Rabu, 24 November 2010

Unstoppable (2010)

Director : Tony Scott
Cast : Denzel Washington, Chris Pine, Rosario Dawson, Kevin Dunn
Rate : 3,5/5


Ini sebuah film penebusan dosa. Maaf, bukan tentang seorang preman yang insaf. Subjek yang menebus dosa adalah Tony Scott. Kenapa saya bilang begitu? Mungkin Unstoppable adalah sebuah pe-er atau juga remedial setelah ia melakukan kesalahan tahun lalu dalam membuat film bertemakan perkereta-apian juga. The Taking of Pelham 1 2 3 waktu itu memang masih menyisakan suatu ketegangan, namun apa karena Scott terlalu puas berkat pilihan aktornya atau memang Scott kurang mengeksekusi filmnya menjadi lebih mengesankan, yang jelas Pelham terasa biasa-biasa saja. Padahal, kalo boleh jujur, Unstoppable tak ubahnya Pelham yang masih memegang ciri khas Scott; adegan pemicu jantung dari awal hingga akhir, slo-mo redam suara, dialog cepat, durasi yang signifikas, serta tentu saja pemakaian Denzel Washington. Tapi nyatanya, Unstoppable jelas berdiri di depan Pelham dalam hal intensitas pengedor adrenalin. Ditambah lagi setelah kita tau jika cerita film ini berangkat dari kejadian nyata.

Unstoppbale dipegang dan diprakasai tetap oleh seorang Washington yang memang telah terbukti kesuksesan kolaborasinya dengan Tony. Di sini, ia diberi partner seorang ayah yang di ambang perceraian yang diperankan oleh Mr. Kirk era baru, Chris Pine. Berdua yang menjadi masinis dan kondektur untuk kereta berlabel 1206 harus kuat saat harus 'ditempatkan' pada situasi yang berpotensi menghancurkan kota setempat. Kereta tanpa awak bernomor 777 sedang melaju cepat di lintasan rel 1206. Guna menggagalkan dampak terburuk yang akan terjadi, dua tokoh utama kita menyingsingkan lengan baju dan berkorban nyawa untuk orang banyak.

Tidak terduga, apa yang dihasilkan Scott lewat film ini melebihi kadar ekspektasi yang saya harapkan sebelumnya. Saat pertama kali opening credit muncul di layar, saat itu pula penonton dihadapkan sebuah misi pemberhentian kereta api yang menguras kecemasan. Scott termasuk berani mengambil resiko untuk suatu cerita yang terkesan sangat biasa ini. Namun, berkat kepiawaannya dalam menjaga konsistensi formulanya, Unstoppable memang memiliki kelas tersendiri. Adegan slo-mo yang jauh dari kesan murahan, sorotan kamera fokus 360 derajat penuh. Dialog-dialog yang muncul juga terdengar segar. Celetukan-celetukan yang tidak diniatkan untuk banyolan, malah hasilnya menjadi satu joke yang 'dalam' dan penuh makna. Perhatikan saja saat duo tokoh utama sedang curhat-curhatan mengenai kisah hidup masing-masing. Bikin sedih sekaligus menyenangkan.

Senjata utama film ini saya nilai bukan terletak pada adegan unstoppable itu. Karena semua tidak berjalan lancar jika editingnya mengecewakan. Dan untuk hal ini, duo editor-nya sungguh berjasa besar. Mereka berhasil mengaduk emosi penonton hanya lewat pengeditan yang nyaris sempurna. Mungkin juga keduanya telah terbiasa bekerja dengan Scott yang menyebabkan mereka tau apa yang dikehendaki Scott dalam menyunting adegan-adegan utamanya. Teknis lain mungkin terletak di audio yang mengiringi filmnya, terdengar easy listening, tapi tidak benar-benar membekas layaknya Deja Vu dari penggubah yang sama.

Washington, Pine, Dawson, dan Dunn bermain lepas. Saya tidak ingin berkutat membahas akting, karena jualan utama film ini kereta api. Kereta api yang berakting, sekalipun tetap ada masinis yang membelakanginya.

