Jumat, 15 Juni 2012

Take This Waltz (2011)


Director: Sarah Polley
Cast: Michelle Williams, Seth Rogen, Luke Kirby, Sarah Silverman
Rate: 3,5/5


Dewi Fortuna sedang berlalu-lalang di sepanjang karir Michelle Williams beberapa tahun belakangan. Betapa tidak, dengan jenjang kerumitan akting yang harus dia emban di setiap film tersorot dengan sangat mengagumkan. Peran apapun di tangannya akan berujung pada komentar positif bagi siapa saja yang menonton penampilannya. Dan uniknya, untuk beberapa film terakhirnya, semua terpojok pada biduk rumah tangga. Entah apa maksudnya, yang pasti ini seakan menjadi lahan basah bagi Williams dalam mengeksplorasi bakat seninya tersebut. Direkrut Sarah Polley, kali ini Williams harus mewujudkan sosok tokoh pada skrip di dalam pita seluloid yang berlajur hampir dua jam ini.

Williams adalah seorang penulis yang bernama Margot. Menikah selama lima tahun dengan penulis buku memasak khusus ayam bernama Lou (Seth Rogen). Sayangnya, kehidupan rumah tangga mereka berada dalam krisis identitas dan miskin rasa kasih sayang. Di tengah perjalanan udara pada satu hari, Margot berkenalan dengan seorang pria yang nantinya disinyalir adalah seorang seniman. Daniel (Luke Kirby) yang ternyata tinggal berdekatan dengan rumah Margot, memenuhi kebutuhan hidupnya dengan menjadi tukang becak. Kedekatan Margot dan Daniel berakibat fatal namun sanggup mengisi kekosongan batin yang didera Margot. Walaupun pada awalnya Margot masih bimbang akan kebathilan rumah tangganya dan juga kisruh emosi dengan Daniel., perlahan takdir berkata lain dan meruntuhkan semua angan yang berakhir pada satu kata, penyesalan tak terbantah.

Menyaksikan film ini seperti menonton fragmen-fragmen Blue Valentine dalam versi yang lebih halus tapi sama menggigitnya. Jika Blue Valentine lebih menekankan pada masalah internal laki-bini saja, di Take This Waltz lebih menitikberatkan kegundahan serta kegalauan yang menimpa Margot baik secara personal, suami, selingkuhan, serta sahabat. Bedanya lagi, walaupun Valentine dan Waltz sama-sama berdurasi panjang, namun Waltz kalah dalam mengisi slot runtime tadi dengan sangat lugas. Bukan membandingkan, hanya saja dengan tempo yang sangat lamban dan banyak adegan yang sebenarnya tidak begitu penting, menyebabkan penonton agak kelelahan mengartikan seluk beluk masalah Margot tadi. Boleh dikatakan, sedikit bertele-tele padahal waktu tadi bisa diminimalisir dengan plot-plot yang tepat sasarannya saja.

Mungkin Polley bermaksud lain, potret diri Margot diibaratkan gambaran sosok wanita labil yang haus rasa cinta walaupun jarak pernikahan sudah ditempuh cukup jauh. Kita memang sedikit ditampar (khususnya bagi yang sudah menikah) jika rasa perhatian itu adalah akar dari segala kebahagiaan. Margot tidak selalu benar dan tidak serta-merta pula patut disalahkan, ia hanya manusia yang juga bimbang akan pilihan hidup. Episode kedua dalam hidupnya, malah dibunuh oleh perasaan bersalahnya sendiri. Penyesalan adalah ungkapan terpahit pada hidup. Cerita yang sangat manusiawi, penuh pelajaran, dan menuai suntikan keras untuk penonton. Cerdas.

Williams adalah nyawa tunggal untuk film ini. Hampir seluruh frame cerita, pasti ada dia di dalamnya. Rogen dan Kirby seakan peran pembantu yang kebetulan juga bermain bagus. Tapi tetap saja, film ini adalah kepunyaan Williams. Dan dia seakan mengerti betul bagaimana memposisikan diri sebagai juru kunci dalam sebuah film. Aktingnya sangat memukau. Tanpa perlu make-up menyerupai seorang legenda, air muka di filmnya menceritakan seluruh kerisauan hatinya. Senyumnya mencairkan suasana tegang, isak tangisnya bahkan seperti mengajak penonton ikut iba terhadap masalahnya. Dan, scene stealer kita kali ini adalah Sarah Silverman dengan kesempatan sedikitnya ini, berhasil menunjukkan kapasitas yang mantap sebagai peran pembantu. Intinya, keberanian (tentu saja untuk Williams!!) mereka di sini patut diapresiasikan.

Hal lain yang istimewa adalah penempatan kamera yang sangat cantik dari film ini. Dengan bantuan cahayapun, gambar seakan dihiasi dengan bulir segar efek komputer. Baik saat di dalam rumah, panorama pantai, jalan raya, hingga saat adegan kamasutrapun dibuat dengan sangat maksimal. Penataan cahaya favorit saya jelas pada saat Margot dan Daniel bermain komedi putar dengan diiringi lagu yang tak kalah indahnya.

Bisa jadi, ini jenis film yang dijauhi penonton dikarenakan tema dan durasinya. Tapi, dengan sedikit kesabaran, kita akan menemukan esensi yang memikat akan bukti sahih sebuah kebahagian yang bisa datang dari sosok asing pada diri kita. Take This Waltz, dengan melodi keren di akhir filmnya, menyembunyikan sihir yang sangat manis. Temukan sendiri. Happy watching!

by: Aditya Saputra

Tidak ada komentar:

Posting Komentar