Jumat, 22 Oktober 2010

Tangshan dadizhen (2010)

Director : Feng Xiaogang
Cast : Xu Fan, Zhang Jingchu, Li Chen, Chen Dao Ming, Chen Jin, Zhang Guoqiang, Zhang Zifeng, Zhang Jiajun Country : China
Rate : 4/5


Judul internasionalnya Aftershock, yang digadang-gadang masuk nominasi Best Foreign Language Film perwakilan Cina untuk Oscar tahun depan. Untuk ukuran kapasitas itu, Aftershock memang tidak mengecewakan. Sempat menjadi yang terlaris di negaranya, Aftershock dipersembahkan untuk menuangkan replika kehidupan pelik seusai bencana alam yang memporak-porandakan kota serta menghancur-leburkan kehidupan masyarakat sesudahnya. Sebagai tambahan, Aftershock adalah gambar bergerak dari sebuah kejadian nyata tahun 1976, gempa bumi di kota Tangshan.

Empat anggota keluarga yang bahagia harus menerima nasib yang tidak mereka duga sebelumnya. Gempa bumi melanda kota dan meratakan bumi dengan skala ritcher yang sangat tinggi. Anak kembar mereka, Fang Deng dan Fang Da terjepit di gundukan batu dan sang ibu diharuskan memilih salah satunya. Opsi yang tak akan sanggup dilakukan oleh ibu manapun di dunia ini. Selepas kejadian itu, ternyata yang terjepit masih bernyawa dan diadopsi. Hingga berpuluh-puluh tahun kemudian, kemelaratan perlahan berubah menjadi sebuah paket kebahagiaan.

Seperti judulnya, film ini menjelaskan tentang paska gempa yang terjadi. Penonton dibawa oleh 3 karakter utama (yang masih hidup) dalam menyelami lebih dalam kegundahan dan dampak dari peristiwa mengenaskan tersebut. Bisa dibilang, gempa bumi itu adalah latar belakang sebagai jembatan untuk menelusuri kisah drama selanjutnya. Untuk sebagian orang, part ini terasa membosankan, namun bagi saya inilah klimaksnya. Kita tidak hanya diberikan drama berkesedihan sepanjang film, namun juga sesekali mengenal tata rumah tangga mereka yang kadang berada di bawah dan juga di atas. Para tokoh mengalami yang namanya siklus hidup. Menandakan jika tidak ada yang tidak beruntung atau sebaliknya di dunia ini.

Melodramatik yang ada di film ini mungkin dinilai terasa berlebihan, karena walau dalam keadaan bahagia sekalipun, air mata tetap saja menetes. Aktornya yang bermain terlalu bagus atau sang sutradara menginginkannya begitu saya juga tidak tau. Yang jelas, para aktor di film ini sangat memesona. Terlebih adalah pemeran Fang Deng cilik yang berhasil menampilkan performa kakap meski umurnya tidak lebih dari 15 tahun. Ia bisa meluapkan kesedihan tiada tara hanya lewat ekspresi mukanya. Tidak bisa membayangkan yang lebih dari apa yang telah ia berikan.

Bisa jadi, kelemahan film ini adalah keterburu-buruan sang kreator dalam mengeksekusi ending-nya. Durasi yang sudah berjalan 100 menitan bahkan dibuat pelan dan terkesan klise. Hingga menit ke 120-an, film ini semakin keteteran dan terlalu diperlambat. Khas film beginian memang begitu, menyodorkan drama tanpa henti walaupun akan menjadi cambuk sendiri karena penonton akan keburu bosan.

Penggunaan efek komputer di film ini juga cukup mengesankan. Penonton bisa melihat secara langsung bagaimana gempa bumi 'berhasil' menyamaratakan semua rumah dan lancur lebur dibumi-hanguskan. Yah, jangan samakan pula dengan gempa yang ada di 2012. Di Aftershock lebih menekankan emosi.

Untuk sebagian orang pasti mencari alternatif lain jika mengetahui jika tampilan Aftershock dipenuhi adegan cengeng-cengengan. Tapi untuk sebuah film bernada mutu tinggi, Aftershock saya berani garansikan. Aftershock merupakan memorandum untuk penonton jika cinta ibu tidak akan mati, dan menentukan pilihan di atas 2 hal yang sangat disayangi adalah sulit. Sifat memaafkan bisa jadi satu-satunya jalan keluar termurah yang bisa kita lakukan. Aftershock memaparkan dengan sangat emosionil. Happy watching!!

by : Aditya Saputra

Tidak ada komentar:

Posting Komentar