Tony Scott sekali lagi telah berhasil menjabarkan apa yang dimaksud dengan 'gue banget'. Mulai dari Man on Fire, Deja Vu, Domino, The Taking of Pelham 1 2 3, hingga Unstoppable ini, cita rasanya tetap bernuansakan Ke-Tony Scott-an. Film yang saya anggap sebagai sebuah penghargaan untuk para 'penghuni' di sektor PJKA. Film yang akan memuaskan siapapun yang menonton. Dan film yang semakin mengukuhkan Scott jika dia juga pantas masuk dijajaran Oscar laiknya sang saudaranya, Ridley Scott. Happy watching!

by: Aditya Saputra

The Last Song (2010)

Director : Julie Anne Robinson
Cast : Miley Cyrus, Liam Hemsworth, Greg Kinnear, Bobby Coleman
Rate : 2/5


Saya akui Nicholas Sparks adalah salah satu dari sedikit novelis yang mengumbar percintaan remaja yang mendayu-dayu. Saking banyaknya karya Sparks yang telah dibuat film bertema serupa malah membuat saya sedikit bingung membedakan antara film A dan B. Sparks pasti memasukan unsur intimitas antara tokoh dan ayah mereka, akhir yang bahagia, masalah pihak ketiga berupa keluarga atau saingan cinta, dan lain-lain. Dan bisa jadi, karena itu pula The Last Song ini sangat buruk di mata saya.

Mengambil formula yang sama dengan film-film saduran novel Sparks lainnya, The Last Song jelas tidak memiliki hal yang baru untuk ditelaah lebih jauh. Drama yang sentimentil antara sang gadis dan ayahnya jauh dari kata berhasil. Begitu pula dengan hubungan romansa kedua tokoh utama kita yang tidak terjalin dengan sangat kuat. Bahkan, arti judulnya sendiri menjadi sangat kaku setelah sang sutradara dan penulis naskahnya melakukan ketimpangan ke dua hal yang berbeda. 'lagu terakhir' yang menjadi topiknya malah hanya sekedar lewat saat film sudah akan habis.

Dialog-dialog yang muncul juga terdengar culun, tidak sememorebel saat saya menonton The Notebook, karya lain dari novel Sparks. Ditambah kemeresotan kualitas akting yang diperlihatkan para aktornya. Lihat saja bagaimana buruknya kolaborasi Liam Hemsworth dan Miley Cyrus di film ini, baik dalam adegan romantis maupun sedang bertengkar sekalipun. Sehingga penonton bukan diajak untuk meresapi keadaan mereka, tapi dibimbing untuk mencibir film ini sendiri.

Poin-poin kecil yang bisa saja menjadi daya tarik lain juga tidak dimaksimalkan dengan baik. Seperti keperdulian mereka akan habitat penyu, kejadian masa lalu di gereja, atau hubungan adik-kakak tadi saya rasa jika diarahkan dengan tepat mungkin hal tersebut tidak terkesan mubasir. Bisa dikatakan penyu itu hanya sekedar kamuflase untuk menghubungkan dua sejoli memadu kasih. Konyol, huh?

Tidak sanggup saya mencari kelebihan film ini, termasuk dari seorang Greg Kinnear yang saya duga akan menjadi satu-satunya dewa penyelamat bagi film ini. Tapi saya tidak congkak. Adegan penyu kembali ke laut dengan gerak lambat disertai visual yang indah memang membuat saya berdecak kagum. Ironis tidak, bahkan penyu yang sanggup mencuri perhatian saya ketimbang para homo sapiens-nya sendiri.

Ini doa saya: 'Semoga Sparks berhenti mereka-reka kisah cinta tiada usai. Semoga sineas luaran sana tidak hanya sekedar mentranslasikan isi novel namun juga harus mematangkan konsep cerita agar tidak terjun bebas ke lumpur kritik negatif. Semoga yang membaca review saya tidak lantas membenci saya, terlebih kepada mereka yang sangat menyukai film ini'. Happy watching!

by: Aditya Saputra

Sabtu, 20 November 2010

Raging Bull (1980)

Director : Martin Scorsese
Cast : Robert De Niro, Joe Pesci, Cathy Moriarty
Rate : 4,5/5

Atau memang tinju menjadi salah satu olah raga idaman warga Amerika, atau memang dunia tinju memiliki latar belakang yang lebih seru untuk dikupas, saya tidak tau. Soalnya, sampai kapanpun dunia boxing selalu dipandang dengan kalimat terpuji saat tema itu diangkat ke layar lebar. Saya ingat bagaimana Slyvester Stallone menggenggam kepopuleran lewat Rocky-nya, Will Smith yang memperoleh predikat aktor mumpuni lewat Ali-nya, Hilary Swank yang rela remuk-redam di Million Dollar Baby yang akhirnya menganugerahi Oscar keduanya, serta Russell Crowe yang terkatung-katung saat juri Oscar tidak menempatkannya di posisi nominasi aktor terbaik untuk peran menakjubkannya di Cinderella Man. Semua drama pertinjuan tadi memang tidak hanya menyediakan mimpi seorang zero to hero belaka, melainkan lebih kepada penekanan kehidupan pelik mereka baik pengaruh krisis dunia maupun krisis moral dalam diri sendiri.

