Director: Michael Bay
Cast: Shia LaBeouf, Rosie Huntington-Whiteley, Josh Duhamel, Frances McDormand, John Malkovich, John Turturro, Patrick Dempsey, Tyrese Gibson
Rate: 2,5/5
Michael Bay mempersembahkan tontonan yang jauh dari kesan bergizi dengan tampilan dan polesan yang sangat menarik perhatian siapa saja yang melihatnya. Kali ini datang dengan plot cerita yang diharapkan berbobot dan kedatangan artis pendatang baru dengan penampilan bohay namun nilai minus untuk aktingnya. Tunggu, nilai minus bukan untuk dia saja, tapi untuk keseluruhan filmnya. Kasar, hah? Biarlah, memang sudah terbukti dengan nyata jika kualitas franchise ini bak kacang goreng yang sekali makan tapi sulit buat mengenyangkan hasrat perut. Robotnya makin banyak, aksinya makin cihuy, gerakan gambarnya makin memesona, efek suaranya semakin mendentum, embel-embel 3D di ujung judulnya, Shia nya udah kerja di kantor, banyak bunyi transformasi yang bikin ngilu buat didenger. Tapi tetep, nilainya gak mampu lebih dari 5. Angka merah, Bay!
Seperti yang disinggung sebelumnya, film ini sangat brutal untuk adegan perkelahian antar robotnya. Jadi, keterlibatan para serdadu manusia di film ini jauh dari kata menarik dibanding robot war-nya sendiri. Memang, ada beberapa sequence yang memompa adrenalin saat mereka--para manusia tadi, menyelamatkan diri. Sebagai penghibur belaka. Nilai sempurna jelas ditujukan buat sumbangsih para kreator CGI-nya yang dengan sukses membuat film ini tidak menjadi lebih sebagai obat tidur. Terus terang, drama panjangnya sungguh membosankan.
Shia dengan joke-nya yang semakin garing, lupa bagaimana menjadi sosok penting saat di film pertama. Kekonyolan yang tak bisa dibendung lagi tentu saja kehadiran orang tuanya yang maunya mengocok perut tapi jatuhnya krenyes tanpa isi. Bombastisnya, kita diberi hadiah pembuka oleh Bay, tepat sebuah anugerah indah dari kemolekan Rosie. But hey, bahkan bibir Megan Fox jauh lebih menggoda dari itu. No offense.
Untung saja, Bay seakan bisa membaca lahan kosong yang harus ditempatkan oleh orang penting agar filmnya tidak terkesan murahan. Sorry, filmnya jelas mahal, maksud saya agar tidak terkesan sangat buruk. Diberikannya slot akting untuk tetua seperti John Malkovich dan Frances McDormand jelas cukup membantu membuat neraca mutunya tidak jatuh bebas ke arah yang lebih buruk. Hitung kata buruk di postingan ini!
Bay, seperti umumnya yang kita tau, salah satu sutradara yang lebih menekankan kuantitas aksi daripada pusing memikirkan dampak kualitas ke depannya. Seolah sudah tau jika patung buah raspberry akan kembali dipegangnya. Sudahlah, semakin dikecam toh film ini semakin berjalan mulus di tol box office. Ditambah lagi dengan bantuan uang sewa kacamata tiga dimensi. Tapi, saat Bay mencoba membuat cerita sekalem The Island malah bisa dikatakan rugi. Padahal film itu saya nilai cukup menarik baik dari segi cerita maupun casting. Terbukti, label lebay sudah terpatri kuat di kening Bay. Pearl Harbor dan Armageddon contoh kecilnya.
Trannsformers tidak serta merta menjadi produk sampah, bahkan jauh dari kesan sampah itu. Sampah mana yang bisa menghasilkan uang ratusan juta dolar, coba? Dilengkapi dengan audio visual yang mencengangkan mata dan telinga dan juga soundtrack khasnya, Transformers: Dark of the Moon sangat cocok sebagai plural hiburan. Menyenangkan memang jika pertempuran dahsyat yang terpampang di film ini (dan di kebanyakan film aksi Hollywood) tidak terjadi di Indonesia. Biarlah mereka saja yang cemas bagaimana situasi itu terjadi. Simpan logika saat menonton film ini, tipiskan selera humor, niscaya, film ini sangat amat layak ditonton. Happy watching!
