Director: Marc Webb
Cast: Andrew Garfield, Emma Stone, Rhys Ifans, Sally Field, Denis Leary, Martin Sheen
Rate: 3/5
Beberapa tahun ke belakang, kita pernah dikejutkan oleh penampilan memukau manusia laba-laba di layar lebar berkat pembawaan yang humanis oleh Sam Raimi. Apalagi sekuelnya yang turun di tahun 2004 dilabeli sebagai salah satu sekuel superhero terbaik. Tobey Maguire juga dicap sebagai salah satu tersangka film tersebut menjadi luar biasa dan manarik perhatian penonton awam maupun kritikus. Tahun ini, melihat fan base spiderman yang masih mendunia serta melihat potensi menggeruk uang lebih banyak lagi, tak heran jika akhirnya terjadilah sebuah reboot. Reboot yang menurut saya pribadi tidak begitu perlu dilakukan mengingat rentang waktu antara Spider-Man 3 dan The Amazing Spider-Man hanya terpaut 5 tahun. Dan lagipula, tiga film besutan Sam Raimi sudah lebih dari cukup untuk menetralisir dahaga fanboy akan visualisi manusia laba-laba di layar perak. Marc Webb yang dahulu membuat film drama komedi romantis sukses, (500) Days of Summer, dipercaya untuk mendalangi film ini dengan mengajak aktor kemarin sore, Andrew Garfield, dan si cantik jelita Emma Stone. Namun uniknya, Stone di sini tidak memerankan Mary Jane, melainkan Gwen Stacy.
Memang banyak perubahan dan pembaharuan yang dilakukan Webb dan rekan-rekannya lewat film ini. Seperti kostum yang lebih signifikan dan penekanan akan dramanya yang lebih menonjol. Karakter villain yang dipilihpun ternyata cukup menyita perhatian. The Lizard yang digadang-gadang sebagai musuh yang paling emosional juga diturutkan untuk menghancurkan dunia, yah minimal New York. Di sinipun Peter Parker masih bergejolak dengan paman dan bibinya yang akhirnya menyisakan kematian Uncle Ben seperti pada film Raimi. Tentu saja dengan cara dan dampak yang berbeda. Kisah cintapun tak luput dari perhatian. Hanya saja, kepingan-kepingan adegan bagaimana Parker dan Stacy sampai akhirnya memadu kasih, menurut saya begitu cheesy. Kikuk yang diperlihatkan Parker terkesan mengganggu dan yang lebih parah saya tidak menemukan kesinambungan antara Andrew Garfield dan Emma Stone. Namun, opening film ini yang menceritakan sedikit tentang ayah dan ibunya, mungkin menjadi satu-satunya kelebihan dibanding yang Raimi buat.
Penonton manapun yang menonton spiderman versi Webb mau tak mau pasti akan membandingkannya dengan kepunyaan Raimi. Kemampuan Webb untuk setidaknya menyamakan filmnya dengan Raimi pun saya anggap belum kesampaian. Banyak poin yang melemahkan The Amazing Spider-man. Satu, Andrew Garfield. Sebelum dan saat dia menjadi spiderman pun terasa tidak nyaman dinikmati. Garfield terlalu over-acting dan menyebabkan tidak mencairkan suasana di dalam kondisi apapun. Padahal, banyak aspek di adegan tersebut yang menjurus ke dalam adegan yang lebih emosional. Lihat saja saat dia menolong bocah yang hampir jatuh. Banyak kenangan buruk yang menyelimuti Peter Parker di adegan itu, tapi nyatanya akting Garfield dan juga anak kecil itu malah memperkeruh sehingga adegan tadi nihil dan tidak bisa dirasakan apa-apa. Dua, Emma Stone. Dia bermain dengan sangat baik, dan ekspresif. Bagaimanapun juga, Stacy di sini jadi lebih komedik, dan itu mengganggu. Ingat adegan saat dia menolong Parker? Dengan kursi? Itu sungguh konyol. Tiga, adalah penempatan adegan. Entah kenapa, ada beberapa sekuens yang tidak digarap dengan sangat baik, bahkan ada beberapa lubang plot yang masih menjamur. Tak pelak, pertengahan film ini adalah saat di mana saya harus menahan rasa kantuk saya akibat tidak jelasnya pengarahan Webb yang serba tanggung ini.
Positifnya, visualisasi film ini sangat di atas rata-rata. Bahkan saya berani bilang, visual The Amazing Spider-Man jauh lebih memukau dari Spider-Man. Mungkin di sini arti judulnya bergaung. Amazing Visual of Spider-Man Movie. Entah tugasnya siapa, yang pasti kerja keras mereka saat menggerakkan gambar terlihat sangat lincah dan jauh dari kesan amatir. Musik yang membahana sepanjang film juga asik. Terutama saat untuk pertama kalinya si spiderman merangkak di atas dinding. Dan, untuk beberapa pemain pendukung semisal Rhys Ifans, Sally Field, Martin Sheen, dan juga Denis Leary bermain dengan sangat biasa. Dengan sosok Thomas Haden Church saja, Rhys Ifans tidak sebanding, apalagi saya menyebutkan seorang Willem Dafoe. Martin Sheen? Sedikit meledak-ledak, itu saja. Sally Field juga kurang greget, Denis Leary bahkan bisa diganti aktor yang tidak terkenal sekalipun. Sulit menemukan sisi patriotik dan jiwa pemimpinnya sebagai komisaris di film ini.
Jadi, 'the untold story' yang dikumandangkan di beberapa teaser poster-nya tidak seluruhnya benar. Penonton hanya diberi makanan sama dengan bumbu dan racikan yang berbeda. Sayangnya, ada beberapa yang terasa hambar. Mungkin saya adalah satu dari sedikit yang tidak begitu menyukai The Amazing Spider-Man. Tapi inilah yang saya temukan saat menonton superhero penjaring ini. Bisa dimaklumkan jika Garfield lemah di sini, karena mungkin track record-nya masih minim. Tidak seperti Tobey yang sebelum jadi manusia laba-laba sudah dipuji lewat Pleasantville dan The Cider House Rules misalnya. Dan saya mungkin terlalu banyak berceloteh. Oh ya, ending film ini menurut saya salah satu ending superhero terbaik yang pernah saya tonton. Happy watching!
by: Aditya Saputra
Tidak ada komentar:
Posting Komentar