Director : Martin Scorsese
Cast : Robert De Niro, Joe Pesci, Cathy Moriarty
Rate : 4,5/5
Atau memang tinju menjadi salah satu olah raga idaman warga Amerika, atau memang dunia tinju memiliki latar belakang yang lebih seru untuk dikupas, saya tidak tau. Soalnya, sampai kapanpun dunia boxing selalu dipandang dengan kalimat terpuji saat tema itu diangkat ke layar lebar. Saya ingat bagaimana Slyvester Stallone menggenggam kepopuleran lewat Rocky-nya, Will Smith yang memperoleh predikat aktor mumpuni lewat Ali-nya, Hilary Swank yang rela remuk-redam di Million Dollar Baby yang akhirnya menganugerahi Oscar keduanya, serta Russell Crowe yang terkatung-katung saat juri Oscar tidak menempatkannya di posisi nominasi aktor terbaik untuk peran menakjubkannya di Cinderella Man. Semua drama pertinjuan tadi memang tidak hanya menyediakan mimpi seorang zero to hero belaka, melainkan lebih kepada penekanan kehidupan pelik mereka baik pengaruh krisis dunia maupun krisis moral dalam diri sendiri.
Kala itu, Martin Scorsese mungkin saja merasa kecewa berat saat tau nasib sial menimpanya kala Raging Bull dipandang sebelah mata di bursa Oscar 1981. Raging Bull yang pada saat itu menjadi salah satu karya terbaik tahun 1980 harus rela mengalah dari karya Robert Redford, Ordinary People. Mungkin banyak yang menyayangkan, karena bagaimanapun juga Scorsese memberikan sebuah perjalanan singkat seorang Jack La Motta dengan sangat brilian. Scorsese menyajikan sebuah kehidupan yang ganas dari seorang Jack. Mulai dari petinju kelas bawah hingga akhirnya pada masa kesusahan mengancingkan baju (baca: overweight).
Scorsese pun dengan tegas, lugas dan frontal dalam mengeksekusi klimaks-klimaks penting dengan teknik slow motion yang sangat menggugah. Saat opening yang memunculkan kredit pemain misalnya ketika Jack melakukan pemanasan di atas ring atau ronde terakhir saat Jack dan lawan seumur hidupnya--Roboinson--berdarah-darah di atas ring. Darah yang muncrat, upper-cut dalam gerak lambat yang menjaga emosi serta membuat penonton menahan napas sejenak. Adegan-adegan baku hantam di atas ring sungguh memukau, dan Scorsese seakan tahu benar sudut-sudut kamera yang memungkinkan penonton terbuai akan adegan tersebut.
Selain menggunakan teknik slo-mo tadi, yang harus ditelaah adalah maksud Scorsese dalam mentransfer film ini ke tata wrna monokrom hitam putih. Yah, memang tidak sepanjang film. Saya mengasumsikannya adalah upaya Scorsese agar 'memperhalus' film ini yang mana memang berisikan banyak adegan kekerasan dan merahnya darah.
Editing yang benar-benar apik dan mengagumkan dari seorang Thelma Schoonmaker memang sukses menyeimbangi kebrutalan 'perang' di atas ring tadi. Dan Robert De Niro menyempurnakan semuanya. Permainan gemilang dan outstanding dari De Niro sangat menunjang keberhasilan penyutradaraan Scorsese sendiri. Serta pengorbanan dan totalitas De Niro dalam menaikkan berat badannya sebanyak 60 pound bukan sekedar keperluan karakter tapi juga sebagai wujud keseriusan De Niro dalam mendalami peran. De Niro bisa membagi ruang untuk adegan tinju dan perseteruan rumah tangga. Tapi di sinilah krisis moral yang mendera seorang Jack La Motta. Kesintingannya di atas ring terbawa hingga ke rumah yang mana sang istri menjadi korban fisiknya. Dan sekali lagi, De Niro dengan segala kecermelangannya dalam bermimik muka patut diacungi banyak jempol. Jadi, Oscar keduanya ini memang tidak bisa dibantah.
Joe Pesci yang kebagian peran sebagai mentor si petinju juga menampilkan akting yang tak kalah bagus. Walau harus puas kinerjanya di sini hanya dihormati sebuah nominasi saja di ajang Academy Award bersama si seksi montok Cathy Moriarty.
