Director: Bruce Beresford
Cast: Morgan Freeman, Jessica Tandy, Don Aykroyd
Rate: 4/5
Morgan Freeman, salah satu aktor berwarna yang mampu mempertahankan eksistensinya di belantika perfilman Hollywood kendati usianya tak lagi muda. Dengan kematangan akting serta banyaknya channel yang memungkinkan mendapatkan naskah yang bagus membuat kiprahnya tak patut disepelekan. Kemunculan memukau pertamanya di Street Smart semakin melapangkan perjuangannya hingga menjadi seorang superior Nelson Mandela di tahun 2009 silam lewat biografi Invictus. Kepadanannya dalam berbaur frame dengan para aktor kulit putih pun sering kali menimbulkan kemahfuman duet. Terlebih saat berkolaborasi dengan Tim Robbins di The Shawshank Redemption ataupun Clint Eastwood di berbagai feature. Tempo doeloe, saat Freeman diduetkan dengan Jessica Tandy lewat balada persahabatan di usia renta mengakibatkan banjir piala termasuk dari Golden Globe dan National Board of Review.
Film yang hanya berdurasi 99 menit ini menceritakan tentang seorang wanita tua yang disarankan oleh anaknya untuk ditemani oleh seorang supir untuk berpergian kemana-mana. Semula, masukan Boolie Werthan ditolak mentah-mentah oleh sang ibu, Daisy, namun lambat laun ketika Boolie mengambil keputusan sepihak dan mendatangkan orang yang dimaksud membuat sang ibu tak bisa membantah. Inilah saat Driving Miss Daisy memaparkan sebuah replika kehidupan pertemanan beda warna kulit yang begitu manis. Pertentangan strata serta rasialisme di mana para kulit hitam biasa diperbudakkan terjalin sangat emosionil dan menyiratkan sejuta arti.
Ada satu momen ketika Miss Daisy akan mengunjungi keluarganya yang berulang tahun dengan Hoke Colburn sebagai sopir menyebabkan keduanya saling mengerti posisi dan peran penting satu sama lain. Nyonya Daisy yang awalnya selalu waspada kepada sang sopir menerima timbal balik yang sepadan. Daisy perlahan menemukan titik kebaikan-tulus dari seorang sopir. Begitu pula dengan sang sopir yang sadar dan bisa membaca keadaan nyonya besarnya, apalagi saat Miss Daisy harus mendekam di sebuah panti jompo.
Inilah salah satu contoh film yang patut disebut sebagai era puncak dalam mewakili jiwa pertemanan. Simbolisasi hitam-putih dari karakter utamanya menohok penonton kalau tidak ada jembatan untuk yang namanya persahabatan. Pesan yang terkandung lewat deretan naskahnya dikonotasikan dengan sangat rapih oleh sang sutradara yang begitu cermat dalam menjalin benang kusut menjadi satu paket istimewa untuk penonton yang masih bingung dalam membuktikan suatu pertemanan abadi. Maka tak heran juga jika naskah adaptasi di ajang Oscar sanggup diraihnya bersamaan dengan kemenangan mutlak dari Jessica Tandy di usia ke 80-nya. Walaupun begitu, Bruce Beresford--yang pernah dipuja lewat Tender Mercies--harus sedikit rela saat Oliver Stone 'menodong senapan' sebagai Best Director saat itu.
Tandy tak akan bermain bagus jika lawannya berakting seadaanya. Oleh sebab itu, performa gemilang dari Freeman menyisakan chemistry yang menawan dari keduanya. Tak salah jika banyak yang mengoreksi jika ini salah satu penampilan terbaik Morgan Freeman di dalam sebuah film drama.
Driving Miss Daisy hadir pada saat situasi rasialisme begitu marak pada jamannya. Namun, yang ditegaskan lewat film jauh dari kesan itu meskipun ada satu adegan yang menyiratkan betapa ras sangat mejadi suatu kecaman dunia pada saat itu. Terbilang saat pengeboman gereja yang sering dikunjungi oleh Daisy ataupun cemoohan 2 polisi saat mencegat Daisy dan Hoke melakukan road trip. Nuansa musik Hans Zimmer begitu kental dan medayu-dayu bahkan sukses meleburkan emosi ke tingkat yang lebih mendalam.
