Cast: Reza Rahardian, Bunga Citra Lestari
Rate: 3,5/5
Sebagai seorang presiden, bohong sekali rasanya jika masyarakat Indonesia ada tidak mengenal sosok B.J. Habibie. Sebagai orang yang pertama kali mencetuskan dan memroklamirkan pembuatan pesawat terbang dan teknologi lainnya, Pak Habibie patut dijadikan contoh nyata bagaimana superioritas sebuah bangsa adalah bagaimana tokoh besar di belakangnya. Masa kepemimpinan Pak Habibie dengan rentang waktu yang sebentar memberikan sedikit gambaran bagaimana nahasnya negara ini pada waktu itu. Pak Habibie dengan begitu gentarnya berupaya sekuat tenaga untuk kepentingan negeri ini, sekalipun mesti mengorbankan dirinya sendiri. Panutan yang berharga. Kehidupan rumah tangganya yang berjalan sempurna bersama ibu negara, Ainun, bahkan bisa dijadikan contoh untuk sebuah realita percintaan yang memerdekaan kebersamaan dalam kondisi apapun.
Love story antara Habibie dan Ainun inilah yang menjadi fokus utama film garapan sutradara baru, Faozan Rizal. Menyadur dari buku yang ditulis sendiri oleh Pak Habibie yang berisikan kumpulan-kumpulan hidupnya dengan sang istri tercinta, buku tersebut menjadi best-seller di tahun perilisannya. Dan beberapa tahun kemudian, salah satu sineas muda kita yang dibentengi oleh sosok Hanung Bramantyo di belakangnya, buku semi-otobiografi tersebut mengemuka di layar lebar. Siklus cinta itu dimulai dari bagaimana Habibie dan Ainun di satu sekolah, kemudian mengenal cinta ketika remaja. Memadu janji di sebuah becak, dan akhirnya membina silsilah kecil sembari mengerjakan proyek di negara seberang benua.
Jujur, harus diakui film ini mengandung banyak pesan bergizi yang diutarakan langsung ke pemuda pada khususnya dan kepada seluruh rakyak ini pada umumnya. Keberhasilan Habibie dalam menyejajarkan dirinya di lapisan orang-orang atas dan pembinaan kerukunan rumah tangga diimplementasikan dengan sangat baik oleh sutradara kita. Fase reformasi yang mengharuskan beliau menjabat menjadi presiden, meringkuh di tengah penyakit TBC-nya, menomor duakan jalinan keluarga, memang mengajarkan kita untuk menjadi sosok bertanggung jawab di mata masyarakat. Pergolakkan kinerja Habibie yang terus-terusan dirudung masalah terkait politik suap-menyuap juga mewarnai kehidupan beliau. Tapi, walau bagaimanapun juga film ini menyorot sepenuhnya akan perjalanan cinta beliau dengan sang istri hingga akhirnya harus ditinggal pergi karena penyakit kanker ovarium yang didera Ibu Ainun.
Inilah negara kita, berlian paling mahal semacam Pak Habibie harus memutar arah ke negara orang lain terlebih dahulu untuk bisa diakui di tanah kelahirannya sendiri. Krisis percaya diri dan kekurangan audiens dalam berkarya memang menjadi dasar mengapa negeri kita akhirnya jalan di tempat di dalam hubungan bilateral internasional. Belum lagi dengan kecakapan para politikus tak bermoral yang menyalip dan menyulap uang untuk kepentingan pribadi. Fragmen ini bukti nyata, dan dalam film Habibie & Ainun walaupun dipersempit dengan durasi yang hanya kurang lebih 2 jam saja, masih bisa diperlihatkan betapa kotor dan culasnya negara ini. Faozan memanfaatkan momen ini dengan menyisipkan beberapa rekaman asli pemerintahan pada zaman itu. Mengubah perkotaan menjadi sangat kuno, sayangnya pada kesempatan adegan di Jerman, kepalsuan sangat jelas terlihat. Andaikata adegan salju itu tersebut tidak dipaksakan ada, pasti kenyamanan menonton akan lebih sempurna.