Kala itu, Martin Scorsese mungkin saja merasa kecewa berat saat tau nasib sial menimpanya kala Raging Bull dipandang sebelah mata di bursa Oscar 1981. Raging Bull yang pada saat itu menjadi salah satu karya terbaik tahun 1980 harus rela mengalah dari karya Robert Redford, Ordinary People. Mungkin banyak yang menyayangkan, karena bagaimanapun juga Scorsese memberikan sebuah perjalanan singkat seorang Jack La Motta dengan sangat brilian. Scorsese menyajikan sebuah kehidupan yang ganas dari seorang Jack. Mulai dari petinju kelas bawah hingga akhirnya pada masa kesusahan mengancingkan baju (baca: overweight).

Scorsese pun dengan tegas, lugas dan frontal dalam mengeksekusi klimaks-klimaks penting dengan teknik slow motion yang sangat menggugah. Saat opening yang memunculkan kredit pemain misalnya ketika Jack melakukan pemanasan di atas ring atau ronde terakhir saat Jack dan lawan seumur hidupnya--Roboinson--berdarah-darah di atas ring. Darah yang muncrat, upper-cut dalam gerak lambat yang menjaga emosi serta membuat penonton menahan napas sejenak. Adegan-adegan baku hantam di atas ring sungguh memukau, dan Scorsese seakan tahu benar sudut-sudut kamera yang memungkinkan penonton terbuai akan adegan tersebut.

Selain menggunakan teknik slo-mo tadi, yang harus ditelaah adalah maksud Scorsese dalam mentransfer film ini ke tata wrna monokrom hitam putih. Yah, memang tidak sepanjang film. Saya mengasumsikannya adalah upaya Scorsese agar 'memperhalus' film ini yang mana memang berisikan banyak adegan kekerasan dan merahnya darah.

Editing yang benar-benar apik dan mengagumkan dari seorang Thelma Schoonmaker memang sukses menyeimbangi kebrutalan 'perang' di atas ring tadi. Dan Robert De Niro menyempurnakan semuanya. Permainan gemilang dan outstanding dari De Niro sangat menunjang keberhasilan penyutradaraan Scorsese sendiri. Serta pengorbanan dan totalitas De Niro dalam menaikkan berat badannya sebanyak 60 pound bukan sekedar keperluan karakter tapi juga sebagai wujud keseriusan De Niro dalam mendalami peran. De Niro bisa membagi ruang untuk adegan tinju dan perseteruan rumah tangga. Tapi di sinilah krisis moral yang mendera seorang Jack La Motta. Kesintingannya di atas ring terbawa hingga ke rumah yang mana sang istri menjadi korban fisiknya. Dan sekali lagi, De Niro dengan segala kecermelangannya dalam bermimik muka patut diacungi banyak jempol. Jadi, Oscar keduanya ini memang tidak bisa dibantah.

Joe Pesci yang kebagian peran sebagai mentor si petinju juga menampilkan akting yang tak kalah bagus. Walau harus puas kinerjanya di sini hanya dihormati sebuah nominasi saja di ajang Academy Award bersama si seksi montok Cathy Moriarty.

My verdict: Raging Bull diklaim sebagai masterpiece dari seorang Marty. Namun saya mencapnya sebagai salah satu biopik terbaik yang pernah ada. Bukan saja memaparkan kesukaran La Motta dalam menjahit benang kehidupannya, tapi juga menguntai sebuah kepekaan insting yang mengharuskan kita agar tidak terlalu pongah atas keberhasilan yang telah kita raih. Raging Bull pun akhirnya berhasil naik ke tahta paling tinggi sebagai karya Martin Scorsese paling sempurna bagi saya setelah menggeser Gangs of New York. Happy watching!

by: Aditya Saputra

Jumat, 19 November 2010

Serendipity (2001)

Director : Peter Chalsom
Cast : John Cusack, Kate Beckinsale, Lilli Lavine, Jeremy Piven, Bridget Moynahan
Rate : 3,5/5


When love feels like magic, you call it Destiny. When destiny has a sense of humor, you call it Serendipity.

