Cast: Meryl Streep, Tommy Lee Jones, Steve Carell
Rate: 2,5/5
Meryl Streep (dengan 3 piala Oscar yang telah diraihnya) adalah salah satu dari sekian banyak aktris yang di usia senjanya masih menapakkan karir di dunia showbiz Hollywood. Tancapan bakat aktingnya dalam mengisi setiap film yang ia lakoni acap kali berakhir pada sebuah nominasi di ajang-ajang perfileman manapun. Dengan segala sertifikat terbaik yang pernah diterimanya, bukan berarti Streep tidak pernah terpleset di lini karirnya. Walaupun aktingnya sudah bagus, kesialan jatuh pada naskah film yang serba lemah, seperti saat ia memerankan seorang Margaret Thatcher di The Iron Lady dan di film terbarunya sekarang, Hope Springs. Film ini dibuat oleh David Frankel yang pernah sekali bekerja sama dengan Streep di The Devil Wears Prada, peran ringan yang mampu membawa Streep kembali bercokol di deretan nominator aktris terbaik. Sayangnya, di kerja sama mereka yang kedua ini malah terkesan biasa saja kalau tak mau dibilang jelek. Tidak istimewa apalagi bernafaskan festival.
Dari segi cerita saja mungkin film ini sudah terkesan segmented walaupun tujuan Frankel pasti mengharapkan tema ini akan bersifat universal. Sepasang suami istri yang telah memasuki masa pubertas kedua sedang dilanda masalah percintaan. Kay (Streep) dan Arnold (Lee Jones) terpaksa pisah ranjang tapi tetap satu atap hanya karena keduanya tidak lagi memiliki gairah satu sama lain. Walaupun Kay bersikeras menyatukan kembali hubungan keduanya, namun Arnold tetap pada pendiriannya untuk menjalani hidup seperti saat ini. Kay yang jenuh memutuskan untuk mengikuti pola kisah cinta ke Dr. Feld (Carell). Perjalanan rumit keduanya untuk menemukan kembali romantisme yang hilangpun dimulai.
Sayangnya, aktris sekaliber Meryl Streep dan Tommy Lee Jones pun tidak bisa menyelamatkan film ini lebih jauh lagi. Kapasitas naskahnya yang sudah melemah dari awal menjadi tersangka utama mengapa film ini kehilangan tajinya. Tidak susah untuk menjustifikasi film ini sebagai salah satu film terjelek aktor-aktor dedengkot itu. Bandingkan saja performa Streep di film ini dengan di It's Complicated yang serupa dan sama ringannya. Bedanya, It's Complicated lebih terarah dan tidak membuat Streep terkesan konyol. Dan memang iya, Steve Carell dengan peran anti-slapstick-nya di sini semacam isu baru. Melihat track record-nya yang sejenis, peran kalem bijaksananya di sini seperti terobosan singkat. Kita tidak akan melihat muka karetnya, yang ada bagaimana ia merespon dan memberi saran motivasi untuk pasiennya dengan amat santai. Hmmm, Carell memang tidak pernah mengecewakan.
Seperti yang saya bilang, film ini tidak memiliki komponen penting yang membuat filmnya menjadi layak ditelaah lebih jauh. Frankel yang sudah makan asam garam di sektor penyutradaraan beberapa episode serial tv dan membuat Streep seperti 'setan busana' di The Devil Wears Prada, tidak meneruskan keberuntungannya saat mengolah naskah yang ada. Kinerjanya saat memadukan Streep dan Lee Jones tidak terasa efektif. Frankel tidak berusaha membuat permasalahan sang tokoh utama terasa believable. Walaupun film dibuat semanis dan sekocak mungkin, tetap saja jatuhnya kasar dan sedikit melecehkan kaum tua. However, film ini juara di penggarapan musik dan pemilihan lagu-lagu pengiring. Beberapa judul lagu yang mengalun memang pas dengan suasana adegan dan mendukung atmosfer film menjadi lebih sedu sedan.
