Minggu, 07 November 2010

Mona Lisa Smile (2003)

Director : Mike Newell
Cast : Julia Roberts, Kirsten Dunst, Julia Stiles, Maggie Gyllenhaal, Marcia Gay-Harden
Rate : 2,5/5


Plotnya cukup rumit kalo tidak boleh dibilang sederhana. Guru baru, Katherine Ann Watson mengajar di sekolah khusus putri sebagai pengajar seni. Awalnya kehadiran Ibu Watson ditenggarai berbagai keonaran oleh para siswa mulai dari Betty Waren, Joan Brandway hingga yang paling tengil Giselle Levy. Memasuki dunia muridnya lebih dalam, Watson menemukan sebuah sistem yang ortodok yang mana sekolah memperbolehkan anak didiknya untuk menikah walaupun masih dalam masa persekolahan. Watson yang merasa pembelokan teknik sekolah ditambah pengalaman suram akan cinta di masa lalunya, Watson mencoba mempengaruhi para siswinya agar lebih memandang cerah masa depan mereka. Dengan seni.

Terserah saja jika banyak orang berkata 'ini filmnya Julia Roberts seorang', karena cukup beralasan walaupun tidak jadi juru kunci juga. Julia memang menjadi titik cerah di film yang memiliki naskah lemah ini. Roberts mencuri perhatian di setiap scene-nya. Lain Roberts lain pula dengan aktor pendukungnya. Kirsten Dunst yang kebagian peran lumayan sentral malah memperlihatkan kesurutan talenta. Mungkin masalah ada pada naskah yang membuat Dunst berdialog paling buruk di antara yang lain. Setali tiga uang dengan sumbangan Julia Stiles dan Marcia Gay-Harden yang terlalu over acting. Tidak lebih dari cukup. Nah, akan beda pendapat saya jika mengarah ke Maggie Gyllenhaal. Aktris under-exposed ini malah menampilkan akting yang pas dan berhasil memperlihatkan perannya yang bitchy. Penumpukan poin positif pada film Secretary-nya diulang kembali lewat film ini.

Mike Newell salah pilih scriptwriter, atau setidaknya penulis naskahnya yang terlalu lesu dalam mengolah data kata menjadi sebuah sajian yang menarik. Parahnya Newell semakin melemahkan skrip tersebut. Tidak ada satupun adegan di film ini dioptimalkan dengan baik. Seyogyanya, film ini bisa saja menjadi salah satu penerjemahan sosok guru paling menarik. Namun rusaknya penyutradaraan tadi malah membuat Mona Lisa Smile disalah-kaprahkan oleh penonton, khususnya wanita. Penonton tidak akan menemukan arti guru yang powerful di sini, melainkan penjelasan monoton antar wanita yang menjurus ke sisi feminisme. Oleh sebab itu, penonton wanita akan memaknai film ini sebagai drama romantis khas kaum hawa. Sedangkan para adam sudah kepalang capek menyaksikan feature yang sia-sia ini.

Niat mau menggambarkan tahun-tahun lawas, yang ada malah Mona Lisa Smile seperti sebuah drama panggung dengan over and minus dari segala sisi. Para wanita boleh saja menyukainya, tapi jangan harap para pria memaklumi kinerja Newell dalam membuat 'film tentang wanita' ini terjun bebas ke lembah 'film untuk wanita'. Happy watching.

by : Aditya Saputra

Tidak ada komentar:

Posting Komentar