Director : Danny Boyle
Cast : James Franco, Kate Mara, Amber Tamblyn
Rate : 4/5
Sekarang baik Danny Boyle maupun James Franco sudah memiliki gengsi tinggi di mata kritikus dunia. Bagi Danny, ini nominasi keduanya setelah 2 tahun silam pernah menang di karegori sutradara untuk film fundamentalnya, Slumdog Millionaire di Oscar waktu itu. Khusus untuk James Franco, ini mungkin tahap transisi dari aktor nuansa pop ke aliran yang lebih serius. Setelah menuntaskan tiga episode Spider-Man, urakan di Pineapple Express dan mencoba serius di Milk, kali ini bersama si kawakan Boyle, Franco hadir di lembah tinggi penuh bebatuan dan berdiam diri terjepit selama 5 hari 7 jam. Danny Boyle 'menghukum' James Franco di salah satu canyon di Utah lewat persembahan singkat, 127 Hours.
James Franco meminjam nama Aron Ralston, sang petualang hebat yang berkelana ke tempat-tempat yang niscaya akan membuat penonton kagum. Di tengah perjalanan, ia bertemu dua gadis sehobi yang tersesat di daerah gersang tersebut. Tak lama, Aron terjerembab ke dalam bebatuan tersebut dan sialnya lagi salah satu tangannya terperangkap di sebuah gundukan batu. Terjebak dalam tempat kecil dan kurangnya akomodasi baik pangan maupun peralatan petualangan lainnya, Aron harus menerima kesendirian yang harus dia jalani sepanjang 127 jam ke depan. Sepanjang itu pula, Aron merasa melihat kembali kehidupannya yang ia rasa terlalu egois dan tidak memikirkan orang di sekitarnya. Ia juga melihat gambaran singkat dari masa ke masa dirinya sendiri. Sampai akhirnya, ia bertekad untuk tetap hidup dan memilih opsi yang terbilang ekstrim.
Saya pribadi menonton 127 Hours ikut-ikutan sesak napas. Tidak kuat melihat sang tokoh utama kita tidak mampu bergerak barang satu meterpun. Harus merasakan kelaparan, kekurangan air, hujan, delusi dan halusinasi yang berkecamuk. Boyle menempatkan setting kecil ini menjadi suatu penceritaan yang mengalir dengan sangat apik. Sinematografi brilian yang berhasil menangkap angle-angle yang semula tak akan pernah kita pikirkan. Sudut kamera dari dalam sedotan, besetan pisau yang masuk ke kulit, sampai untuk penggunaan soft-lense pun ditata dengan sungguh menarik. Satu lagi yang menyihir dari film ini adalah musiknya. Boyle lagi-lagi mengontrak A.R. Rahman untuk menggubah musik bagi film ini, dan hasilnya sangat cemerlang. Jai-Ho-nya jadi punya alasan untuk menang mengingat If I Rise-nya juga sangat easy listening dan sarat makna.
Simon Beufoy yang bertugas memaklumatkan naskahnya juga sepertinya tidak susah payah dalam menyadur memoar Between A Rock And A Hard Place. Polesan tinta penanya menghasilkan karya yang hebat. Dan itu semua dilengkapi dengan performa nomor satu dari James Franco. Kendati tidak jor-joran dalam berakting, namun tampilan tunggalnya di film ini seakan membuktikan jika ia mampu one-man-show. Predikat aktor terpuji wajar didapuk kepadanya.
Menyaksikan 127 Hours seperti ikutan merasakan kedepresian yang dialami Aron, bukan hanya 127 jam paling stres itu yang jadi pokoknya, tapi juga perjalanan flashback yang sedikit banyak memberikan pelajaran akan pentingnya komunikasi, aksi sosial, dan agar selalu siap sedia untuk segala hal. Boyle yang sempat 'gagal' menyentil saya dengan Slumdog-nya, kali ini saya harus mengakui kehandalannya untuk feature ini. 127 Hours sejajar dengan film bagus lain semisal Into the Wild ataupun Castaway yang juga sama-sama menyodorkan kesendirian di ladang luas sunyi senyap. Happy watching!