Cerita dasarnya memang sangat generik. Seorang pria dan wanita secara tidak sengaja bertemu saat sedang mengambil sebuah sarung tangan di sebuah toko. Sejak itu, kedua mata memandang, tumbuh benih suka, sang pria menggebu-gebu untuk melancarkan serangan pe-de-ka-te, si wanita semula jual mahal walau dari mukanya saya sudah tau jika dia juga kesengsem terhadap pria itu. Yah, cerita tidak dimudahkan hanya dalam barisan kalimat itu. Si wanita mengajak takdir untuk menguji kapasitas percintaan mereka. Apakah mereka benar-benar berjodoh atau tidak. Bertahun-tahun mereka tidak bertemu, bertahun-tahun mereka hanya bisa mengira-ngira apakah bisa bertemu lagi, dan demi bertahun-tahun pula akhirnya mereka untuk pertama kalinya bisa menyatukan bibir satu sama lain. Ini film dengan akhir yang bahagia.

Untung saja Serendipity memiliki banyak tameng yang menjadikannya sebagai film drama romantis yang berhasil. Di luar konteks kemiskinan idenya, Serendipity mengalir secara flat namun segar berkat suasana dan dialog-dialog yang cukup romantis. Sang sutradara berikut scriptwriter-nya dengan pintar memilah-milah mana adegan yang diharuskan gombal dan adegan mana untuk porsi serius. Juga lika-liku pertemuan akbar antara dua sejoli dibuat begitu mengena. Belum termasuk bagaimana sang sutradara menyorot momen-momen indah seperti saat mereka ber-ice-skate bersama sampai bertaruh nasib di lift.

Sang kreator juga sukses memasukkan detail-detail kecil yang menambah poin untuk film ini. Seperti misalnya novel yang sengaja diloakkan si gadis untuk sang pria, bercengkrama menikmati cokelat di toko Serendipity 3, serta pemasukkan partner di antara keduanya untuk membantu menemukan tujuan cinta mereka.

John Cusack dan Kate Beckinsale yang kebagian sebagai wayang untuk film ini bermain sesuai perintah. Dengan tampang good looking mereka, sudah pasti menjadi modal untuk para penonton menyukai feature ini. Keduanya menyatu dan saling memperlihatkan sisi mendayu-dayu dalam hal percintaan. Saya yakin jika film ini akan sangat membekas di hati para penonton. Selain karena ceritanya yang mudah dicerna, Serendipity juga bak seri-seri romantisme yang lain, memberikan akhir yang menyenangkan di kedua belah pihak. Bagusnya lagi, film ini juga diiringi oleh musik yang cukup indah.

Mungkin menonton film ini akan menjadi sangat intim saat pasangan kita tidak percaya dengan yang namanya suatu kebetulan dan takdir. Setelah menonton film ini pun saya menjadi sedikit optimis jika love at the first sight akan menjadi lebih bermakna jika kita menyiasatinya dengan sentuhan mujarab seonggok cinta. Halah, saya jadi ngelantur kemana-mana. Happy watching!

by: Aditya Saputra

Harry Potter and the Deathly Hallows part. 1 (2010)

Director : David Yates
Cast : Daniel Radcliffe, Emma Watson, Rupert Grint, Ralph Fiennes, Bill Nighy, Alan Rickman, Tom Felton, Brendan Gleeson, Helena Bonham Carter
Rate : 3,5/5


Mula-mula saya ingin menekankan satu hal: saya bukan pembaca novel seri Harry Potter. Jadi apapun yang saya ulas ini adalah sudut pandang dari seorang non-reader yang ikut serta masuk dalam dunia sihir rekaan J.K. Rowling ini. Bahkan, saya mencoba untuk menilai film ini seobjektif mungkin walau nantinya ada satu-dua hal yang dirasa sangat subjektif. Jujur saja, pertama kali saya mengenal sosok bocah jago mantra ini saat tahun 2007. Waktu itu tidak sengaja mendapat tiket The Order of Phoenix padahal niat saya nonton Ratatouille. Mungkin waktu itu saya kurang fokus, sehingga saya tidak begitu mengerti akan seluk-beluk persekolahan sihir tersebut, namun satu poin yang tidak bisa dipungkiri adalah saya sangat kagum dengan apa yang tersaji selama 2 jam lebih tersebut. Lewat dekorasi setingnya. Sejak itu pula, akhirnya saya mendapat kesempatan untuk menyaksikan keempat sekuelnya walau cuma lewat layar kaca.

