Sabtu, 29 Mei 2010

Cin(T)a (2009)

Director : Sammaria Simanjuntak
Cast : Saira Jihan, Sunny Soon
Rate : 3/5

Perhatikan poster film ini baik-baik, minimalis tapi terkesan cantik dan penuh arti. Sebuah film yang tak diduga-duga menggelegar di tahun lalu berkat penceriteraan yang aduhai serta sinematografi yang boleh dibilang tak-amatiran. Sebuah film yang memang layak diberi kredibilitas tersendiri di perfilman Indonesia di tengah serbuan setan-setan yang tak habis ide untuk dibuat film.


Cin(T)a, film yang secantik font judulnya. Annisa, mahasisiwa arsitek yang juga seorang artis penuh masalah. Merasa bimbang dengan apa yang ia lalui sehingga membuat apa yang ia lakukan selalu dianggap salah di mata orang-orang sekelilingnya. Ada lagi tokoh Cina (ya, namanya memang Cina karena keturunan Cina dan ada hal unik dibalik pemberian namanya) mahasiswa arsitektur juga, tapi beda tingkat dengan Annisa. Awal pertemuan yang menjengkelkan bagi keduanya perlahan menjadi pertemananyang dilalui dengan intrik sosial. Lucu, unik, bersahaja hingga pakem dalam berkata. Cina akhirnya menjadi mentor Annisa dalam mengerjakan TA-nya. Dari perguliran adegan inilah, keduanya menemukan sesuatu yang sangat berharga hingga konflik besar-besaran menerpa perjalanan persahabatan keduanya.

Patut diingat, seting film ini adalah saat pemboman gerja di Indonesia bahkan dunia sedang marak-maraknya. Jadi, dengan latar belakang kejadian tersebut propaganda yang dialami dunia juga dialami oleh pergolakan batin kedua karakter utama ini. Jauh sebelum itu, kisah persahabatan antar keduanya sudah seperti seorang kekasih yang masih dalam tahap wajar dan sopan. Lucunya, walaupun sering saling berargumentasi, dialognya hampir selalu dimenangkan oleh Annisa entah dalam hal apapun. Kembali setelah adegan klimaks (yang juga anti-klimaks), Annisa dan Cina mengalami kesenjangan sosial yang mengakibatkan kerenggangan di antara keduanya tak bisa dielak lagi. Menyedihkan memang, kekontrasan sebuah hidup bahkan timbul dari diri kita sendiri jika kita tak mampu mengontrol segala sesutu yang masuk dalam hidup kita.

Saya ingin memberi salut atas 3 hal di film ini sekaligus ingin sedikit kritik atas 2 hal. Pujian pertama dan yang paling inti ialah naskah. Sebuah naskah yang sangat brilian, memorable dan berjuta-juta asumsi yang bisa diambil dari tiap penggalan kalimat yang terlontar dari mulut si pemeran. Benar-benar luar biasa dalam. Sangat jarang menemukan film yang di dalamnya kita diberikan pelajaran berharga dari kata-kata biasa yang dirangkai menjadi kesatuan kalimat yang indah untuk ditelisik. Pencapain puncak dari seorang amatiran, katakanlah begitu. Lagi soal musik (yang juga menjadi salah satu kelemahan di mata saya), lagu-lagu hingga score yang mengalun sepanjang film ini sangat easy-listening sekaligus pas memadumadankan dengan setiap adegan. Terima kasih buat Homogenic yang berperan besar dalam hal ini. Satu lagi talenta besar Indonesia yang tak terlihat oleh pengamat musik lokal. Sayang sekali. Hal ketiga adalah sinematografi, DoP film ini sukses besar merangkai setiap potongan gambar menjadi cerita yang utuh. Uniknya,di film ini yang in-frame adalah Annisa dan Cina. Jadi seluruh ektrasnya out-frame. Lucu dan jarang terjadi.

Sisi minus dari film ini saya lihat dari sound editing dan akting yang sebenarnya bisa dimaafkan mengingat film ini berangkat dari 'gelar' independenitas dengan segala budget yang minim. Pemeran Annisa dan Cina sudah bermain dengan poin cukup kalau tak mau dibilang jelek. Bisa dimaklumi karena keduanya masih memiliki secuil talenta di bidang ini dan sutradaranya jelas memiliki alasan yang pasti mengapa keduanya dipilih. Namun saya berpikir, sekalipun dipasang pemain kaliber piala Citra pun film ini tak akan menjadi lebih baik malah akan jatuh over-rated. Terakhir masalah edit suara, benar-benar kacau. Tempuran dialog Annisa dan Cina dengan score maupun lagu tema sangat tumpang tindih yang menyebabkan sura yang didengar agak sedikit mengganggu dan kurang jelas. Sekali lagi, hal itu bisa ditolerir meskipun hal tersebut juga tidak bisa dijadikan alasan mutlak atas kelemahan yang timbul dalam membuat film.

Why would God create us differently if God wants to be worshipped in one way? Yah, masalah cinta beda agama yang sangat sensitif di bumi pertiwi tercinta ini. Yang dengan lugas dituturkan dengan bahasa lembut dan penuh arti. O ya, di film ini juga dijejali potongan komentar pasangan yang menjalin hubungan beda agama. Kreatif!
Kembali lagi ke soal cinta dan beda agama. Kedua hal tersebut tidak bisa dianggap harga mati tetapi juga tak bisa diacuh begitu saja. Dari satu sisi, dengan pondasi agama masing-masing menyebabkan dua anak manusia terpaksa menahan cinta bergelora tiada tara. Di sisi lain, dengan cinta yang berapi-api kadangkala lupa jika kita masih memiliki agama masing-masing sebagai pondasi tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar