Director: Chris Renaud
Cast: Danny DeVito, Ed Helms, Zac Efron, Taylor Swift, Betty White
Rate: 3/5
Sebagai permulaan dan sedikit perbandingan, saya sangat suka dengan filem Horton Hears A Who! yang juga diterjemahkan secara kasar dari cerita karangan Dr. Seuss. Cat in the Hat juga termasuk yang lumayan walaupun banyak yang menyayangkan kenapa harus dibuat versi live action. The Lorax, dari sumber inspirasi yang sama, mencoba mengikuti jejak saudaranya dalam menyemarakkan parade animasi sederhana dengan sisipin pesan moral yang bertaji. Sulit diakui, The Lorax malah hadir sangat biasa, jika tak mau dibilang mengecewakan. Sepanjang filem diputar, saya hanya mau mengakui filem ini terasa bagus karena dilapisi oleh titipin pembelajaran yang mampu berbicara banyak. Namun, dari segi animasi, rekayasa komputer, hingga yang paling penting semisal pemilihan musikpun, The Lorax terbilang biasa-biasa saja. Dr. Seuss layaknya Roald Doahl yang mampu berdongeng sekaligus menyisipkan sekelumit fabel yang dikemas dengan lucu, mendidik, dan segar. Nyatanya, memang tak mudah memaksakkan sastra untuk dikembangkan ulang melalui medium filem.
Berawal dari sebuah kota yang hidup tanpa udara bebas. Kesempatan inilah akhirnya dimanfaatkan secara jahat oleh (sebut saja) gubernur kota setempat untuk mengedarkan udara bebas buatan yang mungkin akan memperkaya dirinya sendiri. Kota yang tanpa rerumputan, pohon, maupun miskin reboisasi ini malah lebih mementingkan gaya hidup yang bebas demikian. Namun, ternyata masih ada satu-dua orang yang peduli dengan lingkungan hidup dan mencari kebenaran yang selama ini tersembunyi atau bahkan disembunyikan oleh gubernur. Suatu ketika, seorang anak bertemu dengan lelaki yang ternyata biang keladi atas 'bencana sosial' yang terjadi di kotanya. Flasback pun mengalir dari awal ia dikucilkan oleh keluarga hingga menjadi kaya raya akibat pengembangan bulu ajaib yang berasal dari pohon. Dan muncullah The Lorax sebagai penunggu hutan tersebut. Happy seketika menjadi hancur ke akar-akarnya. Roda kembali berputar memperburuk keadaan si lelaki tersebut.
Yang cerdas dari filem ini adalah cerita sumbangan dari Dr. Seuss. Bagaimana fiksi bisa disatukan dengan pola pikir yang matang akan kepedulian masyarakat kepada lingkungan. Mengindahkan tamak dan rakus yang berakhir pada kerugian orang banyak. Saya sendiri sangat salut bagaimana penyeimbangan ide brilian ini dengan pola hidup manusia sekarang ini. Namun, kesuksesan ceritanya tidak diikuti dengan sisi teknis yang seharusnya bisa lebih dimaksimalkan lagi. Banyak adegan yang terlalu dipaksakan lucu dan malah berakhir tragis garingnya. Ada juga beberapa adegan yang diharapkan bijaksana dan sendu namun jadinya basi dan canggung. Untuk komputerisasinya sendiri tidak ada yang baru. Bahkan animasi semisal Mary & Max saja bisa jauh lebih detil dan transparan. The Lorax yang dibiayai dengan budget yang lumayan seharusnya bisa lebih bereksplorasi dan meningkatkan daya imajinasi sutradaranya untuk mengembangkan dunia The Lorax itu sendiri. Mungkin setengah dari budget-nya dipakai untuk membayar aktor yang jasa suaranya digunakan untuk filem ini.
Jujur, tidak ada pengisi suara karakter yang berhak dilabeli 'memorable'. Semua datar dan tidak ada pengembangan sama sekali. Lagian penonton juga tidak melihat artis idola mereka di depan layar, jadi teritori ini tidak begitu penting. Tapi, satu hal lain yang penting untuk sebuah animasi bisa dikatakan berhasil adalah pemilihan lagunya yang asik. Sayangnya hal itu tidak ada di The Lorax. Sungguh sangat mengecewakan, dan lagi-lagi saya membandingkan filem ini dengan Horton yang begitu enerjik dan atraktif dan sesuai gambaran akan seperti apa filemnya.
Bagaimanapun juga, anak-anak akan tetap menyukai filem penuh warna ini. Bagi penonton dewasa, The Lorax cukup ditonton sekali saja saat menemani anak mereka yang riang menyaksikan para hewan menunjukkan ekspresi terlucu mereka, sembari menjelaskan pelajaran yang amat penting dari filem ini tentang bagaimana menjaga lingkungan dan memelihara hutan kita yang semakin gundul ini. Menyikut perihal banjir yang baru-baru ini melanda Jakarta, mungkin salah satu penyebabnya adalah kurangnya lahan penghijau yang berguna untuk menyerap air hujan dikarenakan tanah hutan sudah dipangkas habis untuk dibuatnya gedung-gedung hiburan. Ini sudah berjalan dari kemarin-kemarin dan dampaknya baru terasa sekarang. Kejelian masyarakatlah yang dibutuhkan sekarang ini untuk selalu mewaspadai apa yang akan terjadi esok jika kita terus bermain-main dengan alam tanpa tanggung jawab. Happy watching!
by: Aditya Saputra
Tidak ada komentar:
Posting Komentar