Cukup curhat dan basa-basi saya. Begini, seperti yang saya sebut di atas, saya sebagai bukan-pembaca mungkin akan merasa kehilangan arah untuk merunut subbab-subbab yang terangkum dalam dunia Hogwarts ini. Bisa jadi terlalu banyaknya tokoh serta perombakan karakter di setiap tokohnya yang membuat saya jengah tentang isi seri ini sendiri. Dan melanjuti mata rantai yang telah dimulai lewat The Sorcerer's Stone, Deathly Hallows mungkin akan menjadi anti-klimaks karena bagian pertama ini adalah pecahan dari satu novel yang dibelah menjadi 2 film. Cerita berlanjut paska kematian Albus Dumbledore yang mengharuskan trio Harry-Hermoine-Ron menghancurkan sisa Horcrux. Yah, aral rintangan yang mereka hadapi termasuk berat. Selain harus menghindar dari serangan Snatchers, mereka pun harus mengolah taktik untuk tidak masuk perangkap sang ketua Death Eaters, si You-Know-Who.

Sinopsis terlalu singkat? Sengaja! Karena niat saya me-review film ini bukan untuk merangkai jajaran cerita yang hampir keseluruhan fans sudah mengenal dengan sangat baik. Deathly Hallows, sebuah awal dari prosesi penghujung cerita saya nilai sudah hadir dengan sangat baik. Entah kenapa, segala hal yang terpampang telah menghipnotis saya; terutama untuk bagian audio visual. Mulai dari set dekorasi tadi hingga kostum, tata efek, musik, editing, serta intensitas sinematografi yang sangat menunjang satu sama lain. Betapa menyenangkan melihat pengorbanan seluruh kru agar merombak seri ini menjadi sangat mengagumkan. Tidak kacangan melainkan artistik.

Untuk paket film sambungan, David Yates jutru berjasa besar. Sisi drama, komedi, romantis, serta aksi diplot dengan tidak berlebihan. Malah, Yates berani berimprovisasi sedemikian rupa agar tidak adanya kemiripan dengan versi novelnya. Gabungan unsur-unsur tadilah yang menyebabkan tidak adanya pelencengan tujuan untuk setengah awal novelnya. Terbagi dengan rapi, rentetan perjalanan trio juga dibuat dengan begitu kelam, penuh petualangan yang berencana. Jangan lupakan ini: masalah internal di antara ketiganya yang dieksploitir dengan penuh makna. Kecemburuan yang membabi buta. Dan juga ketika mereka harus kehilangan sosok yang mereka sayangi, seperti misalnya Mad Eye, Hedwig dan si lucu Dobby.

Saya belum menilai para pemainnya? Sudahlah, mereka di sini bermain sangat bagus. Kalau boleh, saya ingin memberi kredit khusus untuk Rupert Grint, Helena Bonham-Carter, dan Ralph Fiennes yang menghadirkan kualitas akting di atas rata-rata. Rupert dengan muka blo'onnya sukses menjadi pemicu komedi sekuens, Carter untuk teritori kekejaman verbal, serta Fiennes dengan seringai khasnya.

Setelah ini, saya berniat untuk mencicil membaca keseluruhan novelnya. Maksud saya cuma satu: alangkah sempitnya hidup saya jika hanya mengenal sosok fiksi ini hanya lewat tampilan gambar bergerak. Untuk pemuja kegemilangan rangkaian seri ini, Deathly Hallows sangat tidak mengecewakan dan untuk yang biasa-biasa saja menanggapi euforianya, silahkan terpukau saat Anda duduk manis di bangku studio. Karena isu global sekarang ini tentang Harry Potter benar adanya jika saga ini benar-benar menghibur dalam artian luas. Happy watching!

by: Aditya Saputra

Kamis, 11 November 2010

The Notebook (2004)

Director : Nick Cassavetes
Cast : Ryan Gosling, Rachel McAdams, James Garner, Gena Rowlands, Sam Sephard, Joan Allen
Rate : 3,5/5


Saya pernah menyinggung soal ini: film drama romantis agar tidak terasa flat dan hancur oleh keklisean ending harus memiliki sihir lain baik dalam hal penyutradaraan maupun penampilan gemilang dari para aktornya. Sejauh ini saya sangat menikmati You've Got Mail dan A Walk to Remember karena sastra yang disajikan tidak hanya sekedar dongeng cintaan belaka. Dua film tersebut berhasil membuai saya bukan pada cerita, melainkan atmosfer yang terbangun dari awal hingga puncak. Melengkap bulan cinta saya, akhirnya saya bisa menonton salah satu drama romantis terbaik, The Notebook.

