memang terkesan segmented dan tidak banyak yang suka model filem seperti ini. Apalagi Les Misérables tidak berisikan dialog pada umumnya, melainkan serangkan kalimat yang dinyanyikan dengan melodi bernuansa opera. Sangat jauh dari penerawangan kita jika filem ini layaknya Chicago, Dreamgirls, atau bahkan Glee yang enerjik itu. Les Misérables mencoba mengambil jalur yang sangat anti-mainstream. Trik jitu yang dipakai Hooper untuk menjaring mangsa penonton sebanyak mungkin ialah merekrut belasan pemain yang sudah memiliki nama di mata fans mereka.

Berceritakan di negara Perancis, abad ke 19, saat otokrasi sedang memuncak. Sementara itu, Jean Valjean, seorang sipir yang melarikan diri dari perbudakan yang merajalela kala itu. Singkat cerita, Valjean akhirnya mendapatkan persetujuan untuk merawat anak dari Fantine, Cossette, yang awalnya tersiksa sebagai anak asuh dari keluarga Thenardier. Revolusi Perancis di filem ini tidak begitu jelas digambarkan, karena hanya menekankan pada drama yang dilatar-belakangi perang belaka. Makanya, kompleksitas yang terkait di filem ini tidak begitu berat. Soalnya, mau tak mau Hooper memang memutuskan untuk menonjolkan sisi teknis untuk filem ini dan sedikit keteteran saat menarasikan ceritanya sendiri.

Letak keseriusan Hooper dalam menata desain grafis serta seting yang meyakinkan memang patut dinilai lebih. Dengan lokasi yang begitu gelap, apa yang terpampang sedikit meningkatkan tensi. Namun, sebagai filem yang menitik-beratkan pada musikalitas, filem ini juara pada bagian tata suara, teknis irama, serta pemilihan lagu dan adu vokal. Seperti yang sudah dijelaskan, dialog filem ini semuanya dilagukan. Didendangkan dengan ritme dan intonasi layaknya membaca skrip. Tugas berat ini akhirnya bisa dikerjakan dengan semangat oleh para aktornya, termasuk untuk seluruh para ekstras yang muncul satu sampai dua frame saja. Duel suara antara Hugh Jackman dan Russell Crowe kendati kokoh tapi saya merasa Russell Crowe seperti miscast. Ketidak seimbangan mereka berdua dalam satu layar saya rasakan terlalu timpang. Di lain pihak, Anne Hathaway justru mengeluarkan seluruh jiwa raganya untuk filem ini. Akting menangis saja susah, apalagi harus diiringi dengan bernyanyi, jelas bukan pekerjaan mudah. Tak heran Anne banyak membawa piala dan penghargaan atas kerja kerasnya di filem ini. Untuk para pemeran pembantu, keeksentrikan serta kepiawaian mereka menggubah lagu menjadi enak didengar juga harus diapresiasikan sebesar-besarnya. Karena kendala utama menjalankan sebuah filem musikal terletak pada kemampuan aktor dan membari nyawa ke filem itu sendiri.

Les Misérables, sudah banyak pentas musikal atau bentuk karya lain dengan mengambil sudut pandang yang berbeda-beda. Bagi saya, karya teranyar Tom Hooper ini tidak memberikan hal yang baru yang bisa saya banggakan, atau setidaknya memberi dampak kagum seperti halnya saya menyaksikan Chicago yang begitu superior itu. Sekalipun filem ini sudah didukung dengan sangat baik, baik dari sektor musik hingga penataan busana dan make-up, tetap saja bagi saya filem ini hanya akan bertengger di filem bagus saja. Jika saja penampilan para aktornya biasa-biasa saja, mungkin filem ini akan dengan mudah terlupakan untuk saya. Namun, penampilan extraordinary yang diberikan Anne Hathaway dan Samantha Barks memang terlalu manis untuk ditinggalkan begitu saja. Tak salah dengan raupan 8 nominasi Oscar untuk filem ini. Akhir kata, sebagai pilihan di akhir pekan Les Misérables sangatlah cocok, namun sebagai love letter untuk masa keemasan era musical movie, jelas bukan. Happy watching!

by: Aditya Saputra

The Impossible (2012)

Director: Juan Antonio Bayona
Cast: Naomi Watts, Ewan McGregor, Tom Holland, Samuel Joslin, Oaklee Pendergast
Rate: 4/5


The Impossible mau tak mau akan membawa kita kembali ke akhir tahun 2004, saat tsumani meluluh-lantakkan beberapa negara di kawasan Asia bagian Tenggara, termasuk Aceh yang dibumi-hanguskan oleh jutaan galon air dan meratakan perumahan dengan tanah. Salah satu bencana alam terdahsyat itu menggebrak dunia. Paska kejadian maha besar tersebut, mulailah banyak karya yang dilatar belakangi oleh peristiwa itu. Sebut saja serial, sinetron buatan anak negeri, novel kisah nyata maupun fiksi, serta filem-filem yang juga mengejewantahkan spektrum nahas 'hasil tangan' Tuhan itu.

