Director: Dinna Jasati
Cast: Ardinia Wirasti, Prisia Nasution, Restu Sinaga, Afika
Rate: 3/5
Tahun ini film Indonesia semakin menggila. Dibuka dengan Demi Ucok yang menjadi bahan pujian dimana-mana (saya sendiri tidak sempat menonton karena cepatnya film ini turun layar di kota saya -red), lalu muncul Belenggu yang ternyata menegangkan kembali urat perfilman Indonesia yang semula kendur, lalu hadir What They Don't Talk About When They Talk About Love yang sunyi senyap namun mencekam ke dasar batin kita paling dalam. Walaupun saya begitu selektif dalam menonton film lokal di bioskop, namun saya cukup jeli film apa yang memang harus saya nikmati di layar lebar. Seperti contoh baru, Laura & Marsha yang memang telah saya tunggu dari awal-awal pemberitaan pertama film ini digaungkan. Terlebih lagi, film ini dibintangi oleh Ardinia Wirasti yang menjadi salah satu aktris favorit saya. Satu poin lagi yang membuat saya begitu antusias adalah tema yang melingkari film ini, tapi saya tidak tau-menau masalah sinopsisnya dan tibalah saya di puncak kekagetan.
Mengapa kaget? Karena Laura & Marsha menyajikan sebuah fragmen yang jauh dari pandangan saya sebelumnya. Mengadon semua bumbu yang sekarang dipertanyakan dalam kehidupan. Begitu sakral, intim, tapi tidak melupakan sisi hiburan di dalamnya. Hanya saja, apa yang telah diberikan sang sutradara terlalu lepas kendali dan tidak memikirkan alur serta tujuan utama tema yang diusung. Saya sedikit mengerti dengan subplot yang ingin disampaikan, tapi bagi saya hal itu sedikit terlalu dipaksakan. Boleh-boleh saja sih mencampur adukkan semua hal untuk sebuah road movie, tapi tidak lantas juga banting stir dan dilepas begitu saja. Si empunya film lupa tujuan awal film ini, karena penonton akan dibuat terkecoh oleh poster yang dijual film ini kendati sinopsisnya sendiri mungkin sudah membeberkan apa yang akan dituangkan lewat filmnya.
Saya cuma tidak menyukai bagian 'kematian' di film ini serta adanya bintang tamu yang kebetulan muncul untuk melengkapi atau bahkan kasarnya dipaksakan ada untuk membuat filmnya menjadi mempunyai cerita. Padahal, tanpa itupun film ini semestinya bisa sukses menjadi road movie. Dan jujur saja, banyak adegan yang membuat saya terhanyut dan terbuai ke dalam memori yang bisa jadi sangat personal buat saya. Saat dua tokoh utama kita bertengkat hebat, mungkin menjadi momok tersendiri bagi saya yang menontonnya. Hebatnya lagi, saya hampir terbawa emosi pula oleh segmen ending yang begitu cheesy namun sangat mengena. Dalam hal ini, Prisia Nasution serta Ardina Wirasti sudah mampu mengangkat beban dan tanggung jawab mereka dalam menransfer watak dari Laura dan Marsha. Persahabatan mereka yang diuji di negara orang lain cukup mewakili mental orang-orang yang hobi travelling. Satu dengan gaya ranselnya, dan yang lain tidak boleh ketinggalan kopernya. Film inipun sedikit banyak memberi gambaran akan sebuah kebebasan, derita masa lalu, serta bagaimana kita menyikapi hidup bahagia yang enggan bersama kita.
Segala teknis film ini tidak akan saya ributkan, karena film ini tidak memanfaatkan teknis yang begitu signifikan. Mungkin cuma pemilihan musiknya yang pas dan penataan kameranya yang sepadan dan mampu menangkap view-view bagus di beberapa negara di benua Eropa. Panorama yang mengikuti perjalanan spiritual (?) Laura dan Marsha sungguh sedap dipandang. My last verdict, kita tidak pernah tau apa yang akan terjadi pada kita esok, dan kita hanya hidup sekali di dunia ini. Nikmatilah apa yang bisa kalian rasakan lewat alam dan lingkungan, rasakanlah jika dunia masih ada di dalam genggaman kita jika kita bisa menjaganya dengan bijaksana. Laura & Marsha memamerkan sekelumit liburan singkat yang penuh dengan pengalaman dan cobaan. Lebih dari itu, film ini memaparkan dengan sangat jelas sebuah arti persahabatan untuk saling menolong, mengisi satu sama lain, dan menjadikan satu dunia tadi untuk digenggam bersama-sama. Happy watching!
by: Aditya Saputra
Tidak ada komentar:
Posting Komentar