Cerita dibuka dengan seorang kakek yang menceritakan sebuah kisah dari buku harian kepada seorang nenek sesama pesakitan di rumah jompo yang menderita alzheimer. Cerita tersebut memulai kisah baru yang mem-flashback tahun 40-an tentang hubungan cinta beda kasta Noah Calhoun dan Allie. Di tengah hasrat cinta yang memuncak, ibu Allie berada di antara mereka yang merasa Noah tak pantas untuk Allie.

Saya tidak perlu lagi sesumbar hingga ending, karena penonton akan dengan mudah menerka klimaksnya sendiri. Namun, kendati cerita yang generik itu, The Notebook masih bisa dikategorikan ke sebuah melodrama yang bermutu. Saduran dari novel karangan Nicholas Sparks ini berhasil dijewantahkan oleh Nick Cassavetes dengan sangat baik. Nick cukup segan agar karnyanya ini tidak jatuh ke sebuah drama sentimentil, tapi sebaliknya, menyelipkan perasaan semangat cinta walaupun banyak rintangan yang menghampiri. Meskipun durasinya terkesan bertele-tele, tapi apa yang ingin diamanatkanan Nick lewat pesan moralnya sudah tersampaikan dengan sangat baik.

Kekuatan lain yang bikin The Notebook ini cukup indah adalah sokongan dari para aktornya. Rachel McAdams dan Ryan Gosling memang tidak terlalu sempurna di sini, tapi dengan nama mereka yang belum mentereng pada saat itu, penampilan mereka menjadi sangat memorable dan saling menutupi kekurangan yang lain. Pun apa yang disajikan oleh James Garner, Sam Sephard, Joan Allen, serta Gena Rowlands yang pas dalam memposisikan peran mereka di sini. Diiringi dengan alunan musik yang indah, serta potret gambar yang bisa dikatakan cantik, itu semakin memperlihatkan jika The Notebook dikerjakan dengan sungguh-sungguh.

Apa boleh buat, The Notebook telah menambah panjang drama favorit saya. Alunan penuturan bercerita yang diberikan oleh sang sineas berhasil membius saya dengan doktrin cinta yang universal. Memaklumatkan pengertian cinta sehidup semati, serta bagaimana memperlihatkan pengorbanan akan cinta. Anda mual dengan segala sesuatu yang saya katakan tentang cinta? Silahkan bertanya kepada Shakespeare! Happy watching!

by: Aditya Saputra

Dear John (2009)

Director : Lasse Hallström
Cast: Channing Tatum, Amanda Seyfried, Richard Jenkins, Henry Thomas
Rate : 3/5


Belum satupun novel dari tulisan tangan seorang Nicholas Sparks yang pernah saya baca. Kendati begitu, dengan bejibunnya karya yang ia buat telah ditranslasikan ke medium film, setidaknya sudah membentuk gambaran samar untuk saya tentang bagaimana karangan-karangan beliau. Memang, keseluruhan prosanya hanya bersangkut paut pada kisah cinta yang tak habis-habisnya dieksploitisir. Mulai dari yang tragis macam A Walk to Remember hingga yang konyol a la Nights in Rodanthe pun tetap menjadi bahan perbincangan umat wanita yang haus akan topik percintaan. Bagaimana dengan pembaca/penonton pria? Mungkin jika menyingkirkan sisi 'egosentris anti feminisme', bisa saja priapun akan menyukainya.

Kali ini saya dibawa Lasse Hallström melalui sastra indah karya Sparks yang lain berjudul Dear John. Ceritanya sangat ringan, bahkan terkesan terlalu biasa. John Tyere dan Lynn Curtis bertemu secara mengesankan yang kemudian dilanjuti dengan surat-menyurat karena Tyere diharuskan mengikuti perang akibat serangan 9/11. Dari sinipun kita tau jika setting film ini terjadi di tahun 2001. Begitu terus-menerus secara berkala mereka berkorespondensi satu sama lain. Di sini lain, Tyere juga ada clash dengan sang ayah yang pesakitan.