Sama halnya dengan dipaksakannya kemunculan para sponsor di sepanjang film. Hadirnya bedak merek terkenal, cokelat yang dimodeli Nikita Willy, dan lain sebagainya itu memang sangat merusak citra film ini secara keseluruhan. Bagaimana film yang sedari awal sudah dibuat semanis dan senyata mungkin harus dicoreng dengan para 'bintang tamu' tadi. Sangat disayangkan. MD Pictures selaku yang membiayai film ini sepatutnya tidak berlaku egois hanya karena kepentingan uang semata. Sebuah karya yang dicampur tangani oleh materi memang akan melemahkan nilai karya tersebut. Contohnya film ini. Musik yang mengalun indah dibekali akting yang luar biasa dari Reza Rahardian di film ini berujung hanya lucu-lucuan belaka.
Yah, Reza Rahardian berhasil menempatkan dirinya di posisi yang serba beruntung. Dipilihnya Reza sebagai perwakilan layar Pak Habibie bukan tanpa alasan dan bukan tanpa hasil. Mengingat ia adalah satu aktor muda berbakat yang sudah memainkan banyak peran beda, kehadirannya di sini memang sangat dibutuhkan. Gesture dan body language yang sempurna serta cara berbicara yang sangat Habibie sekali terbukti menenggelamkan penonton untuk merasakan dawai film ini. Tapi, ketika harus berbagi frame dengan Bunga Citra Lestari selaku pemeran Ibu Ainun, kolaborasi mereka terasa sangat tidak kena. Bunga masih ingin terlihat cantik dan egois walaupun dalam keadaan tua renta. Make up saat Ibu Ainun pada masa pesakitan tidak terlihat dengan jelas. Tidak ada dari wajah Bunga yang membuat saya percaya jika ia sedang berakting. Ibu Ainun di tangan Bunga seperti satu masa satu umur dengan anak-anaknya.
Kendati banyak minus yang tersebar dari film ini, bukan berarti sisi positifnya menjadi hilang tak berarti. Film ini masih memiliki pesan moral yang tinggi. Memang sangat disayangkan, jika poin kritis tadi bisa diminimalisir dengan bijak, pasti Habibie & Ainun akan terlihat lebih kokoh tanpa memandang bulu jika ini film buatan sutradara minim pengalaman. Dan satu hal lagi, Pak Habibie telah menerbangkan negara ini ke kancah internasional dalam menelurkan teknologi yang jarang ditemui oleh anak bangsa untuk ukuran zaman tersebut, dan zaman sekarang. Seperti hanya ia menerbangkan pesawat terbang rangkaiannya yang menjadi tolak ukur sebuah kecerdasan hingga sekarang. Happy watching!
by: Aditya Saputra
Jujur, harus diakui film ini mengandung banyak pesan bergizi yang diutarakan langsung ke pemuda pada khususnya dan kepada seluruh rakyak ini pada umumnya. Keberhasilan Habibie dalam menyejajarkan dirinya di lapisan orang-orang atas dan pembinaan kerukunan rumah tangga diimplementasikan dengan sangat baik oleh sutradara kita. Fase reformasi yang mengharuskan beliau menjabat menjadi presiden, meringkuh di tengah penyakit TBC-nya, menomor duakan jalinan keluarga, memang mengajarkan kita untuk menjadi sosok bertanggung jawab di mata masyarakat. Pergolakkan kinerja Habibie yang terus-terusan dirudung masalah terkait politik suap-menyuap juga mewarnai kehidupan beliau. Tapi, walau bagaimanapun juga film ini menyorot sepenuhnya akan perjalanan cinta beliau dengan sang istri hingga akhirnya harus ditinggal pergi karena penyakit kanker ovarium yang didera Ibu Ainun.