The Impossible mengambil sudut pandang dari sebuah keluarga yang awalnya bersenang-senang liburan Natal dan Tahun Baru di salah satu beach and resort di Thailand. Tuhan seakan membalikkan telapak tangan dan seketika goncangan keras dan menampar alam Asia saat itu juga. Tsunami merusak suasana suka dan berujung ke suam duka tak ada habisnya. Wisata indah itu hilang dalam sekejab dan banyak keluarga yang terpencar tak tentu arah, termasuk keluarga Henry. Maria dan Lucas akhirnya bertemu walaupun luka yang mereka derita juga tidak membuat mereka lantas bergembira. Berpisah dengan suami dan kedua anak lelaki lainnya, Maria beserta Lucas berupaya sekuat tenaga mencari bantuan dan akhirnya terdampar di sebuah pemukiman rumah sakit.

Terpana dan terenyuh, itulah kondisi saat saya menyaksikan pagelaran singkat bagaimana permainan Tuhan kepada umatnya. Sang sutradara beserta kru yang terlibat membuat spesifikasi tsunami terlihat amat nyata dengan miniatur rekaan dan disulap lewat teka-teki komputer dan hasil akhirnya seperti yang kita lihat di filemnya. Sungguh menyeramkan bagaimana air laut yang merombak dan menghancurkan segala yang tertata rapi hingga tertata rata. Set decoration yang dimaksimalkan tanpa cela, berikut dengan pemukiman serta rumah sakit yang berantakan. Emosi penontonpun akan terjaga hingga ke bagian ini. Sebenarnya, filem ini penuh emosi hingga di akhir filem. Bahkan, ending filem inilah yang membuat kita tidak mampu lagi membendung luapan air mata.

Filem ini memang mengandung sedikit dialog, bahkan ceritanya pun sangat umum kita jumpai. Kalau boleh saya koreksi, segala kebetulan filem ini bisa diterka. Tapi saya memaklumi, karena pada dasarnya cerita ini diangkat berdasarkan kisah nyata. Naomi Watts dengan briliannya berhasil mewujudkan kehendak skrip dan sukses menipu penonton dengan aktingnya. Jeritan kesakitannya di medan berantakan bersama Tom Holland memang yang paling menyita perhatian. Pedih yang mereka rasakan menular ke penonton. Efek yang mereka dera pun secara tidak langsung berdampak ke penonton. Kesakitan mereka terpancar dengan penuh amarah dan iba dan menimbulkan rasa simpatik yang mendalam.

The Impossible memang bukanlah filem yang akan bertengger di deretan filem terbaik pada siapa saja yang menontonnya. Tapi, menyaksikan filem dengan gumpalan emosi seperti ini jelas sajian yang memikat untuk para penyuka tearjerker drama. Kesederhaan yang diberlakukan Bayona lewat filem ini seakan seperti pintu utama baginya untuk menyentuh Hollywood lebih dekat. Dan inilah kuasa Tuhan, kita tidak akan pernah tau apa yang direncanakan-Nya untuk kita, seperti halnya tenggelamnya kota Jakarta akibat kelalaian kita sendiri sebagai perusak ekosistem Bumi, dan mungkin Tuhan sudah jengah atas tindakan tidak bertanggung jawab sebagian besar manusia yang memanfaatkan ciptaan-Nya dengan semena-mena. Dan, tsunami adalah salah satu amarah terbesar yang pernah Tuhan berikan kepada kita secara nyata. Happy watching!

by: Aditya Saputra

Senin, 07 Januari 2013

Weekend (2011)


Director: Andrew  Haigh
Cast: Tom Cullen, Chris New, Jonathan Race, Laura Freeman
Rate: 4/5


Yang katanya cinta itu bersifat universal memang sangat benar, tapi jika melihat dari sudut agama, percintaan sesama jenis nyatanya tidak dibenarkan. Untuk lebih bijaknya, saya tidak akan menyerempet masalah ini lewat unsur agama. Katakanlah, filem ini akan dijauhi oleh para homophobic dan penonton awam yang mencari unsur 'menyenangkan' dari sebuah filem. Namun, jika kita sedikit membuka mata dan menelah Weekend lebih dalam, ada pesan manis yang terselubung di sini. Bukan sebagai pandangan yang kabur antara para homo (gay/lesbian) tapi sebagai cinta yang menyeluruh. Weekend yang heboh di seantero festival yang diikutinya, menjelma menjadi salah satu filem indie segmented yang memunyai sejuta makna. Tidak terus-terusan membuka tabir kasih sayang terlarang.