My verdict: Raging Bull diklaim sebagai masterpiece dari seorang Marty. Namun saya mencapnya sebagai salah satu biopik terbaik yang pernah ada. Bukan saja memaparkan kesukaran La Motta dalam menjahit benang kehidupannya, tapi juga menguntai sebuah kepekaan insting yang mengharuskan kita agar tidak terlalu pongah atas keberhasilan yang telah kita raih. Raging Bull pun akhirnya berhasil naik ke tahta paling tinggi sebagai karya Martin Scorsese paling sempurna bagi saya setelah menggeser Gangs of New York. Happy watching!
by: Aditya Saputra
Cast : Robert De Niro, Joe Pesci, Cathy Moriarty
Rate : 4,5/5
Atau memang tinju menjadi salah satu olah raga idaman warga Amerika, atau memang dunia tinju memiliki latar belakang yang lebih seru untuk dikupas, saya tidak tau. Soalnya, sampai kapanpun dunia boxing selalu dipandang dengan kalimat terpuji saat tema itu diangkat ke layar lebar. Saya ingat bagaimana Slyvester Stallone menggenggam kepopuleran lewat Rocky-nya, Will Smith yang memperoleh predikat aktor mumpuni lewat Ali-nya, Hilary Swank yang rela remuk-redam di Million Dollar Baby yang akhirnya menganugerahi Oscar keduanya, serta Russell Crowe yang terkatung-katung saat juri Oscar tidak menempatkannya di posisi nominasi aktor terbaik untuk peran menakjubkannya di Cinderella Man. Semua drama pertinjuan tadi memang tidak hanya menyediakan mimpi seorang zero to hero belaka, melainkan lebih kepada penekanan kehidupan pelik mereka baik pengaruh krisis dunia maupun krisis moral dalam diri sendiri.
Kala itu, Martin Scorsese mungkin saja merasa kecewa berat saat tau nasib sial menimpanya kala Raging Bull dipandang sebelah mata di bursa Oscar 1981. Raging Bull yang pada saat itu menjadi salah satu karya terbaik tahun 1980 harus rela mengalah dari karya Robert Redford, Ordinary People. Mungkin banyak yang menyayangkan, karena bagaimanapun juga Scorsese memberikan sebuah perjalanan singkat seorang Jack La Motta dengan sangat brilian. Scorsese menyajikan sebuah kehidupan yang ganas dari seorang Jack. Mulai dari petinju kelas bawah hingga akhirnya pada masa kesusahan mengancingkan baju (baca: overweight).
Scorsese pun dengan tegas, lugas dan frontal dalam mengeksekusi klimaks-klimaks penting dengan teknik slow motion yang sangat menggugah. Saat opening yang memunculkan kredit pemain misalnya ketika Jack melakukan pemanasan di atas ring atau ronde terakhir saat Jack dan lawan seumur hidupnya--Roboinson--berdarah-darah di atas ring. Darah yang muncrat, upper-cut dalam gerak lambat yang menjaga emosi serta membuat penonton menahan napas sejenak. Adegan-adegan baku hantam di atas ring sungguh memukau, dan Scorsese seakan tahu benar sudut-sudut kamera yang memungkinkan penonton terbuai akan adegan tersebut.
Selain menggunakan teknik slo-mo tadi, yang harus ditelaah adalah maksud Scorsese dalam mentransfer film ini ke tata wrna monokrom hitam putih. Yah, memang tidak sepanjang film. Saya mengasumsikannya adalah upaya Scorsese agar 'memperhalus' film ini yang mana memang berisikan banyak adegan kekerasan dan merahnya darah.
Editing yang benar-benar apik dan mengagumkan dari seorang Thelma Schoonmaker memang sukses menyeimbangi kebrutalan 'perang' di atas ring tadi. Dan Robert De Niro menyempurnakan semuanya. Permainan gemilang dan outstanding dari De Niro sangat menunjang keberhasilan penyutradaraan Scorsese sendiri. Serta pengorbanan dan totalitas De Niro dalam menaikkan berat badannya sebanyak 60 pound bukan sekedar keperluan karakter tapi juga sebagai wujud keseriusan De Niro dalam mendalami peran. De Niro bisa membagi ruang untuk adegan tinju dan perseteruan rumah tangga. Tapi di sinilah krisis moral yang mendera seorang Jack La Motta. Kesintingannya di atas ring terbawa hingga ke rumah yang mana sang istri menjadi korban fisiknya. Dan sekali lagi, De Niro dengan segala kecermelangannya dalam bermimik muka patut diacungi banyak jempol. Jadi, Oscar keduanya ini memang tidak bisa dibantah.
Joe Pesci yang kebagian peran sebagai mentor si petinju juga menampilkan akting yang tak kalah bagus. Walau harus puas kinerjanya di sini hanya dihormati sebuah nominasi saja di ajang Academy Award bersama si seksi montok Cathy Moriarty.
My verdict: Raging Bull diklaim sebagai masterpiece dari seorang Marty. Namun saya mencapnya sebagai salah satu biopik terbaik yang pernah ada. Bukan saja memaparkan kesukaran La Motta dalam menjahit benang kehidupannya, tapi juga menguntai sebuah kepekaan insting yang mengharuskan kita agar tidak terlalu pongah atas keberhasilan yang telah kita raih. Raging Bull pun akhirnya berhasil naik ke tahta paling tinggi sebagai karya Martin Scorsese paling sempurna bagi saya setelah menggeser Gangs of New York. Happy watching!
by: Aditya Saputra
Tidak ada komentar:
Posting Komentar