Saya akan dicap tak-ada-cinta jika saya menilai film ini sebatas 'lumayan'. Itu bisa saja saya lakukan kalau film ini memang gagal total, namun saya berperilaku lain karena menganggap film ini masih layak disebut sebagai drama memikat. Bukan, bukan. Bukan dari para aktor atau naskahnya yang saya puji, namun kepiawaian sang sutradaranya lah yang membuat Dear John terasa lebih hidup. Terlepas dari banyaknya dialog konyol keluar dari bibir, Hallström memang telah mengatur pola Dear John agar tidak terkesan lemah maupun klise dalam bercerita. Dengan pendekatan seperti What's Eating Gilbert Grape yang sangat personil dan Chocolat yang berjiwa 'wanita', Dear John pun masih memegang akar kekhasan Hallström.

Bertolak belakang dengan apa yang dilakukan Lasse, permainan tak-gemilang malah disuguhkan oleh aktor sentralnya. Channing Tatum dan Amanda Seyfried kurang mengeluarkan seluruh bakat mereka. Jadi, sepanjang film saya merasa mereka hanya menghasut penonton dengan fisik sempurna mereka saja. Bahkan, Richard Jenkins yang sudah bermain apik pun jadi terasa 'kosong' berkat pendekatan yang 'kosong' pula bersama Tatum. Malah kalau boleh meramal, hubungan ayah-anak di film ini bisa saja menjadi daya tarik lain agar filmnya jadi lebih bermutu.

Dear John, kreator dan aktornya, mungkin telah berkolaborasi semaksimal mungkin agar menjadi feature yang menarik. Sayangnya, meski sang sutradara telah makan asam garam di bidangnya, kondisi malah diperburuk dengan sokongan duo pemeran utamanya. At least, pesan yang ingin disampaikan sudah terbaca dengan baik. Cinta itu memang mempunyai berbagai bentuk. Dari sosok Tyere mungkin kita bisa memahami mengenai porsi untuk mencintai pacar dan porsi untuk mencintai dan memperdulikan keluarga. I don't hope my love story will be like Tyere's. But, i just want to know my love from a letter. Words mean everything that u don't find from talking each other. Happy watching!

by : Aditya Saputra

Minggu, 07 November 2010

Mona Lisa Smile (2003)

Director : Mike Newell
Cast : Julia Roberts, Kirsten Dunst, Julia Stiles, Maggie Gyllenhaal, Marcia Gay-Harden
Rate : 2,5/5


Plotnya cukup rumit kalo tidak boleh dibilang sederhana. Guru baru, Katherine Ann Watson mengajar di sekolah khusus putri sebagai pengajar seni. Awalnya kehadiran Ibu Watson ditenggarai berbagai keonaran oleh para siswa mulai dari Betty Waren, Joan Brandway hingga yang paling tengil Giselle Levy. Memasuki dunia muridnya lebih dalam, Watson menemukan sebuah sistem yang ortodok yang mana sekolah memperbolehkan anak didiknya untuk menikah walaupun masih dalam masa persekolahan. Watson yang merasa pembelokan teknik sekolah ditambah pengalaman suram akan cinta di masa lalunya, Watson mencoba mempengaruhi para siswinya agar lebih memandang cerah masa depan mereka. Dengan seni.

Terserah saja jika banyak orang berkata 'ini filmnya Julia Roberts seorang', karena cukup beralasan walaupun tidak jadi juru kunci juga. Julia memang menjadi titik cerah di film yang memiliki naskah lemah ini. Roberts mencuri perhatian di setiap scene-nya. Lain Roberts lain pula dengan aktor pendukungnya. Kirsten Dunst yang kebagian peran lumayan sentral malah memperlihatkan kesurutan talenta. Mungkin masalah ada pada naskah yang membuat Dunst berdialog paling buruk di antara yang lain. Setali tiga uang dengan sumbangan Julia Stiles dan Marcia Gay-Harden yang terlalu over acting. Tidak lebih dari cukup. Nah, akan beda pendapat saya jika mengarah ke Maggie Gyllenhaal. Aktris under-exposed ini malah menampilkan akting yang pas dan berhasil memperlihatkan perannya yang bitchy. Penumpukan poin positif pada film Secretary-nya diulang kembali lewat film ini.