Inilah negara kita, berlian paling mahal semacam Pak Habibie harus memutar arah ke negara orang lain terlebih dahulu untuk bisa diakui di tanah kelahirannya sendiri. Krisis percaya diri dan kekurangan audiens dalam berkarya memang menjadi dasar mengapa negeri kita akhirnya jalan di tempat di dalam hubungan bilateral internasional. Belum lagi dengan kecakapan para politikus tak bermoral yang menyalip dan menyulap uang untuk kepentingan pribadi. Fragmen ini bukti nyata, dan dalam film Habibie & Ainun walaupun dipersempit dengan durasi yang hanya kurang lebih 2 jam saja, masih bisa diperlihatkan betapa kotor dan culasnya negara ini. Faozan memanfaatkan momen ini dengan menyisipkan beberapa rekaman asli pemerintahan pada zaman itu. Mengubah perkotaan menjadi sangat kuno, sayangnya pada kesempatan adegan di Jerman, kepalsuan sangat jelas terlihat. Andaikata adegan salju itu tersebut tidak dipaksakan ada, pasti kenyamanan menonton akan lebih sempurna.
Sama halnya dengan dipaksakannya kemunculan para sponsor di sepanjang film. Hadirnya bedak merek terkenal, cokelat yang dimodeli Nikita Willy, dan lain sebagainya itu memang sangat merusak citra film ini secara keseluruhan. Bagaimana film yang sedari awal sudah dibuat semanis dan senyata mungkin harus dicoreng dengan para 'bintang tamu' tadi. Sangat disayangkan. MD Pictures selaku yang membiayai film ini sepatutnya tidak berlaku egois hanya karena kepentingan uang semata. Sebuah karya yang dicampur tangani oleh materi memang akan melemahkan nilai karya tersebut. Contohnya film ini. Musik yang mengalun indah dibekali akting yang luar biasa dari Reza Rahardian di film ini berujung hanya lucu-lucuan belaka.
Yah, Reza Rahardian berhasil menempatkan dirinya di posisi yang serba beruntung. Dipilihnya Reza sebagai perwakilan layar Pak Habibie bukan tanpa alasan dan bukan tanpa hasil. Mengingat ia adalah satu aktor muda berbakat yang sudah memainkan banyak peran beda, kehadirannya di sini memang sangat dibutuhkan. Gesture dan body language yang sempurna serta cara berbicara yang sangat Habibie sekali terbukti menenggelamkan penonton untuk merasakan dawai film ini. Tapi, ketika harus berbagi frame dengan Bunga Citra Lestari selaku pemeran Ibu Ainun, kolaborasi mereka terasa sangat tidak kena. Bunga masih ingin terlihat cantik dan egois walaupun dalam keadaan tua renta. Make up saat Ibu Ainun pada masa pesakitan tidak terlihat dengan jelas. Tidak ada dari wajah Bunga yang membuat saya percaya jika ia sedang berakting. Ibu Ainun di tangan Bunga seperti satu masa satu umur dengan anak-anaknya.
Kendati banyak minus yang tersebar dari film ini, bukan berarti sisi positifnya menjadi hilang tak berarti. Film ini masih memiliki pesan moral yang tinggi. Memang sangat disayangkan, jika poin kritis tadi bisa diminimalisir dengan bijak, pasti Habibie & Ainun akan terlihat lebih kokoh tanpa memandang bulu jika ini film buatan sutradara minim pengalaman. Dan satu hal lagi, Pak Habibie telah menerbangkan negara ini ke kancah internasional dalam menelurkan teknologi yang jarang ditemui oleh anak bangsa untuk ukuran zaman tersebut, dan zaman sekarang. Seperti hanya ia menerbangkan pesawat terbang rangkaiannya yang menjadi tolak ukur sebuah kecerdasan hingga sekarang. Happy watching!
by: Aditya Saputra
Tidak ada komentar:
Posting Komentar