by: Aditya Saputra
Cast: Shia LaBeouf, Rosie Huntington-Whiteley, Josh Duhamel, Frances McDormand, John Malkovich, John Turturro, Patrick Dempsey, Tyrese Gibson
Rate: 2,5/5
Michael Bay mempersembahkan tontonan yang jauh dari kesan bergizi dengan tampilan dan polesan yang sangat menarik perhatian siapa saja yang melihatnya. Kali ini datang dengan plot cerita yang diharapkan berbobot dan kedatangan artis pendatang baru dengan penampilan bohay namun nilai minus untuk aktingnya. Tunggu, nilai minus bukan untuk dia saja, tapi untuk keseluruhan filmnya. Kasar, hah? Biarlah, memang sudah terbukti dengan nyata jika kualitas franchise ini bak kacang goreng yang sekali makan tapi sulit buat mengenyangkan hasrat perut. Robotnya makin banyak, aksinya makin cihuy, gerakan gambarnya makin memesona, efek suaranya semakin mendentum, embel-embel 3D di ujung judulnya, Shia nya udah kerja di kantor, banyak bunyi transformasi yang bikin ngilu buat didenger. Tapi tetep, nilainya gak mampu lebih dari 5. Angka merah, Bay!
Seperti yang disinggung sebelumnya, film ini sangat brutal untuk adegan perkelahian antar robotnya. Jadi, keterlibatan para serdadu manusia di film ini jauh dari kata menarik dibanding robot war-nya sendiri. Memang, ada beberapa sequence yang memompa adrenalin saat mereka--para manusia tadi, menyelamatkan diri. Sebagai penghibur belaka. Nilai sempurna jelas ditujukan buat sumbangsih para kreator CGI-nya yang dengan sukses membuat film ini tidak menjadi lebih sebagai obat tidur. Terus terang, drama panjangnya sungguh membosankan.
Shia dengan joke-nya yang semakin garing, lupa bagaimana menjadi sosok penting saat di film pertama. Kekonyolan yang tak bisa dibendung lagi tentu saja kehadiran orang tuanya yang maunya mengocok perut tapi jatuhnya krenyes tanpa isi. Bombastisnya, kita diberi hadiah pembuka oleh Bay, tepat sebuah anugerah indah dari kemolekan Rosie. But hey, bahkan bibir Megan Fox jauh lebih menggoda dari itu. No offense.
Untung saja, Bay seakan bisa membaca lahan kosong yang harus ditempatkan oleh orang penting agar filmnya tidak terkesan murahan. Sorry, filmnya jelas mahal, maksud saya agar tidak terkesan sangat buruk. Diberikannya slot akting untuk tetua seperti John Malkovich dan Frances McDormand jelas cukup membantu membuat neraca mutunya tidak jatuh bebas ke arah yang lebih buruk. Hitung kata buruk di postingan ini!
Bay, seperti umumnya yang kita tau, salah satu sutradara yang lebih menekankan kuantitas aksi daripada pusing memikirkan dampak kualitas ke depannya. Seolah sudah tau jika patung buah raspberry akan kembali dipegangnya. Sudahlah, semakin dikecam toh film ini semakin berjalan mulus di tol box office. Ditambah lagi dengan bantuan uang sewa kacamata tiga dimensi. Tapi, saat Bay mencoba membuat cerita sekalem The Island malah bisa dikatakan rugi. Padahal film itu saya nilai cukup menarik baik dari segi cerita maupun casting. Terbukti, label lebay sudah terpatri kuat di kening Bay. Pearl Harbor dan Armageddon contoh kecilnya.
Trannsformers tidak serta merta menjadi produk sampah, bahkan jauh dari kesan sampah itu. Sampah mana yang bisa menghasilkan uang ratusan juta dolar, coba? Dilengkapi dengan audio visual yang mencengangkan mata dan telinga dan juga soundtrack khasnya, Transformers: Dark of the Moon sangat cocok sebagai plural hiburan. Menyenangkan memang jika pertempuran dahsyat yang terpampang di film ini (dan di kebanyakan film aksi Hollywood) tidak terjadi di Indonesia. Biarlah mereka saja yang cemas bagaimana situasi itu terjadi. Simpan logika saat menonton film ini, tipiskan selera humor, niscaya, film ini sangat amat layak ditonton. Happy watching!
by: Aditya Saputra
Tidak ada komentar:
Posting Komentar