Akhir kata, Driving Miss Daisy boleh dikategorikan ke genre drama atau komedi tergantung penonton menyerap kadar film ini ke arah mana. Untuk saya pribadi, ini murni drama walaupun sisi komediknya juga terasa satir. Happy watching!
by: Aditya Saputra
Cast: Morgan Freeman, Jessica Tandy, Don Aykroyd
Rate: 4/5
Morgan Freeman, salah satu aktor berwarna yang mampu mempertahankan eksistensinya di belantika perfilman Hollywood kendati usianya tak lagi muda. Dengan kematangan akting serta banyaknya channel yang memungkinkan mendapatkan naskah yang bagus membuat kiprahnya tak patut disepelekan. Kemunculan memukau pertamanya di Street Smart semakin melapangkan perjuangannya hingga menjadi seorang superior Nelson Mandela di tahun 2009 silam lewat biografi Invictus. Kepadanannya dalam berbaur frame dengan para aktor kulit putih pun sering kali menimbulkan kemahfuman duet. Terlebih saat berkolaborasi dengan Tim Robbins di The Shawshank Redemption ataupun Clint Eastwood di berbagai feature. Tempo doeloe, saat Freeman diduetkan dengan Jessica Tandy lewat balada persahabatan di usia renta mengakibatkan banjir piala termasuk dari Golden Globe dan National Board of Review.
Film yang hanya berdurasi 99 menit ini menceritakan tentang seorang wanita tua yang disarankan oleh anaknya untuk ditemani oleh seorang supir untuk berpergian kemana-mana. Semula, masukan Boolie Werthan ditolak mentah-mentah oleh sang ibu, Daisy, namun lambat laun ketika Boolie mengambil keputusan sepihak dan mendatangkan orang yang dimaksud membuat sang ibu tak bisa membantah. Inilah saat Driving Miss Daisy memaparkan sebuah replika kehidupan pertemanan beda warna kulit yang begitu manis. Pertentangan strata serta rasialisme di mana para kulit hitam biasa diperbudakkan terjalin sangat emosionil dan menyiratkan sejuta arti.
Ada satu momen ketika Miss Daisy akan mengunjungi keluarganya yang berulang tahun dengan Hoke Colburn sebagai sopir menyebabkan keduanya saling mengerti posisi dan peran penting satu sama lain. Nyonya Daisy yang awalnya selalu waspada kepada sang sopir menerima timbal balik yang sepadan. Daisy perlahan menemukan titik kebaikan-tulus dari seorang sopir. Begitu pula dengan sang sopir yang sadar dan bisa membaca keadaan nyonya besarnya, apalagi saat Miss Daisy harus mendekam di sebuah panti jompo.
Inilah salah satu contoh film yang patut disebut sebagai era puncak dalam mewakili jiwa pertemanan. Simbolisasi hitam-putih dari karakter utamanya menohok penonton kalau tidak ada jembatan untuk yang namanya persahabatan. Pesan yang terkandung lewat deretan naskahnya dikonotasikan dengan sangat rapih oleh sang sutradara yang begitu cermat dalam menjalin benang kusut menjadi satu paket istimewa untuk penonton yang masih bingung dalam membuktikan suatu pertemanan abadi. Maka tak heran juga jika naskah adaptasi di ajang Oscar sanggup diraihnya bersamaan dengan kemenangan mutlak dari Jessica Tandy di usia ke 80-nya. Walaupun begitu, Bruce Beresford--yang pernah dipuja lewat Tender Mercies--harus sedikit rela saat Oliver Stone 'menodong senapan' sebagai Best Director saat itu.
Tandy tak akan bermain bagus jika lawannya berakting seadaanya. Oleh sebab itu, performa gemilang dari Freeman menyisakan chemistry yang menawan dari keduanya. Tak salah jika banyak yang mengoreksi jika ini salah satu penampilan terbaik Morgan Freeman di dalam sebuah film drama.
Driving Miss Daisy hadir pada saat situasi rasialisme begitu marak pada jamannya. Namun, yang ditegaskan lewat film jauh dari kesan itu meskipun ada satu adegan yang menyiratkan betapa ras sangat mejadi suatu kecaman dunia pada saat itu. Terbilang saat pengeboman gereja yang sering dikunjungi oleh Daisy ataupun cemoohan 2 polisi saat mencegat Daisy dan Hoke melakukan road trip. Nuansa musik Hans Zimmer begitu kental dan medayu-dayu bahkan sukses meleburkan emosi ke tingkat yang lebih mendalam.
Akhir kata, Driving Miss Daisy boleh dikategorikan ke genre drama atau komedi tergantung penonton menyerap kadar film ini ke arah mana. Untuk saya pribadi, ini murni drama walaupun sisi komediknya juga terasa satir. Happy watching!
by: Aditya Saputra
Tidak ada komentar:
Posting Komentar