Director : Nan Achnas
Cast : Lim Kay Tong, Shanty, Lukman Sardi, Indi Barends
Rate : 4/5
Sayang sekali, pakar-pakar sinema Indonesia telah kelewatan satu film untuk didengungkan lebih luas ke khalayak ramai. Mungkin karena temanya yang terlalu berat untuk dicerna atau tampilannya yang buram seburam kenyataan pahit sang pelakon utama. Sama halnya produk Shanty lain yang juga diacuhkan pembeli tiket, Kala. Keduanya dicibir untuk masalah laba, tapi keduanya memegang sertifikat terpuji. Kembali ke The Photograph, salah satu contoh film ber-budget minim namun bisa dimaksimalisir dengan sangat baik. Sineas gemilang Nan Achnas berhasil memberikan sajian sejuta makna untuk penonton lewat penuturan singkat dan sederhana akan betapa sulitnya membuang bayang-bayang masa lalu dan melewati masa depan.
Johan Tan, lelaki tua yang mengidap kesakitan mental akan kukungan masa silam. Dia seorang fotografer yang mengais rejeki lewat itu. Suatu ketika, rumahnya kedatangan seorang tuna wisma yang hendak menyewa sebuah kamar, Sita. Sita mempunyai tanggung jawab menghidupi anaknya yang telah lama ia tinggal serta berniat mengobati penyakit neneknya. Kedua tokoh kita memiliki persamaan, mereka depresi. Sita akhirnya mencoba membantu Pak Johan untuk bebas dari penjara masa lalu. Satu hal, Pak Johan membui kenangan pahitnya lewat serangkaian foto. Fisik yang akan mengupas kembali memori kelamnya.
Gerak gambar The Photograph memang hanya seputar Johan dan Sita dalam memperjuangakan hidup. Kendati begitu, Nan Achnas memanipulasinya lewat keindahan sinematografi. Film ini sangat terbantu lewat mobilitas kamera yang walaupun monoton tapi sangat membentuk karakter tokoh maupun situasi. Warna-warna buram baik untuk setting rumah Johan maupun terang pekat di setting luar seakan mewakili apa yang mereka alami. Acungan jempol juga saya salutkan kepada direksi seni yang membuat The Photograph semakin nyeni dan memiliki jiwa untuk setiap adegannya.
Pemeran Pak Johan adalah seorang WNA. Achnas mengambil resiko dan itu semua terbayar lunas. Tong mencurahkan seluruh metabolisme urat aktingnya dengan bermain dengan sangat menakjubkan. Perubahan karakter sebelum dan sesudah ia mengalami krisis kepercayaan diri tersorot dengan sangat baik. Mungkin sulit membayangkan jika peran emosional ini diperankan leh aktor lain, sekalipun ia seorang Deddy Mizwar. Begitu pula dengan apa yang diperlihatkan oleh Shanty. Setelah mulai eksis di Berbagi Suami dan Kala, aktingnya di sini kian matang. Semakin menunjukkan taring dan taji tajamnya. Lukman Sardi pas porsi, dan Indy Barends membuat kejutan dengan sandiwara sarkastiknya. Namun, penampilan sekian detik dari Nicholas Saputra lah yang akan membuat penonton tercengang. Good job, Nico!
Begitulah! The Photograph memang sedikit banyak menjelaskan betapa menderitanya jika kita masih meratapi masa lalu, terlebih jika masa lalu itu kelamnya luar biasa. Kaki tangan seakan dirantai dan sulit melangkah untuk menggapai era baru. Lewat sosok Tuan Johan kita belajar itu semua. Sebuah persembahan yang membanggakan dari seorang sutradara lokal yang berani keluar jalur mainstream. Highly recommended. Happy watching!
by: Aditya Saputra
Cast : Lim Kay Tong, Shanty, Lukman Sardi, Indi Barends
Rate : 4/5
Sayang sekali, pakar-pakar sinema Indonesia telah kelewatan satu film untuk didengungkan lebih luas ke khalayak ramai. Mungkin karena temanya yang terlalu berat untuk dicerna atau tampilannya yang buram seburam kenyataan pahit sang pelakon utama. Sama halnya produk Shanty lain yang juga diacuhkan pembeli tiket, Kala. Keduanya dicibir untuk masalah laba, tapi keduanya memegang sertifikat terpuji. Kembali ke The Photograph, salah satu contoh film ber-budget minim namun bisa dimaksimalisir dengan sangat baik. Sineas gemilang Nan Achnas berhasil memberikan sajian sejuta makna untuk penonton lewat penuturan singkat dan sederhana akan betapa sulitnya membuang bayang-bayang masa lalu dan melewati masa depan.
Johan Tan, lelaki tua yang mengidap kesakitan mental akan kukungan masa silam. Dia seorang fotografer yang mengais rejeki lewat itu. Suatu ketika, rumahnya kedatangan seorang tuna wisma yang hendak menyewa sebuah kamar, Sita. Sita mempunyai tanggung jawab menghidupi anaknya yang telah lama ia tinggal serta berniat mengobati penyakit neneknya. Kedua tokoh kita memiliki persamaan, mereka depresi. Sita akhirnya mencoba membantu Pak Johan untuk bebas dari penjara masa lalu. Satu hal, Pak Johan membui kenangan pahitnya lewat serangkaian foto. Fisik yang akan mengupas kembali memori kelamnya.
Gerak gambar The Photograph memang hanya seputar Johan dan Sita dalam memperjuangakan hidup. Kendati begitu, Nan Achnas memanipulasinya lewat keindahan sinematografi. Film ini sangat terbantu lewat mobilitas kamera yang walaupun monoton tapi sangat membentuk karakter tokoh maupun situasi. Warna-warna buram baik untuk setting rumah Johan maupun terang pekat di setting luar seakan mewakili apa yang mereka alami. Acungan jempol juga saya salutkan kepada direksi seni yang membuat The Photograph semakin nyeni dan memiliki jiwa untuk setiap adegannya.
Pemeran Pak Johan adalah seorang WNA. Achnas mengambil resiko dan itu semua terbayar lunas. Tong mencurahkan seluruh metabolisme urat aktingnya dengan bermain dengan sangat menakjubkan. Perubahan karakter sebelum dan sesudah ia mengalami krisis kepercayaan diri tersorot dengan sangat baik. Mungkin sulit membayangkan jika peran emosional ini diperankan leh aktor lain, sekalipun ia seorang Deddy Mizwar. Begitu pula dengan apa yang diperlihatkan oleh Shanty. Setelah mulai eksis di Berbagi Suami dan Kala, aktingnya di sini kian matang. Semakin menunjukkan taring dan taji tajamnya. Lukman Sardi pas porsi, dan Indy Barends membuat kejutan dengan sandiwara sarkastiknya. Namun, penampilan sekian detik dari Nicholas Saputra lah yang akan membuat penonton tercengang. Good job, Nico!
Begitulah! The Photograph memang sedikit banyak menjelaskan betapa menderitanya jika kita masih meratapi masa lalu, terlebih jika masa lalu itu kelamnya luar biasa. Kaki tangan seakan dirantai dan sulit melangkah untuk menggapai era baru. Lewat sosok Tuan Johan kita belajar itu semua. Sebuah persembahan yang membanggakan dari seorang sutradara lokal yang berani keluar jalur mainstream. Highly recommended. Happy watching!
by: Aditya Saputra
TOS, Dit.
BalasHapusSetuju. Memang highly recommended. Nan Achnaz memang salah satu sutradara underrated negeri ini. :)