Director : Tony Scott
Cast : Denzel Washington, Chris Pine, Rosario Dawson, Kevin Dunn
Rate : 3,5/5
Ini sebuah film penebusan dosa. Maaf, bukan tentang seorang preman yang insaf. Subjek yang menebus dosa adalah Tony Scott. Kenapa saya bilang begitu? Mungkin Unstoppable adalah sebuah pe-er atau juga remedial setelah ia melakukan kesalahan tahun lalu dalam membuat film bertemakan perkereta-apian juga. The Taking of Pelham 1 2 3 waktu itu memang masih menyisakan suatu ketegangan, namun apa karena Scott terlalu puas berkat pilihan aktornya atau memang Scott kurang mengeksekusi filmnya menjadi lebih mengesankan, yang jelas Pelham terasa biasa-biasa saja. Padahal, kalo boleh jujur, Unstoppable tak ubahnya Pelham yang masih memegang ciri khas Scott; adegan pemicu jantung dari awal hingga akhir, slo-mo redam suara, dialog cepat, durasi yang signifikas, serta tentu saja pemakaian Denzel Washington. Tapi nyatanya, Unstoppable jelas berdiri di depan Pelham dalam hal intensitas pengedor adrenalin. Ditambah lagi setelah kita tau jika cerita film ini berangkat dari kejadian nyata.
Unstoppbale dipegang dan diprakasai tetap oleh seorang Washington yang memang telah terbukti kesuksesan kolaborasinya dengan Tony. Di sini, ia diberi partner seorang ayah yang di ambang perceraian yang diperankan oleh Mr. Kirk era baru, Chris Pine. Berdua yang menjadi masinis dan kondektur untuk kereta berlabel 1206 harus kuat saat harus 'ditempatkan' pada situasi yang berpotensi menghancurkan kota setempat. Kereta tanpa awak bernomor 777 sedang melaju cepat di lintasan rel 1206. Guna menggagalkan dampak terburuk yang akan terjadi, dua tokoh utama kita menyingsingkan lengan baju dan berkorban nyawa untuk orang banyak.
Tidak terduga, apa yang dihasilkan Scott lewat film ini melebihi kadar ekspektasi yang saya harapkan sebelumnya. Saat pertama kali opening credit muncul di layar, saat itu pula penonton dihadapkan sebuah misi pemberhentian kereta api yang menguras kecemasan. Scott termasuk berani mengambil resiko untuk suatu cerita yang terkesan sangat biasa ini. Namun, berkat kepiawaannya dalam menjaga konsistensi formulanya, Unstoppable memang memiliki kelas tersendiri. Adegan slo-mo yang jauh dari kesan murahan, sorotan kamera fokus 360 derajat penuh. Dialog-dialog yang muncul juga terdengar segar. Celetukan-celetukan yang tidak diniatkan untuk banyolan, malah hasilnya menjadi satu joke yang 'dalam' dan penuh makna. Perhatikan saja saat duo tokoh utama sedang curhat-curhatan mengenai kisah hidup masing-masing. Bikin sedih sekaligus menyenangkan.
Senjata utama film ini saya nilai bukan terletak pada adegan unstoppable itu. Karena semua tidak berjalan lancar jika editingnya mengecewakan. Dan untuk hal ini, duo editor-nya sungguh berjasa besar. Mereka berhasil mengaduk emosi penonton hanya lewat pengeditan yang nyaris sempurna. Mungkin juga keduanya telah terbiasa bekerja dengan Scott yang menyebabkan mereka tau apa yang dikehendaki Scott dalam menyunting adegan-adegan utamanya. Teknis lain mungkin terletak di audio yang mengiringi filmnya, terdengar easy listening, tapi tidak benar-benar membekas layaknya Deja Vu dari penggubah yang sama.
Washington, Pine, Dawson, dan Dunn bermain lepas. Saya tidak ingin berkutat membahas akting, karena jualan utama film ini kereta api. Kereta api yang berakting, sekalipun tetap ada masinis yang membelakanginya.
