Director: Ben Lewin
Cast: John Hawkes, Helen Hunt, William H. Macy, Moon Bloodgood
Rate: 3/5
The Sessions diilhami dari kisah nyata yang telah dibukukan. Cerita ini juga pernah dibuatkan filem dokumenter yang juga menggambarkan kehidupan Mark O'Brien dalam menuntaskan niat untuk melepaskan virginitasnya. Mengidap polio sejak umur 6 tahun membuatnya hidup hanya di atas ranjang beroda dan menggunakan paru-paru besi (iron lung) sebagai alat bantu napasnya. Hasrat janggalnya tadi rupanya bukan hanya omongan belaka. Dengan bantuan pakar terapi dan pastur yang menjadi penasehat baginya, akhirnya Mark mencoba menghubungi sex surrogate andal. Namun nyatanya, di tengah-tengah proses 'pelatihan' tersebut, hubungan kasar yang mereka jalani malah berdampak ke hal yang tidak diduga-duga. Sang sex surrogate bahkan mulai berpikir apakah benar atau salah yang dijalaninya selama ini.
Secara pribadi, filem ini sedikit membingungkan buat saya. Bagaimana tidak, saat menonton ini saya seperti disuruh menertawakan kesakitan orang lain. Walaupun The Sessions disadur dari kisah nyata, namun dengan tema yang 'nyentrik' seperti ini, membuat saya sedikit kewalahan bagaimana mengontrol reaksi. Entah harus jijik, mual, tertawa, sedih, simpati, atau bahkan ikut-ikutan sakit. Saya suka drama, tapi jika temanya terlalu menyimpang seperti ini juga bukan my cup of tea yang akan saya puja setinggi langit. Saya juga tidak bisa mengambil kesimpulan dan pesan moral yang hendak diangkat oleh Ben Lewin melalui The Sessions. Entah saya yang kurang cermat atau filem ini memang terkesan datar dan tidak mengandung visi dan misi yang kuat sebagai produk yang berkualitas.
Terutama untuk adegan ranjang yang membuat saya sedikit ngilu. Ketidak wajaran yang terpampang di layar memang sungguh mengganggu. Kendati efek samping di antara kedua pelaku berbeda-beda, namun 'kerja sama' mereka di sesi terapi ganjil ini memiliki dasar yang salah. Dan jangan pula mengharapkan sinematografi ataupun musik pembantu cerita yang seharusnya bisa menguatkan ceritanya sendiri. Dan kembali ke hukum alam, meskipun digerogoti polio Mark tetaplah lelaki normal yang haus akan cinta dan kasih sayang. Tujuannya mungkin tidak dibenarkan, tapi ambisinya bisa dimaklumi. Hanya saja, keegoisannya mengungkapkan cinta ke babysitter-nya malah berujung pahit. Di posisi inilah yang membuat saya tidak tega harus bereaksi apa dan bagaimana, ikut merasakan dukanya atau malah berbelok tidak simpati lagi akibat egosentrisnya tadi.
Jika berbicara soal akting, John Hawkes telah menunjukkan kapasitas juaranya. Keseriusannya di sini setara dengan apa yang telah dilakukan Javier Bardem di The Sea Inside dan Mathieu Almaric di The Diving Bell & the Butterfly. Sepanjang filem, Hawkes hanya bertalenta di atas tempat tidur. Hebatnya, dengan set sempit seperti itu Hawkes berhasil membawa perannya dengan optimal. Saya benar-benar salut saat ia harus berekspresi orgasme atau mencapai klimaks saat melakukan adegan seks. Perannya di sini jelas bertolak belakang dengan peran-perannya sebelumnya. Helen Hunt ternyata melakukan hal yang sama. Rupanya bakat sahihnya tidak tumpul, dan pengejewantahannya sebagai sex surrogate labil patut diberi kredit tersendiri. Sedangkan untuk William H. Macy, ya begitu saja. Ben Lewin termasuk beruntung karena memasang mereka di filem ini. The Sessions menjadi terasa beda.
Sulit untuk mengatakan bahwa The Sessions adalah filem ini. Dari uraian di atas, banyak justifikasi miring yang saya berikan ke filem ini. Tapi, dengan bantuan di departemen akting, The Sessions seperti berbicara lebih dalam. Namun, apabila berbicara masalah kesimpulan, ada baiknya para penonton sendirilah yang menarik kesimpulan apa maunya The Sessions ini. Setidaknya, The Sessions berhasil mengundang rasa iba sekaligus risih terhadap apa yang Mark lakukan. Happy watching!
by: Aditya Saputra
Tidak ada komentar:
Posting Komentar