Weekend adalah semacam maklumat dari sutradaranya dan target yang ditujunya adalah penonton yang memiliki kecenderungan yang sama dengan karakter di Weekend. Pernah kita merasakan kehilangan seseorang yang sangat kita sayangi? Atau bertemu seseorang yang sangat mengerti kita sehingga kita susah untuk melepaskan diri dari hidupnya? Hal inilah yang diutarakan Andrew Haigh dan menjelaskan dengan padat berisi metafora yang terjalin kuat antara Russell dan Glen yang bertemu di sebuah gay bar dan selanjutnya menjalin hubungan layaknya sahabat-sayang-sahabat. Hingga suatu ketika, mereka berdua harus merasakan takdir Tuhan, dipisahkan oleh keadaan yang mereka sendiri tidak sanggup menolaknya.

Cerita filem ini sungguh kokoh. Sepanjang filem, kita akan temui uraian singkat penuh sarat makna yang menjelaskan keluh kesah mereka sebagai gay. Naluri yang telah tumbuh semasa kecil hingga hukum bullying yang harus mereka terima. Weekend tidak serta merta menghasut bahkan menulari benih 'kelainan' mereka kepada penonton. Seperti yang saya katakan sebelumnya, filem ini mengambil jalur yang lebih terbuka. Tumpuan personal yang memang sangat melekat dijabarkan dengan santai tanpa menghilangkan kesan dramatis romantis. Pencarian jati diri pada salah satu karakter juga tergambar dengan amat jelas. Dirangkai dengan sangat indah oleh sinematografi yang cantik. Sudut-sudut saat mereka merenung hingga memadu birahi tersorot dengan tegas. Percakapan yang terjalin juga ditangkap tanpa keklisean yang biasa terjadi di filem-filem serupa.

Sebenarnya, filem ini sedikit kurang dieksplor. Ada kala saat Glen merekam aktivitas Russell dan sebaliknya, sebaiknya dimatangkan lagi. Padahal, mereka berdua memiliki cara pemikiran yang berbeda yang seru untuk dikomentari lebih jauh. Cara Haigh ini sebenarnya mujarab untuk mengintenskan drama dan emosi lebih kuat lagi. Walaupun demikian, tanpa adegan tersebut filem ini juga sudah kelewat kokoh berkat narasi dan dialog yang sangat menggigit.

Saya tidak akan merekomendasikan filem ini. Biarlah pembaca review ini yang mencari sendiri keunggulan Weekend. Berbagi kepedihan dan kebahagian kepada orang yang kita sayangi kadang kala membuat sebagian dunia kita yang dulu meredup seakan terang kembali. Kedua tokoh filem ini mengalami fase itu. Namun, part saling tinggal-meninggali memang tidak ingin terjadi di kehidupan kita. Sekalipun jika kita harus membelokkan goresan tangan Tuhan. Kesulitan Russell dan Glen menanam, memupuk, merawat, dan memetik hasil cinta mereka mungkin sulit untuk direalisasikan. Tapi kejujuran mereka terhadap satu sama lain dan juga kepada orang di sekitar mereka, hal inilah yang sepatutnya dihargai. Happy watching!

by: Aditya Saputra

Jumat, 04 Januari 2013

Trouble with the Curve (2012)


Direcotr: Robert Lorenz
Cast: Clint Eastwood, Amy Adams, Justin Timberlake, John Goodman, Robert Patrick
Rate: 2,5/5


Filem bisa dikatakan berhasil jika mampu membuai penonton dengan ceritanya yang segar. Tidak perlu yang membuat otak berpikir keras, yang sederhana jika diolah dengan bijaksanapun bisa membuka sudut pandang lain. Pemakaian aktor-aktor ternama adalah selingan saja dan sekadar menjadi bonus bagi penonton. Memang pemilihan aktor kadang menjadi acuan, tapi tidak begitu mutlak. Ada beberapa filem yang dipenuhi para aktor berpredikat Oscar tapi belum bisa memberi dampak positif ke filemnya secara langsung, All The King's Men contohnya. Trouble with the Curve, jika saja tidak ada nama-nama besar di dalamnya, sudah pasti garapan debut dari Robert Lorenz ini akan sia-sia saja. Pengalamannya menemani Clint Eastwood di bidang asisten sutradara, membuatnya lebih mudah mengontrak Eastwood untuk melakoni tokoh utamanya.

