Director: Steven Spielberg
Cast: Jeremy Irvine, Peter Mullan, Emily Watson, Beneddict Cumberbatch, Tom Hiddleston, David Kross, Eddie Marsan, David Thewlis
Rate: 3,5/5
Apa yang kurang dari seorang Steven Spielberg? Semua proyek di tangannya akan berbuah keuntungan yang besar, dan berbagai piala dari festival-festival film menjadi bonusnya. Dari dulu, Spielberg adalah asosiasi dari film-film mutakhir dan visioner sejati. Mulai dari yang bertemakan perang, kemanusiaan, alien, petualangan, hingga bumbu animasipun dihajarnya dengan ektra matang. Walau kadang keseleo sedikit dengan proyeknya yang gagal baik secara kualitas maupun pengerukan untang, tapi tetap saja Spielberg bagai dewa Hollywood yang disembah ratusan sineas muda dan menjadi tolak ukur untuk film bermutu. Tahun 2011 lalu, berbarengan dengan Tintin, Spielberg mempersembahkan satu karya lagi. Kali ini ia memfokuskan pada animalia. Akan tetapi, kaya akan sup-plot bergizi dan menyentuh.
Perang antara Perancis dan Jerman, tahun 1914, propaganda yang jelas merugikan rakyat jelata. Suatu hari, seorang petani memenangkan sebuah pelelangan kuda. Awalnya, sang istri tidak begitu setuju dengan ide suaminya hingga si anak seperti mendapat penglihatan jika kuda tersebut memiliki bakat yang di luar dugaan. Sedihnya, masa suram itu kembali lagi dan si kuda mau tak mau harus dijual dan nantinya menjadi kuda perang. Namun di tengah jalan, takdir kuda itu berbelok dan terus berjalan yang akhirnya stop pada titik yang paling emosional di film ini.
Sejatinya, jika saya harus menguraikan satu persatu potongan-potongan cerita film ini, bisa jadi lima paragraf tidak akan cukup. Oleh sebab itu, Spielberg memanfatkan alur tadi dengan pemakaian durasi yang melebihi waktu normal. Dua jam lebih kita dihadapkan dengan kehidupan seekor kuda hebat yang nasibnya bahkan lebih mengenaskan daripada kita yang menontonnya. Maksud hati ingin mengimplementasikan filmnya sedetil mungkin, hanya saja ada part yang seharusnya dihilangkan saja. Toh, tidak terlalu berpengaruh terhadap keseluruhan film. Bukan Spielberg jika tidak bisa menyiasatinya. Menggandeng Janusz Kaminski si juru kamera dan John Williams di ranah musik, menjadikan film ini lebih nyata dan jelas, indah.
Kaminski dengan sempurna memotret lewat kameranya, menangkap visual-visual pedesaan, arena perang, hingga di dalam kandangpun menjadi sangat intens. Pewarnaan yang klasik, bahasa gambar yang sedap dipandang. Editing yang rapi juga turut serta membangun tensi yang naik turun di sepanjang film. John Williams, maestronya, dan War Horse sebagai pembuktian sahih akan kehebatan konduksi musiknya. Hanya saja, dengan banyaknya aktor yang harus berbagi layar menyebabkan bakat akting mereka sedikit tersembunyi. Tidak ada yang benar-benar menonjol kendati Hiddleston sudah bersusah payah memadu gerak muka seorang prajurit perang yang kokoh.
Melodramatis film ini sangat kental, bahkan untuk pengungkapan pada sosok kuda sekalipun. Jujur saja, dari seekor kudapun kita bisa mengambil intisari yang terserap dari film ini. Mungkin bukan film terbaik Spielberg, tapi saya berani bertaruh jika film ini masih dipuja oleh kritikus manapun. Pada akhirnya, War Horse adalah obsesi Spielber untuk kembali ke tema andalannya. Perang epik layaknya Saving Private Ryan, tidak seheboh itu, tapi tetap saja ada pesan yang sangat mendasar yang ingin disampaikan oleh seorang legenda, lewat tampilan seekor kuda. Happy watching!
by: Aditya Saputra
Tidak ada komentar:
Posting Komentar