by: Aditya Saputra
Cast : James Franco, Kate Mara, Amber Tamblyn
Rate : 4/5
Sekarang baik Danny Boyle maupun James Franco sudah memiliki gengsi tinggi di mata kritikus dunia. Bagi Danny, ini nominasi keduanya setelah 2 tahun silam pernah menang di karegori sutradara untuk film fundamentalnya, Slumdog Millionaire di Oscar waktu itu. Khusus untuk James Franco, ini mungkin tahap transisi dari aktor nuansa pop ke aliran yang lebih serius. Setelah menuntaskan tiga episode Spider-Man, urakan di Pineapple Express dan mencoba serius di Milk, kali ini bersama si kawakan Boyle, Franco hadir di lembah tinggi penuh bebatuan dan berdiam diri terjepit selama 5 hari 7 jam. Danny Boyle 'menghukum' James Franco di salah satu canyon di Utah lewat persembahan singkat, 127 Hours.
James Franco meminjam nama Aron Ralston, sang petualang hebat yang berkelana ke tempat-tempat yang niscaya akan membuat penonton kagum. Di tengah perjalanan, ia bertemu dua gadis sehobi yang tersesat di daerah gersang tersebut. Tak lama, Aron terjerembab ke dalam bebatuan tersebut dan sialnya lagi salah satu tangannya terperangkap di sebuah gundukan batu. Terjebak dalam tempat kecil dan kurangnya akomodasi baik pangan maupun peralatan petualangan lainnya, Aron harus menerima kesendirian yang harus dia jalani sepanjang 127 jam ke depan. Sepanjang itu pula, Aron merasa melihat kembali kehidupannya yang ia rasa terlalu egois dan tidak memikirkan orang di sekitarnya. Ia juga melihat gambaran singkat dari masa ke masa dirinya sendiri. Sampai akhirnya, ia bertekad untuk tetap hidup dan memilih opsi yang terbilang ekstrim.
Saya pribadi menonton 127 Hours ikut-ikutan sesak napas. Tidak kuat melihat sang tokoh utama kita tidak mampu bergerak barang satu meterpun. Harus merasakan kelaparan, kekurangan air, hujan, delusi dan halusinasi yang berkecamuk. Boyle menempatkan setting kecil ini menjadi suatu penceritaan yang mengalir dengan sangat apik. Sinematografi brilian yang berhasil menangkap angle-angle yang semula tak akan pernah kita pikirkan. Sudut kamera dari dalam sedotan, besetan pisau yang masuk ke kulit, sampai untuk penggunaan soft-lense pun ditata dengan sungguh menarik. Satu lagi yang menyihir dari film ini adalah musiknya. Boyle lagi-lagi mengontrak A.R. Rahman untuk menggubah musik bagi film ini, dan hasilnya sangat cemerlang. Jai-Ho-nya jadi punya alasan untuk menang mengingat If I Rise-nya juga sangat easy listening dan sarat makna.
Simon Beufoy yang bertugas memaklumatkan naskahnya juga sepertinya tidak susah payah dalam menyadur memoar Between A Rock And A Hard Place. Polesan tinta penanya menghasilkan karya yang hebat. Dan itu semua dilengkapi dengan performa nomor satu dari James Franco. Kendati tidak jor-joran dalam berakting, namun tampilan tunggalnya di film ini seakan membuktikan jika ia mampu one-man-show. Predikat aktor terpuji wajar didapuk kepadanya.
Menyaksikan 127 Hours seperti ikutan merasakan kedepresian yang dialami Aron, bukan hanya 127 jam paling stres itu yang jadi pokoknya, tapi juga perjalanan flashback yang sedikit banyak memberikan pelajaran akan pentingnya komunikasi, aksi sosial, dan agar selalu siap sedia untuk segala hal. Boyle yang sempat 'gagal' menyentil saya dengan Slumdog-nya, kali ini saya harus mengakui kehandalannya untuk feature ini. 127 Hours sejajar dengan film bagus lain semisal Into the Wild ataupun Castaway yang juga sama-sama menyodorkan kesendirian di ladang luas sunyi senyap. Happy watching!
by: Aditya Saputra
Tidak ada komentar:
Posting Komentar