Eastwood sebagai Gus, pencari bakat pemain baseball yang mengalami degradasi dalam hidupnya. Setelah ditinggal mati istrinya, Gus pun harus menghadapi peliknya hubungan ayah-anak dengan Mickey, perempuan sukses yang memiliki masa lalu yang kelam. Di pertemuan singkat mereka akhirnya berujung panjang tatkala di mana keduanya menjalani dialog sarkastik mereka lewat bantuan permainan baseball. Di tengah siklus itu, Mickey juga bertemu dengan pria tampan yang juga berperan sama sebagai pencari bibit unggul atlit untuk diajak ke pro baseball game.

Konotasi dan pelampiasan judul filem ini baru terartikan dengan jelas di 15 menit akhir filem. Awalnya saya pikir, 'curve' yang dimaksud adalah persinggungan tak jelas antara Gus dan Mickey, walaupun ada sedikit hal yang menjurus ke bagian sana. Namun, berkat pendekatan narasi yang berlebihan seperti ini, penonton merasa dibodohi oleh dalang yang mengajak sok serius tapi malah mengeksekusi sesuka hati. Banyak penggalan filem ini yang tidak tertata dengan santai. Semua sub-plot terkesan berantakan dan tidak jelas bab mana yang ingin ditonjolkan. Karakter yang seharusnya penting pun harus mengalah dan berbagi layar dengan aktor yang sudah memiliki prestasi, padahal peran aktor tersebut tidak sangatlah penting. Timpang tindih yang seperti inilah yang membuat filemnya menjadi tidak fokus dan berasa hambar sama sekali.

Jika akhir cerita ini mau dikatakan twist, saya berani bilang twist tersebut sangat murahan. Sangat memaksa sekali memasukkan unsur pelecehan seksual yang semakin mengotori citra filemnya. Untunglah filem ini masih memiliki aktor sekelas Clint Eastwood dan Amy Adams. Saya sukses dibuat kesal oleh Gus yang tidak tau diri dan sangat arogan seperti yang tergambar di filemnya. Di sini, Eastwood berarti berhasil memberi kesan yang ingin disampaikan tokohnya. Amy Adams juga tak kalah bermain cemerlang. Saya ralat, Amy Adams selalu bermain cemerlang. Bahkan peran yang dimainkan Justin Timberlake tidak begitu spesial. Dimainkan oleh aktor kurang terkenalpun tidak akan memengaruhi ceritanya juga. Terlalu ambisiusnya Lorenz dalam menempatkan naskah ke wilayah yang terlalu 'berat' juga adalah salah satu kesalahan fatalnya.

Trouble with the Curve jika sedari awal dimaksudkan untuk menghibur, filem ini jelas kurang selipan hiburannya. Untuk menjadi sorotan di berbagai festival, Trouble with the Curve bisa saja menyalip, tapi antri di urutan paling belakang. Saya tidak menegatifkan filem ini dan menghasut pembaca review saya. Tapi kalian akan paham jika sudah menontonnya secara langsung. Jika diibaratkan sebuah curve/lengkungan, penonton yang semula berada di bawah, akan diajak naik secara perlahan. Stop di titik puncak klimaks yang akhirnya menurun tajam dan berakhir pada kekecewaan. Menyaksikan Trouble with the Curve, seringan-ringannya menonton drama biasa. Happy watching!

by: Aditya Saputra

Argo (2012)


Director: Ben Affleck
Cast: Ben Affleck, Alan Arkin, John Goodman, Clea DuVall, Bryan Cranston
Rate: 4/5


Para aktor yang beralih ke studi penyutradaraan mungkin bisa dihitung jari yang memang benar-benar serius dan mampu memberikan hasil yang memuaskan. Untuk era tua, Robert Redford dan Clint Eastwood masuk hitungan sukses tadi, generasi berikutnya diikuti Mel Gibson yang membawa Braveheart-nya ke puncak kritikus. Sean Penn pun pernah merajut buai positif dari Into the Wild-nya yang sangat bersahaja itu. Dan kita masih memiliki Ben Affleck, aktor yang sekarang serius membidani tugas di belakang kamera. Dari tiga filem panjang yang sudah dibuatnya, hebatnya ketiga-tiganya cukup memberikan tempat bagi Affleck agar diterima di kalangan luas. Gone Baby, Gone, The Town, dan yang terakhir Argo, dibuat dengan penuh semangat tinggi dan terlihat betapa matangnya dedikasi Affleck untuk menghasilkan karya yang terpuji.