Mike Newell salah pilih scriptwriter, atau setidaknya penulis naskahnya yang terlalu lesu dalam mengolah data kata menjadi sebuah sajian yang menarik. Parahnya Newell semakin melemahkan skrip tersebut. Tidak ada satupun adegan di film ini dioptimalkan dengan baik. Seyogyanya, film ini bisa saja menjadi salah satu penerjemahan sosok guru paling menarik. Namun rusaknya penyutradaraan tadi malah membuat Mona Lisa Smile disalah-kaprahkan oleh penonton, khususnya wanita. Penonton tidak akan menemukan arti guru yang powerful di sini, melainkan penjelasan monoton antar wanita yang menjurus ke sisi feminisme. Oleh sebab itu, penonton wanita akan memaknai film ini sebagai drama romantis khas kaum hawa. Sedangkan para adam sudah kepalang capek menyaksikan feature yang sia-sia ini.

Niat mau menggambarkan tahun-tahun lawas, yang ada malah Mona Lisa Smile seperti sebuah drama panggung dengan over and minus dari segala sisi. Para wanita boleh saja menyukainya, tapi jangan harap para pria memaklumi kinerja Newell dalam membuat 'film tentang wanita' ini terjun bebas ke lembah 'film untuk wanita'. Happy watching.

by : Aditya Saputra

My Best Friend Wedding (1997)

Director : P.J. Hogan
Cast : Julia Roberts, Dermot Mulroney, Cameron Diaz, Rupert Everett
Rate : 3,5/5

Beberapa minggu kebelakang dan ke depan, khasanah film saya akan dimonopoli dengan beberapa film yang beraromakan romantisme. Entah yang bersifat klise, tragis, happy ending, ataupun yang konyol sekalipun. Filmografi yang telah saya santap di antaranya A Walk to Remember, Notting Hill, You've Got Mail, serta Pretty Woman yang kesemuanya memang telah memberi saya sedikit pengetahuan dan pandangan mengenai kehidupan romansa yang berlaku di muka bumi ini. Melengkapi tatanan film tersebut, akhirnya saya menonton My Best Friend Wedding yang kemungkinan besar akan diikuti dengan The Notebook, Dear John ataupun The Last Song. How cool i am!

Julia Roberts berencana menghancurkan pernikahan Cameron Diaz dan Dermot Mulrenoy? Dan ternyata hal itu tidak semudah yang ia bayangkan walaupun masa lalunya dengan Dermot sudah sangat membekas. Sampai akhirnya, terketuklah pintu hati Julia dan menyadari betapa menyedikan hidupnya.

Menyaksikan Wedding ini mungkin akan sedikit memperlihatkan kita betapa wanita itu terlalu berobsesi dengan apa yang ada di depan matanya. Tidak perduli hal itu akan berdampak negatif kepada orang lain atau tidak. Hal itu terwakili dengan sangat baik oleh Julia Roberts. Ketidakrelaannya serta ambisius akan cinta membuat dia gelap mata dan rela menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan hidupnya. Film ini mungkin sangat cocok ditonton para wanita yang masih mempertanyakan bagaimana mengatur sikap jika berada di posisi Julia. Dan bagi para pria mungkin Wedding bisa dijadikan pembelajaran atau setidaknya sedikit info tentang memposisikan diri di antara wanita-doing-everything dengan wanita-merasa-terhina.

Kekonyolan Diaz di sini--terutama adegan menyanyi--malah membuat saya semakin menikmati aksinya. Memang pada saat itu dia belum seterkenal Roberts, tapi kolaborasinya tetap dapat mencuri perhatian. Sedangkan Everett hanya cukup sebagai pemanis layar serta penyegar mata para pemirsa wanita dengan peran gay-nya yang paling mendapat pujian.

Olahan cerita yang seperti inilah yang saya suka. Menempatkan tokoh utama pada hal yang tidak selalu beruntung. Tergopoh-gopoh menggapai harapan yang akhirnya harus mengenyam kepahitan nasib. Memang berujung happy ending, tapi tidak semudah itu proses menuju kebahagian tersebut.

Singkat saja, My Best Friend Wedding adalah sebuah film yang akan membuka lembar demi lembar petuah cinta yang selalu diamunisi dengan kesimpangan tujuan. Para wanita akan menyukai film ini sekaligus membenci peran Julia, sedangkan pria akan menyunggingkan senyum betapa kaum adam itu sosok yang dielu-elukan serta diperebutkan bagi banyak wanita. Ah, how cool i am! Happy watching!

by : Aditya Saputra