Tony Scott sekali lagi telah berhasil menjabarkan apa yang dimaksud dengan 'gue banget'. Mulai dari Man on Fire, Deja Vu, Domino, The Taking of Pelham 1 2 3, hingga Unstoppable ini, cita rasanya tetap bernuansakan Ke-Tony Scott-an. Film yang saya anggap sebagai sebuah penghargaan untuk para 'penghuni' di sektor PJKA. Film yang akan memuaskan siapapun yang menonton. Dan film yang semakin mengukuhkan Scott jika dia juga pantas masuk dijajaran Oscar laiknya sang saudaranya, Ridley Scott. Happy watching!
by: Aditya Saputra
Cast : Denzel Washington, Chris Pine, Rosario Dawson, Kevin Dunn
Rate : 3,5/5
Ini sebuah film penebusan dosa. Maaf, bukan tentang seorang preman yang insaf. Subjek yang menebus dosa adalah Tony Scott. Kenapa saya bilang begitu? Mungkin Unstoppable adalah sebuah pe-er atau juga remedial setelah ia melakukan kesalahan tahun lalu dalam membuat film bertemakan perkereta-apian juga. The Taking of Pelham 1 2 3 waktu itu memang masih menyisakan suatu ketegangan, namun apa karena Scott terlalu puas berkat pilihan aktornya atau memang Scott kurang mengeksekusi filmnya menjadi lebih mengesankan, yang jelas Pelham terasa biasa-biasa saja. Padahal, kalo boleh jujur, Unstoppable tak ubahnya Pelham yang masih memegang ciri khas Scott; adegan pemicu jantung dari awal hingga akhir, slo-mo redam suara, dialog cepat, durasi yang signifikas, serta tentu saja pemakaian Denzel Washington. Tapi nyatanya, Unstoppable jelas berdiri di depan Pelham dalam hal intensitas pengedor adrenalin. Ditambah lagi setelah kita tau jika cerita film ini berangkat dari kejadian nyata.
Unstoppbale dipegang dan diprakasai tetap oleh seorang Washington yang memang telah terbukti kesuksesan kolaborasinya dengan Tony. Di sini, ia diberi partner seorang ayah yang di ambang perceraian yang diperankan oleh Mr. Kirk era baru, Chris Pine. Berdua yang menjadi masinis dan kondektur untuk kereta berlabel 1206 harus kuat saat harus 'ditempatkan' pada situasi yang berpotensi menghancurkan kota setempat. Kereta tanpa awak bernomor 777 sedang melaju cepat di lintasan rel 1206. Guna menggagalkan dampak terburuk yang akan terjadi, dua tokoh utama kita menyingsingkan lengan baju dan berkorban nyawa untuk orang banyak.
Tidak terduga, apa yang dihasilkan Scott lewat film ini melebihi kadar ekspektasi yang saya harapkan sebelumnya. Saat pertama kali opening credit muncul di layar, saat itu pula penonton dihadapkan sebuah misi pemberhentian kereta api yang menguras kecemasan. Scott termasuk berani mengambil resiko untuk suatu cerita yang terkesan sangat biasa ini. Namun, berkat kepiawaannya dalam menjaga konsistensi formulanya, Unstoppable memang memiliki kelas tersendiri. Adegan slo-mo yang jauh dari kesan murahan, sorotan kamera fokus 360 derajat penuh. Dialog-dialog yang muncul juga terdengar segar. Celetukan-celetukan yang tidak diniatkan untuk banyolan, malah hasilnya menjadi satu joke yang 'dalam' dan penuh makna. Perhatikan saja saat duo tokoh utama sedang curhat-curhatan mengenai kisah hidup masing-masing. Bikin sedih sekaligus menyenangkan.
Senjata utama film ini saya nilai bukan terletak pada adegan unstoppable itu. Karena semua tidak berjalan lancar jika editingnya mengecewakan. Dan untuk hal ini, duo editor-nya sungguh berjasa besar. Mereka berhasil mengaduk emosi penonton hanya lewat pengeditan yang nyaris sempurna. Mungkin juga keduanya telah terbiasa bekerja dengan Scott yang menyebabkan mereka tau apa yang dikehendaki Scott dalam menyunting adegan-adegan utamanya. Teknis lain mungkin terletak di audio yang mengiringi filmnya, terdengar easy listening, tapi tidak benar-benar membekas layaknya Deja Vu dari penggubah yang sama.
Washington, Pine, Dawson, dan Dunn bermain lepas. Saya tidak ingin berkutat membahas akting, karena jualan utama film ini kereta api. Kereta api yang berakting, sekalipun tetap ada masinis yang membelakanginya.
Tony Scott sekali lagi telah berhasil menjabarkan apa yang dimaksud dengan 'gue banget'. Mulai dari Man on Fire, Deja Vu, Domino, The Taking of Pelham 1 2 3, hingga Unstoppable ini, cita rasanya tetap bernuansakan Ke-Tony Scott-an. Film yang saya anggap sebagai sebuah penghargaan untuk para 'penghuni' di sektor PJKA. Film yang akan memuaskan siapapun yang menonton. Dan film yang semakin mengukuhkan Scott jika dia juga pantas masuk dijajaran Oscar laiknya sang saudaranya, Ridley Scott. Happy watching!
by: Aditya Saputra
Tidak ada komentar:
Posting Komentar