Kualitas dan keunikan Argo sudah terlihat saat layar hanya sebesar setengah dari resolusi layar biasanya. Persepsi saya, kecenderungan tak biasa yang dipakai Affleck ingin memunculkan dampak depresi yang telah dirancang dari awal hingga akhir ketika layar kembali dibuat besar bahkan melebihi penggunaan layar pada umumnya. Gambar yang kabur mengisyaratkan lebih dalam lagi, penonton diajak membaur dan menarik kesimpulan sejelas-jelasnya dari apa yang gamblang di filem ini. Di akhir filempun, saat munculnya karakter filem dan foto asli para pelaku penyanderaan diplomat AS terbilang sangat efisien. Terlihat sekali letak jeniusnya seorang Affleck dalam menata reklame cerita dengan poin yang betul-betul menyerupai gambar asli cerita ini berasal. Argo memang dibuat seefektif mungkin berkat kerja keras Affleck yang rela terjun langsung dan bertanya ini itu kepada narasumber aslinya.

Argo adalah pesan singkat dari Ben tentang penyelamatan 6 diplomat AS yang 'terkurung' dan sulit bebas dari Iran. CIA memberikan modal untuk membuat filem fiksi hanya sebagai kedok agar mempermudah membawa keluar para sandera. Tony Mandez sebagai dalang akhirnya bermain dengan sangat bersih dan rapih. Serta, Tony Mandez adalah salah satu karakter yang dimainkan Ben Affleck dengan sangat maksimal. Raut tanpa senyum tampannya mungkin tidak akan terlihat di sini, yang ada hanya mimik yang tegas dan seakan berbicara untuk mengusungkan filem ini ke daerah yang lebih serius. Ini juga yang menyebabkan para aktor di filem ini bermain amat sangat mengesankan, terutama Alan Arkin yang dengan darah komedik dramanya mampu memberikan kesan ringan ke filem 'berat' ini.

Argo disebut-sebut sebagai proses metamorfosis dari seorang Affleck. Menetas dari seorang aktor yang acap kali bermain di filem yang selalu gembira dan penuh fiksi, beralih sebagai sutradara debutan yang langsung dilabeli fresh, dan lambat laun memolesi bening karirnya lewat Argo. Desas-desus jika filem ini akan berjaya di Oscar masih kencang terdengar. Naskah Chris Terrio yang brilian diterjemahkan Affleck lewat pesan gambar yang mengesankan. Affleck membuat penonton pintar dengan menyajikan produk yang penuh dengan informasi penting yang mungkin terlewat oleh kita. Disain kostum yang menawan juga tak luput dari kritisi. Keotentikan Argo semakin diperkukuh lewat teknis-teknis sederhana semacam busana dan musik di filem ini.

Jadi jelas, Argo tidak berisi amanat kosong melainkan apa yang terpampang sepanjang filem adalah rentetan kejadian nyata dan sakral yang bisa melecutkan nyali kita. Tanpa ba-bi-bu, sang sutradara seperti ikut menyandera penonton di negara yang penuh hukum itu. Memorak-porandakan emosi penonton dari awal hingga klimaks filem, bukti sahih betapa Argo dicap sebagai salah satu filem bertemakan peran politik paling bagus sampai sekarang. Cerdas luar biasa, Affleck tidak coba-coba untuk menyelipkan unsur politisi yang akan menyebabkan filemnya menjadi lebih segmented. Jujur, saya puas menonton filem penuh warna coklat ini. Happy watching!

by: Aditya Saputra

Kamis, 03 Januari 2013

Upside Down (2012)


Director: Juan Diego Solanas
Cast: Jim Sturgess, Kirsten Dunst, Heidi Hawkins
Rate: 3,5/5


Kirsten Dunst akhir-akhir ini sering membuat kejutan dengan bermain di berbagai genre filem. Menyengat tanpa ampun lewat Lars von Trier's Melancholia, ceria lewat Bachelorette, dan sekarang mengejar cinta di tema science-fiction garapan sutradara kurang terkenal, Juan Diego Solanas. Tidak ada yang salah dari Kirsten Dunst saat ia merapalkan mantranya dan bermain dengan sangat bagus di beberapa filem yang ia perankan. Hanya saja, kadang performa baiknya hanya dipandang sebelah mata. Transformasinya sebagai Marie Antoinette jelas menunjukkan kredibilitasnya sebagai seorang aktris. Ia berhasil memberi nyawa ke sosok ratu tengil tersebut. Watak depresinya di Melancholia pun juga hanya bergaung di sekitaran Cannes tanpa sedikitpun juri Oscar memberi muka. Dunst tinggal menunggu waktu dan proyek penting agar ia bisa disejajarkan ke dalam rombongan aktris yang tak hanya berparas ayu juga memiliki tingkat akting yang tinggi. Dengan muka-tak-pernah-tua-nya, Dunst acap kali memperoleh tokoh yang memang diperuntukkan untuk kaum muda, seperti misalnya di Upside Down ini.