Frankel, jika saja tidak terlalu pongah karena memiliki 3 nama besar di filmnya, kemungkinan besar akan fokus kepada narasi film. Sialnya, aktor mumpuni saja tidak cukup untuk menyelaraskan sebuah film. Banyak contoh mutlak bagaimana sebuah film diisi aktor-aktor mapan dalam berakting, jika penggarapannya tidak maksimal tetap saja akan menjadi bual-bualan kritikus. Frankel dengan bijak memaksimalkan kerja kerasnya, tapi dia lupa jika penonton -apalagi temanya sangat orang tua sekali- dewasa tidak hanya sekadar mau diceremahi tapi juga diajak berdiskusi bersama setelah menonton filmnya. Yah, persoalan seks di film ini terlalu sensitif bagi orang tua seumur mereka. Apalagi film ini bukan konsumsi satu wilayah negara saja. Happy watching!
by: Aditya Saputra
Sayangnya, aktris sekaliber Meryl Streep dan Tommy Lee Jones pun tidak bisa menyelamatkan film ini lebih jauh lagi. Kapasitas naskahnya yang sudah melemah dari awal menjadi tersangka utama mengapa film ini kehilangan tajinya. Tidak susah untuk menjustifikasi film ini sebagai salah satu film terjelek aktor-aktor dedengkot itu. Bandingkan saja performa Streep di film ini dengan di It's Complicated yang serupa dan sama ringannya. Bedanya, It's Complicated lebih terarah dan tidak membuat Streep terkesan konyol. Dan memang iya, Steve Carell dengan peran anti-slapstick-nya di sini semacam isu baru. Melihat track record-nya yang sejenis, peran kalem bijaksananya di sini seperti terobosan singkat. Kita tidak akan melihat muka karetnya, yang ada bagaimana ia merespon dan memberi saran motivasi untuk pasiennya dengan amat santai. Hmmm, Carell memang tidak pernah mengecewakan.
Seperti yang saya bilang, film ini tidak memiliki komponen penting yang membuat filmnya menjadi layak ditelaah lebih jauh. Frankel yang sudah makan asam garam di sektor penyutradaraan beberapa episode serial tv dan membuat Streep seperti 'setan busana' di The Devil Wears Prada, tidak meneruskan keberuntungannya saat mengolah naskah yang ada. Kinerjanya saat memadukan Streep dan Lee Jones tidak terasa efektif. Frankel tidak berusaha membuat permasalahan sang tokoh utama terasa believable. Walaupun film dibuat semanis dan sekocak mungkin, tetap saja jatuhnya kasar dan sedikit melecehkan kaum tua. However, film ini juara di penggarapan musik dan pemilihan lagu-lagu pengiring. Beberapa judul lagu yang mengalun memang pas dengan suasana adegan dan mendukung atmosfer film menjadi lebih sedu sedan.
Frankel, jika saja tidak terlalu pongah karena memiliki 3 nama besar di filmnya, kemungkinan besar akan fokus kepada narasi film. Sialnya, aktor mumpuni saja tidak cukup untuk menyelaraskan sebuah film. Banyak contoh mutlak bagaimana sebuah film diisi aktor-aktor mapan dalam berakting, jika penggarapannya tidak maksimal tetap saja akan menjadi bual-bualan kritikus. Frankel dengan bijak memaksimalkan kerja kerasnya, tapi dia lupa jika penonton -apalagi temanya sangat orang tua sekali- dewasa tidak hanya sekadar mau diceremahi tapi juga diajak berdiskusi bersama setelah menonton filmnya. Yah, persoalan seks di film ini terlalu sensitif bagi orang tua seumur mereka. Apalagi film ini bukan konsumsi satu wilayah negara saja. Happy watching!
by: Aditya Saputra
Tidak ada komentar:
Posting Komentar