Selasa, 01 Januari 2013

Philadelphia (1993)

Director: Jonathan Demme
Cast: Tom Hanks, Denzel Washington, Antonio Banderas, Jason Robards, Buzz Killman
Rate: 4,5/5


Saya tidak akan menyinggung masalah manusia dan penciptanya, yang akan saya singgung adalah hubungan antar manusia yang sering kali menyalahi hukum negara, bahkan hukum Tuhan untuk saling menghargai satu sama lain. HAM sekarang terancam kekukuhannya dikarenakan sifat jelek manusia yang sering menjatuhkan satu sama lain demi kepentingan pribadi. Tema serupa tidak jarang diangkat ke media filem, salah satunya Philadelphia yang secara terang-terangan menguak tabir gelap di kota bernama Philadelphia yang terkenal tentram dan aman kehidupan sosialisasinya. Kali ini, sosok Andrew Beckett diumbar dengan segala keterbatasannya sebagai pesakitan. Dia, yang menderita AIDS harus rela dipecat dari perusahaannya gara-gara virus yang ia tuai di dalam tubuhnya. Merasa ada yang tidak beres dan harus menuntaskan lubang kosong atas pemecatannya itu, Beckett menyewa pengacara terkenal, Joe Miller - seorang homophobic, untuk membantu memenangkan kasus sebelah pihak ini.

Awalnya, Joe ragu untuk memulai simbiosis ini. Namun, apa yang ia lihat di arena ruang sidang membukakan mata dan hatinya lebar-lebar dan bertaruh atas nama pekerja hukum yang disandangnya. Saya kira filem ini akan memuat banyak adegan vulgar mengingat filem bertemakan sejenis biasanya mengandung adegan seks sejenis yang semakin menyempitkan genre yang diusung. Namun, terkaan saya salah besar, filem ini full drama tanpa ada muatan adegan seks sejenis yang dimaksud. Bahkan untuk sekedar ciuman dari mulut ke mulut pun tidak ada. Demme dengan pintarnya memfokuskan cerita yang terkait dan melepas egoisme untuk menambahkan adegan kotor tersebut. Titik mula filem ini berkiblat adalah paska pemecatan si Andrew dan bagaimana dia melawan pesaing di meja hukum. Merentaskan semua daya dan upaya meyakinkan juri dan hakim atas aniaya yang ia terima. Atmosfer filem ini mengudara ke banyak cabang. Pertama kita ditempatkan dengan rasa persaudaraan yang kental di lingkungan minoritas. Bagaimana mereka saling mendukung kaumnya untuk tidak jatuh dan dicela masyarakat.

Kedua optimistis di dalam kejamnya hukum jika kita memang berada di jalur yang benar. Penulis naskah filem ini dengan sangat teliti memberikan bab-bab kehidupan Andrew sehingga bisa dieksplor lebih jauh lagi. Demme selaku si pembuat juga tak kalah jago. Emosi yang stabil dari awal hingga ending diramu dengan amat baik. Suasana di ruang sidang dan rumah sakit menjadikan alasan kuat betapa besarnya kadar drama yang terkandung. Semua tak lepas dari permainan maha dahsyat dari para aktornya. Tom Hanks pantas mendapatkan Oscar. Transformasinya sebagai ODHA layak diacungi jempol. Badannya yang menceking dan mukanya yang tirus adalah perubahan yang serius oleh Hanks untuk menghidupkan perannya menjadi lebih nyata. Lihat saja cara ia jatuh di ruang sidang, membuat hati miris dan merasa iba. Setali tiga uang dengan partner-nya, Denzel yang telah menunjukkan sosok pengacara yang total dan berdedikasi tinggi. Koar-koarnya membela yang benar dan lemah sangat menghentak. Dan kemunculan Antonio Banderas yang tidak sekadar tempelan juga dipergunakan secara pas.

Filem ini juga menyumbang Oscar untuk Bruce Springteen di departemen musik gubahan. Dan memang benar, salah satu nyawa Philadelphia adalah musik dari arahan Springteen. Sayang, Demme dan filemnya sendiri tidak ditoleh juri untuk masuk di deretan nominator sekalipun. Namun cukup jelas, 2 tahun sebelumnya, Demme sukses membungkam AMPAS dengan kehadiran The Silence of the Lambs yang langsung menyabet 5 piala di nominasi penting.

Verdict, secara terang-terangan Philadelphia menyikut paradoks sebuah hukum, tapi secara garis besar memaparkan cinta kasih terhadap sesama. Sajian yang memikat yang akan selalu saya ingat dan singgung jika ada yang membahas masalah human right. Performa ciamik dari duo Hanks dan Washington pun sukses memberi nyawa filem ini. Sebagai penyegaran dan introspeksi di awal tahun, Philadelphia akan saya kutip sebagai pembelajaran yang bagus. Seperti halnya quote cantik yang keluar dari mulut Andrew Beckett: Every problem has a solution. Happy watching!

by: Aditya Saputra

1 komentar:

  1. sebuah film yg sangat humanis dan peka dengan kondisi manusia yg tersudutkan dan di diskirminasi. klasik.

    BalasHapus