Konon, diceritakan adanya dunia terbalik. Jauh dari bumi, terdapat kehidupan atas dan bawah yang juga memeliki jembatan strata di antara keduanya. Kehidupan down below dicap sebagai kaum miskin sedangkan dunia up above disinyalir sebagai komunis sejati dan contoh kehidupan masa depan yang cemerlang. Bertemulah sepasang anak manusia dari dua belahan dunia tadi. Mengambil kesempatan untuk mencapai puncak masing-masing medium. Suatu hari, kelakuan mereka diendus opsir dan menyebabkan bencana awal yang mereka tak bisa hindari. 10 tahun kemudian, sosial up above berkembang pesat dan para pekerja down below rebutan untuk mendapat posisi di Transworld. Penemuan Adam ternyata dikejar oleh pihak Transworld. Adam sedang bereksperimen untuk menyeimbangkan dunia atas-bawah agak bisa berkonsolidasi tanpa ada sekat gravitasi. Pun dengan tujuan utamanya untuk menemukan cinta lamanya yang hilang tak berbekas.

Buat sebagian orang, filem ini sangat-sangat menjengkelkan. Jengkel kenapa, karena cerita filem ini teramat sangat lemah. Sayapun tidak bisa menyangkal fakta itu. Upside Down jatuh bebas karena ceritanya yang sangat mudah ditebak dan terkesal konyol kalau tak mau dibilang tidak masuk di akal. Separuh awal filem ini hanya bermain di zona aman masalah cinta, ambisi, dan kembali ke cinta. Namun, poin plus Upside Down adalah visual yang sangat memanjakkan mata dan imajinasi. Bagaimana sang kreator beserta parlemen efeknya membuat 2 dunia menjadi sangat nyata dan unik. Komposisi kedua belah pihak dan labirin yang berbeda pun terbilang orisinil. Kendati filem ini sangat anti klimaks dan persoalannya tidak begitu pelik dan rumit, sang sutradara juga tidak kikir memberikan kesan indah di sela-sela keminiman budget-nya. Skrip yang lemah memang akan menjadi batu sandungan buat filemnya sendiri, mungkin itu juga yang membuat Upside Down tidak begitu kedengaran gaungnya.

Jim Sturgess, peranakan British yang masih dianak-tirikan di Hollywood berhasil mengubah tampilannya menjadi anak yang tengil dan nakal. Namun, juga berhasil menampilkan sosok pekerja keras serta pria kikuk di depan wanita. Dunst justru yang tidak berubah secara drastis. Perannya sebagai Eden tak ubahnya saat ia menjadi Mary J. Watson. Untunglah, saat dipadukan dengan Sturgess, keduanya berhasil memberikan kesan nyata jika mereka memang sedang dihujam rindu. Andai Upside Down diberikan jeda sedikit lagi untuk bisa diperbaiki, mungkin saja Upside Down akan jadi sesuatu yang baru dan epik untuk sektor filem bertemakan fiksi.

My verdict, Upside Down akan menjadi salah satu filem terfavorit saya sepanjang masa. Tidak demikian bagus, tapi pencitraan yang telah dibuat dengan amat menawan berhasil menghipnotis saya dan memberi arti yang lebih luas akan optimistis dan raihan cinta yang didapat. Konklusi yang tidak sepadan dengan visualnya yang menyebabkan Upside Down lagi-lagi menambah deret panjang filem Kirsten Dunst yang dipandang sebelah mata. Happy watching!

by: Aditya Saputra

Holy Motors (2012)

Director: Leos Carax
Cast: Denis Lavant, Edith Scob, Kylie Minogue, Eva Mendes
Rate: 4/5


Apa yang Anda cari dari sebuah filem, dan apa yang biasanya Anda dapatkan seusai menonton sebuah filem? Banyak tujuan dan esensi yang penonton terima setelah merefleksikan diri sejenak dari gambaran singkat kehidupan orang lain dari sebuah filem. Pertanyaan kadang tak kunjung usai dilampiaskan jika kita sendiri merasa kurang nyaman atas suatu filem yang kita rasa aneh. Hal inilah yang saya rasakan setelah menonton Holy Motors. Sampai sekarangpun, perasaan ajaib yang menyelimuti filem ini masih saya rasakan hawanya. Holy Motors hadir tanpa ancang-ancang dan juga sepi dari sorotan media. Merajalela di Cannes dan perlahan menjadi topik hangan di muka para kritikus. Lantas, apa yang membuat Holy Motors begitu spesial? Orisinalitasnya. Holy Motors memiliki tema kuat diikuti penceritaan yang tak kalah kokohnya. Bahkan, Leos Carax berani bermain di wahana yang jarang disenggol para sineas kebanyakan. Independen yang mencengangkan.

Oscar, lelaki mapan dengan keluarga harmonis dan harta melimpah. Bangun pada suatu pagi dan mendatangi sebuah limosin putih bersih yang dikendarai oleh wanita tua, Celine. Petualangannya dimulai dari sini. Sepanjang perjalanan menggunakan limosin tersebut, Oscar menjelma menjadi berbagai karakter yang ia lakukan atas dasar situasi. Menjadi seorang pengemis, penari di ruangan gelap, hingga orang gila yang menakutkan warga di daerah pemakaman sambil memakan bunga-bunga kematian. Dan sampailah Oscar di titik saat dia bertemu cinta lamanya yang berakhir tragis. Semua arus panggung drama Oscar ia lakukan tanpa sebab dan tanpa penjelasan secara eksplisit dari si empunya filem.

Filem ini dibuka dengan adegan yang agak sedikit absurd. Suasana studio bioskop yang mana para penonton tertidur pulas. Dari detil ini saja, Leos enggan memberikan sedikit petunjuk akan apa filemnya akan berlangsung. Di situlah saya menarik kesimpulan apa yang diinginkan Leos kepada penontonnya. Kita diharapkan untuk memasuki dunia rekaan Leos dan mencari sendiri arti dari keseluruhan ceritanya. Dan kita seperti terperangkap di sebuah labirin yang diharuskan menemukan ujung dari teka-teki yang tersebar berantakan. Misteri yang terus menjalar memanjang tanpa meletakkan clue untuk kita cerna semakin menunjukkan betapa raksasanya premis sederhana nan pintar ini. Leos menyuruh kita untuk bersama Oscar memasuki tiap peran yang dilakukan Oscar. Kecanggihan ide yang sangat jarang saya nikmati di sebuah filem.

Denis Lavant adalah raja tunggal dibalik kesuksesan filem ini. One-man-show-nya sepanjang filem adalah tanggung jawab utuh yang ia dedikasikan ke filem ini. Tranformasinya di berbagai watak memang layak untuk diutus sebagai yang terbaik. Performa kelas Oscar yang amat langka! Sekalipun ada Kylie Minogue dan Eva Mendes sebagai pemanis yang nahas, namun Lavant lah tokoh sentral yang melingkarkan Holy Motors dan kemudian menjelma menjadi salah satu filem yang mumpuni. Leos memang tidak menjanjikan Holy Motors akan dikagumi banyak orang berkat keaslian cerita yang dibuat, karena saya yakin Holy Motors bukan tipe filem sejuta umat. Ending yang dibuat sangat unik sekalipun akan menimbulkan pertanyaan-pertanyaan besar.

Mungkin, kejanggalan-kejanggalan filem ini tidak untuk dicari pemahamannya. Leos, seperti yang saya simpulkan, cuma menyuruh kita belajar dari karakter Oscar yang mampu hidup di dunianya sendiri. Memang terdengar tidak wajar, tapi maksud Leos sendiri pasti lebih jauh dari ini. Untuk filem yang miskin secara komersialitas, filem ini benar-benar terasa 'kesendiriannya'. Namun, jika dilihat dari teknis dan departemen akting yang menjadi kunci filem ini, Holy Motors jelas-jelas punya taring yang tajam. Menyiksa penonton dengan beribu pertanyaan, dan merantai penonton dengan jutaan asosiasi dan paradoks yang tak akan terungkap secara mudah. Happy watching!

by: Aditya Saputra

Selasa, 01 Januari 2013

Philadelphia (1993)

Director: Jonathan Demme
Cast: Tom Hanks, Denzel Washington, Antonio Banderas, Jason Robards, Buzz Killman
Rate: 4,5/5


Saya tidak akan menyinggung masalah manusia dan penciptanya, yang akan saya singgung adalah hubungan antar manusia yang sering kali menyalahi hukum negara, bahkan hukum Tuhan untuk saling menghargai satu sama lain. HAM sekarang terancam kekukuhannya dikarenakan sifat jelek manusia yang sering menjatuhkan satu sama lain demi kepentingan pribadi. Tema serupa tidak jarang diangkat ke media filem, salah satunya Philadelphia yang secara terang-terangan menguak tabir gelap di kota bernama Philadelphia yang terkenal tentram dan aman kehidupan sosialisasinya. Kali ini, sosok Andrew Beckett diumbar dengan segala keterbatasannya sebagai pesakitan. Dia, yang menderita AIDS harus rela dipecat dari perusahaannya gara-gara virus yang ia tuai di dalam tubuhnya. Merasa ada yang tidak beres dan harus menuntaskan lubang kosong atas pemecatannya itu, Beckett menyewa pengacara terkenal, Joe Miller - seorang homophobic, untuk membantu memenangkan kasus sebelah pihak ini.

Awalnya, Joe ragu untuk memulai simbiosis ini. Namun, apa yang ia lihat di arena ruang sidang membukakan mata dan hatinya lebar-lebar dan bertaruh atas nama pekerja hukum yang disandangnya. Saya kira filem ini akan memuat banyak adegan vulgar mengingat filem bertemakan sejenis biasanya mengandung adegan seks sejenis yang semakin menyempitkan genre yang diusung. Namun, terkaan saya salah besar, filem ini full drama tanpa ada muatan adegan seks sejenis yang dimaksud. Bahkan untuk sekedar ciuman dari mulut ke mulut pun tidak ada. Demme dengan pintarnya memfokuskan cerita yang terkait dan melepas egoisme untuk menambahkan adegan kotor tersebut. Titik mula filem ini berkiblat adalah paska pemecatan si Andrew dan bagaimana dia melawan pesaing di meja hukum. Merentaskan semua daya dan upaya meyakinkan juri dan hakim atas aniaya yang ia terima. Atmosfer filem ini mengudara ke banyak cabang. Pertama kita ditempatkan dengan rasa persaudaraan yang kental di lingkungan minoritas. Bagaimana mereka saling mendukung kaumnya untuk tidak jatuh dan dicela masyarakat.

Kedua optimistis di dalam kejamnya hukum jika kita memang berada di jalur yang benar. Penulis naskah filem ini dengan sangat teliti memberikan bab-bab kehidupan Andrew sehingga bisa dieksplor lebih jauh lagi. Demme selaku si pembuat juga tak kalah jago. Emosi yang stabil dari awal hingga ending diramu dengan amat baik. Suasana di ruang sidang dan rumah sakit menjadikan alasan kuat betapa besarnya kadar drama yang terkandung. Semua tak lepas dari permainan maha dahsyat dari para aktornya. Tom Hanks pantas mendapatkan Oscar. Transformasinya sebagai ODHA layak diacungi jempol. Badannya yang menceking dan mukanya yang tirus adalah perubahan yang serius oleh Hanks untuk menghidupkan perannya menjadi lebih nyata. Lihat saja cara ia jatuh di ruang sidang, membuat hati miris dan merasa iba. Setali tiga uang dengan partner-nya, Denzel yang telah menunjukkan sosok pengacara yang total dan berdedikasi tinggi. Koar-koarnya membela yang benar dan lemah sangat menghentak. Dan kemunculan Antonio Banderas yang tidak sekadar tempelan juga dipergunakan secara pas.

Filem ini juga menyumbang Oscar untuk Bruce Springteen di departemen musik gubahan. Dan memang benar, salah satu nyawa Philadelphia adalah musik dari arahan Springteen. Sayang, Demme dan filemnya sendiri tidak ditoleh juri untuk masuk di deretan nominator sekalipun. Namun cukup jelas, 2 tahun sebelumnya, Demme sukses membungkam AMPAS dengan kehadiran The Silence of the Lambs yang langsung menyabet 5 piala di nominasi penting.

Verdict, secara terang-terangan Philadelphia menyikut paradoks sebuah hukum, tapi secara garis besar memaparkan cinta kasih terhadap sesama. Sajian yang memikat yang akan selalu saya ingat dan singgung jika ada yang membahas masalah human right. Performa ciamik dari duo Hanks dan Washington pun sukses memberi nyawa filem ini. Sebagai penyegaran dan introspeksi di awal tahun, Philadelphia akan saya kutip sebagai pembelajaran yang bagus. Seperti halnya quote cantik yang keluar dari mulut Andrew Beckett: Every problem has a solution. Happy watching!

by: Aditya Saputra